AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Allah berfirman dalam surat Ali ‘Imron ayat 104:
وَلۡتَكُن
مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”
Ayat di atas sudah jelas bahwa
sebagai umat Islam diharuskan untuk mengajak kepada kebaikan dan mecegah
kemunkaran. Amar ma’ruf nahi munkar sebagi pilar dasar akhlak yang
mulia nan agung.
Allah dalam menciptakan sesuatu di
dunia ini tidaklah sia-sia, tidak terkecuali manusia. Manusia memiliki tugas
dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, agar berjalan dengan baik mereka
diberi aturan dan dituntut untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar.
Menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar merupakan kewajiban fardhu
kifayah, dengan kata lain –gugurlah kewajiban orang lain jika salah satu di
antara mereka telah menyeru kebaikan tersebut. Sebaliknya jika semua kaum
muslimin abai dengan tanggung jawab tersebut, maka hukumya berdosa. Orang yang
menjalankan tugas itu akan memperoleh pahala yang besar dari Allah swt.
Secara garis besar akan dijelaskan
pada pembahasan selanjutnya dengan mengacu pada rumusan masalah sebagai
berikut; pertama, bagaimana pengertian Amar ma’ruf nahi munkar;
kedua, hadis-hadis tentang perintah Amar ma’ruf nahi munkar;
ketiga, bagaimana urgensi dari Amar ma’ruf nahi munkar.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
Secara etimologi ma’ruf berarti yang
dikenal sedangkan munkar adalah suatu yang tidak dikenal. Sementara itu
pendapat dari beberapa tokoh mengenai amar ma’ruf nahi mungkar adalah:
Muhammad Abduh; ma’ruf
berarti apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani. Sedangkan munkar
adalah sesuatu yang tidak dikenal baik oleh akal maupun hati nurani.
Ali As-Shabuni mendefinisikan ma’ruf
dengan apa yang diperintahkan syara’ dan dinilai baik oleh akal sehat,
sedangkan munkar adalah apa yang dilarang oleh syara’ dan dinilai buruk
oleh akal sehat.
Al-Ishfahani berpendapat, ma’ruf
adalah sebuah nama untuk semua perbuatan yang dikenal baiknya melalui akal dan
syara’, dan munkar adalah apa yang ditolak oleh keduanya.[1] Maka
dapat disimpulkan bahawa ma’ruf adalah setiap pekerjaan atau urusan yang
diketahui dan dimaklumi berasal dari agama Allah dan syariat’-Nya serta dinilai
baik oleh akal sehat dan hati nurani. Sedangkan munkar adalah setiap
pekerjaan yang tidak bersumber dari agama Allah dan syariat’-Nya dan dinilai
buruk oleh akal serta hati nurani atau setiap pekerjaan yang dipandang buruk
oleh syara’. Secara istilah adalah semua perkara yang diingkari, dilarang, dicela,
dan dicela pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk maksiat
dan bid’ah, dan yang paling jeleknya adalah kesyirikan kepada Allah swt.
Dalam buku Mutiara Hadits Qudsi
menurut Abduh, amar ma’ruf adalah ketika engkau memerintahkan orang lain
untuk bertahuid kepada Allah, menaati-Nya, bertaqarrub kepada-Nya, berbuat baik
kepada sesama manusia, sesuai dengan jalan fitrah dan kemaslahatan.[2] Baik
bagi diri sendiri maupun orang banyak.
Amar ma’ruf dan nahi munkar termasuk
dasar agama dan merupakan bagian yang sangat penting dalam penegakkan syariat.[3] Agama
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan penegakan Amar Ma’ruf dan Nahi
Munkar. Amar Ma’ruf merupakan pilar dasar dari pilar-pilar akhlak yang mulia
lagi agung. Allah swt. beserta Rasul-Nya mengancam bagi siapa yang tidak
melaksanakannya sementara ia mempunyai kemampuan dan kewenangan.[4] Kewajiban
menegakkan kedua hal itu adalah merupakan hal yang sangat penting dan tidak
bisa ditawar bagi siapa saja yang mempunyai kekuatan dan kemampuan
melakukannya.
B. Hadis-hadis tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1.
Hadits Abi
Bakar al-Shiddiq tentang penurunan azab menimpa semua masyarakat
عَنْ
أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَنَّهُ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ
هَذِهِ الايَةَ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُـوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا
يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَـلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ) وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا
الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ
بِعِقَابٍ مِنْهُ ( أخرجه
الترمذي في كتاب الفتن)
“Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, ia berkata : Wahai manusia,
hendaklah kalian membaca ayat ini : “Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapatkan petunjuk. Dan sesungguhnya saya mendengar
Rasululllah saw. bersabda :”sesungguhnya apabila orang-orang melihat orang yang
bertindak aniaya kemudian mereka tidak mencegahnya, maka kemungkinan besar
Allah akan meratakan siksaan kepada mereka, disebabkan perbuatan tersebut.” (HR.
At-Tirmidzi).
Setiap orang yang memberikan contoh
suatu kebaikan akan mendapat pahala dari usaha yang telah dilakukannya serta
kebaikan orang yang mengikutinya. Sedangkan orang yang memprakarsai perbuatan
buruk dia akan mendapat balasan keburukan dari apa yang telah dilakukannya
serta keburukan orang yang mengikutinya.[5] Apabila
tidak ada seorang kaumpun dari mereka yang mencegah dari tindakan aniaya
tersebut, maka konsekuensinya pada semua orang, baik yang melakukan maupun yang
tidak. Bila tindakan orang-orang dzalim tidak ada yang mencegahnya, maka Allah
swt. menurunkan seluruh azabnya kepada masyarakat.[6]
Karena siap acuh tak acuhnya kaum tersebut.
Adapun bagi mereka yang suka
mengajak kepada kejelekan dan kesesatan, mereka akan mendapatkan mudharat yakni
berupa dosa orang-orang yang mengerjakan ajakannya walaupun dirinya sendiri
tidak melakukannya.[7] Dosa yang mengajak dan diajak sama, tidak dikurangi sedikitpun.
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ
أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلاةِ مَرْوَانُ
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ
تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقــَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمـَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا
عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُـولُ
مـَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَـــدِهِ فَــإِنْ لــَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلــِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتـَطِعْ فَبِقَلْبـِهِ وَذَلِكَ
أَضْعَفُ الايمَان ِ ) أخرجه مسلم
في كتاب الايمان)
“... Dari Abu
Sa’id Al Khudri r.a berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang
siapa diantara kamu sekalian melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya (kekuasaannya). Jika ia tidak sanggup maka dengan lisannya
(nasihat). Jika ia tidak sanggup maka dengan hatinya, dan yang demikian itu
adalah termasuk iman paling lemah.” (HR. Muslim)
hadis di atas menerangkan bahwa
kemungkaran itu jangan dibiarkan jika diketahui. Bila kuasa harus diperingatkan
dengan perbuatan agar bisa berhenti. Bila tidak sanggup, maka dengan lisan
dengan cara menasihati, meperingatkan dengan perkataan yang sopan dan santun.
Tetapi kalau masih juga tidak sanggup, maka cukuplah bahwa hati kita tidak
ikut-ikut menyetujui adanya kemungkaran itu. Hanya saja yang terakhir ini
adalah suatu tanda bahwa iman kita sangat lemah sekali. Kerana dengan hati itu
hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri, sedang dengan perbuatan atau nasihat
itu dapat bermanfaat untuk kita dan masyarakat umum.
Apabila melihat sebuah kejahatan
yang sebenarnya kita mampu untuk menolak kejahatan, namun kita tidak
melakukannya maka kita akan ikut binasa bersama orang yang melakukan
kejahatan tersebut. Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi
munkar berarti ia telah mengikuti jejak para nabi yang telah diutus oleh
Allah untuk meluruskan kepada kebenaran, sebagai ciri-ciri orang yang beriman
dan sebab-sebab turunnya pertolongan Allah, pelaksanaannya merupakan memelihara
lima perkara yang urgen, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[8]
C. Urgensi dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
‘Ulumuddin, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kutub terbesar
dalam urusan agama. Sesuatu yang sangat penting dan karena misi itulah, maka
Allah mengutus para nabi dan rosul. Jika aktivitas tersebut hilang, maka syiar
kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan
merajalela, satu negeri akan binasa, begitu juga umat secara keseluruhan.[9]
Menjadikan azab Allah turun kepada suatu kaum yang mengabaikannya
dapat menimbulkan bahaya dan kerusakan yang besar, yakni dengan hilangnya
kemuliaan dan munculnya kehinaan.
Allah swt. telah menjelaskan dalam a-Qur’an tentang
kedudukan amar ma’ruf nahi munkar yang memiliki kedudukan yang
tinggi dan mulia, sebagai mana tersebut dalam firman Allah Swt :
Dalam surah Ali Imran ayat 110 Allah swt. berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ ۗ
“Kalian adalah
sebaik-baik ummat yang dikeluarkan ditengah-tengah manusia, kalian menyeru
kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah…”
Tiga syarat utama kaum muslimin sebagai khairu
ummah yang disebutkan dalam ayat di atas yaitu keikutsertaan dalam menyeru
kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Allah swt. mendahulukan amar
ma’ruf nahi munkar daripada beriman kepada Allah, hal ini menunjukkan akan
urgensinya berupa mashlahat (kebaikan) yang besar dan bersifat
umum serta semakin banyaknya perilaku maksiat di tengah-tengah masyarakat.
Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa
saja yang mencontohkan kebaikan, lalu diikuti orang lain, maka ia akan
memperoleh pahala kebaikan itu dan pahala orang-orang yang mengikuti jalannya
itu tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka, dan siapa saja yang membuat
jalan keburukan, lalu diikuti orang lain, maka baginya beban dosa seperti dosa
orang-orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa yang mereka
terima.”[10]
Hadis di atas menjelaskan bahwa
orang yang mengajak kepada kebaikan akan mendapat pahala orang yang mengerjakan
ajakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Sebaliknya orang yang mengajak
kepada kesesatan akan mendapat dosa besar dosa orang yang mengerjakan ajakannya
tanpa dikurangi sedikitpun.
Ada 3 karakter masyarakat dalam
menyikapi amar ma’ruf nahi munkar: Pertama, Memerintahkan yang
ma’ruf dan melarang yang munkar, atau dinamakan karakter orang mukmin; kedua,
memerintahkan yang munkar dan melarang yang ma’ruf, atau dinamakan karakter
orang munafik; dan ketiga, memerintahkan sebagian yang ma’ruf dan
munkar, dan melarang sebagian yang ma’ruf dan munkar. Ini adalah karakter orang
yang suka berbuat dosa dan maksiat.[11]
III.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan
secermat-cermatnya. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Tak ada gading yang tak retak. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan
penulis demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, Ahmad Iwudh. 2006. Mutiara Hadis Qudsi. Bandung:
Mizan Pustaka.
al-Bani, Muhammad Nashiridin. 2007. Shahih Sunan
At-Tirmidzi Jilid 3, terj. Fakhturrazi.
Jakarta: Pustaka Azzam.
Bariyah,
Oneng Nurul. 2007. Materi Hadits. Jakarta: Kalam Mulia.
al-Ghazali. Intisari Ihya’ ‘Ulumiddin Terjemahan dari Mukhtashar
Ihya’ ‘Ulumiddin, Terj.
Junaidi Ismaiel. Jakarta: PT. Serambi Semesta Distribusi.
Haqqi,
Ahmad Muadz. 2003. Hadits Akhlak. Surabaya: Pustaka As-Sunnah.
Ilyas, Yunahar. 2011. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI.
al-Qasim, Abdul Malik. 2009. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, terj.
Muhammad Khairuddin.
tt, IslamHous.com.
Qasyimi, Muhammad Jamaludin. 1993. Roudhlotul Mu’minin
terj. Abu Ridho. Semarang:
Assyifa.
Ash-Shiddiqey, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Al-Islam. Semarang:
PT. Pustaka Rizki
Putra.
Syafe’i, Rachmat. 2003. Al-Hadis Akidah, Akhlak, Sosial,
dan Hukum. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
[1]
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2011), hlm. 241.
[2]
Ahmad Iwudh Abduh, Mutiara Hadis Qudsi, (Bandung: Mizan Pustaka,
2006), hlm. 224.
[3] Al-Ghazali, Intisari
Ihya’ ‘Ulumiddin Terjemahan dari Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin, Terj. Junaidi
Ismaiel, (Jakarta: PT. Serambi Semesta Distribusi), hlm. 279-281.
[4] Muhammad Hasbi
Ash Shiddiqey, Al-Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2001), hlm. 348.
[5] Oneng Nurul
Bariyah, Materi Hadits, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm. 204.
[6] Ahmad Muadz
Haqqi, Hadits Akhlak, (Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003),
hlm. 10.
[7] Rachmat
Syafe’i , Al-Hadis Akidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 245-246.
[8] Abdul Malik
al-Qasim, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, terj. Muhammad
Khairuddin, (tt, IslamHous.com, 2009), hlm. 5-6.
[9] Al-Ghazali, Intisari
Ihya’ ‘Ulumiddin, hlm. 279-281.
[10] Muhammad
Nashiridin al-Bani, Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 3, terj.
Fakhturrazi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 95.
[11] Muhammad
Jamaludin Qasyimi, Roudhlotul Mu’minin terj. Abu Ridho, (Semarang:
Assyifa, 1993), hlm. 373.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar