Ayo Sinau...!!!

Sabtu, 28 Mei 2016

Makalah Ilmu Kalam: Asy’ariyah

ASY’ARIYAH


Oleh:
Tomy Muhlisin Ahmad, Diwanti Ikesari & Nasirotus Salamah





I.         PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Sejarah awal kemunculan madzhab-adzhab teologi dalam Islam. Awal munculnya teologi Islam tidak terlepas dari permasalahan politik yang akhirnya terus berkelanjutan kepada permasalahan yang sesungguhnya yaitu bercorak agama. Sehingga hal ini kemudian menjadi pembicaraan yang pelik dalam teologi Islam.
Persoalan teologi yang sesungguhnya pada hakekatnya banyak sekali dan ruang pembahasanya cukup mendasar. Tidak bisa terlepas realitas sejarah awal madzhab-madzhab tersebut. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik yang akhirnya meluas ke permasalahan ajaran dan pemahaman agama Islam. Sehingga dapat kita ketahui sesungguhnya sebab pertentangan itu adalah karena ingin memperebutkan kekuasaan politik yang mengakibatkan banyak jatuh korban. Masalah politik sudah merembet ke permasalahan aqidah atau kepercayaan, sehingga dalam perkemmbangan selanjutnya memunculkan berbagai paham atau madzhab teologi dalam Islam.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah singkat munculnya aliran Asy’ariyah ?
2.      Bagaimana ajaran-ajaran pokok pandangan Asy’ariyah ?
3.      Bagaimana perkembangan dan pengaruh aliran Asy’ariah ?
4.      Bagaiman aliran-aliran Asy’ariah identik dengan aliran Ahlussunnah Wal Jamaah dan ?
II.      PEMBAHASAN
A.    Sejarah Singkat Munculnya Aliran Asy’ariyah
Tasy Kubra Zadah menerangkan: “ ... dan aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari di sekitar tahun 300 H, ia lahir tahun 260 H, dan menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun.” Dengan kata lain Asy’ari keluar meninggalkan golongan Mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri, yakni Asy’ariyah. Sebab Abu Asy’ari meninggalkan pahamnya karena pada suatu malam ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW., mengatakan kepadanya bahwa madzab ahli Haditslah yang benar, dan madzab Mu’tazilah salah. Sebab lain karena perdebatan al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’i yang dalam perdebatan tersebut dimenangkan oleh muridnya.[1]
Setelah al-Asy’ari mengasingkan diri di rumahnya selama lima belas hari untuk merenungkan, kemudian ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basroh bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[2]
B.     Ajaran-ajaran Pokok dan Pandangan Asy’ariyah
Pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yang menjadi i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, antara lain:
1.      Tuhan Mempunyai Sifat
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian juga dengan sifat-sifat lainnya, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
2.      Al-Qur’an bukanlah Makhluk
Sebab, untuk menciptakannya kun  ini perlu kun yang lain, demikian seterusnya, sehingga terdapat rentetan kata kun yang tidak berkesudahan. Ini tidak mungkin, maka Al-Qur’an tidak mungkin diciptakan (makhluk).
3.      Tuhan dapat Dilihat di Akhirat
Dengan alasan, sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang membawa arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini. Sebab, yang dapat dilihat tidak mesti membawa arti bersifat diciptakan. Maka, jika Tuhan dapat dilihat, maka tidak mesti berarti harus bersifat diciptakan.
4.      Perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diciptakan sendiri, tetapi diciptakan Tuhan
Al Asy’ari menggunakan istilah kasb untuk perbutan manusia yang diciptakan Tuhan. Untuk mewujudkan perbuatan yang diciptkan itu, daya yang ada dalam diri manusia tidak mempunyai efek.
5.      Tentang Antropomorphisme
Al-Asy’ari menerima apa yang terdapat dalam nash, seperti Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dsb. Tetapi tidak ditentukan bagaimana (bila, kaifa) , yaitu tidak mempunyai bentuk dan batasan (layukayyaf wa la yuhad).
6.      Keadilan Tuhan
Bagi Al-Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak, dan tidak ada satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat menurut kehendak-Nya, sehingga ajika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam neraka, bukanlah Ia bersifat zalim. Maka al-Asy’ari tidak setuju dengan ajaran mu’tazilah tentang al-wa’du wal wa’idu.
Menolak posisi menengah (al-manzilat bainal manzilatain). Bagi al-Asy’ari, orang yang berdosa tetap mukmin, karena imannya masih ada. Dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi  fasiq. Jika orang yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak kafir, maka didalam dirinya tidak terdapat kufur atau iman. Maka, ia bukan atheis dan bukan pula monotheis. Ini tidak mungkin. Maka tidak mungkin pula, orang yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak kafir.[3]
C.    Perkembangan dan Pengaruh Aliran Asy’ariah
Pemikiran Asl-Asy’ari adalah tali penghubung antara dua aliran dalam pikiran Islam yaitu aliran Textualis dan aliran baru yaitu rasionalis.[4] Mengadakan perpaduan antara kedua aliran itu, pengaruh aliran Asy’ariah lebih cepat berkembang, apalagi Al-Asy’ari telah terlatih oleh Mu’tazilah sendiri dan puluhan tahun bergaul, sehingga tahu benar kelemahan pikiran Mu’tazilah yang tidak/ kurang berpegang pada hadits.
Menurut Ahmad Amin yang menjadi faktor meluasnya pengaruh Al Asy’ari kedalam masyarakat maupun di kalangan ulama besar pada waktu itu ialah:
1.      Masyarakat umum telah bosan dengan banyak masalah-masalah yang diperdebatkan dengan berlarut-larut (tanpa ada kesudahannya) serta ujian-ujian yang mereka saksikan atau dengan mereka dengan secara langsung.
2.      Argumentasi As-Asy’ari di lengkapi dengan dalil-dalil yangn kuat membuat orang tertarik padanya.
3.      Sejak pemerintahan Al-Mutawakil Mu’tazilah tidak lagi sebagai suatu aliran resmi dari negara/ pemerintah.
4.      Partisipasi para ulama yang tinggi kedudukannya dalam masyarakat telah terarahkan kepada Asy’ari dan menjauhkan mereka dari paham Mu’tazilah.
5.      Setelah jatuhnya dinasti Buaihi yang menganut Syi’ah, Asy’ariah yang datang sebagai penggantinya dinasti.
Di samping itu dalam perkembangannya selanjutnya Asy’ari selalu dapat uluran tangan dari penguasa dalam penyiaran ajarannya. Hal ini dapat di lihat dalam sejarah di antara penguasa yang membantu perkembangan Asy’ari ialah kerajaan Shalahuddin Al-Ayyubi di Mesir, Muhammad bin Tumart dengan kerajaan Muwahhidin-nya di Andalusia (Spanyol) dan Afrika Utara Barat, dan Mahmud Ghanawi di India dan Iran.
Ajaran aliran Asy’ariah sempat dipelajari di perguruyan tinggi Islam yang terkenal seperti Universitas Nizamiah dan sekolah tinggi Islam di Baghdad, dan masuk ke Indonesia melalui pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang hampir tersebar di seluruh tanah air, hingga sekarang pengaruh aliran Asy’ariah masih kokoh dan kuat dibidang teologi Islam.
D.    Aliran-Aliran Asy’ariah Identik dengan Aliran Ahlussunnah wal Jamaah
Sebutan Ahlussunnah wal Jamaah dalam sejarah timbul sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazilah, dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajarannya.
Kemauan yang keras dari para pemimpin Mu’tazilah untuk menyiarkan ajarannya secara kekerasan pernah terjadi yaitu suatu peristiwa yang dinamakan “Mihnah” yaitu cara untuk menguji para hakim dan para pemimpin masyarakat, untuk mengetahui siapa yang mengakui Qur’an qadim berarti musyrik, maka tidak berhak menjadi hakim atau pemimpin masyarakat; oleh sebab itu harus dipecat atau dihukum.
Keadaan tersebut hingga menimbulkan kekacauan, sehingga pada waktu al-Mutawakkil menjadi Khalifah, membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai aliran negara tahun 848 M. Sejak itu turunlah pengaruh Mu’tazilah dan menjadi aliran minoritas.
Selanjutnya Mu’tazilah tidak begitu berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan sahabat, tetapi karena ragu akan keorisinilan hadits-hadits yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat di pandang sebagai aliran yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Dengan demikian Mu’tazilah di samping aliran minoritas, juga aliran yang tidak berpegang pada sunnah. Dari sinilah timbulnya sebutan ahli sunnah wal jamaah, yang merupakan mayoritas umat Islam, sebagai lawan aliran Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka sunnah dalam sebutan ini berarti hadits, sebagaimana di terangkan Ahmad Amin. Ahli Sunnah wal Jamaah berlainan dengan Mu’tazilah, karena percaya dan menerima hadits-hadits sahih tanpa memilih.
Sebutan ini yang kelihatan banyak dipakai sesudah timbulnya aliran Asy’ariah dan Maturidi, dua aliran ini yang menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun, sekitar tahun 300 H. keluar dan membentuk teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri.
Maka, bagaimanapun yang dimaksud dengan aliran ini Ahli Sunnah Wal Jamaah di lapangan teologi Islam/Ilmu Kalam adalah aliran Asy’ariah dan Maturidiah.[5]
III.   KESIMPULAN
Madzab Asy’ariah adalah sebuah paham yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Dulunya al-Asy’ari adalah pengikut madzhab Mu’tazilah, tetapi pada perkembangan selanjutnya ia menolak paham-paham orang Mu’tazilah dan memisahkan diri dari pemikiran Mu’tazilah. Asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan rasional dan golongan tektualis, dan ternyata jalan yang diambil al-Asy’ari tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.
IV.   PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA
Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2014. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikirannya
Ahlussunah wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhaimin. 1999. Ilmu Kalam Sejarah dan Aliran-aliran. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo.

Munir, Ghazali. 2010. Ilmu Kalam, Semarang: Rasail.
Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta:
UI-Press.





[1] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), 65-68.
[2] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikirannya Ahlussunah wal Jama’ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 147-148.
[3] Ghazali Munir, Ilmu Kalam, (Semarang: Rasail, 2010), hlm.65-66.
[4] Aliran Textualis atau di sebut al-Hasywiah, hanya berpegang pada bukti lahir nash agama saja. Sedangkan aliran Rasionalis (Mu’tazilah- red), dengan cara menggunakan akal.
[5] Muhaimin, Ilmu Kalam Sejarah dan Aliran–aliran, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999), hlm. 131-136.

Selasa, 24 Mei 2016

Makalah Tafsir Tarbawiy: Kewajiban Belajar Mengajar

KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad





I.  PEMBAHASAN
A.    Makna Belajar dan mengajar dalam al-Quran
Di dalam Al-quran terdapat istilah yang berkonotasi belajar, yaitu ta’allama dimana dalam istilah harfiah ta’allama dimaknai menerima ilmu sebagai akibat dari suatu pengajaran. Berdasarkan definisi diatas dapat diartikan secara sederhana bahwa belajar yakni suatu aktivitas yang diperoleh lewat proses pengajaran dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.[1]  Penjelasan belajar dalam Al-quran tidak jauh beda dengan definisi dalam ilmu psikologi pendidikan, dimana makna belajar (learning) yaitu kegiatan yang mengacu adanya perubahan perilaku dari segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan.[2]
Berdasarkan definisi diatas belajar dapat dimaknai sebagai proses pembelajaran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dimana kegiatan belajar ini mampu merubah manusia dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Sehingga berpengaruh juga terhadap implementasi sikapnya. Bagaiamana manusia harus bersikap dengan pengatahuan yang telah diperolehnya.
Selanjutnya membahas makna “mengajar” yang mempunyai akar kata sama halnya dengan belajar, yakni belajar dari kata “ajar”. Secara harfiah mengajar diartikan kepada memberikan pembelajaran. Artinya, mengajar sebagai suatu pekerjaan melibatkan berbagai hal, yaitu guru sebagai pengajar lalu adanya materi belajar dan peserta didik.
 Mengajar dalam Al-quran menggunakan makna ‘allama. Menurut Luis Ma’luf mengartikan kata ‘allama yakni lebih condong membuat orang mengetahui. Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya mengajar yaitu menyalurkan ilmunya kepada peserta didik. Agar peserta didik dapat mengerti dan memahami suatu pengetahuan yang diajarkan. Kegiatan itu meliputi kegiatan sepihak dan interaktif kedua belak pihak. [3]


B.  Makna Kewajiban Belajar dan Mengajar     
Q.S Al-Alaq: 1-4
 اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)  خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam”.
Disebutkan dalam hadits-hadits sahih bahwa Nabi Muhammad saw. Mendatangi gua hira’ untuk tujuan beribadah beberapa hari, beliau kembali kepada istrinya (Siti Khadijah) untuk mengambil bekal secukupnya. Hingga pada suatu hari didalam gua, beliau dikejutkan oleh mlaikat pembawa wahyu ilahi. Malaikat berkata kepadanya, “Bacalah!” beliau menjawab “saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan bahwa untuk kedua kalinya malaikat memegang Nabi dan menekan-nekannya hingga Nabi kepayahan dan setelah itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya, “Bacalah!” kemudian Nabi menjawab dengan jawaban yang sama. Yang ketiga barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan oleh malaikat yaitu surah al Alaq 1-5.[4]
                        Munasabah
Surah sebelumnya (At-Tin) menurut tertib usmani, pada surah sebelumnya Allah menjelaskan proses kejadian yang diciptakannya dalam bentuk paling baik. Pada surah ini Allah menjelaskan asal kejadian manusia yang diciptakan dari segumpal darah. Hanya saja dalam surah ini dijelaskan tentang keadaan hari kiamat yang merupakan penjelasan bagi surah yang lalu.[5]
Surat Al-Alaq tema utamanya adalah pengajaran kepada Nabi Muhammad SAW. serta penjelasan tentang Allah dalam sifat dan perbuatan-Nya, dan bahwa Dia adalah sumber ilmu pengetahuan. Menurut Al-Baiqa’i tujuan utamanya adalah perintah kepada manusia untuk menyembah Allah SWT. Sang pencipta Yang Maha Kuasa, sebagai tanda syukur kepada-Nya.
Kandungan ayat ini adalah mengingatkan beliau tentang kebersamaan Allah yang tujuannya adalah agar beliau tidak ragu atau berkecil hati dalam menyampaikan risalah sesuai dengan apa yang di perintahkan-Nya, pada akhir surat Ad-dhuha.[6]
Jika dikaitkan dengan kewajiban belajar mengajar, maka terdapat beberapa titik temu sebagai berikut:
1. Dalam surat ini, Muhammad SAW berperan sebagai seorang murid sebab beliau adalah orang yang mencari suatu petunjuk dengan jalan kontemplasi dengan semangat yang tinggi. Dari sini dapat ditarik kesimpulan sebagai seorang abdi atau murid harus mempunyai semangat mencari ilmu dan mengawalinya dengan upaya penyucian jiwa, sehingga muncul dalam dirinya sikap tawadhu yang akan memudahkan dirinya dalam pembelajaran.
2. Malaikat dalam surat ini berperan sebagai guru yang bertugas mengajar nabi Muhammad SAW, Jibril tidak begitu saja memberikan pengajaran kepada Rasulullah, tetapi ia memberi pertanyaan dengan tujuan agar beliau betul-betul menyadari bahwa dirinya dalam keadaan terjaga. Sehingga ketika Muhammad menerima pengajaran tersebut beliau akan merasa yakin bahwa apa yang diterimanya merupakan kebenaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan disini terlihat bahwa inti dari peristiwa tersebut adalah menuntut agar seorang guru tidak langsung memberikan pengajaran kepada murid. Terlebih dahulu guru harus mencairkan suasana sehingga memudahkan murid dalam mencerna pelajaran yang disampaikan oleh seorang guru.
Pada ayat selanjutnya, Tuhan menyatakan, “Bacalah, dan Tuhanmu yang Mahamulia”. Menurut Ash-Shabuni, pengulangan kata iqra’ berfungsi untuk memberikan semangat terhadap aktivitas membaca pengetahuan. Senada dengan pendapat tersebut, Wahbah menyebutkan bahwa pengulangan tersebut sebagai penegasan terhadap arti pentingnya membaca. Sementara itu, menurut Quraish Shihab, iqra' pada ayat ini menunjukkan konsekuensi logis dari iqra' pada ayat pertama. Artinya, kemuliaan Tuhan akan segera tercurahkan bagi siapa saja yang sudah melakukan pembacaan terhadap dirinya, baik melalui ayat qur'aniyyah dan ayat qauniyyah.
Q.S. Al-Ghasyiyah: 17-20
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
                        Tafsirannya
Di dalam ayat-ayat ini terdapat pertanyaan dari Allah yang mengungkapkan bahwa apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan-Nya, unta yang berada didepan mata mereka dipergunakan pada setiap waktu. Bagaimana pula langit yang berada ditempat nan-tinggi dengan tidak bertiang, bagaimana gunung-gunung dipancangkan dengan kokoh, tidak bergoyang sehingga mudah didaki setiap waktu dan dijadikan petunjuk bagi orang yang sedang perjalanan. Terdapat diatasnya danau-danau dan mata air yang dapat dipergunakan untuk keperluan manusia dan mengairi tumbuh-tumbuhan dan memberi minum binatang ternak. Bagaimana pula bumi dihamparkan memberi kepada penghuninya untuk memanfaatkan apa yang ada diatasnya. Oleh karena itu, hendaklah manusia memperhatikan bagaimana Allah menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Sehingga mereka mengakui bahwa penciptanya dapat membangkitkan mereka kembali pada hari kiamat nanti.[7]
Dalam tafsir Al-maroghy dijelaskan pula bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang pengingkaran terhadap hari berbangkit yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Allah menanyakan kepada mereka, mengapa mereka tidak mau memikirkan unta yang ada dihadapan mereka, kalaupun mereka tahu betapa indahnya unta itu, badannya yang besar, tubuhnya kuat, sangat tahan terhadap haus dan lapar sehingga tidak ada hewan manapun yang menyamainya sehingga dijuluki orang sebagai “kapal padang pasir” adapun maksud dari ayat ini adalah untuk menyangkal dan mencela penolakan mereka terhadap hari kebangkitan.
Dalam ayat selanjutnya dijelaskan sebagai pengajaran kepada manusia, bagaimana langit ditinggikanpadahal tidak ada satu pun penyangganya. Dan gunung-gunung ditegakkan? padahal tidak ada pasak dibawahnya dan siapa yang mengkokohkannya? dan bagaimana bumi dihamparkan begitu luasnya sehingga manusia begitu leluasa melakukan segala kegiatannya. Itu sebagai pembuktian agar mereka sadar bahwa seluruh benda di alam ini, tiada lain pencipta-Nya, kecuali Allah SWT. Ini sebagai pelajaran sebagai manusia untuk bersyukur terhadap limpahan rahmat Allah SWT. [8]
Berdasarkan dua tafsiran diatas sesungguhnya Allah menciptakan keindahan Alam semesta ini dengan adanya binatang, gunung, danau, dan segala yang ada di bumi maupun di langit, sebagai bahan ajar manusia. Dimana manusia harus mampu berpikir akan kekuasaan Allah. Bagaimana manusia harus sekeptis dengan terbentuknya benda-benda dimuka bumi ini, sebagai pengetahuan keilmuan secara ilmiah. Semua itu agar manusia menjadi makhluk yang terdidik mencari tahu asal-usul terbentuknya muka bumi ini. Setelah mengetahui, berdasarkan pengetahuan yang didapat diharapkan manusia mampu mengelola anugerah yang diberikan Allah dan senantiasa bersyukur kepada-Nya.
Qs. At-Taubah ayat 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Terjemah
            (122) Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (kemedan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.

Munasabahnya
            Pada ayat-ayat yang lalu telah dijelaskan hukum-hukum tentang perang sebagai suatu cara dalam berjihad fi sabilillah, yang memerlukan pengorbanan harta benda dan jiwa raga, yang dicatat di sisi Allah sebagai amal saleh yang berhak untuk dibalas dengan ganjaran yang amat besar. Pada ayat ini, Allah menjelaskan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu-ilmu agama Islam, yang merupakan salah satu cara dan alat dalam berjihad. Menuntut ilmu serta mendalami ilmu-ilmu agama, juga merupakan suatu perjuangan yang meminta kesabaran dan pengorbanan tenaga serta harta benda.

Tafsirannya
             Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas pada masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, sebagian lagi harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif serta bermanfaat. Sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.[9]
            Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah. Sedang menuntut Ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan masyarakat.
            Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lain, karena sama-sama menerangkan hukum berijtihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan. Tugas ulama dalam Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas umat dan setiap pribadi muslim, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan maing-masing.
            Akan tetapi, tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islamiyah dengan cara dan metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.
            Apabila umat Islam telah memahami ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melakanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dan dunia akhirat.
            Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga kemanan dan ketertiban, dalam dinas kemiliteran dan kepolisian.
            Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidak dapat dibenarkan bila ada orang Iman yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan, sebagai kebanggan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan.[10]
            Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan harus menjadi pelita dan pembimbing bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam  ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama.
Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini, kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat menecerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban, adalah wajib pula hukumnya.[11]
Q.S Ali-Imron: 190-191
إنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Tafsirannya
 Ketika sedang tidur dengan istrinya yaitu Aisyah, Rasulullah beranjak dari tidurnya dan mengambil wudhu untuk shalat, membaca dan merenungkan Al- Qur’an. Beliau merasa seperti seorang hamba yang tidak bersyukur kepada Allah. Karena berkaitan dengan memikirkan pergantian siang dan malam, mengikuti terbit dan terbenamnya matahari, siang lebih lama dari malam dan sebaliknya. Semuanya itu menunjukkan atas kebesaran dan kekuasaan penciptanya bagi orang- orang yang berakal. Memikirkan terciptanya langit dan bumi, pergantian siang dan malam secara teratur dengan menghasilkan waktu- waktu tertentu bagi kehidupan manusia merupakan satu tantangan tersendiri bagi kaum intelektual beriman. Mereka diharapkan dapat menjelaskan secara akademik fenomena alam itu, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa Tuhan tidaklah menciptakan semua fenomena itu dengan sia-sia.
Salah satu ciri khas bagi orang berakal yang merupakan sifat khusus manusia dan kelengkapan ini dinilai sebagai makhluk yang memiliki keunggulan dibanding makhluk lain, yaitu apabila ia memperhatikan sesuatu, selalu memperoleh manfaat dan faedah, ia selalu menggambarkan kebesaran Allah, mengingat dan mengenang kebijaksanaan, keutamaan dan banyaknya nikmat Allah kepadanya, ia selalu mengingat Allah di setiap waktu dan keadaan, baik pada waktu ia berdiri, duduk atau berbaring. Tidak ada satu waktu dan keadaan dibiarkan berlalu begitu saja, kecuali diisi dan digunakannya untuk memikirkan tentang penciptaan dan bumi. Memikirkan keajaiban- keajaiban yang terdapat didalamnya, yang menggambarkan kesempurnaan alam dan kekuasaan Allah.
Penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dam siang, sungguh merupakan fenomena yang sangat kompleks, yang terus- menerus menjadi objek penelitian umat manusia, sejak awal lahirnya peradaban manusia.
Hanya para ilmuan dan filosof yang sangat ulung dan tekun serta tawadhu’, yang akan mampu menyingkap rahasia alam ini. Merekalah yang disebut sebagai Ulil Albab yang pada kesimpulannya “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka”.Intinya surat Ali Imran ayat 190-191 adalah Semua ciptaan Allah sebagai wujud kekuasaan- Nya dapat dijadikan objek pembelajaran dan ilmu pengetahuan oleh orang yang berfikir.
Dalam ayat ini terkandung pelajaran untuk orang-orang mukmin yang mau menggunakan akal pikirannya, selalu mengharapkan kepada Allah dengan pujian dan do’a, sesudah ia melihat bukti-bukti yang menunjukkan kepada keindahan hikmah, ia pun luas pengetahuannya tentang detail-detail alam semesta yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya.[12]
Produk yang ingin dilahirkan oleh pendidikan Islam adalah sosok intelektual yang berkepribadian berdzikir dan berpikir, sehingga ia menyadari dirinya dan alam lingkungannya sebagai suatu system yang mengambarkan fenomena kebesaran tuhan, untuk melahirkan produk seperti ini, maka belajar mesti dibangun atas prinsip iman dan akidah tauhid.[13]

C. KESIMPULAN
Manusia diciptakan Allah unutuk belajar, dimana belajar adalah proses untuk mengetahui segala yang ada. Berdasarkan pengertian belajar dalam Al-Quran lebih berorientasi agar manusia bertakwa kepada Allah, bersyukur akan kekuasaannya. Belajar yaitu activitas yang dilakukan lewat proses pengajaran agar manusia berubah, dimana yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Setelah mengetahui maka wjaiblah pengetahuan itu diamalkan. Diamalkannya bisa jadi lewat mengajar, membagi ilmunya kepada orang lain agar bermanfaat dan bisa memanusiakan manusia. Dimana proses pengajaran itu terdapat tiga unsure yaitu adanya guru, bahan ajar, dan peserta didik.
Kewajiban belajar jelas tertera dalam beberapa surah yang ada di Al-Quran. Contoh saja surah Al-Alaq yang menganjurkan manusia untuk membaca sebagai bahan ajar untuk mengetahui ilmu. Selanjutnya surah Al-Ghosiyah yang mewajibkan manusia untuk peka terhadap segala yang ada di bumi dan dilangit. Istilahnya kita dituntut untuk merenung agar kita tahu kekuasaan Allah dan mampu menjaganya lewat pengetahuan yang kita miliki dari proses belajar.
Dijelaskan pula dalam surah At-Taubah dijelaskan dimana seseorang diwajibkan pula untuk menuntut ilmu, menguasai ilmu dan memperjuangkan ilmu. Bukan hanya sekadar perang di medan pertempuran, jika semuanya turun unutk perang siapa yang bertanggung jawab dengan keilmuan yang ada di muka bumi ini padahal ilmu adalah kunci segalanya. Setelah itu ada juga contoh dari surah Ali-Imran yang membincang mengenai manfaat belajar sebagai proses untuk mencipta manusia yang berintelektual dengan daya pikirnya dibarengi dengan kemampuan dzikirnya. Agar seimbang antara ilmu dan iman, dimana ketika merealisasikan tidak ada ketimpangan.

II.  PENUTUP           
Demikian Makalah Ini Kami selesaikan, semoga dengan adanya makalah ini mampu memberi pengetahuan pembaca terkait kewajiban belajar dan mengajar. Akhirnya tiada sebuah karya yang sempurna karna kesempurnaan hanya milik Allah semata. Sudilah kiranya para pembaca untuk memberikan kritik dari penulisan makalah ini. Diharapkan dengan adanya kritik dari pembaca mampu memberi koreksi penulis untuk kedepannya.

Daftar Pustaka

Al-Maraghi, Mushthafa. Tafsir Al-Maraghi 4. Semarang: PT Karya Toha Putra. 1993.
Anni, Cathrina Tri dkk. Psikologi Belajar. Semarang: UPT UNNES Press. 2006.
Departemen Agama RI. A-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi. 2010.
Departemen Agama RI. “Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan). Jakarta: Lentera Abadi. 2001.
Mustafa, Ahmad. Al-Maraghi. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1993.
Shihab,  M. Quraish. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Tim Tashih Departemen Agama. Alqur’an dan Tafsirnya Jilid X. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf. 1990.
Yusuf, Kadar M. Tafsir Tarbawi. Jakarta: Amzah. 2013.



 Oleh : Riska Muyasaroh, Faelasufa Maulida, Nurotun Nangimah, Oktamilia Andika Putri 






[1]Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi, (Jakarta: Amzah, 2013),  hlm. 34.
[2]Cathrina Tri Anni dkk, Psikologi Belajar, (Semarang: UPT UNNES Press, 2006), hlm. 4.
[3]Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi , . . . , hlm. 58.
[4] Ahmad Mustafa, Al-Maraghi ,(Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), cet. II, hlm. 344-345.
[5] Departemen Agama RI, A-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 718-719.

[6] M. Quraish shihab,Tafsir Al Misbah,(Jakarta: Lentera Hati,2002), hlm. 392.

[7]Tim Tashih Departemen Agama, Alqur’an dan Tafsirnya Jilid X, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1990), hlm. 687-688.                       
[8]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, . . . , hlm. 234.
[9] Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan)”, (Jakarta: Lentera Abadi, 2001), Hlm.231-232.
[10] Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan)”, (Jakarta: Lentera Abadi, 2001), hlm. 232-234

[12]Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi 4, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), hlm. 292.
[13]Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi.,,,,.Hlm. 51.