Ayo Sinau...!!!

Sabtu, 10 Januari 2015

Laporan Penelitian: Nyewu sebagai Media Silaturahim dan Sedekah di Desa Perboto

LAPORAN PENELITIAN
NYEWU SEBAGAI MEDIA SILATURAHIM DAN SEDEKAH DI DESA PERBOTO


Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad


       I.    Sistematika Penelitian
A.    Judul
Nyewu sebagai media silaturahim dan sedekah di desa Perboto
B.    Latar Belakang
Banyak sekali tradisi di Indonesia khususnya di pulau Jawa yang masih sampai saat ini terus dilestarikan, namun tidak sedikit budaya anak muda sekarang lebih meninggalkan tradisi-tradisi yang telah dibuat nenek moyangnya. Mereka lebih menyukai budaya-budaya Barat yang tanpa adanya nilai-nilai luhur dan kesopanan sesuai jati diri bangsa.
            Tradisi-tradisi memanglah tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa yang sejak nenek moyang menciptakannya sampai turun temurun tetap dilakukan dan dilestarikan oleh masyarakat Jawa. Adanya suatu keunikan yang terdapat di pulau Jawa karena diberbagai daerah memiliki tradisi-tradisi atau ritual-ritual yang berbeda-beda dengan ciri khas masing-masing daerah.
            Semua itu tidak terlepas dari peran para Walisongo yang telah mengakulturasikan antara budaya Jawa dengan Islam yang sebelumnya telah masuk agama Hindu-Budha di daerah Jawa. Para Walisongo tidak begitu saja menghilangkan budaya Jawa yang telah ada sejak berabad-abad lamanya dalam dakwahnya, para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam lebih memilih melalui pendekan cultural atau tradisi-tradisi yang sudah ada. Sehingga masyarakat Jawa melihat kedatangan Islam tidak terlihat kaku dan membuat para Walisongo mudah mengambil hati masyarakat Jawa.
            Para Walisongo dalam mengakulturasi budaya Jawa tidaklah dalam bidang kepercayaan saja dalam mengislamkan, tetapi dalam tradisi-tradisi dan upacara-upacara yang sebelumnya telah ada ditaburi dengan adanya keihsanan dan keislaman, adanya ritual selamatan untuk orang yang telah meninggal dunia, seperti geblag atau selamatan setelah penguburan, nelung dina atau selamatan setelah tiga hari kematian, mitung dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian, matangpuluh dina atau selamatan setelah empat puluh hari kematian, nyatus dina atau selamatan setelah seratus hari kematian, mendhak sepisan atau selamatan setelah satu tahun kematian, mendhak pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian dan nyewu atau selamatan sete1ah seribu hari kematian. 
            Dalam pembahasan ini lebih mengerucut pada tradisi selamatan nyewu yang akan dibahas lebih lanjut. Bagaimana pandangan terhadap tradisi nyewu pada masa modernisasi saat ini, ritual-ritual apa saja yang ada dalam kegiatan nyewu, pesan dan makna apa saja yang tersirat dalam tradisi nyewu untuk orang lebih tahu dan memaknai tradisi-tradisi tersebut agar tidak mudah diremehkan atau bahkan ditinggalkan sehingga bisa tetap dilestarikan sejalan dengan perkembangan jaman modernisasi saat ini.
           
C.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa itu tradisi nyewu ?
2. Ritual-ritual apa saja saat pelaksanaan nyewu ?
3. Apa makna tersirat tradisi nyewu dalam kehidupan yang berhubungan dengan Islam?

D.  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan untuk membuat laporan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui apa dan bagaimana tradisi nyewu di masyarakat.
2. Mengetahui bagaimana ritual-ritual apa saja dalam pelaksanaan nyewu di masyrakat.
3. Mengetahui makna yang tersirat dalam nyewu bukan hanya sekedar tradisi belaka tetapi sudah masuk dalam ajaran Nabi Muhammad SAW.

E.   Manfaat Penelitian
Laporan penulisan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, diharapkan laporan penulisan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi teori bagi penulisan laporan hasil penelitian yang lain yang sejenis dengan tema atau judul laporan hasil penelitian ini.
Secara praktis, laporan penulisan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1.  Sebagai sumber acuan yang akan melakukan penulisan maupun non-penulisan penelitian yang berkaitan dengan tradisi nyewu.
2.    Menjadi suatu bahan masukan dalam menganalisis tradisi nyewu.

F.   Metode Penelitian
Dalam penelitian untuk mendapatkan dan dan informasi yang dibutuhkan, penulis dapat menggunakan metode dan kepustakaan. Adapun teknik-teknik yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:
1.    Teknik Pengamatan Langsung
Teknik ini penulis meneliti ke lapangan untuk mengetahui secara langsung mengamati bagaimana berjalannya tradisi nyewu itu dilaksanakan.
2.    Teknik Wawancara
Teknik ini penulis meneliti dengan jalan tanya jawab dengan seorang narasumber yang sekaligus tuan rumah yang sedang mempunyai hajat untuk mendapat data yang lebih valid dan diperoleh gambaran yang lebih mengenai tradisi nyewu.
3.    Studi Pustaka
Teknik pengumpulan data ini yaitu dengan cara mencari buku-buku atau tulisan-tulisan yang berhubungan dengan karya tulis ilmiah mengenai masalah nyewu.

    II.            Alasan Pemilihan
A.    Judul
Dalam tradisi budaya Jawa, selametan nyewu atau peringatan seribu hari adalah prosesi ritual paling penting dalam rangkaian upacara peringatan meninggalnya seseorang. Upacara peringatan seribu hari ini merupakan upacara penutup (pungkasan), memperingati meninggalnya seseorang untuk terakhir kalinya (selametan nguwis-uwisi).
Penulis memilih judul “Nyewu sebagai Media Silaturahim dan Sedekah di desa Perboto” ada beberapa alasan karena berkaitan problematika perbedaan-perbedaan yang terjadi di masyarakat, pentingnya tradisi nyewu untuk dilestarikan pada masyarakat, adanya suatu makna-makna yang tersirat belum terungkap dan perlu dijabarkan.
            Ada kurangnya pengetahuan tentang tradisi nyewu sehingga membuat penulis bergerak untuk meneliti seluk beluk tradisi nyewu yang banyak masyarakat Jawa modernisasi saat ini tidak tahu asal muasal lahirnya suatu tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat Jawa. Sehingga mereka hanya melaksanakan tradisi tersebut tetapi tidak mengetahui hal-hal yang tersembunyi, suatu hal yang tersirat pada tradisi nyewu tersebut, sehingga akhirnya masyarakat Jawa khususnya kurang dapat memaknai tradisi nyewu dan akhirnya makin berkembangnya zaman, tradisi tersebut mulai ditinggalkan dan hilang karena kurangnya pemaknaan tradisi nyewu yang telah lama dikembangkan oleh nenek moyang kita.

B.   Lokasi
Penulis memilih lokasi tepatnya di RT 13/ RW 004, Ds. Perboto, Kec. Kalikajar, Wonosobo karena memiliki beberapa alasan, tempat tersebut sedang ada pelaksanaan tradisi ritual nyewu dan mudah sekali bertemu mbahnya desa tersebut. Di daerah Wonosobo khususnya di desa Perboto sangat menghormati dan menjaga tradisi-tradisi maupun kebudayaan yang sejak dulu sudah dikembangkan bersama munculnya Islam.

 III.            Deskripsi Temuan
1.     Tradisi Nyewu
Kata nyewu berasal dari bahasa Jawa yang artinya seribu, nyewu dina  berarti seribu hari, tradisi nyewu atau selametan nyewu atau peringatan seribu hari dalam budaya Jawa adalah prosesi ritual dalam upacara peringatan meninggalnya seseorang yang merupakan upacara penutup (pungkasan) untuk melepas dan mengikhlaskan arwah orang yang sudah meninggal kepada Sang Khaliq. Sehingga sangat penting dilakukan, memperingati meninggalnya seseorang untuk terakhir kalinya (selametan nguwis-uwisi).
Awal mulanya tradisi tersebut dilakukan oleh umat agama  Hindu-Budha. Disebutkan bahwa kepercayaan yang ada pada sebagian umat Islam, orang yang meninggal jika tidak diadakan selamatan maka rohnya akan gentayangan adalah jelas-jelas berasal dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu ada keyakinan yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima keyakinan itu meliputi percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh Leluhur, Karma Pala, Samskara (menitis/reinkarnasi), dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia.
Upacara sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang sudah meninggalkan dunia.  Setelah itu datang para Walisongo yang mendakwahkan agama Islam, semula ritual itu dilakukan oleh umat agama Hindu-Budha hanya mengadakan upacara dengan cara berkumpul bersenang-senang melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat sehingga oleh para Walisongo diubah menjadi sebuah kegiatan yang bermanfaat dan mengislamkan dengan cara mendo’akan orang yang sudah meninggal yang semula berupa mantra-mantra dan do’a-do’a ala agama Hindu-Budha diganti dengan bacaan dari Al-Qur’an, dzikir-dzikir dan do’a-do’a versi Islam pelaksanaan zikrullah sebagai jalan untuk mensucikan dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Mantra-mantrra diawali dengan bismillah dan berakhir dengan (ucapan) la ilaha illa Allah, dan do’a. Pembacaan Al-Qur’an, dzikir, dan do’a-do’a tersebut dinamakan tahlilan, dan tahlilan sudah ada sejak zaman para sahabat Nabi SAW dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Sehingga dengan tradisi pembacaan mantra-mantra yang sudah ada di Jawa oleh para Walisongo  diubah dan diislamkan tetapi pada prinsip pelaksanaannya sama hanya saja mantra-mantranya diganti dengan kalimat-kalimat taiyibah dan diisi dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang telah meninggal. Ucapan sesajen diganti dengan istilah Arab; sedekah atau selamatan dan sesaji yang melengkapinya disebut berkat (dari kata barakah).
Peringatan meninggalnya seseorang yang sudah memasuki hari keseribu, terhitung setelah orang tersebut meninggal hingga seribu hari pascameninggal. Menentukan waktu selamatan hari dan pasaran nyewu dina digunakan rumus nemsarma yaitu hari keenam dan pasaran kelima. Cara menghitung dengan menentukan hari setelah waktu kematian setelah menjelang tiga tahun atau setelah kurang lebih dua tahun sepuluh bulan segera dicari hari yang cocok.

2.    Ritual-ritual pelaksanaan Nyewu
Dalam acara tradisi nyewu biasanya ada beberapa acara ritual-ritual yang diadakan oleh keluarga almarhum, adapun acara-acaranya sebagai berikut:
a.         Penyembelihan kambing
Diawali dengan penyembelihan satu ekor kambing, sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang pencipta sudah diberi rizki yang begitu banyak, sebagai wujud sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Jika keluarga almarhum tidak mampu untuk menyembelihkan satu ekor kambing, biasanya diganti dengan ayam. Semampunya dan tidak memberatkan. Jika sekalipun ayam tidak mampu, berarti mengadakan walimah seadanya dan semampunya.
b.        Ngijing (membangun batu nisan) dan ziarah
Acara selanjutnya yaitu ngijing atau membangun batu nisan sekaligus ziarah kubur yang diakhiri dengan do’a. Pamasangan batu nisan sebagai tanda bahwa makam tersebut tidak tertukar dengan yang lainnya dan agar dengan mudah diziarahi. Ziarah sebagai wujud ingat kepada Sang Khaliq bahwa kitapun semuanya akan mengalami kematian, mengalami dan merasakan sakitnya dicabutnya roh, dan kembali ke tempat asalnya yaitu tanah.
Adanya fungsi untuk mengingat keteladanan dan keberadaan pendahulunya baik dari segi baik dan buruknya untuk dijadikan sebagai bahan renungan dan pembelajaran yang sudah terjadi. Karena ilmu budi pekerti berkembang berawal keteladanan nenek moyang.
c.   Tahlilan
Malam harinya setelah shalat isya’ sekitar jam 19:30-an tahlilan akan segera dimulai, keluarga almarhum mengundang orang-orang disekitarnya untuk mengikuti tahlilan dan yasinan. Setelah yasinan dan tahlilan selesai diakhiri dengan do’a dan setelah itu makan-makan bersama, kemudian para tamu undangan diberi berkat satu-satu untuk dibawa pulang. Biasanya berkat berisi nasi, mie bihun, telur, daging ayam, daging kambing, kentang, dan lain sebagainya seperti sesajen. Adapun terkadang ada yang berupa bahan makanan mentah, seperti beras, telur mentah, mie instan, gula, teh, dan lain sebagainya.
d.  Istighasah dan makan bersama
Hari kedua setelah shalat isya’ dilakukan istighasah bersama keluarga almarhum, keluarga almarhum juga mengundang orang-orang sekitar terutama sesepuh-sesepuh desa untuk menghadiri.
Istighasah bertujuan untuk mengingat kembali guna mengintropeksi diri sendiri dan lebih mensucikan diri, kemudian ditutup dengan mendo’akan almarhum. Kemudian istighasah diakhiri dengan makan-makan bersama.
3.  Makna tersirat tradisi Nyewu dalam kehidupan yang berhubungan dengan Islam
Dibalik kebiasaan-kebiasaan yang sudah berkembang di masyarakat khususnya di Jawa dan sudah menjadi tradisi-tradisi yang diuri-uri secara turun temurun, tapi semakin berkembangnya zaman tradisi-tradisi tersebut mulai luntur dan mulai ditinggalkan di sebagian daerah karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan apa manfaat dan rahasia dibalik semua tradisi tersebut yang selama ini dipertahankan oleh nenek moyang kita.
Sebenarnya budaya nyewu adalah kolaborasi antara budaya Jawa tradisional dengan Islam yang dibawa oleh para Walisongo yang pada awal mulanya berasal dari budaya agama Hindu-Budha seperti adanya peringatan geblag, nelung dina, mitung dina, matangpuluh, nyatus dan sebagainya termasuk tradisi nyewu. Dalam Islam sebenarnya sudah menjadi warisan para sahabat dan tabi’in bahwa terdapat beberapa keyakinan bahwa budaya seperti mitung dina, dan matangpuluh merupakan anjuran dari Nabi Muhammad SAW. Adanya atsar yang menyatakan bahwa orang mukmin yang sudah meninggal akan mengalami fitnah kubur selama tujuh hari, sementara orang munafik mengalami selama empat puluh hari.  Sebagaimana diutarakan Imam Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawinya;
 “Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka(sahabat Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi nyewu berfungsi untuk mengingat keteladanan dan keberadaan pendahulunya baik itu yang bersifat buruk maupun baik untuk bisa dijadikan sebagai suatu pembelajaran. Ilmu budi pekerti berkembang berawal keteladanan nenek moyang yang sudah lebih dulu meninggalkan dan memberikan pengalaman.  Terjalinnya hubungan yang harmonis dan saling memaafkan antara warga masyarakat yang masih hidup dengan almarhum yang sudah meninggal karena pernah adanya suatu hubungan yang tidak baik di masa hidupnya.          Menjadikan suatu nilai sedekah. Ahli waris mengundang para tetangga untuk datang ke rumah ahli waris untuk mengadakan tahlilan, istighasahan, mengirimkan do’a bersama-sama, makan-makan bersama, serta kemudian para tetangga yang diundang diberi berkat, buah tangan untuk menambah semakain eratnya persaudaraan yang mengakibatkan saling eratnya silaturahim antar tetangga, pada hakekatnya kalau orang Jawa diberi makanan hatinya mudah nrimo (menerima) dan luluh. Sehingga acara nyewu sangat tepat dilakukan sebagai bentuk permintaan maaf dari almarhum kepada tetangga-tetangga sekitar.                    
 Tradisi nyewu yang dilakukan di saat kematian menurut masyarakat Jawa merupakan suatu bentuk kebajikan, kebaikan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam agama Islam sudah dijelaskan bahwa sedekah merupakan sebaik-baiknya pintu kebajikan. Kebaikan itu berupa adanya nilai sedekah dan silaturahim antara keluarga almarhum dengan para tetangga untuk saling mempererat tali persaudaraan sesama muslim. Diharapkan pahala dari padanya akan sampai kepada almarhum. Selamatan nyewu yang biasa dilakukan oleh mereka yang melakukannya berasal dari harta almarhum sendiri. Sajian dalam pelaksanaan selamatan nyewu di Jawa tidak mengharuskan berupa makanan, tetapi bisa juga berupa lainnya. Hal yang demikian itu tergantung pada kadar kemampuan dari pihak keluarga masing-masing yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al Baqarah: 271).
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”(QS. An Nisaa’: 114).
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Mujaadilah: 12).
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al Mujaadilah: 13)
Nyewu yang merupakan inti dari pelaksanaan tradisi ritual kematian seseorang. Tradisi ini mengajarkan kepada kita bahwa bersedekah jangan menunggu saat kita sedang waktu lapang dimana seseorang sedang dalam keadaan senang, bahagia, gembira, kelebihan rizki. Tapi, tradisi nyewu mengajarkan kita untuk bersedekah saat kita dalam kondisi sempit, terkena bencana atau musibah, sedang keadaan sedih, dalam keadaan kekurangan. Karena Nabi Muhammad SAW mengajarkan demikian.                               
Terdapat nilai ukhuwah islamiyah dalam tradisi selamatan nyewu pada masyarakat Jawa. Adanya perkumpulan pada saat peringatan trdisi nyewu. Dalam masyarakat Jawa, selamatan nyewu yang memberikan kesempatan berkumpulnya sekelompok orang berdo’a bersama, makan bersama secara sederhana, serta bertahlil bersama pada kehidupan masyarakat menurut kebiasaan yang selama ini berjalan dilaksanakan pada malam hari merupakan suatu sikap sosial yang mempunyai makna turut berduka cita terhadap keluarga almarhum atas musibah yang menimpanya, yaitu meninggalnya salah seorang anggota keluarganya. Karena begitu pentingnya acara nyewu dalam tradisi di masyarakat Jawa membuat semua keluarga almarhum yang dahulunya berpisah-pisah karena faktor status hubungan, faktor lokasi karena sudah mempunyai keluarga masing-masing sehingga tidak ada waktu untuk saling berkumpul bersama, dengan adanya tradisi nyewu semua keluarga dapat berkumpul kembali dan saling mempererat tali persaudaraan yang putus. Mengikat kembali tali silaturrahmi serta memupuk ikatan persaudaraan antara mereka. Sebagaimana firman Allah SWT:

“dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (mengadakan hubungan silaturahim dan tali persaudaraan), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”(QS. Al Ra’d: 1)
 Membangun kembali nilai tolong-menolong, dalam hal tolong-menolong pada peristiwa kematian dalam masyarakat Jawa khususnya di pedesaan masih menjunjung tinggi sifat sosial masih adanya budaya tolong-menolong, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan amat rela, tanpa perhitungan akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang mendapat musibah itu berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal dalam jiwa makhluk manusia yang masih berkembang di Jawa khususnya di desa Perboto. Dasar dari tolong-menolong merupakan perasaan saling butuh membutuhkan. Nilai tolong-menolong dalam tradisi selamatan nyewu pada masyarakat Jawa di desa Perboto terlihat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraannya. Para tetangga dan kerabat dekat almarhum membantu dalam persiapan pelaksanaan dan pelaksanaan tradisi nyewu. Dalam tolong-menolong terdapat hubungan saling ketergantungan sebagai akibat dari adanya proses pertukaran yang saling memberikan balasan atas jasa yang diberikan orang lain kepada dirinya. Tolong-menolong dalam selamatan nyewu terjadi secara spontan dan rela, tetapi juga ada yang didasarkan oleh perasaan saling dan sudah menjadi tradisi pada masyarakat Jawa. Kegiatan tolong-menolong ini diartikan sebagai suatu kegiatan kerja yang melibatkan tenaga kerja dengan tujuan membantu dan mereka tidak menerima imbalan berupa upah, hanya saja biasanya sesudah itu orang-orang yang ikut membantu diberi wedhangan dan makan bersama. Seperti yang diajarkan oleh beliau Nabi Muhammad SAW, sebagaimana firman Allah SWT:
“... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(QS. Al Maaidah: 2)
"Kenapa kamu tidak tolong-menolong ?"(QS. Ash-Syaaffaat: 25).
Kemudian memupuk nilai solidaritas yang tinggi pada tradisi nyewu, suatu ciri khas masyarakat di desa Perboto dalam menghadapi keluarga yang berduka cita. Dalam konteks sosiologis, ritual selamatan nyewu sebagai alat memperkuat solidaritas sosial, maksudnya alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat yakni menciptakan situasi rukun, silaturohim, toleransi di kalangan partisipan, serta juga tolong-menolong bergantian untuk memberikan berkah do’a yang akan ditujukan pada keluarga yang sudah meninggal. Pihak keluarga yang berduka mengundang tetangga dan sanak familinya untuk menghadiri acara selamatan nyewu itu yang akan diselenggarakan di rumah duka. Dalam selamatan nyewu saat kegiatan tahlilan ini dapat dipakai untuk mengukuhkan nilai-nilai dan keyakinan yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu selamatan nyewu merupakan salah satu upacara keagamaan yang sangat diperhatikan dalam rangka mendo’akan arwah yang telah mendahului mereka serta melestarikan tradisi yang turun-temurun ini.
 IV.            Kesimpulan
Nyewu merupakan ritual peringatan seribu hari meninggalnya seseorang sebagai ritual penutup untuk melepas dan mengikhlaskan arwah orang yang sudah meninggal kepada Sang Pencipta dan akan kembali kepadaNya.
Adapun kegiatan-kegiatan nyewu yang ada di desa Perboto seperti adanya penyembelihan kambing sebagai bentuk berkorban, jika tidak mampu bisa diganti dengan penyembelihan beberapa ayam jago, dan semua dikembalikan pada kemampuan masing-masing keluarga almarhum, kemudian dilanjudkan dengan ngijing dan ziarah kubuh, tahlilan ditutup dengan mendo’akan almarhum kemudian makan bersama, dan pada malam kedua istighasahan ditutup dengan do’a diakhiri dengan makan bersama.
Awal mula lahirnya tradisi nyewu berasal dari agama Hindu-Budha yang berkembang pada masyarakat Jawa. Kemudian setelah kedatangan para Walisongo menyebarkan agama Islam di daerah Jawa, para Walisongo tidak serta merta menghilangkan tradisi yang sudah ada. Mereka dalam menyebarkan agama Islam lebih memilih pendekatan cultural, melalui tradisi setempat dikolaborasikan dengan prinsip-prinsip Islam. Sehingga masyarakat Jawa dengan kedatangan Islam mudah diterima dan dirasa tidak kaku.
Pada prinsipnya tradisi nyewu pada proses kegiatan ritualnya mempunyai makna sebagaimana anjuran dari Nabi Muhammad SAW. Adapun makna tradisi nyewu ajaran dari Islam mengandung nilai-nilai yang sangat baik dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam kehidupan sosial, seperti adanya nilai-nilai sedekah, nilai kasih sayang, nilai silaturahim, nilai ukhuwah islamiyah, nilai gotong-royong, nilai tolong menolong, nilai keharmonisan, nilai persaudaraan, nilai solidaritas sosial, nilai kerukunan dalam hidup bermasyarakat,  nilai keikhlasan, sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta, sebagai bahan renungan atau intropeksi diri dan keteladanan serta pembelajaran yang masih hidup, membangun kembali nilai keislaman sebagai wujud kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW dan kepada Allah SWT.
Sebagai bentuk kekayaan tradisi di Indonesia khususnya di Jawa yang selama ini masih diuri-uri dan dilestarikan sehingga generasi muda masih bisa menikmati dan merasakan kekayaan tradisi Jawa yang begitu banyak nilai-nilai kebaikan dan kebajikan dalam kehidupan bermasyarakat.

    V.            Saran
Nyewu merupakan tradisi nenek moyang yang sudah ratusan tahun dilestarikan dan diuri-uri oleh satu generasi ke generasi selanjutnya. Sebagai bangsa yang baik adalah mereka yang tetap menghormati dan melestarikan budaya nenek moyang sebagai bentuk jati diri bangsa yang beribawa. Sebagai anak bangsa yang baik, kita memiliki tanggung jawab yang besar yang harus dipanggul untuk melestarikan sebagai bentuk pembelajaran dan penelitian dalam keilmuan sosial.
Alangkah baiknya sesepuh, yaitu sebagai orang yang dituakan atau orang yang lebih tua mengenalkan budaya-budaya dan tradisi-tradisi kepada anak-anak bangsa generasi penerusnya yang berkembang di lingkungan sendiri sedini mungkin, khususnya pada masyarakat Jawa, agar mereka mengenal dan kemudian mencintai budaya sendiri yang jauh lebih baik dari pada dengan budaya Barat yang bukan sesuai dengan jati diri bangsa. Dikarenakan anak muda sekarang kurangnya antusias dengan budaya-budaya maupun tradisi-tradisi karena dianggap kuno.
Dalam tradisi nyewu penulis menyarankan sesuai dengan pengamatan di lapangan bahwa sebaiknya dalam tradisi nyewu dalam menyiapkan makanan bagi keluarga almarhum yang mampu mengadakan tradisi tersebut, dalam menghidangkan makanan tidak boleh terlalu berlebihan, karena hal tersebut dapat mengakibatkan kemubadziran makanan dan tenaga, karena makanan banyak yang bersisa dan akhirnya dibuang begitu saja ataupun dikasihkan ke ternak. Tetapi alangkah baiknya dalam menghidangkan atau menyiapkan makanan dalam tradisi nyewu secukupnya untuk orang yang akan diundangnya. Lebih baik uang yang dibelanjakan untuk membeli makanan yang berlebihan digunakan untuk diberikan kepada orang yang tergolong miskin dan orang yang sudah sangat tua yang tidak mampu bekerja lagi dan uang tersebut diatasnamakan almarhum. Jauh lebih baik dari pada dalam keadaan berduka malah berwalimah yang berlebihan yang bertujuan bersenang-senang dan menghilangkan makna sesungguhnya sebagai seorang yang bersyukur kepada Allah SWT.
Sebagai orang yang lebih tua, ajak dan rangkul anak muda serta kenalkan dan ajarkan pada mereka tradisi-tradisi yang mengandung nilai filosofi yang baik dan penuh dengan nilai kebajikan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga dalam bermasyarakat terpancar nilai-nilai keislaman yang tidak terlepas dari dakwah para Walisongo. Para Walisongo adalah mereka yang dekat dengan Sang Pencipta yaitu Allah SWT dan keilmuan mereka tidak diragukan lagi, apa yang diajarkan olehnya semua mengandung ajaran-ajaran Islam dan sesuai dengan tuntunan Baginda Rasulullah SAW, mereka yang berfikiran awam jangan memberikan penilaian bahwa tradisi-tradisi yang sudah berkembang di masyarakat sebagai sesuatu yang bid’ah yang harus ditinggalkan ataupun batil.
Mengembalikan kepercayaan bagi kaum awam dan memberikan kepercayaan bahwa mengikuti dan melanjutkan tradisi adat istiadat tidaklah bertentangan dengan ajaran atau prinsip-prinsip keislaman bahwa sebelumnya tradisi nyewu adalah adopsi dari agama Hindu-Budha yang kolaborasikan atau diakulturasikan dengan kaidah-kaidah Islam oleh para Walisongo sebagaimana ajaran dan anjuran Nabi Muhammad SAW. Dalam tradisi nyewu disini bukan suatu bentuk niyahah yaitu meratapi orang yang sudah meninggal yang dilarang agama karena dalam tradisi nyewu bukan hanya saja berkumpul dan mengadakan jamuan makanan setelah orang dikuburkan. Tetapi lebih pada apa makna yang ada dibalik itu, makna yang tersirat dibalik tradisi nyewu yang sesuai dengan para Walisongo.