Ayo Sinau...!!!

Kamis, 27 November 2014

Artikel Istilah-istilah dalam Shalat

ISTILAH-ISTILAH DALAM SHALAT

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad



1.    Pengertian Shalat

Shalat menurut bahasa artinya do’a, atau do’a untuk kebaikan. Dikatakan “shalla shalatan”; ibadah khusus yang sudah dijelaskan batasan waktu dan tata caranya dalam syariat Islam.[1]
Sedangkan menurut syariat, shalat adalah sejumlah ucapan dan perbuatan khusus, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dinamakan shalat menurut pengertian syariat karena ia mengandung do’a.

2.    Dalil Persyariatannya

Shalat hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Adapun dalil dari Al-Qur’an antara lain:
Firman Allah SWT:
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Firman Allah SWT:
“Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.”
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman yang telah ditentukan waktunya”(QS. An-Nisa’: 3).

3.    Hukum Shalat
Shalat hukumnya fardhu ‘ain atas orang mukhllaf (akil, baligh). Anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun harus sudah diperintahkan shalat, dan dipukul ringan jika tidak mengerjakan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dengan tangan tidak dengan kayu sesuai sabda Rasulullah SAW:
“Perintahkan anak-anak kalian mengerjakan shalat ketika berumur sepuluh tahun, dan pukullah mereka ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka. (HR. Ahmad, Abu dawud, Hakim).
       Shalat yang diwajibkan ada lima waktu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thalhah bib Abaidillah ra., ia berkata: “ Seseorang datang dari penduduk Najd menemui Rasulullah, rambutnya kusut, kami mendengar ia bergumam, tetapi kami tidak dapat mendengar sampai ia mendekat kepada Rasulullah dan bertanya tentang Islam. Lalu Rasulullah menjawab, “ Shalat lima waktu sehari semalam.”  Ia bertanya, “Apakahb ada lagi selain itu?” Nabi menjawab, “Tidak, kecuali hanya sunnah.”(HR. Bukhari dan Muslim).[2]
4.    Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
       Kaum muslimin sepakat bahwa shalat wajib atas setiap muslim yang baligh, berakal, dan bersih. Artinya tidak haid atau nifas, tidak gila atau pingsan. Ia adalah ibadah jasmani yang tidak bisa digantikan, tidak boleh shalat seseorang menggantikan shalat orang lain sebagaimana ia tidak boleh menggantikan puasa orang lain
       Kaum muslimin sepakat bahwa siapa yang mengingkari kewajiban shalat ia adalah kafir, murtad karena kewajiban ini sudah ditetapkan dengan nash yang pasti dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ seperti yang sudah dijelaskan barang siapa yang meninggalkannya karena malas dan melalaikannya maka ia addalah fasiq dan berdosa, kecuali jika ia baru saja masuk Islam atau tidak bergaul dengan kaum muslimin dalam tempo yang sangat lama sehingga tidak sampai kepadanya wajibnya shalat.[3]
5.    Syarat Sah Shalat
       Syarat secara bahasa berarti tanda. Dan menurut syara’ adalah sesuatu yang dengan ketiadaannya mengakibatkan ketiadaan sesuatu yang lain, dan dengan ketiadaannya tidak harus mengakibatkan ada atau tidaknya sesuatu yang lain tersebbut.
Syarat bshalat adalah sesuatu yang jika mampu dilaksanakan tergantung kepadanya keabsahan shalat.
Pertama, masuk waktu shalat
     Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Penentuan waktu adalah pembatasan terhadap waktu.
Waktu-waktu shalat adalah sebagai berikut:
a.     Shalat Dzuhur, waktunya dimulai sejak tergelincirnya matahari.
b.    Shalat Ashar, waktunya dimulai sejak berakhirnya waktu dzuhur.
c.     Shalat Maghrib, waktunya dimulai sejak terbenamnya matahari.
d.    Shalat Isya’, waktunya dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib.
e.     Shalat Subuh, waktunya dimulai sejak terbitnya fajar yang kedua dan berlanjut sampai terbit matahari.
Kedua, Menutup Aurat
     Bagian tubuh yang harus ditutup, yang dianggap buruk dan memalukan kalau menampakkannya.
Ketiga, Menghindari Najis
     Maka ketika shalat, tubuh, pakaian dan tempat harus benar-benar bersih dari najis. Najis adalah kotoran tertentu yang menyebabkan shalat menjadi tidak sah. Diantaranya adalah bangkai, darah, minuman keras, kencing, dan kotoran makhluk hidup.
Keempat, Menghadap Kiblat
     Menhadap kiblat yaitu Ka’bah Musyarrafah, dinamakan kiblat karena manusia berkiblat kepadanya dan karena orang yang melaksanakan shalat menghadap kepadanya.
Kelima, Niat
     Niat termasuk rukun shalat, niat secara bahasa berarti tujuan. Dan menurut syara’ niat adalah tekad untuk melaksanakan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tempat niat adalah hati. Dan niat diisyaratkan untuk senantiasa berlanjut dalam shalat.
6.    Rukun-rukun Shalat
     Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, maka shalatnya tidak sah.
7.    Kewajiban-kewajiban Shalat
     Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan secara sengaja, namun shalatnya tidak batal tapi harus melakukan sujud sahwi sebagai gantinya.
8.    Sunnah-sunnah Shalat
     Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, maka shalatnya sah. Tapi mengurangi kesempurnaan shalat.
9.    Waktu yang didalamnya Dilarang untuk Shalat
Pertama, sejak terbinya fajar yang kedua(fajar shadiq) hingga terbitnya matahari.
Kedua, sejak terbinya matahari hingga naik setinggi tombak dalam pandangan mata.
Ketiga, ketika matahari tepat ditengah-tengah diatas langit hingga tergelincir.
Kelima, ketika matahari hampir tenggelam hingga tenggelam.
10.              Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjamaah
a.     Salah satu syiar yang agung dalam Islam.
b.    Fardhu bagi laki-laki baik ia sedang di rumah atau di perjalanan, baik dalam kondisi aman atau ketakutan.
c.     Ditetapkan bagi seorang muslim sejak awal periode Islam.
11.              Orang yang tidak Sah menjadi Imam
a.     Orang fasiq
b.    Orang yang tidak mampu ruku’, sujud, atau duduk untuk menjadi imam
c.     Orang terus menerus hadas
d.    Orang yang ummi[4]
12.              Hukum Tentang Shalat bagi Wanita
     Sebagaimana halnya laki-laki, ketentuan dan syarat-syarat shalat juga berlaku bagi wanita, anatara lain persyaratan baligh, berakal, suci dari hadas, masuk waktu, menutup aurat, bersih tubuh, pakaian, dan tempat, menghadap kiblat dan menentukan niat.
 a)    Hukum Shalat bagi Wanita Haid dan Nifas
     Wanita yang tengah haid dan nifas dilarang shalat, dan tidak dikenai kewajiban mengqadha’ shalat yang ditinggalkannya berdasarkan ijma’ ulama. Gugurnya qadha’ shalat bagi wanita haid dan nifas merupakan azimah karena ia dituntut untuk tidak mengerjakan shalat dan ketika ia tidak mengerjakannya, itu artinya ia melaksanakan perintah dan tidak perlu ada qadha’.
 b)   Hukum Shalat Berjamaah bagi Wanita
   Khusus bagi wanita, jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah, ulama Malikiyah, ulama Hanabilah, Zaidiyah, dan Zhahiriyah mengatakan pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah tidak wajib bagi wanita dengan dalil firman Allah SWT:
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah” (QS. An-Nur: 36-37).
Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda:
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama dari pada di kamarnya, dan shalatnya di kamar pribadinya lebih utama dari shalat di rumahnya[5]
c)    Posisi Wanita dalam Shalat
     Bagi wanita ia harus merapatkan tubuhnya ketika ruku’ dan sujud, dan duduk dengan kaki lurus atau keduanya diletakkan ke sebelah kanan. Karena wanita adalah aurat maka harus lebih dirapatkan agar lebih tertutup, sebab jika tidak, kawatir terlihat sesuatu dari auratnya ketika merenggangkan tangan dan duduk iftirasy
     Sedangakan bagi laki-laki, diriwayatkan dari Abdullah bun Malik bin Suhailah ra. bahwa Nabi SAW jika shalat merenggangkan antara kedua tangannya sehingga terlihat putih ketiaknya. (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukan anjuran merenggangkan kedua tangan dari kedua sisi ketika sujud dan inilah yang dinamakan takhwiyah yang disunnahkan bagi laki-laki.
     Abu Dawud juga melansir hadits dalam Al-Marasil dari Zaid bin Habib bahwa Nabi SAW melewati dua orang wanita yang sedang shalat, lalu beliau bersabda, “Jika kamu sujud, maka gabungkanlah sebagian daging ke bumikarena wanita tidak sama dengan laki-laki”(HR. Al-Baihaqi).[6]
d)   Menegur Wanita ketika Shalat
     Bolehnya bertasbih bagi laki-laki dan bertepuk tangan bagi wanita jika ada sesuatu yang terlupa. Yang dimaksud bertepuk tangan disini adalah (tashfiq) yaitu memukul bagian dalam telapak tangan kanan ke bagian telapak tangan kiri, bukan seperti tepuk tangan biasa untuk bersenang-senang atau hiburan. Jika ia melakukan hal ini maka ia shalatnya menjadi batal. Bertepuk hanya berlaku khusus bagi wanita karena suara wanita merupakan aurat, sehingga mereka tidak dibolehkan adzan, iqamat, dan membaca ayat dengan suara yang keras.[7]
e)     Hukum Menggendong Anak ketika Shalat
     Allah yang Maha Bijak memberi keringanan pada wanita untuk menggendong anaknya yang masih kecil ketika sedang shalat. Caranya, ia meletakkan jika ia ingin sujud dan menggendongnya kembali ketika ingin berdiri jika memang diperlukan.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah SAW. “Ketika sujud, beliau meletakkannya dan jika berdiri beliau menggendongnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad).
Perbuatan seperti ini dimaafkan dan tidak ada perbedaan shalat fardhu dan nafilah, sendirian, makmum, atau imam.[8]
Kitab Adz-Dzakhirah bahwa dalam menggendong anak dalam shlat fardhu, sujud dan ruku’ tidak sepatutnya dilakukan, namun jika tidak menyibukkan shalatnya maka tidak mengapa.ia mengatakan bahwa jika ia mengikat si anak di punggung sehingga tidak jatuh ketika sujud dan ruku’, tanpa meletakkan saat sujud dan ruku’ maupun mengangkatnya ketika berdiri maka hal ini boleh, dan ia tidak termasuk yang membatalkan shalat.
f)     Hukum Wanita menjadi Imam Shalat
     Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita tidak dibolehkan menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki, namun diperbolehkan ia mengimani bagi kaum wanita.
     Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad, dalam satu riwayat membolehkan. Sedangkan Imam Malik melarangnya.[9]
     Ulama Hanafiyah berpendapat, “Wanita tidak boleh mengimami kaum laki-laki sama sekali dan shalatnya dianggap tidak sah dan tidak boleh diikuti, namun ia boleh menjadi iman bagi wanita lain karena kedudukan mereka sama. Akan tetapi, shalat wanita shalat sendiri lebih utama karena jamaah mereka dihapuskan.”



[1] Lajnah min Kubbar Al-‘Ulama, Al-Mu’jam Al-Wajiz, (Cairo: Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 369.
[2] Nashb Ar-Rayah, Jilid I, hlm. 109.
[3] Ad-Durr Al-Mukhtar, Jilid I, hlm. 326.
[4] Attadhib
[5] Al-Qurthubi, Ahkam Al-Qur’an, jilid II, (Cairo: Dar Asy-Sya’ab, t.t.), hlm. 4671.
[6] Al-Mughni, Jilid I, hlm. 599.
[7] Nail Al-Authar, jilid 2, hlm. 365.
[8] Nail Al-Authar, jilid 2, hlm. 136.
[9] Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, Jilid I, hlm. 145.

Makalah Syariat, Tharikat, Hakikat & Ma’rifat

SYARIAT, THARIKAT, HAKIKAT, & MA’RIFAT 

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad

BAB I
 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam.spiritualitas ini dapat mengambil bentukyang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia , tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya .
 Dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya ,dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan kehidupan akhirrat ketimbang kehidupan dunia yang fana, sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek esoterik ketimbang eksoterok, lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah. Tasawuf dalam arti sikap rohani takwa yang selalu ingin dekat dengan Allah SWT., dihubungkan dengan arti syari’at dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, baik hablum minallah, hablum minannas, maupun hablum minal ‘alam, mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat dalam arti hakiki harus sepadan, simultan dengan tujuan tasawuf, yaitu melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yaqin dan makrifatullah yang tahqiq.
Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah ( dengan tekun ) dan menjauhkan ( diri ) dari ( sikap ) mempermudah ( ibadah ), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah. Dan tareqat merupakan jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keIslaman dengan berbagai pembagian di dalamnya, yaitu tasawuf akhlaki dan tasawuf falsafi.Tahapan tasawuf yaitu syariat, tarekat,ma’rifat, dan hakikat. Dan di sini kita akan membahas mengenai pengertian hakikat, syaria, tarikat, ma’rifat.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud syariat ?
2.      Apa yang dimaksud tarekat ?
3.      Apa yang dimaksud hakikat ?
4.      Apa yang dimaksud ma’rifat ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.      SYARIAT

Hubungan Syari’ah dan Tasawuf
Tasawuf dalam arti sikap rohani takwa yang selalu ingin dekat dengan Allah SWT., dihubungkan dengan arti syari’at dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, baik hablum minallah, hablum minannas, maupun hablum minal ‘alam, mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat dalam arti hakiki harus sepadan, simultan dengan tujuan tasawuf, yaitu melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yaqin dan makrifatullah yang tahqiq.[1]
Untuk mencapai tujuan tasawuf dalam artian ini, maka seluruh aktifitas syari’at harus digerakkan, dimotivasi, didasarkan dan dijiwai oleh hati nurani yang ikhlas lillahi ta’ala untuk memperoleh ridla Allah dan kemaslahatan umat yang menjadi tujuan syari’at. Setelah itu, memperkokoh dan mentahqiqkan tauhid makrifatullah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an, yang artinya:
“dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahku.”(Q.S. adz-Dzariyat:51-56) “tasawuf adalah jiwa yang memberi power kepada syari’at, sedangkan syari’at adalah power itu.”
Syari’at dilaksankan oleh anggota dzahir manusia yang mengadakan dan membuka hubungan dengan Allah SWT., sedangkan powernya melalui rohani batin yang datang langsung dari Allah SWT. Ibarat listrik, kabel adalah syari’at-syari’at lahirnya, sedangkan setrum adalah power melewati kabel yang bersumber dari central dynamo. Power itu adalah wasilah dari Allah SWT. melalui Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW. terus bersambung, berantai melalui ahli silsilah, sejak dari Nabi Muhammad SAW., kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq sampai Syekh Mursyid terakhir.[2]
Para ahli silsilah atau Syekh Mursid itu, bukan perantara, tetapi wasilah carrier, hamilul wasilah, pembawa wasilah. Orang sufi bukanlah manusia akhirat saja, tetapi juga manusia dunia. Dia harus memenuhi fitrahnya. Terutama untuk tercapainya tujuan syari’at Islam, yaitu agama, jiwa, akal,harta dan keturunan.
Imam Malik RA, berkata: “barang siapa bersyari’at saja tanpa bertasawuf, niscaya dia berkelakuan fasik. Dan barang siapa bertasawuf tanpa bersyari’at, niscaya dia berkelakuan zindik. Dan barangsiapa yang melakukan kedua - duanya, maka sesungguhnya dia adalah golongan Islam yang hakiki.”
Imam Ali ad-Daqqaq mengatakan:
“perlu diketahui bahwa sesungguhnya syari’at itu adalah hakikat. Bahwa sesungguhnya syari’at itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah SWT. Demikian juga hakikat adalah syari’at untuk mengenal Allah. Hakikat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah.”(al-Qusyayri: 412)
Dengan demikian, integrasi tasawuf dan syari’at  menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang muslim. Syari’at merupakan elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran ihsan,
“an-ta’budallaaha ka-annaka tarah, fa-in-lam takun tarah, fa-innahu yarak.”
Implikasinya, jika dalam syari’at diwajibkan thaharah sebelum melaksanakan ibadah, maka untuk mampu menembus penglihatan Tuhan, tasawuf mewajibkan penyucian diri melalui pintu taubat.
Kehadiran tasawuf mampu memicu ats-Tsaurah ar-Ruhiyyah dan menjadi spirit bagi pelakunya. Sebaliknya, syari’at ibarat jalan yang akan dilalui oleh sufi dalam berevolusi. Apabila terlalu banyak hambatan dan lubangannya, jangan harap akan sampai pada terminal akhir.[3]



B.       TAREKAT

Pengertian Tarekat
Asal kata “tarekat” dalam bahsa Arab ialah “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.[4]Tarekat adalah jalan yanng ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim.[5]
Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama.[6]
Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
 ا لطر يقة هي ا لعمل با الشر يعة و ا لاخذ بعزا ئعها و ا لبعد عن ا لتسا هل
 فيما لا ينبغي ا لتسا هل فيه
Artinya:
“Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah ( dengan tekun ) dan menjauhkan ( diri ) dari ( sikap ) mempermudah ( ibadah ), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah”[7]

االطر يقة هي ا جتنا ب ا لمنهيا ت ظا هرا و با طنا وا متثا ل ا لا وا مر ا لا لهية
 بقد ر ا لطا قة
Artinya:
“Tariqat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan yang nyata maupun yang  tidak
( batin ).” 
 الطر يقة هي ا جتنا ب ا محر ما ت و ا لمكرو ها ت و فضو ل ا لمبا حا ت
 و ا دا ء ا لفرا ئض فما ا ستطا ع من ا لنوا فل تحت ر عا ية عا ر ف من ا هل ا لنها ية
Artinya:
“Tariqat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah ( yang sifatnya mengandung ) fadilah, menunaikan hal - hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan
( pelaksanaan ) di bawah bimbingan seorang arif ( Syekh ) dan ( Sufi ) yang mencita-citakaan dengan suatu tujuan.”[8]

Hubungan Tariqat Dengan Tasawuf
Dalam ilmu tasawuf istilah tarikat tidak saja ditunjukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang ditunjukan oleh seorang syaih tariqat (mursyid) dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syaih tariqat , tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam, seperti halnya shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Ajaran tersebut merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[9]

Di dalam tariqat yang sudah melembaga, tariqat mencakup semua aspek ajaran Islam seperti shalat, puasa, zakat, jihad, haji, dan sebagainya, telah diketahui  bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha unuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Dan ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tariqat yang sebenarnya, dengan demikian bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tariqat adalah cara atau jalan yang ditempuh seorang dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah.


     Sejarah Timbulnya Tariqat
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tariqat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui  dengan pasti , namun De. Kamil Musthafa Asy-syibi dalam tasisnya mengungkapkan tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tariqat syaih Abdul Qasiir al-Zailani ( 561 M-1166 H ) di Bagdag, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di mesir denagan tariqat Rifa’iyyaah, dan Jalal ad-din ar-rumi (672 H-1273 M) di Parsi.[10]
Pada awal kemunculannya, tariqat berkembang dari dua daerah yaitu, Khusaran ( Iran ) dan Mesopotamia ( Irak ) pada periode  ini mulai timbul beberapa diantara tariqat Yasafiyah yang didirikan oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani.[11]
( 9617 H.1220 M ) tariqat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhamad Badauddin an-Naqsabandi al-Awisi al-Bukhari ( 1389 M ) di Turkistan, tariqat Khalwatiyah yang didirikan oleh  Umar al-Khalwati (1397 M ).[12]
     Aliran-aliran Tariqat Dalam Islam
1. Tariqat Qadiriyah, yang didirikan oleh Muhy Ad-Din abd al-Qadir al-Jailani ( 471 h/1078 M
2. Tariqat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili ( 593- 656 H/ 1196-1258 M )
3. Tariqat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Baharuddin an-Naqsabandi al-Asisial-Bukhari (1389 M ) di Turkistan.
4. Tariqat Yasafiyah dan Khawajaqawiyah, tariqat Yasafiah didirikan oleh Ahmad al-Yasafi ( 562 H/1169 M ) sedangkan Khawajaqawiyah didirikan oleh Abd al-Khaliq al-Ghuzdawani ( 617 H/1220 M )
5. Tariqat Khalwatiyah  yang didirikan oleh al-Khalwati ( 1397 M )
6. Tariqat Syatariyah yang didirikan oleh Abdullah bin Syatar ( 1485 ) di India
7. Tariqat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’i ( 1106-1182 )
8. Tariqat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah yang didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim dan mengajar di Mekah pada pertengahan  abad ke-19
9. Tariqat Summaniyah yang didirkan oleh Muhammad bin Abd al-Karim al-Madani Asy-Syafi’i as-Samman ( 1130-1189/1718-1775 )
10. Tariqat Tijaniah yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhamad at-Tijani ( 11501230 H/1737-1815 M ).
11. Tariqat Chistiyah yang didirikan oleh Khwajah Mu’in Ad-Din Hasan
12. Tariqat Mawlawiyah, yang didirikan oleh Syekh al-Kabir Gelminski
13. Tariqat Ni’matullah yang didirikan oleh Syaih Ni’matullah
14. Tariqat Sanusiyah yang didirikan oleh Sayyid  Muhammad bin Ali as-Sanusi.[14]
 
C.      HAKIKAT
Para sufi menyebut diri mereka ahl al haqiqah. Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran yang hakiki. Karena itu, mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan “al-haqq,” seperti yang tercermin dalam ungkapan al Hallaj, “ana al Haqq” (aku adalah Tuhan). Obsesi penafsiran mereka terhadap formula “la ilaha illa Allah” yang mereka artikan “tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah.”
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, keberadaan yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidaklah hakiki, atau nisbi, dalam arti tergantung pada kemurahan Tuhan. Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, penyebab dari segala yang ada dan tujuan akhir, tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi di dalam kegelapan tersebut. Dia jualah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari persembunyiannnya yang panjang.
Al-Qur’an menggambarkan Tuhan sebagai “al-Awwal” dan “al-Akhir”, “al Zahir”, dan “al Batin”. Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau prinsip atau asal dari segala yang ada. Dialah causa prima, sebab pertama dari segala yang ada/ maujudad di dunia ini. Dia yang akhir diartikan sebagai tujuan akhir atau tempat kembali dari segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia. Dialah pulau harapan kamana bahtera kehidupan manusia berlayar. Inilah tujuan akhir sang sufi mengorientasikan seluruh eksitensinya.

D.      MA’RIFAT

Pengertian dan Tanda Ma’rifat
Dari segi bahasa, Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman.[15] Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.       Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ قَلْبِ بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
Ma’rifah adalah  ketepatan  hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.”
b.      Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
                                                                       اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
c.       Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:

اْلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ، فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).[16]
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.         Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.         Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c.         Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Hakikat Ma’rifat
Ada segolongan orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1.      Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya tertutup, dan waktu inilah yang dilihat hanya Allah.
2.      Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin maka apa yang dilihatnya hanya Allah.
3.      Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah SWT.
4.      Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua orang yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[17]
”Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifah adalh pengetahuan Sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifah). Sehingga ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum Sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya. Disamping itu juga mereka mereka didalam hatinya penuh dengan cahaya.
Untuk  memperoleh “Ma’rifah” tentang Tuhan, Zunun Al-Misrilah mengatakan:
عَرَفْتُ رَبّى وَلَوْلاَرَبّى لَماَ عَرَفْتُ رَبّىِ
Artinya:
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekitarnya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifat itu ada tiga:
1.      Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2.      Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah hukum.
3.      Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.[18]
Jalan Ma’rifat
Menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1.      Qalb ( اَلْقَلْبُ ) fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan.
2.      Ruh (اَلرُّحُ ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3.      Sir ( اَلسِّرُّ ) fungsinya untuk melihat Tuhan.
Kedudukan Sir lebih halus dari Ruh dan Qalb. Dan ruh lebih halus qalb. Qalb di samping sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat mengetahui Hakikat dari segala  yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Posisi Sir ( اَلسِّرُّ )bertempat di dalam Ruh. Dan ruh ( اَلرُّوْحُ )sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). Dan sebaliknya mereka yang melakukannya ( orang Sufi ) yang dilihat hanyalah Allah SWT.
Pada kedudukan diatas ia (orang Sufi) telah berada pada tingkat “Ma’rifah”. Sifat dari Ma’rifah Tuhan bagi seorang Sufi adalah kontinyu (terus menerus). Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang Sufi semakin dengan Tuhan. Namun untuk memperoleh ma’rifah yang penuh tentang Tuhan mustahil, sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.
Disamping itu, proses sampainya qalb pada cahaya tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri sari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan Tajalli adalah tersingkapnya hijab (penutup) sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.[19]

Macam-macam Ma’rifat
Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifat Laduniah.

1.    Ma’rifat  Ta’limiyat
Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama. Karena itu, adannya alam semesta menujukan adanya nama-nama Tuhan, nama-nama Tuhan itu menujukan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada hubungannya dengan Dzat-Nya, Ilmu-Nya, kekerasan. Keagungan-Nya dan tiada batasnya. Sifat-sifat tersebut itu selalu berdiri sendiri dan bergantung pada Dzat-Nya sebab tidak mungkin kalau ada sifat tetapi tidak ada yang disifati. Adapun yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya  :  “Serulah Allah atau Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang baik”. (Q.S. Al-Isra’: 110)
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya  salik (muta’alim) memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan  proses perjalanan ruhani (suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in sampai ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
Adapun Arifubillah Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk), ialah mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan taat lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud mendapat ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah,  arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain, sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk Allah semata. Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan mengalami keyakian dekat dengan Tuhan. Firman Allah:
فَاْسلُكِى سُبُلَ َرّبِكَ ذُللاًّ
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan bagimu. Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan sapai kepada Tuhan”.
Kearah menempuh tujuan itu, salik (muta’alim) menempuh bermacam-macam cara yang dapat membawa meraka yang pada akhirnya sampai pada hadirat Allah :al-Ghazali menyebutkan cara tersebut berupa Penyucian jiwa (tazkiyat an-nafs) artinya sesorang harus melakukan penyucian jiwa  terlebih dahulu. Perolehan Ma’rifat  yang merupakan hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus terlebih dahulu dengan metode mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki stasiun demi stasiun menuju Tuhan, salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir dapat dipastikan bahwa telah memperoleh jiwa yang bersih dari segala kejahatan dan dosa, yang diakibatkan dari akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti ini akan bercahaya dengan segala sifat yang terpuji sehingga dapat menangkap gambar suatu informasi atau pengetahuan yang tertera di lauh al-Mahfudh, yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya dalam kondisi Ma’rifat.
Adapun fase-fase yang harus ditempuh  kerah mencapai hakikat, salik (muta’alim) dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase :
Fase 1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.
Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah hati dan ruhani telah bersir dan diisi dengan amalan batin (dzikir), maka pada fase ini salik didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
Fase 3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri. Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin  untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci, Imam ghazali mengumpamakan seperti kaca cermin yang dapat menangkap sesuatu apapun yang bersifat suci, sehgingga salih dapat menerima informasi hakiki tentang Allah.
Fase 4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada martabat  menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”
2.    Ma’rifat Laduniyah
Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian  kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifat Laduniyah. Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara  (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan –seperti talqin dari - sufi.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al Bistami bahwa “Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mahdjub) jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan apabila ia lupa, maka bodohlah ia ”Seorang yang ‘alim (ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan pelajaran. Orang seperti ini pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai ‘alim ar-Rabani -orang yang berpengetahuan ketuhanan-. Dengan demikian Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف : 65
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifat laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya. Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah. Oleh karena itu, para sufi tidak tertelan belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara radikal terhadap kenyataan alamiyah seperti halnya ilmuwan. Para sufi menginginkan jalan pintas untuk memperoleh sumber asli dari segala ilmu  yang tersurat di lauh mahfudz. Penghayatan Kasf dan Zauq itu berada dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu semata-mata untuk memasuki  hadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau hadharah Rububiyah (hadirat ketuhanan), akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat lebih signifikan karena keberadaan musyahadah dan mukasyafah bergantung pada Ma’rifat dan dengan Ma’rifat pula, ilmu laduni ikut menyertainya.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian kepadamu mengenai  kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan Ibadah.  Ibadah yang dilakukan dengan anggota lahir sebagai persaksian mengenai keagungan  dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya”.[20]

Manfaat Ma’rifat
Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan  sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja sekolahtinggi, luaspengetahuan, gelarprestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Allah.
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laakhaufun 'alaihim walahum yah zanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taatkepadaAllah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama,Hidup selalu berada di jalan yang benar (ontherighttrack).
Kedua,memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut  lahir dari terjaganya keimanan.
Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
Keempat,seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat.
Kemampuan Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai power untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa mempertimbangkan pernghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia hanya Hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang menggerakkan.[21]
Tokoh Ma’rifat
Dalam litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat, yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.[22]
Al-Gazali mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada khayalak ramai.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan cinta keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala arah yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang kembali”.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Pada 499 H = 1105 M, Al-gazali pulang kembali ke Niesabur dengan hati yang penuh bangga sebagai seorang pahlawan yang gagah yang pulang dangan kemenangan dari suatu pertempuran terhadap kepulangannya ini, dikatakan oleh H.K. Sherwani: “Malik Shah was Succeeded by his youngest son, mahmud, was in turn succeeded by his eldest by brother barqijaruq, while another of Malik Shahs son, Sanjar, gevernor of Khorrasan, made Nizamul Mulk’s son Fakru’l Mulk his shief minister, and he, true to tradition of his illustrious melalui jalan yang aneh-aneh. Dikatakan bahwa waktu Rabiah menghadapi maut, ia minta teman-temannya meninggalkannya, dan ia menyilakan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu teman-teman itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadah, dan ada suara yang menjawab, “Sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya, ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya”.
Diantara doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah ada doa yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, diatas atap rumahnya. “Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”
Doa lain : “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembahmu-Mu karena harap akan surga jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau maka janganlah Kau tutup Keindahan Abadi-Mu.[23]
Adapun Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun 246H/865M.[24] Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan takut terpalingkan dari jalan yang benar.[25] Dalam sebuah hikayat, Dzunnun terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta mustajab do’anya. Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul ketika terjadi sebuah peristiwa yang menunjukkan karomah yang dimilikinya. Pada saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga yang mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun berdoa dan memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan melalui ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal kemudian menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu tinggi. Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik manusia biasa. Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah tingkatan yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini mengakui adanya Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua tingkatan Teolog atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan pertimbangan empiris dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam penyingkapan bathin. Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi didalam kema’rifatan, yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan melalui sanubarinya. Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan mengetahui ciri-cirinya yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau rasa takut kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari segalanya. Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk dicintainya bahkan masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari pada berpisah dari sang khaliq. Dalam berbagai pandang yang disampaikan, Dzunnun ternyata banyak membawa dampak dan inspirasi bagi ulama’ sesudahnya.[26]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tasawuf dalam arti sikap rohani takwa yang selalu ingin dekat dengan Allah SWT., dihubungkan dengan arti syari’at dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, baik hablum minallah, hablum minannas, maupun hablum minal ‘alam, mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat dalam arti hakiki harus sepadan, simultan dengan tujuan tasawuf, yaitu melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yaqin dan makrifatullah yang tahqiq.
Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah. Dan tareqat merupakan jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
        Hubungan tasawuf dengan tareqat yaitu, tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tariqat adalah cara atau jalan yang ditempuh seorang dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun sejarah timbulnya tareqat, Harun Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali memenghalalkan tasawuf yang sebelumnya yang dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia Islam, melalui tarikat. Tariqat adalah organisasi dari pengikut-pengikut sufyn besar, yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya, tariqat memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat, ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya.
Para sufi menyebut diri mereka ahl al haqiqah. Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran yang hakiki. Karena itu, mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan “al-haqq,” seperti yang tercermin dalam ungkapan al Hallaj, “ana al Haqq” (aku adalah Tuhan). Obsesi penafsiran mereka terhadap formula “la ilaha illa Allah” yang mereka artikan “tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah.”
Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2000, Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Hasan F Abdillah. 2004. Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam. Surabaya: Jawara.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr,t.t.
Makluf, Luis. 1986,  Al-Munjid Fi Al-Lughat Wa Al-A’lam. Bairut: Dar Al-Masyrik
Mustafa, Ahmad. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Mustofa, A. 2007, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Mustofa, A. 2010, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Harun,1983, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1986, Perkembangan Tasawuf Di Dunia Islam. Jakarta: Depag RI
Renard, John. 2006. Mencari Tuhan Menyelam ke Dalam Samudra Makrifat. Bandung: Mizan.
Schimel, Annemarie. 1986, Dimesti Mistik Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Solihin, M. 2008,  Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Tebba, Sudirman. 2006. Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual. Jakarta: Pustaka Irvan.
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Studi al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung.


[1] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1983).
[2] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), hlm. 162-178.
[3] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 62.
[4] Luis Makluf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam ( Bairut: Dar Al-Masyriq, 1986 ), hal.465.
[5] M. Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008 ), hal.203.
[6] Annemarie Schimel, Dimensi Mistik dalam islam ( jakarta: Pustaka Firdaus, 1986 ), hal.101.
[7] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf ( Bandung: Pustaka Setia, 2007 ),hal.280.
[8]A. Mustofa, Akhlak Tasawufhlm.280-281.
[9] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi, Pengantar Ilmu Tasawuf ( Sumatra Utara, 1981/1982 ),hal.273.
[10]M. Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm.207.
[11] Harun Nasution, Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam,hlm.24.
[12] Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000 ), hal.167.
[13]Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm.168.
[14]M. Solihin, Ilmu Tasawuf,hlm.217-218.
[15]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 303.
[16] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, hlm. 254.
[17] Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, (Jakarata: Pustaka Irvan: 2006), hlm. 161.
[18] Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual,hlm. 162.
[19] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi al-Qur’an, hlm. 306-307.
[22] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi al-Qur’an, hlm. 309.

[23] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, hlm. 271.
[24] Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004), hlm. 137.
[25] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi al-Qur’an, hlm. 310.
[26] Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam, hlm. 137-138.