IBNU RUSYD
Abu al-Walid
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad Rusyd yang dilahirkan di Cordova, Andalus
pada tahun 510H/1126M. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri
pada tahun 565H/1169M diangkat pula menjadi hakim di Sevilla dan Cordova.
Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia
dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi di Cordova.
Ibnu Rusyd
tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar pada ilmu pengetahuan, hal ini
merupakan salah satu factor yang ikut melapangkan jalan baginya menjadi
ilmuwan. Factor lain adalah karena ketajaman berpikir dan kejeniusan otaknya. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya
intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi sarjana yang menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu hukum, filsafat, kedokteran, astronomi,
sastra Arab, dan yang lainnya.
Kesibukan Ibnu
Rusyd sebagai pejabat Negara, ketua Mahkamah Agung, guru besar, dan dokter
istana, tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan
karya-karya ilmiah dalam beberapa ilmu pengetahuan. Karya-karyanya tersebut
menjadi rujukan pada setiap bidangnya oleh para ahli, hal ini mengindikasikan
keluasan wawasan dan kedalaman ilmunya.
Telah ditemukan
bahwa Ibnu Rusyd seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya
tulisnya adalah gaya penulisan yang mencakup komentar,koreksi, dan opini
sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekedar dskripsi belaka. Namun sangat
disayangkan karangannya sulit diteemukan dan sekiraya ada yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi), bukan dalam bahasa
Arab. Ini semua akibat tragedy nista yang menimpa dirinya ketika dia diadili
dan dibuang ke Lucena di mana buku-bukunya yang mengandung filsafat
dimusnahkan. Tragedy kedua yang lebih
fatal di saat jatuhnya Andalusia ke tangan Ferdinan II dan Isabella. Jendral
Ximenes yang fanatic dengan kemenangan Kristen membakar habis buku-buku yang
berbau Arab dan sudah tentu buku-buku Ibnu Rusyd ikut di dalamnya.[1]
Sampai saat
ini, karya tulis Ibnu Rusy yang masih dapat kita temukan adalah sebagai
berikut.[2]
1.
Fash al- Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, yang berisi korelasi antara agama dan filsafat.
2.
Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi’Aqa’id al-Millat, kritik terhadap metoe para ahli ilmu dan sufi.
3.
Tahafut al-Tahafut, yaitu
kritikan terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
4.
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, yaitu berisi uraian-uraian di bidang Fiqh.
Kritik Ibnu
Rusyd terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Ibnu Rusyd
menolak secara tegas emanasionisme yang dikemukakan para filosof muslim sebelumnya.
Dalam kritikannya ia mengemukakan beberapa kelemahan, kesulitan, dan
pertentangan yang terdapat dalam Neoplatoinisme sebagai berikut.
Pertama, bahwa
dari Fa’il al-Awwal (pencipta pertama) hanya memancar satu, bertentangan
dengan pedapatnya sendiri, bahwa yang memancar dari yang satu pertama terdapat
padanya yang banyak. Pendapat ini dapat
diterima, kata Ibnu Rusyd, kalau saja dikatakannya bahwa yang banyak terdapat
pada akibat pertama dan masing-masing dari yang banyak itu tidak mungkin karena
akan memaksanya untuk mengatakan bahwa yang pertama itu adalah yang banyak.
Kedua, akibat
kurang ketelitian ini al-Farabi dan Ibnu
Sina, maka pendapat ini telah diikuti banyak orang, kemudian mereka menisbatkan
pada para filosof, dalam hal ini Aristoteles, padahal mereka tidak berpendapat
demikian. Dikatakan Ibnu Rusyd bahwa pendapat ini adalah khayalan dan keyakinan
yang jauh lebih lemah daripada keyakinan teolog Muslim, dan ia tidak sejalan
dengan prinsip-prinsip para filosof
Muslim, bahkan tidak member kepuasan pada kaum awam seklaipun. Oleh
sebab itu, pendapat yang paling tepat bahwa pada al-ma’lul (penyebab
pertama) terdapat yang banyak dan yang banyak mesti satu. Dengan demikian,
keesaan itu menghendaki bahwa yang banyak kembali pada yang satu yaitu Allah.
Ketiga,menurut
Ibnu Rusyd prinsip-prinsip al- mabadi yang memancar dari prinsip yang lain sebagai dikemukakan,
merupakan sesuai yang tidak dikenal oleh filosof-filosof terdahulu. Karena yang
mereka maksud bahwa prinsip-prinsip itu mempunyai maqamat terentu dari prinsip yang
pertama, di mana wujud prinsip-prinsip itu tidak sempurna tanpa maqam tersebut.
Korelasi antara prinsip-pinsip ini menghendaki adanya akibat mu’lulat
sesamanya, dari prinsip yang pertama. Dengan demikian, yang dimaksud fa’il,
maf’ul, dan makhluq berada dalam pengertian di atas, sebagaimana adanya
hubungan setiap maujud dengan yang Satu.
Setelah Ibnu Rusyd mengkriitik paham emanasi yang diajukan para
filosof muslim, kemudian ia mempertanyakan bagaimana cara menjelaskan adanya
alam dariAllah. Dalam menjawab pertanyaan ini, para filosof, kata Ibnu Rusyd
berbeda pendapat diantaranya bahwa yang banyak itu sumbernya adalah al-hayula
atau al-isti’adat (materi pertama); pendapat kedua, yang banyak itu
bersumber dari al-alat, sedangkan pendapat ketiga yang banyak itu
bersumber dari al-mutawassithat (mediator).
Ibnu Rusyd
dalam usahanya menghindari penciptanya secara emanasi mengajukan pendapat bahwa
yang banyak itu timbul dari ketiga
himpunan sebab yang dikemukakan para filosof Muslim di atas, yaitu al-alat,
al-isti’adat, dan al-mutawassithat. Ketiga himpunan sebab di atas
bernaung pada yang satu dan kembali pada
yang satu karena keberadaannya masing-masingdalam kesatuan yang murni merupakan
sebab daro yang banyak.
Untun mendukung
argument di atas, Ibnu Rsyd lebih jauh mengemukakan dalil ikhtira’ (penciptaan).
Dalil ini di dasarkan pada fenomena penciptaan segala makhluk, seperti
kehidupan pada benda mati dan benda hidup. Ketika mengamati benda mati lalu
terjadi kehhidupan padanya sehingga kita yakin adanya Allah yang menciptakan.
Karena iitu, siapa saja yang hendak mengetahuai Allah dengan sebenarnya, maka
wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di ala mini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakikim pada
semua realita in.
Menurut Ibnu
Rusyd ala mini diciptakan dari sesuatu yang sudah ada, yaitu dari al- ma’
dan al-dukhan dan dari materi inilah
alam diciptakan. Penciptaan alam menurut Ibnu Rusyd berlangsung terus-menerus sejak zaman azali.
Jadi penciptaan dalam filsafat IbnuRusyd tdak bermakna ibda’, yang
konotasinya adalah penciptaan dari tiada, tetapi penciptaan itu mengandug arti
ijad yang berkonotasi pada penciptaan dari suatu yang sudah ada sejak zaman
azali. Karena alam menurut Ibnu Rusyd senantiasa berada dalam proses
pembentukan wujud secara terus-menerus semenjak
zaman tak bermula.[3]
Pengaruh
Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
Ibnu Rusyd
merupakan satu-satunya filosofis muslim
yang paling besar pengaruhnya ke Barat. Pokok pikiran Ibnu Rusyd yang
paling istimewa adalah merekonsiliasi antara agama dan akal. Menurutnya antar
fisafat dan agama tidak bertentangan, karena kebenaran tidaklah berlawanan
dengan kebenaran tetapi saling memperkuat.
Selanjutnya,
Ibnu Rusyd mengungkapkan apabila penelitian akal menghasilkan pengetahuan
tentang suatu, akan terjadi dua alternative: sesuatu itu tidak disebut oleh
agama atau sesuatu itu disebutkan oleh agama. Jika seesuatu itu tidak
disebutkan oleh agama, tidaka ada persoalan, dengan arti sesuatu yang
dihasilkan itu dapat dijadikan pegangan. Hal ini sama kedudukannya dengan hukum
yang tidak disebutkan dalam syara’ sehingga ahli fiqh Burhaniyah,
golongan yang hanya berpegang pada argument demonstrative, yaitu argument yang
ditopangi oleh proposisi yang bersifat aksiomatis. Jadaliyyat,
golongan yang berpegang pada argument yang bersifat dialektif, yaitu argument yang rupanya mirip
dengan argument demonstrative, namun dibangun atas dasar yang bersifat zany.
Khitabiyyat, golongan yang berpegang pada argument yang bersifat
retorik, yakni argument yang lebih banyak berdasarkan emosi ketimbangan
akal.
Ibnu Rusyd
menyatakan bahwa ahl burhaniyyat ini harus mengambil makna batin. Jika
tidak berarati golongan ini dicap kafir kareena aka nada nash agama yang tidak
masuk akal dan akan mereka tolak. Begitu pula hasil penakwilan ini harus
dirahasiakan dan tidak boleh jatuh pada golongan jadaliyyat dan khitabiyyat
karena merekabnu tidak akan mampu
memahaminyadan akan merusak keyakinan keagamaan mereka dan akan membawa pada
kekafiran.
Ibnu Rusyd
menekankan bahwa penakwilan yang bersifat akli ini termasuk kategori ijtihad.
Maka, kesalahan yang mungkin terjadi pada yang bersangkutan tidaka kan
menyebabkan melanggar ajaran agama, bahkan kesalahannya dimaafkan. Adapun
kesalahan yang diperbuat oleh orang-orang yang tidak memillik otoritas di
bidangnya, yaitu selain golongan burhaniyyat, kesalahan itu jatuh pada
dosa dan kafir.
Dalam buku Tahafut
al-Tahafut, Ibnu Rsyd menegaskan bahwa orang yang terang-terangan tidak menerima salah satu
prinsip dasar ajaran Islam; adanya Tuhan, adanya Rasul, dan adanya pembangkitan
di akhirat seyogyanya dihukumi kafir. Pernyataan ini meengindikasikan bahwa ia
tidak pernah meninggalkan wahyu. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menegaskan bahwa
setiap nabi adalah filosof, tetapi tidak semua filosof adalah nabi, filosof
adalah pewaris nabi. Poosisi filosof peeewaris nabi dapat di artikan bahwa ia
harus mengikuti ketentuan yang sudah digariskan nabi.
Ibnu Rusyd
tidak mengutamakan akal dari wahyu, tetapi ia mewariskan kepada kita pemikir
rasional yang sesuai dengan sinyal yang dipantulkan al-Qur’an. Pemikiran
keagamaan mencerminkan bahwa Islam adalah agama rasional sehingga ajarannya
dapat menjadi actual sepanjang masa. Untuk itu, agama mesti berdasarkan akal
dan wahyu. Jika ada agama yang berdasarkan akal semata atau agama yang
diciptakan akal, tentu saja nilainya lebih rendah daripada agama yang
berdasarkan wahyu dan akal. Ibnu Rusyd memang seorang filosof muslim yang
rasional, dalam arti mempercayai kekuatan akal dan menjadikanya sebagai alat
untuk mencapai kebenaran disamping wahyu, namun bukan berarti kebebasan liar.
Hal ini sekaligus menandai supremasi Ibnu Rusyd di bidang filsafat sehingga
pemikirannya berkembang luas ke Eropa, yang mencerminkan ekspresi dari revolusi
akal dalam dunia filsafat.
Pemikiran Ibnu
Rusyd tidaka ada satu pun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits.
Kenyataannya, ia dalah seorang muslim yang sangat religious sebagai bukti konkrit, ia menulis buku bidang fiqh
yaitu bidayat al-mujtahid dan menduduki jabatan Mahkamah Agung.
Pemikiran Ibnu
Rusyd merembes ke Eropa melalui berbagai penrjemahan dan penerbitan.
Penerjemahan dilakukan oleh murid-muridnya yang dating dari berbagai pelosok
Eropa dan oleh orang-orang Yahudi, dan murid-muridnya dari Eropa yang belajar
ke Spanyol. Mereka ini dikenala dengan nama Avverroisme. Sebelum Avverroisme
muncul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan, berpikir sempit dan tidak ada menghargai akal. Bagi mereka di
kala itu, satu-satunya sumber kebenaran adalah agama Kristen sehingga apa-apa
yang tidak sesuai dengan aturan Kristen dianggap salah. Akan tetapai setelah
ajaran Avverroisme berkembang, Eropa mulai menghargaia akal.
Averroisme ini
namanya dibangsakan oleh filosof Muslim, Ibnu Rusyd, namun ajaran keduanya
terdapat perbedaan mendasar. Hal ini disebabkan oleh latar belakang agama yang
berbeda. Ibnu Rusyd dilatar belakangi oleh ajaran Islam yang rasionala dan
dinamis. Di dalam Islam ajaran yang bersifat dogmatis (qat’i ad-dalalah)
amat sedikit jumlahnya. Adapun yang terbanyak adalah ajaran agama Islam yang
bersifat zhanni al-dalalah. Ia datang dalam bentuk prinsip-prinsip
pokok, karena itu untuk mengoperasionalkannya diserahkan pada otak manusia yang
setempat dimana ia hidup. Oleh sebab itu, ajaran Islam selalu cocok dengan
tempat dan zaman dan juga serasi dengan kedinamikaan manusia.
Berbeda dengan
Islam, agama Kristen semua ajarannya
bersifat dogmatis sehingga tidak bisa didamaikan dengan filsafat. Atas dasar
inilah ketika Averroisme mengembangkan pemikiran rasional Ibnu Rusyd di Eropa, yang antara
agam dan filsafat dapat direkonsiliasikan, mendapat kesulitan. Pemikiran
filsafat yang dikembangkan oleh Ibnu Rusyd dalam Islam adalah satu kebenaran.
Kebenaran yang dibawa filsafat. Jika dirasa ada pertentangan , diambil arti
takwil. Dengan demikian, kebenaran ganda, kebenaran yang dibawa agama dan
filsafat itu benar.[4]
Disusun oleh: Muhammad Ubaidillah, Faelasufa Maulida, dan Nurrotun Nangimah
Editor: Tomy Muhlisin Ahmad
DAFTAR PUSTAKA
Maftukhin.
2012. Filsafat Islam. Tulungagung:Teras
Soleh,A.Khudori.2004.Epistimologi
Ibnu Rusyd.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zar,Sirajuddin.2014.Filsafat
Islam.Jakarta: Grafido Persada.
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta:Grafido Persada,
2014), hlm. 228-229.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,…. Hlm.231
[3] Maftukhin, Filsafat Islam, (Tulungagung: Teras, 2012), hlm.
192.
[4] A.Khudori
Soleh, Epistimologi Ibnu Rusyd, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004),hlm.
108-111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar