Ayo Sinau...!!!

Sabtu, 21 Mei 2016

Shodaqah dalam Perspektif Islam dan IPTEK

SHODAQAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IPTEK




I. Pendahuluan
Harta merupakan titipan Allah SWT yang pada hakekatnya hanya dititipkan kepada kita sebagai manusia ciptaan-Nya. Konsekuensi manusia terhadap segala bentuk titipan yang dibebankan kepadanya mempunyai aturan-aturan Tuhan, baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaan.
Terdapat kewajiban yang dibebankan pada pemiliknya untuk mengeluarkan zakat untuk kesejahteraan masyarakat, dan ada ibadah amaliyah sunnah yakni shadaqah dan infaq. Karena pada hakekatnya segala harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah SWT, maka setiap kita manusia wajib melaksanakan segala perintah Allah mengenai hartanya.
II. Pembahasan
A. Landasan Agama tentang Shodaqah
 Sedekah secara umum adalah pemberian sebuah barang atau apapun kepada orang lain dengan benar-benar mengharap keridhoan Allah SWT.[1]
Shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti ’benar’. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya.[2] Menurut terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Infak hanya berkaitan dengan materi sedangkan sedekah memiliki arti luas, menyangkut hal yang bersifat nonmaterial.
Sedekah yaitu suatu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala bukan untuk suatu kehormatan. Sedekah merupakan bentuk kepedulian seseorang teradap orang lain untuk turut meringankan beban yang sedang dideritanya.
Sedekah dalam pengertian bukan zakat sangat dianjurkan dalam Islam dan sangat baik dilakukan tiap saat. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Diantaranya adalah:
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ -٢٦١- 

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 261)
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, bahwa ayat ini tidak dimulai dengan mewajibkan ataupun menugaskan, namun hanya anjuran dan memberikan rangsangan atau pengaruh. Metode seperti ini sangat efektif untuk membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan-kesan yang hidup didalam jiwa manusia. Jadi harta yang disedekahkan akan berkembang dan memberikan keberkahan kepada pemiliknya.[3]
Adapun di ayat lain disebutkan:
إِن تُبْدُواْ الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاء فَهُوَ خَيْرٌ لُّكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ -٢٧١-
 Artinya :Jika kamu Menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah:271).
Dalam ayat ini, maksud kata menampakkan sedekah dengan tujuan supaya dicontoh orang lain. Menyembunyikan sedekah itu lebih baik dari menampakkannya, Karena menampakkan itu dapat menimbulkan riya pada diri si pemberi dan dapat pula menyakitkan hati orang yang diberi.
Dan juga disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dibawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, lalu ia menyebutkan hadits ini, dan didalamnya disebutkan, “....Dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan sesuatu lalu ia merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya”. (Muttafaq Alaih)[4]

Islam menganjurkan pengikutnya untuk bersedekah dalam berbagai bentuk, diantaranya:
قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ -٢٦٣-
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (Q.S Al-Baqarah: 263)
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, bahwa perkataan yang baik ini adalah perkataan baik yang dapat membalut luka dihati dan mengisinya dengan kerelaan dan kesenangan. Sedangkan pemberian maaf yang baik adalah yang dapat mencuci dendam dan kebencian didalam jiwa, dan menggantinya dengan persaudaraan dan persahabatan. Jadi perkataan yang baik dan pemberian maaf yang baik dalam kondisi seperti itu akan dapat menunaikan fungsi sedekah, yaitu membersihkan hati dan menjinakkan jiwa.[5]
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ -٢٧٦- 
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”(Q.S Al-Baqarah: 276)
Dalam ayat diatas yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menyuburkan shadaqah ialah mengembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya, dan selalu berbuat dosa maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Shadaqah terbagi menjadi dua bentuk, yang bersifat material atau fisik, dan non material atau non fisik. Didalam sedekah yang bersifat material terdapat dua jenis sedekah diantaranya yang bersifat wajib seperti zakat fitrah maupun maal, dan sedekah yang bersifat sunnah (shadaqah jariyah). Sedangkan yang bersifat non material meliputi lima macam, yaitu:[6]
 pertama: tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Kedua: berasal dari badan berupa senyum, tenaga untuk bekerja dan membuang duri dari jalan dan lain-lain. Ketiga: menolong atau membantu orang yang kesusahan yang memerlukan bantuan. Keempat menyuruh kepada kebaikan atau yang ma’ruf , sedangkan yang terakhir, menahan diri dari kejahatan atau merusak.
Meskipun sedekah yang non material bersifat sunnah, namun sedekah mempunyai kemampuan yang dahsyat dibandingkan dengan infak maupun zakat, terlihat dalam surat Al-Munafiqun : 10,
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ -١٠- 
Ya Tuhanku, mengapa engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah, dan aku termasuk orang-orang yang shaleh”.                         
Menurut Ibnu Qoyyim, “Sedekah itu bisa memberikan pengaruh yang menakjubkan untuk menolak berbagai macam bencana sekalipun pelakunya orang yang fajir (pendosa), zolim, atau bahkan orang kafir, karena Allah akan menghilangkan berbagai macam bencana dengan perantaraan shadaqah tersebut.”[7] Karenanya sedekah itu menjadi penting untuk diamalkan. Sedekah dapat menjauhkan diri dari segala musibah dan kemunkaran.
Para fukaha sepakat bahwa hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah. Sebagaimana dalam kitab Kifayatul Akhyar, berkata Syaikh Abu Syujak: “Shadaqah tatawwu’ hukumnya sunnah, terutama pada bulan Ramadhan lebih dikukuhkan kesunnahannya dan sangat disunnahkan berlapang dada (bermurah hati) dalam bulan Ramadhan itu”.[8]
Demikian pula sedekah disunnahkan ketika menghadapi suatu perkara atau masalah yang penting. Ketika sedang sakit atau sedang berpergian.
 Di samping sunah, ada pula hukum sedekah itu menjadi haram, yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang menerima sedekah akan menggunakan harta sedekah itu untuk kemaksiatan. Kemudian bila seseorang yang bersedekah menyebut-nyebut pemberiannya yang dapat menyakiti hati orang yang menerima sedekah, ataupun bersifat riya’. Seperti yang diungkapkan pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ -٢٦٤- 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.  (Al-Baqarah: 264)
      Kemudian hukum shadaqah tatawwu’ dapat berubah menjadi wajib, bila seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum shadaqah tatawwu’ juga menjadi wajib jika seseorang bernazar ingin bershadaqah kepada seseorang atau lembaga.
Islam adalah agama rahmat bagi alam semesta. Ia menuntun kepada pemeluknya untuk memiliki kepekaan terhadap lingkungannya. Karena pada hakikatnya, setiap nikmat yang dimiliki merupakan amanah dari Allah untuk dibagi ke manusia yang lain melalui dirinya. Didalam harta yang dimiliki ada hak orang-orang miskin dan yatim piatu yang harus diberikan.
Setiap kepedulian seseoarng terhadap sesamanya merupakan perbuatan terpuji yang dihukumi shadaqah oleh Islam dan mempunyai ganjaran tinggi. Sikap kepedulian seperti ini  tidak tumbuh dalam setiap individu manusia. Hanya orang-orang yang memiliki iman kuat dan keterbukaan hati sehingga membuat ia peka terhadap penderitaan orang-orang miskin, anak yatim, dan orang-orang terlantar.
Orang-orang kaya /mampu yang menutup mata dari keterpurukan manusia disekitarnya disebut oleh Allah sebagai pendusta agama. Allah berfirman: “1.Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
 Ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa shadaqah merupakan ibadah yang mempunyai dimensi ganda, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, manusia wajib untuk melaksanakan shadaqah untuk menjalin hubungan dengan Allah serta sebagai rasa syukur atas nikmatnya. Dimensi vertikal, merupakan ibadah transendental yang memiliki nilai ibadah itu sendiri. Dimensi horizontal berkaitan dengan hubungan antar manusia. Dalam ayat di atas shadaqah diwujudkan dengan cara menyantuni anak yatim dan memberi makan pada orang-orang miskin. Dimensi ini merupakan ibadah sosial yang dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah sekaligus memberi pertolongan pada orang lain. Ibadah sosial adalah ibadah yang mempunyai efek langsung dengan konteks kehidupan masyarakat sekitar.[9]
B.  Shodaqah dalam Perspektif IPTEK
1. Sesuatu yang Memiliki Nilai Sedekah dalam Kehidupan Sosial[10]
a.    Harta
Sesuatu yang memiliki nilai paling penting yang bisa kita sedekahkan adalah harta. Sebagian harta merupakan salah satu penyangga kehidupan manusia di bumi supaya tetap survive (bertahan hidup). Harta disini mengandung pengertian benda atau materi yang mempunyai nilai guna secara ekonomi, yang menjadi kebtuhan setiap manusia. Materi ini begitu luas pemaknaanya, mulai barang yang menjadi kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, dan rumah, hingga barang-barang di luar kebutuhan primer tersebut.
Dalam perspektif ekonomi, benda atau barang semacam itu merupakan barang ekonomi yang tidak setiap orang bisa memilikinya. Setiap orang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang ekonomi ini bersama orang lain, karena barang-barang ini mempunyai nilai tawar yang mensyaratkan adanya kompensasi untuk mendapatkannya. Artinya, tidak setiap orang bisa mendapatkan barang-barang ekonomi ini secara gratis.
Perjuangan untuk mendapatkan kebutuhan ekonomi merupakan kompetisi yang sangat akut, yang sering menelan korban karena tidak dapat memenangkan kompetisi tersebut. Bagi kelompok yang kalah mereka menjadi miskin dan terlantar bahkan terkadang mereka menjadi kaum pekerja yang upahnya lebih sedikit daripada peluh asin yang dikeluarkannya.
Maka disinilah sedekah harta kemudian menjadi amat penting, karena merupakan bagian dari suatu gerakan membantu kesenjangan sosial yang terjadi. Dalam A-Qur’an Allah berfirman :
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Ayat di atas merupakan perintah kepada seseorang yang mempunyai harta benda agar bersedekah atau berinfak menurut kemampuannya. Sedekah dengan harta, asalakan dilakukan dengan sasaran yang tepat, tulus, dan istiqamah, sama artinya dengan menanam investasi untuk proyek masa depan di akhirat kelak.
b.      Pekerjaan
Memberikan orang pekerjaan termasuk sedekah. Kalau kita tidak mampu memberikan lapangan kerja kepada orang lain, minimal kita memberi informasi tentang suatu pekerjaan yang sekiranya bermanfaat. Apabila orang tersebut benar-benar menggunakan dan memanfaatkan inforamasi yang telah diberikan kepadanya, niscaya pahala besar akan menunggu si pemberi sedekah tersebut.
Niat baik untuk membantu orang lain lewat berbagai kerja ataupun sekedar informasi kerja kepada orang lain dinilai sebagai sedekah. Allah berfirman :   Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.
c.      Tenaga dan Pikiran
Tidak disangsikan bahwa memberi seseorang pengetahuan atau pemahamam adalah sedekah. Dalam hal ini sedekah ilmu, atau sedekah potensi pikiran. Dalam praktiknya, sedekah semacam ini mempunyai ruang yang lebih luas serta lebih mudah untuk ditunaikan. Dalam kehidupan sosial, mencerdaskan orang yang masih belum paham tentang ilmu pengetahuan merupakan hal yang wajib kita kerjakan. Hal ini bertujuan unutuk menghentikan praktik dominasi dari kaum intelek  yang membodoh-bodohi rakyat jelata, anak tidak sekolah dan orang-orang yang putus impian.
Mengajarkan ilmu yang bermanfaat adalah sedekah, baik dengan menuliskannya dalam sebuah buku maupun menjelaskannya kepada orang lain. Oleh karena itu, seyogiyanya setiap muslim memilih untuk mempelajari ilmu yang paling bermanfaat dan mengajarkannya. Mengajarkan ilmu yang kita kuasai kepada orang adalah sedekah bagi kita yang pahalanya akan terus mengalir sesudah mati.
Berkaitan dengan pahala mengajarkan ilmu pada orang lain, Mu’is mengutip sabda Rasulullah dalam salah satu haditnya.

ان مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته علما علمه ونشره
Palah amalan dan kebaikan yang akan menghampiri seorang mukmin sepeninggalnya ialah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan... (H.R. Ibnu Majah dan Al-Albani Menghasankan)
d.  Senyum, Wajah Ceria dan Perbuatan Baik
Selain bantuan tenaga dan pikiran, terdapat hal-hal lain yang bersifat inheren dalam manusia dan bisa bernilai sedekah, yakni senyuman dan wajah ceria. Hal ini memang sangat remeh, karena tidak mempunyai dampak langsung dalam kehidupan dan dianggap tidak menjadi solusi konkret terhadap segala permasalahan yang mungkin timbul. Tetapi, siapa sangka bahwa senuman justeru merupakan hal paling dasar dari segala bentuk interaksi sosial.
Sebab senyuman kepada orang lain, baik yang dikenal atau yang tidak dikenal merupakan isyarat dari keramahtamahan yang perlu terus dipupuk. Dengan senyuman seseorang merasa dihargai meskipun ia tidak memliki apa-apa dalam hidupnya. Orang kaya yang menebar senyumnya kepada mereka yang miskin, tentu akan berdampak senang kepada mereka karena merasa dianggap dalam tatanan masyarakat.
Senyum dan wajah ceria yang ditebarkan pada orang lain merupakan perbuatan baik yang bernilai sedekah. Dalam kehidupan sosial masyarakat perbuatan baik dapat diwujudkan dengan menjalin hubungan denga masyarakat secara sopan dan mengikuti aturan atau norma yang sudah ditetapkan.
Rasulullah bersabda sebagaimana yang dikutip oleh Sanusi :

كل معرف صدقة، ومن المعرف أن تلقى أخاك بوجه طاق وأنتفرغ من دلوك فى انائه. (رواه البخاري)
Setiap kebaikan adalah sedekah, dan diantara kebaikan adalah menjumpai saudaramu dengan muka yang manis, dan menuangkan air dai timabamu ke dalam wadah saudaramua. (H.R. Bukhari)
Kalau hadis ini dipahami lebih lanjut, akan diperoleh pemahaman bahwa sedekah bisa dilakukan dengan hanya berbuat kebaikan saja, tidak perlu spesifikasi dan rincian lagi. Sebab, inti dari sedekah adalah demi kebaikan bersama secara kolektif yang memancar dari kebaikan individu.
2. Sedekah Sebagai Penghapus Kesenjangan Sosial dan Implementasinya dalam Pendidikan[11]
Selama ini banyak orang yang memaknai sedekah hanya sebagai sarana untuk berhubungan dengan Allah semata, sehingga kecenderungan mereka hanya mengucapkan kalimat syukur dan membelanjakan hartanya pada hal-hal yang diperintahkan agama. Padahal makna sedekah tidak hanya menggunakan harta kita pada hal-hal yang baik. Didalam sedekah ada makna sosial yang hendak menyelamatkan kehidupan orang miskin, anak yatim, para pengemis, pemulung dan peminta-minta.
Sedekah sebagai fungsi sosial adalah untuk menghasilkan solusi dari berbagai problem sosial kemasyarakatan, khususnya ketidak adilan ekonomi. Dengan bersedekah, masing-masing orang tersadar bahwa kita membantu orang lain yang sedang berada dalam himpitan kesulitan ekonomi. Sedekah yang baik memang bisa diorientasikan untuk menjadi solusi problem tersebut, yaitu sedekah yang dilakukan dengan ikhlas, istiqamah, dan betul-betul memerhatikan nasib sipenerima.
Dalam agama Islam, kedemarwanan mendapat tempat terhormat sekaligus menjadi tuntutan dalam konsep etika sosial-kemasyarakatan. Sebab, Islam tetap menghormati hak milik pribadi seberapa pun banyaknya. Maka, agar orang yang nasibnya kurang beruntung bisa hidup layak, orang-orang kaya dituntun untuk bersikap dermawan dan mau membantu mereka. Konsep Islam dalam hal kedemarwanan atau filantropi ini berbeda jauh dengan ideologi kapitalisme yang memberikan kesempatan tanpa batas bagi kepemilikan pribadi untuk mengksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) demi kepentingan ekonomi. Konsep kedermawanan atau filantropi Islam juga bebeda dengan konsep ekonomi sosialisme-komunisme yang menyatakan tidak ada kepemilikan pribadi, yang ada hanya kepentingan komunis.
Sedekah dalam arti ini tidak bisa dipahami sebagai pemberian yang instan, sesuatu yang langsung habis katika telah sampai di tangan penerima. Sedekah dalam arti ini harus dipahami sebagai motivasi agar orang yang menerima semakin giat dalam meberdayakan dirinya secara ekonomi yakni agar mereka bekerja keras karena merasa malu jika harus terus menerus menerima sedekah dari orang lain. Allah berfirman : 
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
 Dalam ayat di atas, Allah swt. Memberikan penghargaan khusus kepada orang yang mengajak untuk bersedekah, amar makruf nahi munkar, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Sebab dengan sedekah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan perdamaian itulah kondisi sosial yang sejahtera dan agamis akan benar-benar terwujud. Jadi, dalam konteks ayat di atas, peran  penting sedekah sama dengan amar makruf nahi mungkar dan menjaga perdamaian, dilihat dari nilai dan kontribusinya bagi aspek sosial.
Disamping itu, sedekah akan meruntuhkan kesenjangan sosial dan akan mendekatkan diri seseoran gdengan masyarakat sekita. Sebab, sedekah merepresentasikan adanya kepedulian dan keinginan untuk terus menjalin komunikasi. Sedekah dalam fungsi ini bisa ditarsirkan sebagai alat komunikasi dan perekat hubungan sosial, tetapi karena bersifat formal, maka nilainya menjadi kura terlaksana. Dalam sebuah hadits, rasulullah bersabda :
يا ابا ذر اذا طبخت مرقة فاكثر مأها وتعا هد جيرانك (رواه مسلم)
Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak makanan yang berkuah, maka perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetanggamu. (H.R.Muslim)

Pesan Rasulullah di atas mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang, karena  hanya bersedekah kuah kepada tetangga. Akan tetapi, jika sedikit apapun kebaikan yang kita kerjakan kalau niatnya ikhlas maka akan mendapatkan pahal. Selain itu Rasulullah berpesan melalui hadits tersebut untuk tidak hidup individualistik dan tidak peduli pada kehidupan sekitar. Pesan Nabi tersebut akan menciptakan suasana keakraban antarmanusia (tetangga) tanpa adanya kekerasan dan pendiskriminasian pada si miskin.
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda :

عن عبد الله انب سلام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا أيها الناس افشوا السلام وصلوا الارحام وأطعموا الطعام وصلوا بالليل والناس نيام  تدخلوا الجنة بسلام (رواه الترمذى)[17]
Dari Abdullah bin Sala r.a. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: wahai sekalian manusia! Tebarkanlah perdamaian, sambunglah tali persaudaraan, berilah makanan kepada orang lapar, dan dirikanlah shalat malam di tengah manusia tidur nyenyak, engkau akan masuk surga dengan selamat. (H.R. Tirmidzi)

Kedamaian dan ketentraman adalah dambaan setiap orang. Dengan gemar bersedekah, menyambung tali persaudaraan/bersilaturrahmi, dan mendirikan shalat malam di tengah orang tidur nyenyak, kedamaian dan ketentraman hidup akan bisa didapatkan.
Sebagaimana penjelasan di atas terdapat nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sedekah, nilai kepedulian, kebersamaan, pengakuan hak, egalitarianisme dan lain sebagainya. Adapun cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai sedekah dalam pendidikan bisa melakukan cara sebagai berikut :
1)      Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia, seperti ketakwaan, ukhuwah islamiyah, kasih sayang (rahmah), itsar (mementingkan orang lain daripada diri sendiri), memaafkan, berani karena benar.
2)      Pemeliharaan hak orang lain. Membiasakan anak untuk menghargai dan menghormati hak-hak orang di luar dirinya, seperti hak terhadap orang tua, hak terhadap teman, hak terhadap tetangga, hak terhadap guru, hak terhadap orang yang lebih dewasa. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar pendidikan sosial bagi individu menjadi lebih sempurna dan bermakna, sehingga masyarakat tumbuh di atas dasar saling menolong, produktivitas, keterikatan yang kuat, akhlak yang luhur, serta saling mencintai dan mengkoreksi secara konstruktif.
3)      Melaksanakan tatakrama sosial yang berlaku umum. Anak dibiasakan sejak dini untuk menjalankan etika sosial secara umum, dibentuk atas dasar-dasar pendidikan yang sebenarnya. Tujuannya, bila sudah dewasa dan dapat menangkap inti segala masalah, ia dapat bergaul dengan sesamanya di tengah-tengah masyarakat dengan kebaikan yang maksimal dan simpatik, dengan cinta yang utuh, dan budi pekerti yang luhur. Etika yang bisa diajarkan diantaranyai etika makan dan minum, etika mengucapkan salam, etika berbicara, etika menjenguk orang sakit dan etika-etika yang lain
4)      Kontrol dan kritik sosial, anak dibiasakan untuk melakukan kontrol dan kritik sosial, membina setiap orang yang bergaul dengannya, dan memberi nasihat kepada orang yang menyimpang dari etika islam. Anak dibiasakan melakukan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan), memerangi kerusakan dan penyimpangan, dan memelihara nilai, idealisme dan moralitas yang baik.
Disamping itu, sekolah juga dapat membantu memecahkan pengangguran dan kemiskinan, antara lain dengan pembekalan peserta didik dengan mata pelajaran keterampilan, kesenian, dan olah raga.
C.  Penutup
1.    Kesmpulan
Sadhaqah dalam prespektif Islam yakni, bahwasanya pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Infak hanya berkaitan dengan materi sedangkan sedekah memiliki arti luas, menyangkut hal yang bersifat nonmaterial.
Sadhaqah dalam prespektif iptek yakni menemukan hal baru yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, jika masyarakat menggunakan hal baru tersebut, secara tidak langsung pahala akan selalu mengalir secara terus-menerus.
Adapun bahwasanya korelasi antara shadaqah dan iptek yakni dengan mengimplementasikan nilai-nilai sedekah dalam pendidikan, bisa merealisasikannya seperti berikut ini:
1.      Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia
2.      Pemeliharaan hak orang lain.
3.      Melaksanakan tatakrama sosial yang berlaku umum.
4.      Kontrol dan kritik sosial, anak dibiasakan untuk melakukan kontrol dan kritik sosial, membina setiap orang yang bergaul dengannya, dan memberi nasihat kepada orang yang menyimpang dari etika islam. Anak dibiasakan melakukan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan), memerangi kerusakan dan penyimpangan, dan memelihara nilai, idealisme dan moralitas yang baik.
2.    Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, semoga apa yang kami tulis dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Kami menyadari penyusunan dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangant kami harapkan untuk memperbaiki makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Taqiyyudin. Kifayatul Akhyar Fii Ghayatil Ikhtishar, diterjemahkan oleh Syarifuddin Anwar. K.H, Surabaya.  CV. Bina Iman.  1995. Cet.II.
Bauer, Elsbeth. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. Jakarta. PT. Grasindo. 2006.
Hafiduddin, Didin. Panduan Praktis tentang Zakat, Infaq dan Sedekah. Jakarta.
Gema Insani Press. 1998.
Kholid. Shodaqoh memang Ajaib. Jakarta. Daarul Qoosim. cet.1. 2006.
Mansur, Yusuf. Allah Maha Pelindung, Maka Engkau Gampang Siasati Krisis. Bandung. PT Karya Kita. 2008.
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shar’ani.  As-Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, diterjemahkan oleh M. Isnan, Ali Fauzan dan Darwis, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram Jilid 2. Jakarta. Darus Sunnah Press.  cet. ke-2. 2008.
Quthb,Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, Jakarta. Gema Insani. 2000.
Subiyanto, Achmad. Shadaqah, Infak dan Zakat sebagai instrumen untuk membangun Indonesia yang bersih dan benar. Jakarta. Yayasan Bermula dari Kanan. 2004.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta. Hidakarya Agung. 1990.
http://sriibnusyah.blogspot.co.id/2011/01/sedekah-sebagai-penghapus-kesenjangan.html(Selasa/24/11/15).




Disusun oleh: Amalia Nur Hanifah, Ahmad Ali Sadad, dan Zulfa Hidayah
Editor: Tomy Muhlisin Ahmad


[1]  Yusuf mansur, Allah Maha Pelindung, Maka Engkau Gampang Siasati Krisis, (Bandung:PT Karya Kita, 2008), hlm. 23
[2] Didin Hafiduddin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infaq dan Sedekah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet. 1, hlm. 15.
[3] [4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hal. 360.
[4] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shar’ani, As-Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, diterjemahkan oleh M. Isnan, Ali Fauzan dan Darwis, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram Jilid 2, (Jakarta: Darus Sunnah Press, cet. ke-2, 2008), hlm, 70.
[5] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I.............., hlm. 360.
[6] Achmad Subiyanto, Shadaqah, Infak dan Zakat sebagai instrumen untuk membangun Indonesia yang bersih dan benar, (Jakarta: Yayasan Bermula dari Kanan, 2004) hlm. 27.
[7] Kholid bin Sulaiman, Shodaqoh memang Ajaib, .........hlm. 57.
[8] Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar Fii Ghayatil Ikhtishar, diterjemahkan oleh Syarifuddin Anwar, K.H, (Surabaya: CV. Bina Iman, 1995), Cet.II, hlm. 455.
[9]http://sriibnusyah.blogspot.co.id/2011/01/sedekah-sebagai-penghapus-kesenjangan.html(Selasa/24/11/15).
[10]http://sriibnusyah.blogspot.co.id/2011/01/sedekah-sebagai-penghapus-kesenjangan.html(Selasa/24/11/15).
[11]http://sriibnusyah.blogspot.co.id/2011/01/sedekah-sebagai-penghapus-kesenjangan.html(Selasa/24/11/15).

Tidak ada komentar: