Ayo Sinau...!!!

Sabtu, 21 Mei 2016

Artikel al-Qur’an dan IPTEK: Ibnu Rusyd

IBNU RUSYD




Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad Rusyd yang dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510H/1126M. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565H/1169M diangkat pula menjadi hakim di Sevilla dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi di Cordova.
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar pada ilmu pengetahuan, hal ini merupakan salah satu factor yang ikut melapangkan jalan baginya menjadi ilmuwan. Factor lain adalah karena ketajaman berpikir dan kejeniusan otaknya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra Arab, dan yang lainnya.
Kesibukan Ibnu Rusyd sebagai pejabat Negara, ketua Mahkamah Agung, guru besar, dan dokter istana, tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa ilmu pengetahuan. Karya-karyanya tersebut menjadi rujukan pada setiap bidangnya oleh para ahli, hal ini mengindikasikan keluasan wawasan dan kedalaman ilmunya.
Telah ditemukan bahwa Ibnu Rusyd seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya tulisnya adalah gaya penulisan yang mencakup komentar,koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekedar dskripsi belaka. Namun sangat disayangkan karangannya sulit diteemukan dan sekiraya ada yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi), bukan dalam bahasa Arab. Ini semua akibat tragedy nista yang menimpa dirinya ketika dia diadili dan dibuang ke Lucena di mana buku-bukunya yang mengandung filsafat dimusnahkan. Tragedy kedua yang  lebih fatal di saat jatuhnya Andalusia ke tangan Ferdinan II dan Isabella. Jendral Ximenes yang fanatic dengan kemenangan Kristen membakar habis buku-buku yang berbau Arab dan sudah tentu buku-buku Ibnu Rusyd ikut di dalamnya.[1]
Sampai saat ini, karya tulis Ibnu Rusy yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut.[2]
1.      Fash al- Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, yang berisi korelasi antara agama dan filsafat.
2.      Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi’Aqa’id al-Millat, kritik terhadap metoe para ahli ilmu dan sufi.
3.      Tahafut al-Tahafut, yaitu kritikan terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
4.      Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, yaitu berisi uraian-uraian di bidang Fiqh.
Kritik Ibnu Rusyd terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Ibnu Rusyd menolak secara tegas emanasionisme yang dikemukakan para filosof muslim sebelumnya. Dalam kritikannya ia mengemukakan beberapa kelemahan, kesulitan, dan pertentangan yang terdapat dalam Neoplatoinisme sebagai berikut.
Pertama, bahwa dari Fa’il al-Awwal (pencipta pertama) hanya memancar satu, bertentangan dengan pedapatnya sendiri, bahwa yang memancar dari yang satu pertama terdapat padanya yang banyak. Pendapat ini  dapat diterima, kata Ibnu Rusyd, kalau saja dikatakannya bahwa yang banyak terdapat pada akibat pertama dan masing-masing dari yang banyak itu tidak mungkin karena akan memaksanya untuk mengatakan bahwa yang pertama itu adalah yang banyak.
Kedua, akibat kurang ketelitian ini  al-Farabi dan Ibnu Sina, maka pendapat ini telah diikuti banyak orang, kemudian mereka menisbatkan pada para filosof, dalam hal ini Aristoteles, padahal mereka tidak berpendapat demikian. Dikatakan Ibnu Rusyd bahwa pendapat ini adalah khayalan dan keyakinan yang jauh lebih lemah daripada keyakinan teolog Muslim, dan ia tidak sejalan dengan prinsip-prinsip para filosof  Muslim, bahkan tidak member kepuasan pada kaum awam seklaipun. Oleh sebab itu, pendapat yang paling tepat bahwa pada al-ma’lul (penyebab pertama) terdapat yang banyak dan yang banyak mesti satu. Dengan demikian, keesaan itu menghendaki bahwa yang banyak kembali pada yang satu yaitu Allah.
Ketiga,menurut Ibnu Rusyd prinsip-prinsip al- mabadi yang memancar dari  prinsip yang lain sebagai dikemukakan, merupakan sesuai yang tidak dikenal oleh filosof-filosof terdahulu. Karena yang mereka maksud bahwa prinsip-prinsip itu mempunyai maqamat terentu dari prinsip yang pertama, di mana wujud prinsip-prinsip itu tidak sempurna tanpa maqam tersebut. Korelasi antara  prinsip-pinsip ini  menghendaki adanya akibat mu’lulat sesamanya, dari prinsip yang pertama. Dengan demikian, yang dimaksud fa’il, maf’ul, dan makhluq berada dalam pengertian di atas, sebagaimana adanya hubungan  setiap maujud dengan yang Satu.
 Setelah Ibnu Rusyd  mengkriitik paham emanasi yang diajukan para filosof muslim, kemudian ia mempertanyakan bagaimana cara menjelaskan adanya alam dariAllah. Dalam menjawab pertanyaan ini, para filosof, kata Ibnu Rusyd berbeda pendapat diantaranya bahwa yang banyak itu sumbernya adalah al-hayula atau al-isti’adat (materi pertama); pendapat kedua, yang banyak itu bersumber dari al-alat, sedangkan pendapat ketiga yang banyak itu bersumber dari al-mutawassithat (mediator).
Ibnu Rusyd dalam usahanya menghindari penciptanya secara emanasi mengajukan pendapat bahwa yang banyak itu timbul dari  ketiga himpunan sebab yang dikemukakan para filosof Muslim di atas, yaitu al-alat, al-isti’adat, dan al-mutawassithat. Ketiga himpunan sebab di atas bernaung  pada yang satu dan kembali pada yang satu karena keberadaannya masing-masingdalam kesatuan yang murni merupakan sebab daro yang banyak.
Untun mendukung argument di atas, Ibnu Rsyd lebih jauh mengemukakan dalil ikhtira’ (penciptaan). Dalil ini di dasarkan pada fenomena penciptaan segala makhluk, seperti kehidupan pada benda mati dan benda hidup. Ketika mengamati benda mati lalu terjadi kehhidupan padanya sehingga kita yakin adanya Allah yang menciptakan. Karena iitu, siapa saja yang hendak mengetahuai Allah dengan sebenarnya, maka wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di ala mini agar  ia dapat mengetahui ciptaan hakikim pada semua realita in.
Menurut Ibnu Rusyd ala mini diciptakan dari sesuatu yang sudah ada, yaitu dari al- ma’ dan al-dukhan  dan dari materi inilah alam diciptakan. Penciptaan alam menurut Ibnu Rusyd  berlangsung terus-menerus sejak zaman azali. Jadi penciptaan dalam filsafat IbnuRusyd tdak bermakna ibda’, yang konotasinya adalah penciptaan dari tiada, tetapi penciptaan itu mengandug arti ijad yang berkonotasi pada penciptaan dari suatu yang sudah ada sejak zaman azali. Karena alam menurut Ibnu Rusyd senantiasa berada dalam proses pembentukan wujud secara terus-menerus semenjak  zaman tak bermula.[3]

Pengaruh Pemikiran Ibnu  Rusyd di Eropa
Ibnu Rusyd merupakan satu-satunya filosofis muslim  yang paling besar pengaruhnya ke Barat. Pokok pikiran Ibnu Rusyd yang paling istimewa adalah merekonsiliasi antara agama dan akal. Menurutnya antar fisafat dan agama tidak bertentangan, karena kebenaran tidaklah berlawanan dengan kebenaran tetapi saling memperkuat.
Selanjutnya, Ibnu Rusyd mengungkapkan apabila penelitian akal menghasilkan pengetahuan tentang suatu, akan terjadi dua alternative: sesuatu itu tidak disebut oleh agama atau sesuatu itu disebutkan oleh agama. Jika seesuatu itu tidak disebutkan oleh agama, tidaka ada persoalan, dengan arti sesuatu yang dihasilkan itu dapat dijadikan pegangan. Hal ini sama kedudukannya dengan hukum yang tidak disebutkan dalam syara’ sehingga ahli fiqh Burhaniyah, golongan yang hanya berpegang pada argument demonstrative, yaitu argument yang ditopangi oleh proposisi yang bersifat aksiomatis. Jadaliyyat, golongan yang berpegang pada argument yang bersifat  dialektif, yaitu argument yang rupanya mirip dengan argument demonstrative, namun dibangun atas dasar yang bersifat zany. Khitabiyyat, golongan yang berpegang pada argument yang bersifat retorik, yakni argument yang lebih banyak berdasarkan emosi ketimbangan akal.
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa ahl burhaniyyat ini harus mengambil makna batin. Jika tidak berarati golongan ini dicap kafir kareena aka nada nash agama yang tidak masuk akal dan akan mereka tolak. Begitu pula hasil penakwilan ini harus dirahasiakan dan tidak boleh jatuh pada golongan jadaliyyat dan khitabiyyat karena merekabnu  tidak akan mampu memahaminyadan akan merusak keyakinan keagamaan mereka dan akan membawa pada kekafiran.
Ibnu Rusyd menekankan bahwa penakwilan yang bersifat akli ini termasuk kategori ijtihad. Maka, kesalahan yang mungkin terjadi pada yang bersangkutan tidaka kan menyebabkan melanggar ajaran agama, bahkan kesalahannya dimaafkan. Adapun kesalahan yang diperbuat oleh orang-orang yang tidak memillik otoritas di bidangnya, yaitu selain golongan burhaniyyat, kesalahan itu jatuh pada dosa dan kafir.
Dalam buku Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rsyd menegaskan bahwa orang yang  terang-terangan tidak menerima salah satu prinsip dasar ajaran Islam; adanya Tuhan, adanya Rasul, dan adanya pembangkitan di akhirat seyogyanya dihukumi kafir. Pernyataan ini meengindikasikan bahwa ia tidak pernah meninggalkan wahyu. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menegaskan bahwa setiap nabi adalah filosof, tetapi tidak semua filosof adalah nabi, filosof adalah pewaris nabi. Poosisi filosof peeewaris nabi dapat di artikan bahwa ia harus mengikuti ketentuan yang sudah digariskan nabi.
Ibnu Rusyd tidak mengutamakan akal dari wahyu, tetapi ia mewariskan kepada kita pemikir rasional yang sesuai dengan sinyal yang dipantulkan al-Qur’an. Pemikiran keagamaan mencerminkan bahwa Islam adalah agama rasional sehingga ajarannya dapat menjadi actual sepanjang masa. Untuk itu, agama mesti berdasarkan akal dan wahyu. Jika ada agama yang berdasarkan akal semata atau agama yang diciptakan akal, tentu saja nilainya lebih rendah daripada agama yang berdasarkan wahyu dan akal. Ibnu Rusyd memang seorang filosof muslim yang rasional, dalam arti mempercayai kekuatan akal dan menjadikanya sebagai alat untuk mencapai kebenaran disamping wahyu, namun bukan berarti kebebasan liar. Hal ini sekaligus menandai supremasi Ibnu Rusyd di bidang filsafat sehingga pemikirannya berkembang luas ke Eropa, yang mencerminkan ekspresi dari revolusi akal dalam dunia filsafat.
Pemikiran Ibnu Rusyd tidaka ada satu pun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Kenyataannya, ia dalah seorang muslim yang sangat religious sebagai  bukti konkrit, ia menulis buku bidang fiqh yaitu bidayat al-mujtahid dan menduduki jabatan Mahkamah Agung.
Pemikiran Ibnu Rusyd merembes ke Eropa melalui berbagai penrjemahan dan penerbitan. Penerjemahan dilakukan oleh murid-muridnya yang dating dari berbagai pelosok Eropa dan oleh orang-orang Yahudi, dan murid-muridnya dari Eropa yang belajar ke Spanyol. Mereka ini dikenala dengan nama Avverroisme. Sebelum Avverroisme muncul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan, berpikir sempit  dan tidak ada menghargai akal. Bagi mereka di kala itu, satu-satunya sumber kebenaran adalah agama Kristen sehingga apa-apa yang tidak sesuai dengan aturan Kristen dianggap salah. Akan tetapai setelah ajaran Avverroisme berkembang, Eropa mulai menghargaia akal.
Averroisme ini namanya dibangsakan oleh filosof Muslim, Ibnu Rusyd, namun ajaran keduanya terdapat perbedaan mendasar. Hal ini disebabkan oleh latar belakang agama yang berbeda. Ibnu Rusyd dilatar belakangi oleh ajaran Islam yang rasionala dan dinamis. Di dalam Islam ajaran yang bersifat dogmatis (qat’i ad-dalalah) amat sedikit jumlahnya. Adapun yang terbanyak adalah ajaran agama Islam yang bersifat zhanni al-dalalah. Ia datang dalam bentuk prinsip-prinsip pokok, karena itu untuk mengoperasionalkannya diserahkan pada otak manusia yang setempat dimana ia hidup. Oleh sebab itu, ajaran Islam selalu cocok dengan tempat dan zaman dan juga serasi dengan kedinamikaan manusia.
Berbeda dengan Islam, agama Kristen  semua ajarannya bersifat dogmatis sehingga tidak bisa didamaikan dengan filsafat. Atas dasar inilah ketika Averroisme mengembangkan pemikiran  rasional Ibnu Rusyd di Eropa, yang antara agam dan filsafat dapat direkonsiliasikan, mendapat kesulitan. Pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh Ibnu Rusyd dalam Islam adalah satu kebenaran. Kebenaran yang dibawa filsafat. Jika dirasa ada pertentangan , diambil arti takwil. Dengan demikian, kebenaran ganda, kebenaran yang dibawa agama dan filsafat itu benar.[4]

Disusun oleh: Muhammad UbaidillahFaelasufa Maulida, dan Nurrotun Nangimah
Editor: Tomy Muhlisin Ahmad



DAFTAR  PUSTAKA
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Tulungagung:Teras
Soleh,A.Khudori.2004.Epistimologi Ibnu Rusyd.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zar,Sirajuddin.2014.Filsafat Islam.Jakarta: Grafido Persada.



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta:Grafido Persada, 2014), hlm. 228-229.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,…. Hlm.231
[3] Maftukhin, Filsafat Islam, (Tulungagung: Teras, 2012), hlm. 192.
[4] A.Khudori Soleh, Epistimologi Ibnu Rusyd, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004),hlm. 108-111.

Tidak ada komentar: