BERWIRAUSAHA
Oleh :
Tomy Muhlisin Ahmad, Ulyatul Himmah,Ida Faridah,& Sri Wulan Ramadhani
Dosen
Pengampu: Prof. DR. H. M. Erfan Soebahar,
M. Ag.
I.
PENDAHULUAN
A.
Kata
Pengantar
Hadits
riwayat Ibnu Asakir, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup untuk
selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”. Ungkapan yang dalam dari nabi SAW. dengan
sarat akan maknanya. Beliau mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja semaksimal
mungkin dalam urusan duniawi maupun ukhrawi.
Islam sejak 1400 tahun yang lalu, sudah mengajarkan kepda umatnya untuk
berwirausaha, sebagaimana yang nabi SAW. sabdakan bahwa untuk menjadikan
seseorang menjadi kaya dengan jalan berwirausaha, karena sembilan dari sepuluh
kekayaan dengan cara berdagang atau berwirausaha.
Berwirausaha kembali pada tujuan utamanya, yaitu sebagai seorang muslim,
tujuan utamanya adalah ridhallah,
bukan hanya dunia yang digulati saja tetapi akhirat juga. Maka disini berlaku
hadits nabi SAW.;“Tangan di atas lebih mulia dari tangan yang di bawah”, maksudnya
seseorang memberi atau bersedekah apapun, itu lebih baik daripada yang diberi.
Konteks ini, “tangan di bawah” itu tidak memperlihatkan adanya suatu usaha
untuk kemakmuran dirinya, sedangkan “tangan di atas” menggambarkan orang
tersebut ada sebuah usaha untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Titik hidupnya terletak pada seorang pengusaha (entrepreneur) yang merupakan urat nadi perekonomian. Perannya yang
sangat besar dalam memajukan dan mengembangkan dunia. Namun sangat disayangkan,
tidak sedikit kaum Muslim mengabaikan aktivitas muamalah yang
diperintahkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Mereka tidak memperhatikan dakwah
Islam yang bijaksana untuk menuju kehidupan bahagia yang sesuai dengan aturan
sistem ekonomi Rabbani;
sistem ekonomi yang tunggal dalam syari’atnya, bijaksana di dalam asasnya, dan
lurus di dalam penerapannya.
Meskipun demikian, harapan tetap ada untuk mengembalikan umat pada posisi
yang dicintai Allah, yaitu umat yang mempergunakan karunia untuk ketaatan
kepada Allah SWT. Memakmurkan negeri dengan sebaik-baiknya, dan mensyukuri
limpahan di setiap nikmat yang telah berikanNya.
Atas landasan inilah kami menulis makalah ini, sebagai upaya untuk
berpartisipasi memberikan pemahaman tentang berwirausaha yang baik menurut apa
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW., agar setiap Muslim dapat memperoleh
sebaik-baik kehidupan dunia maupun di akhirat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa saja hadits yang berkaitan dengan berwirausaha ?
2. Apa pengertian kewirausahaan dan manfaat belajar kewirausahaan bagi mahasiswa ?
3. Bagaimana prinsip dan ketentuan berwirausaha
menurut Islam ?
4. Bagaimana sifat-sifat dasar kewirausahaan yang dicintai Allah SWT. ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Hadits
yang Berkaitan dengan Berwirausaha
1.
Hadits tentang Kecintaan Allah
terhadap Orang yang Berkarya
عَنْ
عَاصِمْ بْنِ عُبَيْدِ الله عَنْ سَالِمْ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ للهِ
صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ
(أخرجه البيهقى).
“Dari ‘Ashim
Ibn ‘Ubaidillah dari Salim dari ayahnya, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda: “Sesungguhnya
Allah menykai orang mukmin yang berkarya.”(HR. Al-Baihaqy).[1]
2.
Hadits tentang Keseimbangan Hidup di
Dunia dan di Akhirat
عَنْ
أَنَسَ بْنِ مَلِكٍ قَالَ ، قَالَ رَسُلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لآخِرَتِهِ وَلا آخِرَتُهُ لِدُنْيَاهُ
حَتىَّ يُصِيْبُ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَ بَلاغٌ إِلَى الآخِرَةِ
وَلاَتَكُوْنُوْا كلاَّ عَلَى النَّاس ( رواه الديلمي وابن عساكر
).
“Dari Anas bin Malik ia berkata,
Rasulullah SAW. bersabda: bukankah orang yang paling baik di antara kamu orang
yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan
akhirat untuk mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya
kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi
beban orang lain. (HR. Ad-Dailamy dan Ibnu Asakir).
3.
Hadits tentang nabi Daud AS. Makan
dari Usahanya Sendiri
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ
مَعْدِيَكْرِبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ
قَالَ : مَا أَكَلَ اَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِيَّ الله دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَم كَانَ يَأْكُلُ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ. (رواه البخارى ).
“Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib RA. :
Nabi SAW. bersabda, “tidak ada makanan yang lebih baik dari seseorang kecuali
makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud
AS. makan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR. Al-Bukhori).[2]
Penjelasan
Hadits Berwirausaha
Isi kandungan hadits pertama menjelaskan bahwa Allah SWT. lebih mencintai
hamba-hambanya yang mukmin untuk berkarya atau bekerja keras. Seseorang yang
berwirausaha mempunyai jiwa untuk berkarya dan biasanya mereka mempunyai
karakter wirausahawan yang melekat pada dirinya, seperti proaktif, produktif,
pemberdaya[3],
dermawan, kreatif, inovatif, rendah hati, dan sifat baik lainnya.[4]
Bekerja keras bernilai ibadah dan mendapat pahala apabila dilakukan dengan
ikhlas sesuai dengan tuntutan dan tidak bertentangan dengan ketentuan syari’ah.
Islam memposisikan bekerja sebagai kewajiban kedua setelah shalat. Semua yang
kita lakukan dalam berwirausaha akan dipertanggungjawabkan dalam pengadilan
Allah di hari kiamat nanti. Baik cara mendapatkannya, mengumpulkannya, sumber
kehalalannya, serta pemanfaatan harta yang dikumpulkan.
Bekerja keras dengan etos kerja Islami maksudnya bekerja yang didasari
budaya kerja Islami yang bertumpu pada akhlakul karimah. Ciri orang yang
bekerja dengan etos kerja Islami nampak pada sikap dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari
seperti, leadership, menghargai
waktu, ikhlas, jujur, berkomitmen, istiqomah, konsekuen, disiplin, percaya
diri, kreatif, bertanggung jawab, berjiwa wirausaha, dan sebagainya.
Hadits yang kedua, berkaitan dengan keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.
Kehidupan yang baik ialah kehidupan seseorang yang mampu menyeimbangkan
kehidupan dunia dan akhiratnya dengan menyadari bahwa kehidupan di dunia tidak
abadi, dan bekal hidup di akhirat hanyalah amal shaleh yang dikerjakan selama
hidup di dunia, seperti yang dikatakan orang Jawa; “Urip iku mung mampir ngobe”. Umat Islam dilarang untuk menjadi
beban orang lain, maka dianjurkan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dengan kemampuannya sendiri, sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Ibnu Asakir, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup untuk
selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”.[5]
Hadits ketiga berisi anjuran makan dari hasil usaha sendiri.
Rasulullah SAW.. menganjurkan umatnya supaya berusaha memenuhi hajat hidup
dengan jalan apapun menurut kemampuan asal jalan yang ditempuh itu halal.
Penjelasan hadits di atas bahwasanya nabi Daud AS. di samping sebagai Nabi dan
Rasul, juga seorang raja. Diceritakan dalam hadits nabi SAW., bahwa apa yang
dimakan oleh nabi Daud AS. adalah jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang
menghasilkan sesuatu sehingga dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya
sehari-hari.[6]
B.
Pengertian Wirausaha
Wirausaha/wiraswasta, secara etimologis (bahasa) terdiri dari tiga kata
yaitu wira, swa, dan sta. Wira berarti perwira, utama, teladan,
berani; swa berarti sendiri, dan sta berarti berdiri. Jadi wiraswasta
keberanian berdiri sendiri di atas kaki sendiri.[7]
Secara luas pengertian wirausaha (wiraswasta) adalah orang yang berani membuka
lapangan pekerjaan dengan kekuatan sendiri yang pada gilirannya tidak saja
menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga menguntungkan masyarakat, karena
dapat menyerap tenaga kerja yang memerlukan pekerjaan.[8]
Menurut istilah wirausaha berasal
dari bahasa Perancis entrepreneur yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan arti between taker atau go-between untuk mengejar
dan memanfaatkan peluang dengan menciptakan suatu organisasi. Menurut Drucker
(1996) wirausaha adalah usaha untuk mencari perubahan, menaggapi, dan
memanfaatkannya sebagai peluang. Di sini wirausaha dipahami sebagai pribadi
yang mencintai perubahan karena dalam perubahan tersebut peluang selalu ada.
Kewirausahaan adalah suatu gejala perilaku yang bersumber dari konsep atau
teori, bukan kepribadian yang bersumber dari intuisi. Menurut Geoffrey G.
Mendith, kewirausahaan merupakan gambaran dari orang yang memiliki kemampuan
melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang
dibutuhkan untuk mengambil keuntungan dari padanya, serta mengambil tindakan
yang tepat guna memastikan kesuksesan.[9]
Pendapat yang lain, pengertian
wirausaha adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan
barang dan jasa yang baru dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau
mengolah bahan baku baru. Seorang wirausaha adalah orang yang melihat adanya
peluang, kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang
tersebut. Jadi wirausaha adalah setiap
orang yang memulai sesuatu bisnis yang baru. Sedangkan proses kewirausahaan
meliputi semua kegiatan fungsi dan tindakan.[10]
C.
Prinsip dan Ketentuan Berwirausaha menurut Islam
Ekonomi dan praktek bisnis Islami berkaitan erat dengan akidah dan syariat
Islam sehingga seseorang tidak akan memahami pandangan Islam tentang ekonomi
dan bisnis tanpa memahami dengan baik akidah dan syariah Islam. Keterkaitan
dengan akidah menghasilkan pengawasan melekat pada dirinya dengan mengindahkan
perintah dan larangan Allah yang tercermin pada kegiatan halal atau haram.
Bisnis dalam ekonomi bahkan semua ilmu di dalamnya. Pandangan
Islam, dalam oprasionalnya berpijak pada dua area:
1.
Prinsip-prinsip
dasar yang ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah, dan ini bersifat langgeng abadi
tidak mengalami perubahan.
2.
Perkembangan
positif masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti bersifat
sementara karna bila ada suatu yang lebih baik, dimanapun ditemukan maka itu
harus menggantikan tempat yang lama.
Bebicara tentang prinsip dasar yang
dianut oleh ajaran Islam, kita dapat menyimpulkan bahwa inti ajaranya adalah Tauhid. Melahir ketentuan yang bukan
saja berkaitan dengan ekonomi atau bisnis, tetapi juga menyangkut segala aspek
kehidupan dunia dan akhirat. Tauhid melahirkan keyakinan bahwa segala sesuatu
bersumber dari Allah dan berkesudahan kepada-Nya.
Karna Allah Mahaadil selalu
memperhtikan kemaslahatan umat manusia,
maka semua ketetapan hukum-Nya, demikian juga produk ijtihad manusia yang
dikaitkan dengan nama-Nya, tentulah harus berlandaskan keadilan dan
kemaslahatan.[11]
Kesatuan
kemanusiaan mengantar pengusaha muslim
menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia muslim atau non-muslim.
Diketahui mengapa Islam melarang bukan hanya riba tapi juga penipuan. Kesatuan
kemanusiaan mengharuskan manusia berfikir dan mempertimbangkan kepentingan umat
manusia seluruhnya dalam semua tindakan seperti memnfaatkan sumber daya alam
bukan hanya digunakan untuk saat ini tapi juga memikirkan untuk masa depan.
Kenyakinan
akan kesatuan dunia dan akhirat, mengantarkan
seseorang untuk memiliki visi yang jauh kedepan, dan tidak hanya berupaya
mengejar keuntungan duniawi semata.
secara umum dapat dikatakan bahwa
ketentuan yang ditetapkan al-Quran dalam berbisnis, dapat digolongkan dalam 3
kelompok besar:
1.
Hati
dan kepercayaan
Semua kegiatan
yang dilakukan seorang muslim termasuk aktivitas bisnis harus dikaitkan dengan
Allah SWT.
2.
Moral
pembisnis
Islam
menekankan sisi moralitas, karena hukum yang ditetapkan Allah, termasuk dalam
aspek ekonomi maupun bisnis, selalu dikaitkan-Nya dengan moral yang melahirkan
hubungan timbal balik yang harmonis.
3.
Pengambangan
harta
Ada tiga
kemungkinan pemilik harta dalam menggunakan hartanya, dibelanjakan, ditumpuk,
dan diinvestasikan.
D.
Sifat-sifat Dasar Kewirausahaan yang Dicintai Allah SWT.
1.
Jujur
Jujur
merupakan sifat utama dan etika Islam yang luhur, juga merupakan motivator yang
abadi dalam budi pekerti dan perilaku seorang muslim, sebagai salah satu sarana
untuk memperbaiki amalnya, menghapus dosa-dosanya, dan sarana untuk bisa masuk
ke surga.
Berbsnis
harus mempunyai komitmen dalam muamalahnya dan berlaku terus terang demi
ketentraman sehingga Allah memberi keberkahan di dalamnya, dan mengangkat
derajatnya. Berbisnis untuk memasarkan barang dagangnya harus dijauhkan dari
iklan licik dan sumpah palsu, atau memberikan informasi yang salah tentang
barang dagangnya hingga menipu pembeli.
2.
Amanah
Islam
menginginkan pembisnis yang mempunyai hati nurani yang bisa menjaga hak-hak
Allah dan manusia, serta bisa memproteksi muamalahnya dari tingkah laku yang
mendorong untuk berbuat remeh dan lalai. Islam mewajibkan pembisnis untuk
mempunyai sifat amanah terhadap diri sendiri maupun orang lain, dan tidak boleh
meremehkan orang yang memberikan amanah. Karena amanah meupakan tanggung jawab
besar lebih berat dari seluruh yang ada di dunia.
3.
Toleransi
Toleransi
adalah kunci rezeki dan jalan kehidupan yang mapan. Manfaat di antaranya adalah
mudah berinteraksi, mempermudah muamalah dan mempercepat berputarnya modal.
4.
Memenuhi
akad dan janji
Islam
memerintahkan umatnya untuk memenuhi hak, menghomati janji dan seluruh
kesepakatan lainya. [12]
E.
Manfaat Belajar Kewirausahaan bagi Mahasiswa
Sejak dini, cara berpikir orang muda
perlu dibuka untuk mengetahui manfaat penting menjadi wirausahawan. Jangan sampai ketekunan belajar
di sekolah atau perguruan tinggi hanya mengarah pada satu target, yaitu mencari
kerja saja. Beberapa tujuan dan manfaat mempelajari kewirausahaan bagi
mahasiswa dan dunia pendidikan, yaitu:
1.
Pendidikan saja sudah tidak cukup
menjadi bekal untuk masa depan.
2.
Kewirausahaan bisa diterapkan di
semua bidang pekerjaan dan kehidupan.
3.
Ketika lulusan perguruan tinggi
kesulitan mendapatkan pekerjaan atau terkena PHK, kewirausahaan bisa menjadi
langkah alternatif untuk mencari nafkah dan
bertahan hidup.
4.
Agar sukses di dunia kerja atau
usaha, tidak cukup orang hanya pandai bicara, yang dibutuhkan adalah bukti
nyata/ realitas.
5.
Memajukan perekonomian Indonesia dan
menjadi lokomotif peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
6.
Meningkatkan pendapatan keluarga dan
daerah yang akan berujung pada kemajuan ekonomi bangsa.
7.
Membudayakan sikap unggul, prilaku
positif, dan kreatif.
8.
Menjadi bekal ilmu untuk mencari
nafkah, bertahan hidup, dan berkembang.[13]
III.
KESIMPULAN
Simpulan
pembahasan makalah di atas, bahwa menjadi seorang pengusaha (entrepreneur) tidak hanya mengutamakan
aspek kehidupan duniawi saja, tetapi juga harus mementingkan aspek ukhrawi.
Sehingga terjadi adanya keseimbangan di dalam kehidupan.
Al-Qur’an
dan al-Hadits sudah mengajarkan kepada manusia untuk berwirausaha seakan tidak
akan pernah mati untuk mencapai dunianya, kemudian di sisi akhiratnya untuk
mengingat apa yang yang paling dekat dalam hidupnya, yaitu kematian.
IV.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Penulis
menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif
sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah
ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman,
Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Majid Hasyim, Husaini. 1993. Syarah Riyadhush
Shalihin 2. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Abdullah, Ma’ruf. 2011. Wirausaha Berbasis Syari’ah. Banjarmasin:
Antasari Press.
Abu Zakaria Yahya bi Syaraf
an-Nawawi, Imam. 1999. Terjemah Riyadhus Shalihin, Jilid. 1,
Terj. Achmad
Sunarto. Jakarta: Pustaka Amani.
Buya H.M. Alfis Chaniago dan Saiful
El-Usmani, 2008. Kumpulan Hadis Pilihan. Jakarta:
Dewan
Mubaligh Indonesia.
Faiz Al-Math, Muhammad. 1991. 1100 Hadits Terpilih. Jakarta: Gema
Insani Press.
Hendro. 2011. Dasar-dasar Kewirausahaan Panduan
bagi Mahasiswa untuk Mengenal,
Memahami, dan Memasuki
Dunia Bisnis. Jakarta: Erlangga.
Muhammad Dawwabah, Asyraf. 2006. Meneladani Keunggulan Bisnis Rasulullah. Semarang:
PT. Pustaka Riski Putra.
Rahardjo, Handri. 2009. Kalo Gak
Mau Kaya: Jangan Berwirausaha. Yogyakarta: Penerbit
Cakrawala.
Shihab, Quraish. 2008. Berbisnis
dengan Allah. Tangerang: Lentera Hati.
Sumanto, Wasty. 1984. Pendidikan
Wiraswasta. Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Muhammad Faiz Al-Math, 1100 Hadits Terpilih, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1991), hlm. 182.
[2] Imam Abu
Zakaria Yahya bi Syaraf an-Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, Jilid. 1, Terj. Achmad Sunarto,
(Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 517.
[3] Memberdayakan orang lain dalam pembinaannya untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. disebutkan dalam hadits Nabi SAW. “Setiap kalian adalah pemimpin
dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya”
[4] Ma’ruf Abdullah, Wirausaha Berbasis Syari’ah, (Banjarmasin: Antasari
Press, 2011), hlm. 3-8.
[5] Buya H.M. Alfis Chaniago dan Saiful
El-Usmani, Kumpulan Hadis Pilihan, (Jakarta: Dewan Mubaligh Indonesia,
2008), hlm. 98.
[6] Husaini A. Majid Hasyim, Syarah
Riyadhush Shalihin 2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), hlm. 347.
[7] Handri Rahardjo, Kalo Gak Mau
Kaya: Jangan Berwirausaha, (Yogyakarta: Penerbit Cakrawala, 2009), hlm. 15.
[8] Ma’ruf Abdullah, Wirausaha
Berbasis Syari’ah, hlm. 1.
[9] Panji Anorga dan Joko
Sudantoko, Koperasi: Kewirausahaan dan Pengusaha Kecil, (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), hlm. 137.
[10]
Wasty
Sumanto, Pendidikan Wiraswasta, (Jakarta: Bumi Aksara, 1984), hlm. 43.
[11] Quraish Shihab, Berbisnis dengan Allah, (Tangerang:
Lentera Hati, 2008), hlm. 11-12.
[12]
Asyraf Muhammad Dawwabah, Meneladani
Keunggulan Bisnis Rasulullah, (Semarang: PT. Pustaka Riski Putra, 2006), hlm.
85.
[13] Hendro, Dasar-dasar
Kewirausahaan Panduan bagi Mahasiswa untuk Mengenal, Memahami, dan Memasuki
Dunia Bisnis, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar