Ayo Sinau...!!!

Kamis, 20 April 2017

Makalah Amar Ma'ruf Nahi Munkar

AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad 



I.         PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Allah berfirman dalam surat Ali ‘Imron ayat 104:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”
Ayat di atas sudah jelas bahwa sebagai umat Islam diharuskan untuk mengajak kepada kebaikan dan mecegah kemunkaran. Amar ma’ruf  nahi munkar sebagi pilar dasar akhlak yang mulia nan agung.
Allah dalam menciptakan sesuatu di dunia ini tidaklah sia-sia, tidak terkecuali manusia. Manusia memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, agar berjalan dengan baik mereka diberi aturan dan dituntut untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar merupakan kewajiban fardhu kifayah, dengan kata lain –gugurlah kewajiban orang lain jika salah satu di antara mereka telah menyeru kebaikan tersebut. Sebaliknya jika semua kaum muslimin abai dengan tanggung jawab tersebut, maka hukumya berdosa. Orang yang menjalankan tugas itu akan memperoleh pahala yang besar dari Allah swt.
Secara garis besar akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya dengan mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut; pertama, bagaimana pengertian Amar ma’ruf  nahi munkar; kedua, hadis-hadis tentang perintah Amar ma’ruf  nahi munkar; ketiga, bagaimana urgensi dari Amar ma’ruf  nahi munkar.
II.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Amar Ma’ruf  Nahi Munkar
Secara etimologi ma’ruf berarti yang dikenal sedangkan munkar adalah suatu yang tidak dikenal. Sementara itu pendapat dari beberapa tokoh mengenai amar ma’ruf nahi mungkar adalah:
Muhammad Abduh; ma’ruf berarti apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani. Sedangkan munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal baik oleh akal maupun hati nurani.
Ali As-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan apa yang diperintahkan syara’ dan dinilai baik oleh akal sehat, sedangkan munkar adalah apa yang dilarang oleh syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat.
Al-Ishfahani berpendapat, ma’ruf adalah sebuah nama untuk semua perbuatan yang dikenal baiknya melalui akal dan syara’, dan munkar adalah apa yang ditolak oleh keduanya.[1] Maka dapat disimpulkan bahawa ma’ruf adalah setiap pekerjaan atau urusan yang diketahui dan dimaklumi berasal dari agama Allah dan syariat’-Nya serta dinilai baik oleh akal sehat dan hati nurani. Sedangkan munkar adalah setiap pekerjaan yang tidak bersumber dari agama Allah dan syariat’-Nya dan dinilai buruk oleh akal serta hati nurani atau setiap pekerjaan yang dipandang buruk oleh syara’. Secara istilah adalah semua perkara yang diingkari, dilarang, dicela, dan dicela pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk maksiat dan bid’ah, dan yang paling jeleknya adalah kesyirikan kepada Allah swt.
Dalam buku Mutiara Hadits Qudsi menurut Abduh, amar ma’ruf adalah ketika engkau memerintahkan orang lain untuk bertahuid kepada Allah, menaati-Nya, bertaqarrub kepada-Nya, berbuat baik kepada sesama manusia, sesuai dengan jalan fitrah dan kemaslahatan.[2] Baik bagi diri sendiri maupun orang banyak.
Amar ma’ruf dan nahi munkar termasuk dasar agama dan merupakan bagian yang sangat penting dalam penegakkan syariat.[3] Agama Islam adalah agama yang sangat memperhatikan penegakan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Amar Ma’ruf merupakan pilar dasar dari pilar-pilar akhlak yang mulia lagi agung. Allah swt. beserta Rasul-Nya mengancam bagi siapa yang tidak melaksanakannya sementara ia mempunyai kemampuan dan kewenangan.[4] Kewajiban menegakkan kedua hal itu adalah merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa ditawar bagi siapa saja yang mempunyai kekuatan dan kemampuan melakukannya.
B.     Hadis-hadis tentang Amar Ma’ruf  Nahi Munkar
1.    Hadits Abi Bakar al-Shiddiq tentang penurunan azab menimpa semua masyarakat
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَنَّهُ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الايَةَ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُـوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَـلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ) وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ ( أخرجه الترمذي في كتاب الفتن)
 “Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, ia berkata : Wahai manusia, hendaklah kalian membaca ayat ini : “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan petunjuk. Dan sesungguhnya saya mendengar Rasululllah saw. bersabda :”sesungguhnya apabila orang-orang melihat orang yang bertindak aniaya kemudian mereka tidak mencegahnya, maka kemungkinan besar Allah akan meratakan siksaan kepada mereka, disebabkan perbuatan tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).
Setiap orang yang memberikan contoh suatu kebaikan akan mendapat pahala dari usaha yang telah dilakukannya serta kebaikan orang yang mengikutinya. Sedangkan orang yang memprakarsai perbuatan buruk dia akan mendapat balasan keburukan dari apa yang telah dilakukannya serta keburukan orang yang mengikutinya.[5] Apabila tidak ada seorang kaumpun dari mereka yang mencegah dari tindakan aniaya tersebut, maka konsekuensinya pada semua orang, baik yang melakukan maupun yang tidak. Bila tindakan orang-orang dzalim tidak ada yang mencegahnya, maka Allah swt. menurunkan seluruh azabnya kepada masyarakat.[6] Karena siap acuh tak acuhnya kaum tersebut.
Adapun bagi mereka yang suka mengajak kepada kejelekan dan kesesatan, mereka akan mendapatkan mudharat yakni berupa dosa orang-orang yang mengerjakan ajakannya walaupun dirinya sendiri tidak melakukannya.[7] Dosa yang mengajak dan diajak sama, tidak dikurangi sedikitpun.
2.    Hadits Abi Said al‑Khudri tentang perintah mencegah kemunkaran
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقــَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمـَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُـولُ مـَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَـــدِهِ فَــإِنْ لــَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلــِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتـَطِعْ فَبِقَلْبـِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الايمَان ِ ) أخرجه مسلم  في كتاب الايمان)
“... Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa diantara kamu sekalian melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya). Jika ia tidak sanggup maka dengan lisannya (nasihat). Jika ia tidak sanggup maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah termasuk iman paling lemah.” (HR. Muslim)
hadis di atas menerangkan bahwa kemungkaran itu jangan dibiarkan jika diketahui. Bila kuasa harus diperingatkan dengan perbuatan agar bisa berhenti. Bila tidak sanggup, maka dengan lisan dengan cara menasihati, meperingatkan dengan perkataan yang sopan dan santun. Tetapi kalau masih juga tidak sanggup, maka cukuplah bahwa hati kita tidak ikut-ikut menyetujui adanya kemungkaran itu. Hanya saja yang terakhir ini adalah suatu tanda bahwa iman kita sangat lemah sekali. Kerana dengan hati itu hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri, sedang dengan perbuatan atau nasihat itu dapat bermanfaat untuk kita dan masyarakat umum.
Apabila melihat sebuah kejahatan yang sebenarnya kita mampu untuk menolak kejahatan, namun kita tidak melakukannya maka kita akan ikut  binasa bersama orang yang melakukan kejahatan tersebut. Orang yang melakukan amar ma’ruf  nahi munkar berarti ia telah mengikuti jejak para nabi yang telah diutus oleh Allah untuk meluruskan kepada kebenaran, sebagai ciri-ciri orang yang beriman dan sebab-sebab turunnya pertolongan Allah, pelaksanaannya merupakan memelihara lima perkara yang urgen, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[8]
C.    Urgensi dari Amar Ma’ruf  Nahi Munkar
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Sesuatu yang sangat penting dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi dan rosul. Jika aktivitas tersebut hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajalela, satu negeri akan binasa, begitu juga umat secara keseluruhan.[9] Menjadikan azab Allah turun kepada suatu kaum yang mengabaikannya dapat menimbulkan bahaya dan kerusakan yang besar, yakni dengan hilangnya kemuliaan dan munculnya kehinaan.
Allah swt. telah menjelaskan dalam a-Qur’an tentang kedudukan amar ma’ruf nahi munkar yang memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, sebagai mana tersebut dalam firman Allah Swt :
Dalam surah Ali Imran ayat 110 Allah swt. berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ ۗ
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan ditengah-tengah manusia, kalian menyeru kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah…”
Tiga syarat utama kaum muslimin sebagai khairu ummah yang disebutkan dalam ayat di atas yaitu keikutsertaan dalam menyeru kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Allah swt. mendahulukan amar ma’ruf nahi munkar daripada beriman kepada Allah, hal ini menunjukkan akan urgensinya berupa mashlahat (kebaikan) yang besar dan bersifat umum serta semakin banyaknya perilaku maksiat di tengah-tengah masyarakat.
Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa saja yang mencontohkan kebaikan, lalu diikuti orang lain, maka ia akan memperoleh pahala kebaikan itu dan pahala orang-orang yang mengikuti jalannya itu tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka, dan siapa saja yang membuat jalan keburukan, lalu diikuti orang lain, maka baginya beban dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa yang mereka terima.”[10]
Hadis di atas menjelaskan bahwa orang yang mengajak kepada kebaikan akan mendapat pahala orang yang mengerjakan ajakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Sebaliknya orang yang mengajak kepada kesesatan akan mendapat dosa besar dosa orang yang mengerjakan ajakannya tanpa dikurangi sedikitpun. 
Ada 3 karakter masyarakat dalam menyikapi amar ma’ruf nahi munkar: Pertama, Memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar, atau dinamakan karakter orang mukmin; kedua, memerintahkan yang munkar dan melarang yang ma’ruf, atau dinamakan karakter orang munafik; dan ketiga, memerintahkan sebagian yang ma’ruf dan munkar, dan melarang sebagian yang ma’ruf dan munkar. Ini adalah karakter orang yang suka berbuat dosa dan maksiat.[11]
III.   PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan secermat-cermatnya. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan penulis demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Ahmad Iwudh. 2006. Mutiara Hadis Qudsi. Bandung: Mizan Pustaka.
al-Bani, Muhammad Nashiridin. 2007. Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 3, terj. Fakhturrazi.
Jakarta: Pustaka Azzam.
Bariyah, Oneng Nurul. 2007. Materi Hadits. Jakarta: Kalam Mulia.
al-Ghazali. Intisari Ihya’ ‘Ulumiddin Terjemahan dari Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin, Terj.
Junaidi Ismaiel. Jakarta: PT. Serambi Semesta Distribusi.
Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. Hadits Akhlak. Surabaya: Pustaka As-Sunnah.
Ilyas, Yunahar. 2011. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI.
al-Qasim, Abdul Malik. 2009. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, terj. Muhammad Khairuddin.
tt, IslamHous.com.
Qasyimi, Muhammad Jamaludin. 1993. Roudhlotul Mu’minin terj. Abu Ridho. Semarang:
Assyifa.
Ash-Shiddiqey, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Al-Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra.
Syafe’i, Rachmat. 2003. Al-Hadis Akidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum. Bandung: CV.
Pustaka Setia.



[1] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2011), hlm. 241.
[2] Ahmad Iwudh Abduh, Mutiara Hadis Qudsi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), hlm. 224.
[3] Al-Ghazali, Intisari Ihya’ ‘Ulumiddin Terjemahan dari Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin, Terj. Junaidi Ismaiel, (Jakarta: PT. Serambi Semesta Distribusi), hlm. 279-281.
[4] Muhammad Hasbi Ash Shiddiqey, Al-Islam,  (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 348.
[5] Oneng Nurul Bariyah, Materi Hadits, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm. 204.
[6] Ahmad Muadz Haqqi,  Hadits Akhlak, (Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003), hlm. 10.
[7] Rachmat Syafe’i , Al-Hadis Akidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 245-246.
[8] Abdul Malik al-Qasim, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, terj. Muhammad Khairuddin, (tt, IslamHous.com, 2009), hlm. 5-6.
[9] Al-Ghazali, Intisari Ihya’ ‘Ulumiddin, hlm. 279-281.
[10] Muhammad Nashiridin al-Bani, Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 3, terj. Fakhturrazi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 95.
[11] Muhammad Jamaludin Qasyimi, Roudhlotul Mu’minin terj. Abu Ridho, (Semarang: Assyifa, 1993), hlm. 373.

Tidak ada komentar: