KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
I. PEMBAHASAN
A. Makna Belajar dan mengajar dalam al-Quran
Di dalam Al-quran terdapat istilah yang berkonotasi belajar, yaitu ta’allama dimana dalam istilah harfiah ta’allama dimaknai menerima ilmu sebagai
akibat dari suatu pengajaran. Berdasarkan definisi diatas dapat diartikan
secara sederhana bahwa belajar yakni suatu aktivitas yang diperoleh lewat
proses pengajaran dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.[1]
Penjelasan belajar dalam Al-quran tidak
jauh beda dengan definisi dalam ilmu psikologi pendidikan, dimana makna belajar
(learning) yaitu kegiatan yang
mengacu adanya perubahan perilaku dari segala sesuatu yang dipikirkan dan
dikerjakan.[2]
Berdasarkan definisi diatas belajar dapat dimaknai sebagai proses
pembelajaran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dimana kegiatan belajar ini
mampu merubah manusia dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Sehingga
berpengaruh juga terhadap implementasi sikapnya. Bagaiamana manusia harus
bersikap dengan pengatahuan yang telah diperolehnya.
Selanjutnya membahas makna “mengajar” yang mempunyai akar kata sama halnya
dengan belajar, yakni belajar dari kata “ajar”. Secara harfiah mengajar
diartikan kepada memberikan pembelajaran. Artinya, mengajar sebagai suatu
pekerjaan melibatkan berbagai hal, yaitu guru sebagai pengajar lalu adanya
materi belajar dan peserta didik.
Mengajar dalam Al-quran
menggunakan makna ‘allama. Menurut
Luis Ma’luf mengartikan kata ‘allama
yakni lebih condong membuat orang mengetahui. Dapat ditarik kesimpulan
bahwasannya mengajar yaitu menyalurkan ilmunya kepada peserta didik. Agar
peserta didik dapat mengerti dan memahami suatu pengetahuan yang diajarkan.
Kegiatan itu meliputi kegiatan sepihak dan interaktif kedua belak pihak. [3]
B. Makna Kewajiban
Belajar dan Mengajar
Q.S
Al-Alaq: 1-4
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam”.
Disebutkan dalam hadits-hadits sahih bahwa
Nabi Muhammad saw. Mendatangi gua hira’ untuk tujuan beribadah beberapa hari,
beliau kembali kepada istrinya (Siti Khadijah) untuk mengambil bekal
secukupnya. Hingga pada suatu hari didalam gua, beliau dikejutkan oleh mlaikat
pembawa wahyu ilahi. Malaikat berkata kepadanya, “Bacalah!” beliau menjawab
“saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan bahwa untuk kedua kalinya malaikat
memegang Nabi dan menekan-nekannya hingga Nabi kepayahan dan setelah itu
dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya, “Bacalah!” kemudian Nabi menjawab
dengan jawaban yang sama. Yang ketiga barulah nabi mengucapkan apa yang
diucapkan oleh malaikat yaitu surah al Alaq 1-5.[4]
Munasabah
Surah sebelumnya (At-Tin) menurut
tertib usmani, pada surah sebelumnya Allah menjelaskan proses kejadian yang
diciptakannya dalam bentuk paling baik. Pada surah ini Allah menjelaskan asal
kejadian manusia yang diciptakan dari segumpal darah. Hanya saja dalam surah ini
dijelaskan tentang keadaan hari kiamat yang merupakan penjelasan bagi surah
yang lalu.[5]
Surat Al-Alaq tema utamanya adalah
pengajaran kepada Nabi Muhammad SAW. serta penjelasan tentang Allah dalam sifat
dan perbuatan-Nya, dan bahwa Dia adalah sumber ilmu pengetahuan. Menurut
Al-Baiqa’i tujuan utamanya adalah perintah kepada manusia untuk menyembah Allah
SWT. Sang pencipta Yang Maha Kuasa, sebagai tanda syukur kepada-Nya.
Kandungan ayat ini adalah mengingatkan
beliau tentang kebersamaan Allah yang tujuannya adalah agar beliau tidak ragu
atau berkecil hati dalam menyampaikan risalah sesuai dengan apa yang di
perintahkan-Nya, pada akhir surat Ad-dhuha.[6]
Jika dikaitkan dengan kewajiban belajar
mengajar, maka terdapat beberapa titik temu sebagai berikut:
1. Dalam surat ini, Muhammad
SAW berperan sebagai seorang murid sebab beliau adalah orang yang mencari suatu
petunjuk dengan jalan kontemplasi dengan semangat yang tinggi. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan sebagai seorang abdi atau murid harus mempunyai semangat
mencari ilmu dan mengawalinya dengan upaya penyucian jiwa, sehingga muncul
dalam dirinya sikap tawadhu yang akan memudahkan dirinya dalam pembelajaran.
2. Malaikat dalam surat ini
berperan sebagai guru yang bertugas mengajar nabi Muhammad SAW, Jibril tidak
begitu saja memberikan pengajaran kepada Rasulullah, tetapi ia memberi
pertanyaan dengan tujuan agar beliau betul-betul menyadari bahwa dirinya dalam
keadaan terjaga. Sehingga ketika Muhammad menerima pengajaran tersebut beliau
akan merasa yakin bahwa apa yang diterimanya merupakan kebenaran. Jika
dikaitkan dengan pendidikan disini terlihat bahwa inti dari peristiwa tersebut
adalah menuntut agar seorang guru tidak langsung memberikan pengajaran kepada
murid. Terlebih dahulu guru harus mencairkan suasana sehingga memudahkan murid
dalam mencerna pelajaran yang disampaikan oleh seorang guru.
Pada ayat selanjutnya, Tuhan menyatakan, “Bacalah, dan Tuhanmu yang
Mahamulia”. Menurut Ash-Shabuni, pengulangan kata iqra’ berfungsi untuk memberikan semangat terhadap aktivitas membaca pengetahuan.
Senada dengan pendapat tersebut, Wahbah
menyebutkan bahwa pengulangan tersebut sebagai penegasan terhadap arti pentingnya membaca. Sementara itu, menurut Quraish
Shihab, iqra' pada ayat ini menunjukkan konsekuensi logis dari iqra' pada
ayat pertama. Artinya, kemuliaan Tuhan akan segera tercurahkan bagi siapa saja yang sudah melakukan pembacaan
terhadap dirinya, baik melalui
ayat qur'aniyyah dan ayat qauniyyah.
Q.S. Al-Ghasyiyah: 17-20
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ
كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ
كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ
كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ
كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
Maka apakah
mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan.Dan langit, bagaimana
ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?
Tafsirannya
Di dalam ayat-ayat ini terdapat pertanyaan dari Allah yang mengungkapkan
bahwa apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan-Nya, unta
yang berada didepan mata mereka dipergunakan pada setiap waktu. Bagaimana pula langit
yang berada ditempat nan-tinggi dengan tidak bertiang, bagaimana gunung-gunung
dipancangkan dengan kokoh, tidak bergoyang sehingga mudah didaki setiap waktu
dan dijadikan petunjuk bagi orang yang sedang perjalanan. Terdapat diatasnya
danau-danau dan mata air yang dapat dipergunakan untuk keperluan manusia dan
mengairi tumbuh-tumbuhan dan memberi minum binatang ternak. Bagaimana pula bumi
dihamparkan memberi kepada penghuninya untuk memanfaatkan apa yang ada
diatasnya. Oleh karena itu, hendaklah manusia memperhatikan bagaimana Allah
menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Sehingga mereka mengakui bahwa penciptanya
dapat membangkitkan mereka kembali pada hari kiamat nanti.[7]
Dalam tafsir Al-maroghy dijelaskan pula bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang
pengingkaran terhadap hari berbangkit yang dilakukan oleh kaum musyrikin.
Allah menanyakan kepada mereka, mengapa mereka tidak mau memikirkan unta yang
ada dihadapan mereka, kalaupun mereka tahu betapa indahnya unta itu, badannya
yang besar, tubuhnya kuat, sangat tahan terhadap haus dan lapar sehingga tidak
ada hewan manapun yang menyamainya sehingga dijuluki orang sebagai “kapal
padang pasir” adapun maksud dari ayat ini adalah untuk menyangkal dan mencela
penolakan mereka terhadap hari kebangkitan.
Dalam ayat selanjutnya dijelaskan sebagai pengajaran kepada manusia,
bagaimana langit ditinggikan, padahal tidak ada satu pun penyangganya. Dan
gunung-gunung ditegakkan? padahal tidak ada pasak dibawahnya dan siapa yang
mengkokohkannya? dan bagaimana bumi dihamparkan begitu luasnya sehingga manusia
begitu leluasa melakukan segala kegiatannya. Itu sebagai pembuktian agar mereka
sadar bahwa seluruh benda di alam ini, tiada lain pencipta-Nya, kecuali
Allah SWT. Ini sebagai pelajaran sebagai manusia untuk bersyukur terhadap
limpahan rahmat Allah SWT. [8]
Berdasarkan dua tafsiran diatas sesungguhnya Allah menciptakan keindahan
Alam semesta ini dengan adanya binatang, gunung, danau, dan segala yang ada di
bumi maupun di langit, sebagai bahan ajar manusia. Dimana manusia harus mampu
berpikir akan kekuasaan Allah. Bagaimana manusia harus sekeptis dengan
terbentuknya benda-benda dimuka bumi ini, sebagai pengetahuan keilmuan secara
ilmiah. Semua itu agar manusia menjadi makhluk yang terdidik mencari tahu
asal-usul terbentuknya muka bumi ini. Setelah mengetahui, berdasarkan
pengetahuan yang didapat diharapkan manusia mampu mengelola anugerah yang
diberikan Allah dan senantiasa bersyukur kepada-Nya.
Qs. At-Taubah ayat 122
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Terjemah
(122) Dan tidak sepatutnya
orang-orang mukmin itu semuanya pergi (kemedan perang). Mengapa sebagian dari
setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan
agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
Munasabahnya
Pada ayat-ayat yang lalu telah
dijelaskan hukum-hukum tentang perang sebagai suatu cara dalam berjihad fi
sabilillah, yang memerlukan pengorbanan harta benda dan jiwa raga, yang
dicatat di sisi Allah sebagai amal saleh yang berhak untuk dibalas dengan ganjaran yang amat besar.
Pada ayat ini, Allah menjelaskan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan serta
mendalami ilmu-ilmu agama Islam, yang merupakan salah satu cara dan alat dalam
berjihad. Menuntut ilmu serta mendalami ilmu-ilmu agama, juga merupakan suatu
perjuangan yang meminta kesabaran dan pengorbanan tenaga serta harta benda.
Tafsirannya
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak
semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat
dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas
pada masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, sebagian lagi harus
menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat
diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih
efektif serta bermanfaat. Sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.[9]
Perang bertujuan untuk mengalahkan
musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah. Sedang menuntut
Ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan
mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua
macam lapisan masyarakat.
Dengan demikian, ayat ini mempunyai
hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lain, karena sama-sama menerangkan
hukum berijtihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan. Tugas ulama
dalam Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan
baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum
mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas umat dan setiap pribadi
muslim, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan maing-masing.
Akan tetapi, tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan
serta mendalami ilmu agama, karena sibuk dengan tugas di medan perang, di
ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian
dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan
mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke
masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islamiyah
dengan cara dan metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.
Apabila umat Islam telah memahami
ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan
larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan
dan kemaksiatan, dapat melakanakan perintah agama dengan baik dan dapat
menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik,
sejahtera dan dunia akhirat.
Di samping itu perlu diingat, bahwa
apabila umat Islam menghadapi peperangan yang memerlukan tenaga manusia yang
banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi
musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus
kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus
untuk menjaga kemanan dan ketertiban, dalam dinas kemiliteran dan kepolisian.
Oleh karena ayat ini telah
menetapkan bahwa fungsi ilmu adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidak dapat
dibenarkan bila ada orang Iman yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk
mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk
menggunakan ilmu pengetahuan, sebagai kebanggan dan kesombongan diri terhadap
golongan yang belum menerima pengetahuan.[10]
Orang-orang yang telah memiliki ilmu
pengetahuan harus menjadi pelita dan pembimbing bagi umatnya. Ia harus
menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu
pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi
contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan
ajaran-ajaran agama.
Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini, kewajiban menuntut
ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama.
Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan
segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat
menecerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma
agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi
ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana
untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk
melaksanakan kewajiban, adalah wajib pula hukumnya.[11]
Q.S Ali-Imron:
190-191
إنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ
هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal 191. (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Tafsirannya
Ketika
sedang tidur dengan istrinya yaitu Aisyah, Rasulullah beranjak dari tidurnya
dan mengambil wudhu untuk shalat, membaca dan merenungkan Al- Qur’an. Beliau
merasa seperti seorang hamba yang tidak bersyukur kepada Allah. Karena
berkaitan dengan memikirkan pergantian siang dan malam, mengikuti terbit dan
terbenamnya matahari, siang lebih lama dari malam dan sebaliknya. Semuanya itu
menunjukkan atas kebesaran dan kekuasaan penciptanya bagi orang- orang yang
berakal. Memikirkan terciptanya langit dan bumi, pergantian siang dan malam
secara teratur dengan menghasilkan waktu- waktu tertentu bagi kehidupan manusia
merupakan satu tantangan tersendiri bagi kaum intelektual beriman. Mereka
diharapkan dapat menjelaskan secara akademik fenomena alam itu, sehingga dapat
diperoleh kesimpulan bahwa Tuhan tidaklah menciptakan semua fenomena itu dengan
sia-sia.
Salah satu ciri khas bagi orang berakal yang
merupakan sifat khusus manusia dan kelengkapan ini dinilai sebagai makhluk yang
memiliki keunggulan dibanding makhluk lain, yaitu apabila ia memperhatikan
sesuatu, selalu memperoleh manfaat dan faedah, ia selalu menggambarkan
kebesaran Allah, mengingat dan mengenang kebijaksanaan, keutamaan dan banyaknya
nikmat Allah kepadanya, ia selalu mengingat Allah di setiap waktu dan keadaan,
baik pada waktu ia berdiri, duduk atau berbaring. Tidak ada satu waktu dan
keadaan dibiarkan berlalu begitu saja, kecuali diisi dan digunakannya untuk
memikirkan tentang penciptaan dan bumi. Memikirkan keajaiban- keajaiban yang
terdapat didalamnya, yang menggambarkan kesempurnaan alam dan kekuasaan Allah.
Penciptaan langit dan bumi serta pergantian
malam dam siang, sungguh merupakan fenomena yang sangat kompleks, yang terus-
menerus menjadi objek penelitian umat manusia, sejak awal lahirnya peradaban
manusia.
Hanya para ilmuan dan filosof yang sangat ulung dan tekun serta tawadhu’, yang akan mampu menyingkap rahasia alam ini. Merekalah yang disebut sebagai Ulil Albab yang pada kesimpulannya “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka”.Intinya surat Ali Imran ayat 190-191 adalah Semua ciptaan Allah sebagai wujud kekuasaan- Nya dapat dijadikan objek pembelajaran dan ilmu pengetahuan oleh orang yang berfikir.
Hanya para ilmuan dan filosof yang sangat ulung dan tekun serta tawadhu’, yang akan mampu menyingkap rahasia alam ini. Merekalah yang disebut sebagai Ulil Albab yang pada kesimpulannya “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka”.Intinya surat Ali Imran ayat 190-191 adalah Semua ciptaan Allah sebagai wujud kekuasaan- Nya dapat dijadikan objek pembelajaran dan ilmu pengetahuan oleh orang yang berfikir.
Dalam ayat ini terkandung pelajaran untuk orang-orang mukmin yang mau
menggunakan akal pikirannya, selalu mengharapkan kepada Allah dengan pujian dan
do’a, sesudah ia melihat bukti-bukti yang menunjukkan kepada keindahan hikmah,
ia pun luas pengetahuannya tentang detail-detail alam semesta yang
menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya.[12]
Produk yang ingin dilahirkan oleh pendidikan Islam adalah sosok
intelektual yang berkepribadian berdzikir dan berpikir, sehingga ia menyadari
dirinya dan alam lingkungannya sebagai suatu system yang mengambarkan fenomena
kebesaran tuhan, untuk melahirkan produk seperti ini, maka belajar mesti
dibangun atas prinsip iman dan akidah tauhid.[13]
C. KESIMPULAN
Manusia diciptakan Allah unutuk belajar, dimana belajar adalah proses
untuk mengetahui segala yang ada. Berdasarkan pengertian belajar dalam Al-Quran
lebih berorientasi agar manusia bertakwa kepada Allah, bersyukur akan
kekuasaannya. Belajar yaitu activitas
yang dilakukan lewat proses pengajaran agar manusia berubah, dimana yang
tadinya tidak tahu menjadi tahu. Setelah mengetahui maka wjaiblah pengetahuan
itu diamalkan. Diamalkannya bisa jadi lewat mengajar, membagi ilmunya kepada
orang lain agar bermanfaat dan bisa memanusiakan manusia. Dimana proses
pengajaran itu terdapat tiga unsure yaitu adanya guru, bahan ajar, dan peserta
didik.
Kewajiban belajar jelas tertera dalam beberapa surah yang ada di
Al-Quran. Contoh saja surah Al-Alaq yang menganjurkan manusia untuk membaca
sebagai bahan ajar untuk mengetahui ilmu. Selanjutnya surah Al-Ghosiyah yang
mewajibkan manusia untuk peka terhadap segala yang ada di bumi dan dilangit.
Istilahnya kita dituntut untuk merenung agar kita tahu kekuasaan Allah dan
mampu menjaganya lewat pengetahuan yang kita miliki dari proses belajar.
Dijelaskan pula dalam surah At-Taubah dijelaskan dimana seseorang
diwajibkan pula untuk menuntut ilmu, menguasai ilmu dan memperjuangkan ilmu.
Bukan hanya sekadar perang di medan pertempuran, jika semuanya turun unutk
perang siapa yang bertanggung jawab dengan keilmuan yang ada di muka bumi ini
padahal ilmu adalah kunci segalanya. Setelah itu ada juga contoh dari surah
Ali-Imran yang membincang mengenai manfaat belajar sebagai proses untuk
mencipta manusia yang berintelektual dengan daya pikirnya dibarengi dengan
kemampuan dzikirnya. Agar seimbang antara ilmu dan iman, dimana ketika
merealisasikan tidak ada ketimpangan.
II. PENUTUP
Demikian Makalah Ini
Kami selesaikan, semoga dengan adanya makalah ini mampu memberi pengetahuan
pembaca terkait kewajiban belajar dan mengajar. Akhirnya tiada sebuah karya
yang sempurna karna kesempurnaan hanya milik Allah semata. Sudilah kiranya para
pembaca untuk memberikan kritik dari penulisan makalah ini. Diharapkan dengan
adanya kritik dari pembaca mampu memberi koreksi penulis untuk kedepannya.
Daftar Pustaka
Al-Maraghi, Mushthafa. Tafsir Al-Maraghi 4. Semarang: PT Karya Toha
Putra. 1993.
Anni,
Cathrina Tri dkk. Psikologi Belajar.
Semarang: UPT UNNES Press. 2006.
Departemen Agama RI. A-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi. 2010.
Departemen Agama RI. “Al-Qur’an
dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan). Jakarta: Lentera Abadi. 2001.
Mustafa, Ahmad. Al-Maraghi. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1993.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Tim Tashih Departemen Agama. Alqur’an dan
Tafsirnya Jilid X. Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf. 1990.
Yusuf,
Kadar M. Tafsir Tarbawi. Jakarta:
Amzah. 2013.
Oleh : Riska Muyasaroh, Faelasufa Maulida, Nurotun Nangimah, Oktamilia Andika Putri
[1]Kadar
M. Yusuf, Tafsir Tarbawi, (Jakarta:
Amzah, 2013), hlm. 34.
[2]Cathrina
Tri Anni dkk, Psikologi Belajar, (Semarang:
UPT UNNES Press, 2006), hlm. 4.
[3]Kadar
M. Yusuf, Tafsir Tarbawi , . . . , hlm.
58.
[4]
Ahmad Mustafa, Al-Maraghi ,(Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993), cet. II, hlm.
344-345.
[5] Departemen Agama RI, A-Qur’an
dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 718-719.
[6] M. Quraish shihab,Tafsir Al
Misbah,(Jakarta: Lentera Hati,2002), hlm. 392.
[7]Tim Tashih Departemen
Agama, Alqur’an dan Tafsirnya Jilid X, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf, 1990), hlm. 687-688.
[8]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, . . . , hlm. 234.
[9] Departemen Agama RI, “Al-Qur’an
dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan)”, (Jakarta: Lentera Abadi, 2001),
Hlm.231-232.
[10] Departemen Agama RI, “Al-Qur’an
dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan)”, (Jakarta: Lentera Abadi, 2001), hlm. 232-234
[12]Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi 4, (Semarang: PT
Karya Toha Putra, 1993), hlm. 292.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar