Ayo Sinau...!!!

Sabtu, 21 Mei 2016

Artikel Al-Qur’an dan IPTEK: Tanggapan Para Ulama Terhadap Penggunaan Alat Rukyah dan Meng-ika-kan Kebhinekaan Indonesia

TANGGAPAN PARA ULAMA TERHADAP PENGGUNAAN ALAT RUKYAH DAN MENG-IKA-KAN KEBHINEKAAN INDONESIA



           
Setiap agama mempunyai hari raya, tidak terkecuali agama Islam. Dalam Islam terdapat dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri adalah hari raya yang bertepatan dengan tanggal satu bulan Syawal. Setelah satu bulan penuh menahan lapar dan haus dalam sebuah ritual yang disebut dengan puasa di bulan Ramadhan. Sedangkan Idul Adha merupakan hari raya yang dilakukan di bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah biasa dikatakan sebagai bulan Haji karena Haji adalah ritual keagamaan yang hanya boleh dilaksanakan di bulan tersebut. Pada bulan tersebut juga dikatakan sebagai bulan kurban.
Pelaksanaan Rukyah 

Fakta membuktikan, bahwa keteraturan alam raya terutama pada pergerakan bumi, bulan dan matahari beserta fenomenanya dapat diketahui dan ditentukan secara detail dan cermat. Sehingga secara teoritis, waktu ibadah dalam Islam yang selalu terkait dengan penampakan fenomena alami tiga benda angkasa tersebut dapat ditentukan melalui peranan ilmu pengetahuan, yaitu ilmu falak (astronomi).
Dalam konteks keIndonesiaan, ilmu falak sangat identik dengan penentuan awal bulan kalender Hijriyah. Hal ini karena rukyatul hilal sudah menjadi agenda tahunan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Departemen agama, selalu melakukan sidang itsbat untuk menentukan awal bulan yang berhubungan dengan Ibadah dalam Islam, yaitu bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Masalah yang timbul ketika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan tersebut. Perbedaan itu menimbulkan berbedanya hari raya umat Islam Indonesia.
Kaitannya dengan pelaksanaan rukyah, di daerah tempat diturunkannya hadits terdahulu sangat kering dan datar sehingga di sana rukyah sangat mudah dilakukan, bahkan dengan mata telanjang. Sementara itu, ada tempat-tempat yang di sana rukyah sulit dilakukan, yaitu di daerah yang lembab dan banyak berawan, atau di tempat-tempat yang setiap hari turun hujan. Demikian pula dengan tempat-tempat sekitar kutub, yang di sana satu “hari” bisa berlangsung berbulan-bulan, begitu pula saat malamnya.
Jika karena berbagai sebab praktis rukyah tidak mungkin dilakukan, maka rukyah boleh ditinggalkan. Jika hasil rukyah diragukan, lebih baik menggunakan cara yang lebih meyakinkan. Inilah pengertian luas dan kontekstual dari “kadarkanlah kepadanya” (faqduruu lahu) pada hadits Bukhari-Muslim seperti telah disebutkan.
Jadi, dari pemahaman terhadap hadits ini, sebenarnya pengembangan teknologi rukyah yang tembus awan tidak perlu terlalu dipaksakan karena dalam kondisi ini rukyah menjadi tidak wajib. Bukankah Allah SWT tidak pernah menyulitkan hamba-Nya dalam menjalankan perintah-Nya.
Pada dasarnya, ulama setidak-tidaknya ulama di Indonesia tidak keberatan dengan penggunaan teknologi untuk pelaksanaan rukyah. Sebelum teknologi untuk pelaksanaan rukyah dikembangkan, ICMI Orsat Puspitek dan ICMI Orsat Pasar Jumat telah menyelenggarakan Diskusi Panel “Teknologi Rukyat Objektif untuk penentuan awal dan Akhir Ramadhan” pada tanggal 3 September 1993 di Kawasan Puspitek serpong.[1]
Dalam buku yang berjudul “100 Masalah Hisab dan Rukyat” oleh DR. IR. H. S. Farid Ruskanda, M.Sc.,APU. diterangkan bahwa selain dua pemrasaran Teknologi Rukyah, yaitu Dr. Farid Ruskanda itu sendiri dan H. Zalbawi Soejoeti, S.F., berbicara pula pemakalah dari PB Nahdlatul Ulama (K.H. Ma’ruf Amin), PP Muhammadiyah (Ir. H. Basith Wahid), Departemen agama (Drs. H. Wahyu Widiana, M.A), Drs. Darsa Sukartadiredja (Planetarium dan Observatorium Jakarta), dan BATAN (Dr. Budi Santoso).
Pada dasarnya, semua pihak memberi kesempatan kepada kalangan teknolog untuk mewujudkan gagasannya. Lewat Khatib ‘Am syuriah PBNU, K.H. Ma’ruf amin, secara resmi NU mendukung penggunaan alat ini, bahkan telah mengeluarkan fatwa bahwa jika langit tertutup awan dan tidak ada teknolog yang mampu merekam hilal maka PBNU akan menerima keabsahannya dari segi syariah Islam.
Sebagai ulil amri, pemerintah Repiblik Indonesialah yang berwenang menetapkannya, demikian pula untuk waktu-waktu yang lain, terutama yang menyangkut pelaksanaan syariat Islam. Khusus untuk penetapan waktu pelaksanaan syariat Islam, pemerintah membentuk Badan Hisab-Rukyah yang beranggotakan para ulama dari Majelis Ulama Indonesia, Ormas-Ormas Islam (seperti nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis), para pakar dari IAIN, praktisi/tenaga ahli dalam hisab-rukyah, staf Planetarium dan Observatorium Jakarta, staf Badan Meteorologi dan Geofisika, serta para pejabat Departemen Agama RI. Badan ini diketuai ex-officio oleh Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama. Keputusan diambil dalam suatu sidang itsbat, sedangkan Departemen Agama hanya berfungsi sebagai fasilitator. Dalam merumuskan keputusannya, sidang itsbat mengevaluasi semua data, baik data hisab maupun kesaksian rukyah.
Kesaksian rukyah yang datang dari seluruh penjuru Indonesia disahkan oleh Hakim Agama dari Pengadilan Agama sebelum disampaikan ke Jakarta pada sidang itsbat. Tidak sedikit pihak yang langsung menyerahkan laporan hasil rukyah mereka kepada cabang-cabang Ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Biasanya, laporan ini dijadikan bahan pertimbangan oleh perwakilan Ormas Islam bersangkutan di dalam sidang itsbat.
Setelah sidang itsbat mencapai keputusan, maka pemerintah cq. Departemen Agama mengukuhkannya lewat surat keputusan Menteri, dan biasanya diumumkan secara langsung oleh Menteri Agama melalui televisi. Memang tidak semua keputusan disepakati secara bulat, namun dengan asas musyawarah dan mufakat, hasil keputusan sidang itsbat selalu berhasil dirumuskan demi kemaslahatan umat Islam Indonesia dan ketepatan waktu pelaksanaan syariat Islam.


Disusun oleh: Hendri Ahmad Rizal, Fauzul Muna, dan Imro’atul Latifah
Editor: Tomy Muhlisin Ahmad



[1] Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Hlm. 77-78

Tidak ada komentar: