Ayo Sinau...!!!

Senin, 27 Oktober 2014

Makalah Islam & Budaya Jawa: Bidang Kepercayaan Jawa


BIDANG KEPERCAYAAN JAWA


Oleh :
Tomy Muhlisin Ahmad, Atika Rizky F., Faelasufa Maulida, & Nour Khabibah

Dosen Pengampu :  Khasan Ubaidillah, M. Pd.




BAB I
PENDAHALUAN

A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama yang universal (rahmatan lil’alamin) memiliki sifat adabtable untuk tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam kehidupan masyarakat suku bangsa, diakui atau tidak sulit untuk dihindari dalam kehidupan masyarakat muslim. Namun demikian, sekalipun berhadapan dengan budaya lokal di dunia, ke-universalan Islam tetap tidak akan batal.
Hal ini menjadi indikasi bahwa peradaban antara satu daerah dengan daerah lainnya tidaklah menjadi kendala dalam mewujudkan tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam dan budaya lokal itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya. Proses pembudayaan lewat percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi, itu yang dinamakan akulturasi.
Satu kebudayaan daerah  yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah kebudayaan Jawa, yang telah ada sejak zaman pra-sejarah. Kedatangan Hindu dan budayanya di Jawa berkembanglah menjadi Hindu-Jawa. Demikian pula dengan maksuknya Islam. Dalam dakwahnya para wali memiliki kebijakan khusus, yaitu tidak memaksakan Islam kepada rakyat, melainkan memilih jalan perpaduan dalam hal-hal yang hampir sama antara Hindu, Jawa Islam. Maka dalam kebudayaan Jawa terkandung unsur-unsur asli Jawa, Hindu dan Islam.


B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam kepercayaan ?
2.      Bagaimana ritual budaya Jawa yang dipengaruhi oleh kepercayaan?
3.      Bagamana pengaruh kepercayaan dalam bidang seni dan sastra?

C.    Tujuan Masalah
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Budaya Jawa, selain itu penyusun menharapkan dapat menambah wawasan tentang budaya Jawa.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan


1.      Animisme dan Dinamisme
Diperkirakan bahwa di provinsi Kalimatan Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme. Selain dari pada jiwa dan roh yang mendiami di tempat tertentu, kepercayaan animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan, misalnya suku Nias mempercayai bahwa seekor tikus yang telah mati beranak. Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan membalas orang yang dendam menjadi musuh bebuyutan pada masa hidupnya. Kepercayaan ini berbeda dengan konsep reinkarnasi seperti yang terdapat pada agama Hindu dan Budha, dimana dalam reinkarnasi, jiwa tidak pindah langsung ke tubuh hewan lain yang hidup, melainkan dilahirkan kembali dalam bentuk lain. Pada agama Hindu dan Budha juga terdapat konsep karma yang berbeda dengan kepercayaan animisme.

2.      Teori Animisme dan Teori Roh dalam Al-Qur’an
Teori animisme pertama kali dikemukakan oleh seorang antropolog Edward Bunnet Tylor (1832-1971) didalam bukunya Primative Culture, disebutkan:
“Dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti mimpi, sakit dan sebagainya yang dialami oleh orang-orang primitif, maka peristiwa-peristiwa tersebut membawa mereka kepada adanya pengertian tentang anima (roh). Dengan pengertian ini lalu mereka membuat kategori tentang pemisahan roh dan tubuh kasar, mereka lalu berpendapat bahwa terdapatlah roh pada setiap benda hidup dan juga benda mati.” Bila orang meninggal, rohnya hidup terus dan dari sanalah asal kepercayaannya akan roh oramg mati. Roh orang mati dapat mengunjungi manusia yang masih hidup didalam mimpinya. Lama- kelamaan roh orang mati itu dipuja orang dan diangkat menjadi dewa-dewa. Roh manusia yang telah mati menurut paham bangsa-bangsa primitif pindah ke tubuh binatang, hidup di gunung, di pohon kayu, di batu fetish dan sebagainya. Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja seperti batu, kotak, gigi binatang dan sebagainya.
Para penganut animisme ini adalah manusia yang tersesat yang belum menemukan jalan yang semestinya dilalui. Allah SWT. bukanlah roh sebagaimana anggapan mereka, tetapi Allah SWT. adalah Tuhan yang menciptakan semua benda-benda, tumbuh-tumbuhan, dan binatang-binatang. Allah SWT. menciptakan dunia, manusia termasuk nenek moyang atau leluhur mereka, dan roh itu sendiri adalah termasuk salah satu ciptaan-Nya.
Memang masalah kehidupan sehari-hari mempunyai arti serta nilai religius. Hidup adalah keutuhan, karena itu masalah kepercayaan dipandang tidak terlepas dari hidupnya, namun terlepas dari hidupnya, namun terlepas sama sekali dari kebenaran agama yang sebenarnya dikarenakan oleh tidak adanya pengertian bahwa Allah SWT. telah mengutus Rasul-Nya yang terpilih untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk-Nya kepada seluruh umat manusia di dunia ini.[1]

3.      Beberapa ayat Al-Qur’an tentang Teori Roh (Animisme)
Teori animisme (roh-roh) mempunyai banyak unsur yang bersesuaian dengan Al-Qur’an. Seperti soal kebebasan kemauan dan terpisahnya (roh) manusia dari badan dan roh hewan dalam kehidupan ini, bertempatnya roh manusia sesudah mati dalam alam barzakh, yaitu tempat yang terdapat antara dunia dan akhirat, dan pertalian-pertalian roh-roh orang yang telah meninggalkan kehidupan di dunia. Kesemuanya itu kita dapat dalam Al-Qur’an antara lain dalam ayat-ayat berikut:
“Tuhanlah yang mematikan (menidurkan) engkau diwaktu malam, dan Dia mengetahui apa yang engkau perbuat pada siang hari. Kemudian Dia membangkitkan engkau pada hari itu (kiamat), agar dijalani masa yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kami kembali, lalu dia memberitahukan kepada apa yang dahulu kamu kerjakan” (QS Al-An’am 60).
“Tuhan mematikan jiwa-jiwa ketika (tiba masa) matinya dan bagi yang belum mati yaitu diwaktu tidurnya.” (QS. Az-Zumar:42).
“Janganlah engkau kira bahwa mereka yang terbunuh karena jalan Allah itu mati, melainkan karena mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapat rezeki, gembira atas apa saja yang diberikan Tuhan kepada mereka berupa anugrah, dan optimislah (mereka gembira) terhadap mereka yang terhadap mereka yang menyesali mereka dan berbeda dibelakangnya.” (QS. Ali ‘Imran: 169-170).
Bagi orang yang mengartikan teori animisme sama dengan teori kejiwaan, maka teori kejiwaan dipakai juga oleh Al-Qur’an ketika menunjukkan kelemahan manusia untuk mencapai segala tujuannya dan kelemahannya ketika menghadapi keputusan Dzat yang Maha Tinggi, serta keharusan menyerah kepada-Nya sebagai tercantum dalam ayat berikut ini, yang artinya “Adakah bagi manusia segala yang diinginkannya? Bagi Tuhan adalah adalah yang pertamadan terakhi.” (QS. An-Najm: 24-25). Jika Animisme ini dimasukkan dalam terminologi agama dengan pengertian objektif, yaitu agama dalam segala apa yang dipercayai, maka mempercayai segala nyawa berarti mempercayai segala Tuhan. Jadi kalau demikan artinya, maka animisme berarti mempunyai Tuhan banyak.[2]

4.      Kegiatan-kegiatan Animisme
Pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Mereka meminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar tidak menggangunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu besar yang kurang halus pembuatannya sebagai tempat pemujaan. Roh yang pernah hidup dimasa  sebelumnya dianggap banyak jasa dan pengalamannya sehingga perlu diminta berkah dan petunjuk yaitu dengan cara menghadirkan arwah nenek moyang dibantu dengan orang sakti yang disebut Perewangan untuk memimpin upacara. Mereka juga membuat patung nenek moyang roh nenek moyang masuk ke patung tersebut. Untuk kelengkapannya mereka menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan serta dengan cara memainkankan bunyi-bunyian dan tari-tarian agar roh nenek moyang gembira dan berkenan memberi berkah kepada keluarganya. Namun upacara tersebut kemudian berubah fungsinya menjadi kesenian rakyat.
Upacara kematian secara berurutan diadakan sebagai berikut: Selamatan surtanah atau geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang. Selamatan nelung dina, diadakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang. Mitung dina, upacara selamatan yang diadakan pada hari ketujuh. Kemudian selamatan matang puluh dina, selamatan mendak sepisan mendak pindo. Selamatan nyewu. Kemudian yang terakhir selamatan uwis-uwisi. Upacara selamatan dan pertunjukan tarian tradisional serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa keagamaan orang Jawa peninggalan pada zaman animisme yang terus dilakukan dan dianut sampai saat ini.
Kemudian peninggalan zaman animisme yang lain adalah pemberian sesaji atau sesajen kanggo sing mbahurekso, atau dhayang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon yang berumur tua, di sandang atau belik tempat mata air di kuburan-kuburan tua. Tempat-tempat tersebut dianggap keramat atau angker. Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus seperti lelembut, dan jin yang mbhahurekso (yang menjaga), yang mendiami tempat-tempat tersebut agar tidak menggangu keselamatan, ketentraman, dan kebahagian keluarga yang bersangkutan.
Penanggalan Jawa membuat kita terkesan pada keanekaragaman waktu yang dikondifikasikan oleh sistem penanggalan berdasarkan hari yang pada pokoknya berlandasan pada tiga pekan, masing-masing disebut pancawara atau perasaan, sarawara dan saptawara. Nama hari-hari pancawara dan sadwara semuanya berasal dari Jawa yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Nama hari sadrawa adalah tungle ariang, wurukung, paning rong, uwas dan mawulu. Yang berasal dari bahasa Arab adalah Ahad, Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu. Sesajian kepada roh dibuat pada hari-hari tertentu yang dianggap baik misalnya kombinasi antar hari Selasa dan Jum’at dengan pasaran Kliwon tersebut merupakan hari yang dianggap istimewa.[3]

5.      Pengertian Dinamisme
 Perkataan dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu  kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya.
Selanjutnya dinamisme ada yang mengartikan dengan sejenis paham perasaan keagamaan yang terdapat di berbagai bagian dunia, pada berjenis-jenis bangsa dan menunjukan banyaknya persamaan-persamaan. Demikian Honig mengartikannya. Dr. Harun Hasution tidak mendinisikan dinamisme secara tegas hanya menerangan bahwa bagi manusia primitif yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali, tiap-tiap benda yang berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius.
Dalam ensiklopedia umum dijumpai defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitif pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga preanismisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai kekuatan (percaya adanya kekuatan yang maha yang berbeda dimana-mana).

6.      Kegiatan Dinamisme
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan sebelumnya keberhasilan pertanian tergantung tergantung dari kekuatan alam matahari, hujan , angin, dan hama. Tetapi mereka masih mempunyai kekuatan adrikodrati dibalik semua kekuatan itu. Selanjutnya sebagai peninggalan sisa masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambahkan kekutan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad raya. Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutuih, (hanya makan makanan yang serba putih), ngasrep (hanya makan dan minum yang serba tawar ) dan berpuasa pada hari wetonan usaha yang paling berat adalah melaksanakan pati geni yaitu tidak makan dan tidak minum dan tidak melihat sian apapun selam 40 hari 40 malam. Usaha untuk menambah kekuatan batin dapat pula dilakukan dengan cara mengunakan benda-benda yang berkekuatan ghaib yang disebut “jimat”.[4]


Ketika Islam masuk ke Jawa dan dua hal yang perlu dicatat:
Pertama, pada waktu itu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur. Dalam bidang politik antara lain ditandai dengan jatuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada tahun 1258 M, dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar di Andalusia Spanyol oleh tentara Aragon dan Castella pada 1492 M. Dibidang pemikiran kalau pada masa-masa sebelumnya telah muncul ulama-ulama besar dibidang hukum, filsafat dan sains, pada masa ini pemikiran-pemikiran tersebut telah mengalami kemunduran. Pada masa ini semakin berkembang pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan kelompok-kelompok tharekat sesaat semakin berkembang dikalangan umat Islam (Solechan,2008:6).
Kedua, sebelum kedatangan Islam di Jawa, Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan Animisme dan Dinamisme telah bertukar dikalangan masyarakat Jawa, Oleh karena itu dengan datangnya Islam terjadi pergumulan antara Islam disatu pihak, dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelum pihak lain. Akibatnya muncul 2 kelompok dalam menerima Islam. Pertama, yang menerima Islam secara total dengan tanpa mengikat pada kepercayaan-kepercayaan lama. Kedua, adalah mereka yang menerima ajaran Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama. Oleh karena itu mereka mencampur adukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama (Solechan, 2008:7).
       Seorang sejarawan bernama Geertz  mengelompokkan masyarakat Jawa Islam menjadi kedalam kategori sebagai berikut:
a.       Santri, yakin golongan masyarat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam. Mengerjakan segala kewajiban, semacam shalat, zakat, puasa, dan meninggalkan segala keharaman tidak memakan babi, tidak membuat sesajen, dan sebagainya.
b.      Abangan, yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namun kurang memegang teguh syariat Islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak sholat, puasa, dan sebagainya. Maka mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen, grebegan, dan lainnya.
c.       Priyayi, yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri maupun abangan, terlepas dari sikap dan keberagaman mereka (Mahardhika Zifana, 2008:11)
Sikap yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, disatu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan percampuradukan antara Islam dipihak lain, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana yang berasal dari tradisi. Namun aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama yang baru. Dan sebaliknya, ajaran-ajaran telah memudahkan pihak Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa (Solechan, 2008:10).[5]

B.     Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu “aliran hikmah” dan “aliran kejawen”. Aliran hikmah berkembang di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber pada Al-Qur’an). Sedangkan aliran Kejawen yang ada sekarang sebetulnya sudah tidak murni kejawen lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi Islam. Mantranyapun kebanyakan diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra Jawa. Oleh karena itu disebut Ilmu Aliran Islam Kejawen. Tradisi Islam kejawen inilah yang lebih banyak mewarnai keilmuan sifat Rohani.

1.      Aliran Islam Kejawean
Aliran mula aliran kejawen adalah budaya masyarakat Jawa sebelum Islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik dan melakukan kegiatan ritual untuk mendapatkan kemampuan supranatural. Para pengembang ajaran Islam di Pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi Jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagai senjata dakwah (Administrator, 2006:16)
Para Wali menyusun ilmu-ilmu gaib dengan tata cara lelaku yang lebih Islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa campuran Arab-Jawa yang intinya adalah doa kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya berbahas Arab adalah agar orang Jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal. Bahkan Sunan Kalijaga juga menciptakan satu kidung “Rumeksa Ing Wengi” yang menurut saya bisa disebut sebagai ilmu gaib atau ilmu supranatural, karena ternyata orang yang mengamalkan kidung “Rumekso ing Wengi” yang menurut saya bisa disebut sebagai ilmu ghaib atau ilmu supranatural, karena ternyata orang yang mempunyai ilmu ini mempunyai kidung supranatural.[6]

2.      Aspek Kepercayaan dan Ritual
Agama didalam memainkan perannya terhadap masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agamanya.
Islam masuk ke Jawa harus menghadapi masyarakat Jawa yang penuh dengan budaya mistis, bangunan kepercayaan Animisme-Dinamisme dan Agama Hindu-Budha yang sudah mengakar. Masyarakat Jawa sebelum datangnya ajaran agama-agama asing diluar, telah memiliki kepercayaan sendiri. Kepercayaan adanya kekuatan magis dan pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur (animis-dinamis), mengembangkan kebudayaan berburu dan meramu, menangkap ikan, membuat perahu, lesung dan kapak berbentuk cakram sejak zaman pra-sejarah. Mistik merupakan ajaran yang telah lama dikenal dan diyakini oleh orang Jawa. Kedatangan bangsa India (Hindu-Budha) juga mengajarkan mistik, yang kemudian diserap dan diolah oleh orang Jawa.
                        Kedatangan bangsa India yang membawa kepercayaan dan peradaban baru membuat kebudayaan Jawa semakin berkembang bukannya tersisih. Ajaran Hindu-Budha dari India tersebut makin memperluas peradaban dan tradasi Jawa, tradisi Jawa yang serba Magis-Mistis, Agama baru ini (Hindu-Budha) berkembang dengan pesat, mengakar dalam segala lapisan kehidupan, sampai-sampai yang diyakini sebagai budaya Jawa asli.[7] Dalam budaya Jawa yang bersumberkan dari ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata seperti Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Meskipun semula agama tidak jelas konsep ketuhanannya, tetapi dalam perkembangannya agama Budha juga percaya kepada Tuhan yang disebut Sang Hyang Adi  Bhuda. Dari Syang Hyang Adi Bhuda juga memanisfestasikan diri dalam berbagai tingkatan Budha sehingga terdapat Budha Surga. Demikian juga Budha Dunia (Manusyiri Budha) seperti Budha Gautama selaku penganjur agama ini.
                        Adapun pada Agama “primitif” sebagai “agama” orang Jawa sebelum kedatangan agama Hindu atau Budha, inti kepercayaan adalah percaya kepada daya kekuatan gaib yang menempati pada setiap benda (dinamisme), serta percaya kepada roh-roh ataupun makhluk-makhluk halus yang menempati pada suatu benda ataupun berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, baik benda hidup maupun benda mati (animisme).
                        Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu Budha maupun kepercayaan Animisme-Dinamisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.

3.       Aspek Ketuhanan
                              Prinsip ajaran Tauhid Islam telah berkelindan dalam berbagai unsur keyakinan Hindu Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asmaul husna telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti kang Murbeng Dumadi (al-Khaliq), Ingkang Maha Kuasa (al-qodir), Ingkang Maha Esa (al-ahad), Ingkang Maha Suci , dan lain-lain. Nama-nama itu bercampur dengan agama Hindu-Budha sehingga muncul sebutan Hyang Maha Agung (Allahu akbar), Hyang Widhi, Hyang Jagad Nata  (Allah Robal’alamin), atau sang Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala). Namun dengan demikian dari berbagai nama-nama itu, orang Jawa dalam keadaaan kehidupan sehari-hari terbiasa dengan sebutan “Gusti Allah” , mengucapkan bismillah ketika memulai pekerjaan, Ya Allah Gusti ketika berdoa, astaghfirullah ketika merasa kecewa.
                              Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme, dinamisme kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni dikarenakan tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Arti keramat disini bukan hanya sekedar berarti mulia, terhormat, tetapi memiliki daya magis sebagai sesuatu yang sangat sakral bersifat ilahiyah. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan. Ada yang disebut azimat, pusaka dalam bentuk; tombak, keris, ikat, kepala, cincin, batu akik, dan lain-lain. Barang-barang peninggalan Raja Jawa yang disebut benda pusaka pada umumnya dipandang benda keramat. Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tertentu dipandang suci, keramat, dan bertuah. Begitu juga kuburan-kuburan ataupun petilasan-petilasan, hari-hari tertentu, dipandang memiliki barokah atau juga membawa kesialan. Barang-barang atau benda-benda ataupun orang-orang keramat itu dipandang sebagai penghubung atau (wasilah) dengan Allah. Oleh karena itu, bacaan doa-doa tertentu berubah menjadi mantera, ayat-ayat suci Al-Qur’an atau huruf-huruf  Arab menjadi rajahan yang diyakini memiliki nilai yang sangat berarti, bukan dari makna yang terkandung didalam ayat-ayat itu melainkan daya ghaibnya dan dipandang sebagai azimat. Kepercayaan seperti ini terutama diperlakukan terhadap Al-Qur’an cetakan kecil yang dikenal dengan sebutan Al-Qur’an stambul (istambul).

4.      Kepercayaan yang Berhubungan  dengan Takdir Tuhan
                        Dari budaya Jawa tampaknya telah terpengaruh oleh teologi jabariyah sehingga terdapat kecenderungan orang lebih bersikap pasrah, sumrah, nerimo ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Meskipun demikian manusia juga mempunyai peluang untuk berikhtiar dengan kemampuan yang dimiliki, setidak-tidaknya dengan berdo’a memohon pertolongan kepada-Nya. Namun terdapat pula upaya ikhtiar yang diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan baik, hari, bulan dan tahun yang membawa kepada nasib baik itu perlu dicari dan ditentukan dengan cara-cara magis. Hari-hari yang jelek sering disebut dengan hari na’as. Dan pada hari yang na’as ini orang-orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan seperti perayaan pesta pernikahan, melakukan perjalanan jauh, transaksi dagang, dan lain-lain. Perhitungan-perhitungan magis dengan melihat naptu dari hari dan pasaran menurut rumus-rumus tertentu sangat menolong untuk menentukan hari yang baik, bulan baik, serta menghindari hari-hari na’as. Tapi jika hari na’as itu tidak  dapat dihindari, maka perlu diusahakan upacara-upacara tertentu untuk menetralisir akibat negatif yang ditimbulkan dari hari na’as tersbut. Dengan demikian, upacara tertentu memiliki kegiatan ghaib yang bersifat menangkal (kontra produktif) terhadap akibat buruk yang bakal menimpa. Biasanya upacara-upacara yang diwujudkan dalam bentuk sesaji.[8]
                        Sesaji atau sesajen merupakan ramuan dari tiga macam bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan dan kue apem, yang ditaruh didalam besek kecil atau bungkusan daun pisang. Ada sesajen yang dibuat pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon. Sesaji ini sangat sederhana karena terdiri dari tiga macam bunga yang dimasukkan ke dalam gelas berisi setengah air dan bersama-sama sebuah pelita yang ditempakan diatas meja untuk dikutug. Inipun ditunjukan agar ruh-ruh tidak mengganggu ketentraman dan keselamatan dari para anggota sesi rumah. Misalnya upacara sesaji penyadranan agung, yang masih tetap diadakan tiap tahun oleh keluarga keraton Yogyakarta bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad SAW. atau yang disebut Grebeg Maulud.

5.      Kepercayaan Terhadap Makhluk Jahat
                              Dalam agama Islam makhluk jahat disebut Saithan, yang dalam lidah Jawa disebut setan, dan nenek moyang setan itu sendiri Iblis. Sementara itu, pada agama Hindu jenis makhluk jahat atau roh-roh jahat meliputi roh sebagai musuh Dewa, antara lain Warta musuh dewa Indera roh jahat yang lebih rendah derajatnya disebut reksa, yang bisa menjelma sebagai binatang maupun manusia, dan roh jahat pemakan daging atau jenazah disebut picasa.
                              Kepercayaan Jawa terhadap makhluk jahat yang berasal dari agama Islam maupun agama Hindu tampaknya telah saling mengisi. Nama setan, jin dan raksasa dimasukkan sebagai penyebutan berbagai jenis makhluk halus atau roh jahat yang menggoda manusia dapat menjelma seperti bayangan manusia maupun hewan, maka terdapatlah Setan Iblis, Demit , Memedi, Wewe, Kuntilanak, Sundel Bolong, Thuyul, atau Setan Usus.[9]
                              Menurut kepercayaan masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan sukses, kebahagian, ketentraman, ataupun keselamatan, tetapi bisa pula menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, dan bahkan kematian. Maka bila mana seseorang ingin hidup tanpa menderita dari gangguan tersebut, ia harus berbuat sesuatu misalnya berpuasa, berpantang melakukan perbuatan-perbuatan serta makan-makanan tertentu, berselamatan dan bersaji. Menurut orang Jawa orang yang sudah meninggal dunia berkeliaran disekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam (pesarean). Maka dalam hal itu dilakukanlah upacara kepercayaan upacara selamatan dalam rangka lingkungan hidup seseorang khususnya yang berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya, adalah suatu adat kebiasaan yang amat diperhatikan dan kerap kali dilakukan oleh hampir seluruh lapisan golongan masyarakat orang Jawa. Hal ini mungkin karena orang Jawa sangat menghargai yang sangat menghargai orang yang sudah meninggal dunia, terutama kalau orang itu adalah keluarganya. Sehingga salah satu jalan yang baik untuk menolong keselamatan roh nenek moyang tersebut alam akhirat, ialah dengan membuat berbagai upacara selamatan (sedekah) sejak awal kematian sampai seribu harinya seperti:
a.       Sedekah surtanah atau geblek, yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang
b.      Sedekah nelung dina, yaitu upacara selamatan kematian yang diselenggarakan pada hari ketiga saat sudah meninggalnya seseorang
c.       Sedekah mitung dina, yaitu pada hari ketujuh orang yang sudah meninggal
d.      Sdekah matang puluh dina, selamatan pada keempat puluh harinya
e.       Sedekan nyatus, selamatan yang keseratus dari orang yang meninggal
f.       Sedekah mendak pisan dan mendak pindo, masing-masing upacara kematian dilakukan sesudah satu tahun dan dua tahunnya dari saat meninggal
g.      Sedekah nyewu, upacara peringatan orang yang meninggal pada hari keseribu, dan lain sebagainya.
Upacara selamatan ini adalah yang terakhir.[10]
C.    Pengaruh keyakinan pada aspek sastra dan seni

1.      Kesenian Tradisi Jawa
Secara sempit seni tradisi Jawa berarti karya seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa. Beberapa contoh dari seni tradisional Jawa antara lain tari gambyong maupun berbagai jenis wayang. Dan secara kodrat budaya Jawa seperti halnya budaya lainnya, akan selalu mengalami proses perubahan dan perkembangan dalam arti yang luas. Pengembangan nilai budaya Jawa merupakan upaya secara sadar untuk terus meningkatkan kualitasnya. Hasil upaya tersebut terletak pada etos kerja masyarakat Jawa itu sendiri, yaitu aspek moral dan estetik budaya Jawa yang pada gilirannya tidak luput dari proses perubahan selagi perubahan budaya Jawa masih mengarah pada  peningkatan kearah humanisme yang berarti ada perkembangan. Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya justru akan terjadi kemerosotan degadrasi budaya Jawa.
 Kehidupan kesenian yang dinamis memerlukan kehadiran seniman yang kreatif, karena seni yang berkualitas, adalah kritikus seni yang berbobot dan masyarakat pendukung yang mau dan mampu mengadaptasi seni secara semestinya. Akan tetapi dalam kehidupan modern sekarang ini, untuk mewujudkan kehidupan seni tradisi Jawa yang dinamis kehadiran keempat unsur tersebut belum cukup tanpa kehadiran seorang patron seni atau maecenas, yaitu pengayom seni yang giat dan kreatif yang bersedia mencurahkan pikiran, tenaga, waktu dan ruang untuk mengembangkan seni tradisi Jawa.
Berbeda dengan kehidupan seni tradisi Jawa pada masa lampau yang menjadikan keraton sebagai pusat kekuasaan politik dan kebudayaan. Dengan menempatkan Raja sebagai seorang maecenas dan dengan kekusaan politik, sumber daya manusia yang dimilikinya, serta dukungan dari seluruh masyarakat, Raja dapat mengembangkan seni tradisi Jawa sesuai dengan selera yang dikendakinya. Oleh karena itu, seni tradisi Jawa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini dapat kita lihat di Istana Mangkunegara pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, dimana pada masa pemerintahan tersebut pekembangan seni tradisi Jawa meliputi sastra, tari, pewayangan dan karawitan mengalami kemajuan yang pesat di Istana Mangkunegara dibandingkan masa-masa sebelumnya bahkan sesudahnya. Semua itu dapat terwujud karena Mangkunegara IV sangat memperhatikan dan ikut terlibat langsung dalam pengembangan bentuk kesenian itu, baik sebagai pujangga maupun maecenas.[11]
Kepercayaan yang mempengaruhi budaya Islam terdapat pada seni arsitektur mesjid yang terlihat pada bangunan masjid yang masih menggunakan arsitektur bernuansa Hinduisme. Tampak seperti pada penggunaan atap tajuk dan pemakaian mustaka pada puncak atapnya. Selain itu, masuknya Islam ke Jawa juga berkaitan dengan kekuasaan Raja pada masa itu sehingga menghasilkan bangunan-bangunan masjid yang cukup mewah pada zamannya dengan kekhasan tersendiri. Perpaduan itu tampak, misalnya dari bangunan masjid yang ada dalam lingkungan Keraton. Pertimbangan memadukan unsur-unsur lama dan budaya baru dalam arsitektur Islam menunjukan adanya akulturasi dalam proses perwujudannya arsitektur Islam.

2.      Wayang sebagai Kesenian
Seni yang merupakan hasil budaya manusia tidaklah sekedar bernilai keindahan, tapi juga bermakna simbolis. Hal ini tak hanya berlaku pada masyarakat dengan tingkat budaya rendah, tapi juga pada masyarakat dengan budaya yang sudah maju. Corak seni bermakna simbolis tersebut dapat disaksikan ditengah masyarakat Indonesia yang mempunyai berbagai macam seni daerah, antara lain seni pewayangan. Terdapat bermacam seni tradisi wayang dalam budaya Jawa, seperti wayang beber, wayang golek, wayang krusil, wayang kulit (purwa), dan lain sebagainya. Namun diantara kesemua itu, wayang kulitlah yang mempunyai banyak penggemar, dan juga satu-satunya wayang yang masih eksis sampai sekarang.
Tradisi wayang adalah salah satu komponen kebudayaan Jawa yang paling kompleks dan canggih. Kebanyakan umat Muslim Kejawen menganggap wayang bisa mewujudkan hakikat kebenaran filosofis dan etika. Selain itu, wayang bisa lebih jernih mendefinisikan dibandingkan hal apapun, apa artinya menjadi orang Jawa. Bagi mereka wayang bukanlah sekedar kesenian yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan saja, melainkan juga mempunyai makna sebagai simbol perilaku kehidupan manusia. Didalamnya terdapat suri tauladan manusia karena terdapat pergumulan antara “benar atau salah” yang diakhiri dengan pihak yang benar. Lebih jauh lagi wayang juga mengandung arti mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayanganing urip) dan kehidupan manusia beserta segala masalahnya.
Satu personifikasi yang sangat dekat dengan masyarakat Jawa adalah tokoh punakawan yang terdiri atas Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong. Para tokoh yang selalu ditunggu dalam setiap pagelaran wayang di Jawa. Meskipun sebenarnya tokoh punakawan tidak terdapat dalam naskah wayang asli dari India, karena setiap tokoh yang sengaja dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi beragam masyarakat Jawa oleh para Wali dalam penyebaran agama Islam. Wayang adalah media efektif untuk menyampaikan misi, namun cerita wayang yang diusung dari negara asalnya berdasarkan teologi Hindu, maka para Wali menciptakan suatu tokoh yang lebih fleksibel yang mampu menghibur masyarakat namun tidak menyulitkan dalang karena tidak harus selalu terikat pakem. Dalam setiap lakon, punakawan juga berfungsi sebagai pamong “pengasuh”  untuk tokoh pelindung mengingat lemahnya manusia dan tiap manusia hendaklah selalu meminta perlindungan kepada Allah SWT. Nama para Punakawan sendiri yang tidak dapat ditemukan dalam naskah asli dari India. Bukanlah sebutan bahasa Jawa asli kuno atau baru. Nama-nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang belum berubah dalam penulisan Jawa dan terdapat makna tersendiri dalam setiap nama, yaitu:
a.         Semar
Nama Semar berasal dari bahasa Arab yaitu Ismar, kata Ismar dalam pengucapan lidah Jawa menjadi Semar. Dari suku kata is dalam ucapan lidah Jawa menjadi se, misalnya Istambul menjadi Setambul, Islam menjadi Selam, dan lain sebagainya. Ismar berarti paku yaitu berfungsi sebagai pengokoh yang goyah, ibarat ajaran Islam yang didakwahkan oleh Walisongo di kerajaan Majapahit yang pada saat itu sedang bergolak dan diakhiri dengan berdirinya karajaan Demak oleh Raden Patah.
b.         Nala Gareng
Berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Naala Qariin yang berarti memperoleh banyak kawan. Menyiratkan tugas dan kewajiban konsepsional para Walisongo sebagai juru dakwah adalah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali ke jalan Tuhan dengan kebijakan dan harapan yang baik.

c.         Petruk
Berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Fat’ruk yang merupakan pangkal kalimat pendek dari sebuah petuah tasawuf yang berbunyi fat’ruk kullu maa siwallaahi, yang artinya “Tinggalkan semua apapun selain Allah”. Petuah tersebut kemudian menjadi watak pribadi para Wali dan mubaligh pada saat itu.
d.        Bagong
Berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Baghaa yang berarti memberontak. Memberontak terhadap kebathilan atau kemungkaran. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Bagong berasal dari bahasa Arab Bagho (Baqa) yang berarti kekal, kekekalan untuk semua makhluk hidup di akhirat kelak. Tokoh punakawan satu ini memiliki sifat kritis yang tak segan mengkritik dan menyindir segala keadaan yang dianggap tidak benar.
Kesenian wayang selain berasal dari kebudayaan Jawa asli, juga berperan penting sebagai media yang digunakan para penyebar agama Islam di Jawa pada masa lalu. Karena ditangan para Wali, didalam kesenian dimasukkan nilai-nilai moral dan etika Islam yang kemudian diajarkan secara halus melalui kesenian tersebut. Sehingga masyarakat yang kemudian pada masa itu tidak sadar bahwa sedang diajari, dengan kata lain tidak merasa digurui oleh para Wali, terutama masyarakat yang berasal dari status sosial yang tinggi. Berkat bantuan kesenian dalam menyebarkan agama Islam menjadi lebih fleksibel dan lebih mudah dipahami, juga mampu mencangkup semua golongan masyarakat yang pada masa Hindhu-Budha tidak tersentuh. Sehingga Islam pasa masa itu dapat dengan mudah menarik perhatian orang yang mengakibatkan masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam.[12]


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia sudah mengenal adanya Tuhan sejak beribu-ribu tahun yang lalu, dengan kepercayaan yang mereka pertama kali anut adalah Animisme dan Dinamisme , Animisme adalah percaya kepada roh nenek moyang yang diwujudkan melalui upacara sesembahan dan penyerahan sesaji, sedangkan Dinamisme adalah percaya pada benda-benda yang dianggap keramat dan kekuatan supranatural yang diwujudkan dengan menyerahkan sesaji dan mengamalkan amalan seperti puasa mutih, puasa 40 hari 40 malam, puasa weton, ngasrep. Yang bertujuan untuk mendapatkan jimat (benda yang diyakini memiliki kekuatan).
Dari sinilah kemudian masyrakat Indonesia mulai menerima kepercayaan lain seperti agama Hindu Budha, dan yang terakhir adalah Islam yang dibawakan oleh walisongo di tanah Jawa dengan memadukan budaya lama tanpa meninggalkan sisi keislamannya.

B.     SARAN
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna, tak ada gading yang tak retak dan kami juga menyadari kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. semata, untuk itu kami membuka kritik dan saran yang membangun dan dapat mengoreksi makalah kami, diharapkan kedepannya dapat lebih baik lagi, terima kasih.




DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. Darori, Islam dan Kebudayaan Jaw,Yogyakarta: Gema Media, 2000.
H.Shodiq, Potret Islam Jawa.Semarang: Pustaka Zaman, 2013.
Khalim, Samadi, Islam dan Spiritualitas Jawa.Semarang: RaSiL Media Group, 2008.
Koentajaraningrat, dkk, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.Jakarta: Karya Unipress, 2002.
Ramdani, Mohammad, dkk, Makalah Interelasi Nilai Jawa dan Islam, Semarang: Photo copy, 2014.



[1] Drs. H. Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 8-9
[2] Drs. H. Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 10-11
[3]Drs. H. Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 12-13
[4]Drs. H. Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 13-14
[5] Drs. H. Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 43-45
[6]Drs. H. Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 45-46
[7] Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa,( Semarang: RaSIL Media Group, 2008). Hlm. 5-6
[8] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gema Media, 2000)  hlm. 123-126
[9] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gema Media, 2000) hlm. 126-127
[10] Koentjaraningrat dkk, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Karya Unipress, 2002), hlm. 348

[12] Mohammad Ramdani, dkk, Makalah Interelasi Nilai Jawa dan Islam, (Semarang: Photo copy, 2014), hlm. 11-13