Ayo Sinau...!!!

Sabtu, 28 Mei 2016

Makalah Ilmu Kalam: Asy’ariyah

ASY’ARIYAH


Oleh:
Tomy Muhlisin Ahmad, Diwanti Ikesari & Nasirotus Salamah





I.         PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Sejarah awal kemunculan madzhab-adzhab teologi dalam Islam. Awal munculnya teologi Islam tidak terlepas dari permasalahan politik yang akhirnya terus berkelanjutan kepada permasalahan yang sesungguhnya yaitu bercorak agama. Sehingga hal ini kemudian menjadi pembicaraan yang pelik dalam teologi Islam.
Persoalan teologi yang sesungguhnya pada hakekatnya banyak sekali dan ruang pembahasanya cukup mendasar. Tidak bisa terlepas realitas sejarah awal madzhab-madzhab tersebut. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik yang akhirnya meluas ke permasalahan ajaran dan pemahaman agama Islam. Sehingga dapat kita ketahui sesungguhnya sebab pertentangan itu adalah karena ingin memperebutkan kekuasaan politik yang mengakibatkan banyak jatuh korban. Masalah politik sudah merembet ke permasalahan aqidah atau kepercayaan, sehingga dalam perkemmbangan selanjutnya memunculkan berbagai paham atau madzhab teologi dalam Islam.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah singkat munculnya aliran Asy’ariyah ?
2.      Bagaimana ajaran-ajaran pokok pandangan Asy’ariyah ?
3.      Bagaimana perkembangan dan pengaruh aliran Asy’ariah ?
4.      Bagaiman aliran-aliran Asy’ariah identik dengan aliran Ahlussunnah Wal Jamaah dan ?
II.      PEMBAHASAN
A.    Sejarah Singkat Munculnya Aliran Asy’ariyah
Tasy Kubra Zadah menerangkan: “ ... dan aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari di sekitar tahun 300 H, ia lahir tahun 260 H, dan menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun.” Dengan kata lain Asy’ari keluar meninggalkan golongan Mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri, yakni Asy’ariyah. Sebab Abu Asy’ari meninggalkan pahamnya karena pada suatu malam ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW., mengatakan kepadanya bahwa madzab ahli Haditslah yang benar, dan madzab Mu’tazilah salah. Sebab lain karena perdebatan al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’i yang dalam perdebatan tersebut dimenangkan oleh muridnya.[1]
Setelah al-Asy’ari mengasingkan diri di rumahnya selama lima belas hari untuk merenungkan, kemudian ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basroh bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[2]
B.     Ajaran-ajaran Pokok dan Pandangan Asy’ariyah
Pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yang menjadi i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, antara lain:
1.      Tuhan Mempunyai Sifat
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian juga dengan sifat-sifat lainnya, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
2.      Al-Qur’an bukanlah Makhluk
Sebab, untuk menciptakannya kun  ini perlu kun yang lain, demikian seterusnya, sehingga terdapat rentetan kata kun yang tidak berkesudahan. Ini tidak mungkin, maka Al-Qur’an tidak mungkin diciptakan (makhluk).
3.      Tuhan dapat Dilihat di Akhirat
Dengan alasan, sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang membawa arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini. Sebab, yang dapat dilihat tidak mesti membawa arti bersifat diciptakan. Maka, jika Tuhan dapat dilihat, maka tidak mesti berarti harus bersifat diciptakan.
4.      Perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diciptakan sendiri, tetapi diciptakan Tuhan
Al Asy’ari menggunakan istilah kasb untuk perbutan manusia yang diciptakan Tuhan. Untuk mewujudkan perbuatan yang diciptkan itu, daya yang ada dalam diri manusia tidak mempunyai efek.
5.      Tentang Antropomorphisme
Al-Asy’ari menerima apa yang terdapat dalam nash, seperti Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dsb. Tetapi tidak ditentukan bagaimana (bila, kaifa) , yaitu tidak mempunyai bentuk dan batasan (layukayyaf wa la yuhad).
6.      Keadilan Tuhan
Bagi Al-Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak, dan tidak ada satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat menurut kehendak-Nya, sehingga ajika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam neraka, bukanlah Ia bersifat zalim. Maka al-Asy’ari tidak setuju dengan ajaran mu’tazilah tentang al-wa’du wal wa’idu.
Menolak posisi menengah (al-manzilat bainal manzilatain). Bagi al-Asy’ari, orang yang berdosa tetap mukmin, karena imannya masih ada. Dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi  fasiq. Jika orang yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak kafir, maka didalam dirinya tidak terdapat kufur atau iman. Maka, ia bukan atheis dan bukan pula monotheis. Ini tidak mungkin. Maka tidak mungkin pula, orang yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak kafir.[3]
C.    Perkembangan dan Pengaruh Aliran Asy’ariah
Pemikiran Asl-Asy’ari adalah tali penghubung antara dua aliran dalam pikiran Islam yaitu aliran Textualis dan aliran baru yaitu rasionalis.[4] Mengadakan perpaduan antara kedua aliran itu, pengaruh aliran Asy’ariah lebih cepat berkembang, apalagi Al-Asy’ari telah terlatih oleh Mu’tazilah sendiri dan puluhan tahun bergaul, sehingga tahu benar kelemahan pikiran Mu’tazilah yang tidak/ kurang berpegang pada hadits.
Menurut Ahmad Amin yang menjadi faktor meluasnya pengaruh Al Asy’ari kedalam masyarakat maupun di kalangan ulama besar pada waktu itu ialah:
1.      Masyarakat umum telah bosan dengan banyak masalah-masalah yang diperdebatkan dengan berlarut-larut (tanpa ada kesudahannya) serta ujian-ujian yang mereka saksikan atau dengan mereka dengan secara langsung.
2.      Argumentasi As-Asy’ari di lengkapi dengan dalil-dalil yangn kuat membuat orang tertarik padanya.
3.      Sejak pemerintahan Al-Mutawakil Mu’tazilah tidak lagi sebagai suatu aliran resmi dari negara/ pemerintah.
4.      Partisipasi para ulama yang tinggi kedudukannya dalam masyarakat telah terarahkan kepada Asy’ari dan menjauhkan mereka dari paham Mu’tazilah.
5.      Setelah jatuhnya dinasti Buaihi yang menganut Syi’ah, Asy’ariah yang datang sebagai penggantinya dinasti.
Di samping itu dalam perkembangannya selanjutnya Asy’ari selalu dapat uluran tangan dari penguasa dalam penyiaran ajarannya. Hal ini dapat di lihat dalam sejarah di antara penguasa yang membantu perkembangan Asy’ari ialah kerajaan Shalahuddin Al-Ayyubi di Mesir, Muhammad bin Tumart dengan kerajaan Muwahhidin-nya di Andalusia (Spanyol) dan Afrika Utara Barat, dan Mahmud Ghanawi di India dan Iran.
Ajaran aliran Asy’ariah sempat dipelajari di perguruyan tinggi Islam yang terkenal seperti Universitas Nizamiah dan sekolah tinggi Islam di Baghdad, dan masuk ke Indonesia melalui pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang hampir tersebar di seluruh tanah air, hingga sekarang pengaruh aliran Asy’ariah masih kokoh dan kuat dibidang teologi Islam.
D.    Aliran-Aliran Asy’ariah Identik dengan Aliran Ahlussunnah wal Jamaah
Sebutan Ahlussunnah wal Jamaah dalam sejarah timbul sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazilah, dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajarannya.
Kemauan yang keras dari para pemimpin Mu’tazilah untuk menyiarkan ajarannya secara kekerasan pernah terjadi yaitu suatu peristiwa yang dinamakan “Mihnah” yaitu cara untuk menguji para hakim dan para pemimpin masyarakat, untuk mengetahui siapa yang mengakui Qur’an qadim berarti musyrik, maka tidak berhak menjadi hakim atau pemimpin masyarakat; oleh sebab itu harus dipecat atau dihukum.
Keadaan tersebut hingga menimbulkan kekacauan, sehingga pada waktu al-Mutawakkil menjadi Khalifah, membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai aliran negara tahun 848 M. Sejak itu turunlah pengaruh Mu’tazilah dan menjadi aliran minoritas.
Selanjutnya Mu’tazilah tidak begitu berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan sahabat, tetapi karena ragu akan keorisinilan hadits-hadits yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat di pandang sebagai aliran yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Dengan demikian Mu’tazilah di samping aliran minoritas, juga aliran yang tidak berpegang pada sunnah. Dari sinilah timbulnya sebutan ahli sunnah wal jamaah, yang merupakan mayoritas umat Islam, sebagai lawan aliran Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka sunnah dalam sebutan ini berarti hadits, sebagaimana di terangkan Ahmad Amin. Ahli Sunnah wal Jamaah berlainan dengan Mu’tazilah, karena percaya dan menerima hadits-hadits sahih tanpa memilih.
Sebutan ini yang kelihatan banyak dipakai sesudah timbulnya aliran Asy’ariah dan Maturidi, dua aliran ini yang menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun, sekitar tahun 300 H. keluar dan membentuk teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri.
Maka, bagaimanapun yang dimaksud dengan aliran ini Ahli Sunnah Wal Jamaah di lapangan teologi Islam/Ilmu Kalam adalah aliran Asy’ariah dan Maturidiah.[5]
III.   KESIMPULAN
Madzab Asy’ariah adalah sebuah paham yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Dulunya al-Asy’ari adalah pengikut madzhab Mu’tazilah, tetapi pada perkembangan selanjutnya ia menolak paham-paham orang Mu’tazilah dan memisahkan diri dari pemikiran Mu’tazilah. Asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan rasional dan golongan tektualis, dan ternyata jalan yang diambil al-Asy’ari tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.
IV.   PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA
Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2014. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikirannya
Ahlussunah wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhaimin. 1999. Ilmu Kalam Sejarah dan Aliran-aliran. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo.

Munir, Ghazali. 2010. Ilmu Kalam, Semarang: Rasail.
Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta:
UI-Press.





[1] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), 65-68.
[2] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikirannya Ahlussunah wal Jama’ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 147-148.
[3] Ghazali Munir, Ilmu Kalam, (Semarang: Rasail, 2010), hlm.65-66.
[4] Aliran Textualis atau di sebut al-Hasywiah, hanya berpegang pada bukti lahir nash agama saja. Sedangkan aliran Rasionalis (Mu’tazilah- red), dengan cara menggunakan akal.
[5] Muhaimin, Ilmu Kalam Sejarah dan Aliran–aliran, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999), hlm. 131-136.

Tidak ada komentar: