TANGGAPAN PARA ULAMA TERHADAP PENGGUNAAN ALAT RUKYAH DAN MENG-IKA-KAN
KEBHINEKAAN INDONESIA
Setiap agama mempunyai hari raya, tidak terkecuali agama Islam. Dalam Islam
terdapat dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri adalah hari raya
yang bertepatan dengan tanggal satu bulan Syawal. Setelah satu bulan penuh
menahan lapar dan haus dalam sebuah ritual yang disebut dengan puasa di bulan
Ramadhan. Sedangkan Idul Adha merupakan hari raya yang dilakukan di bulan
Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah biasa dikatakan sebagai bulan Haji karena Haji
adalah ritual keagamaan yang hanya boleh dilaksanakan di bulan tersebut. Pada
bulan tersebut juga dikatakan sebagai bulan kurban.
Pelaksanaan Rukyah
Fakta membuktikan, bahwa keteraturan alam raya terutama pada pergerakan
bumi, bulan dan matahari beserta fenomenanya dapat diketahui dan ditentukan
secara detail dan cermat. Sehingga secara teoritis, waktu ibadah dalam Islam
yang selalu terkait dengan penampakan fenomena alami tiga benda angkasa
tersebut dapat ditentukan melalui peranan ilmu pengetahuan, yaitu ilmu falak
(astronomi).
Dalam konteks keIndonesiaan, ilmu falak sangat identik dengan penentuan
awal bulan kalender Hijriyah. Hal ini karena rukyatul hilal sudah menjadi
agenda tahunan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Departemen agama, selalu
melakukan sidang itsbat untuk menentukan awal bulan yang berhubungan dengan
Ibadah dalam Islam, yaitu bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Masalah yang
timbul ketika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan tersebut. Perbedaan
itu menimbulkan berbedanya hari raya umat Islam Indonesia.
Kaitannya dengan pelaksanaan rukyah, di daerah tempat diturunkannya hadits
terdahulu sangat kering dan datar sehingga di sana rukyah sangat mudah
dilakukan, bahkan dengan mata telanjang. Sementara itu, ada tempat-tempat yang
di sana rukyah sulit dilakukan, yaitu di daerah yang lembab dan banyak berawan,
atau di tempat-tempat yang setiap hari turun hujan. Demikian pula dengan
tempat-tempat sekitar kutub, yang di sana satu “hari” bisa berlangsung
berbulan-bulan, begitu pula saat malamnya.
Jika karena berbagai sebab praktis rukyah tidak mungkin dilakukan, maka
rukyah boleh ditinggalkan. Jika hasil rukyah diragukan, lebih baik menggunakan
cara yang lebih meyakinkan. Inilah pengertian luas dan kontekstual dari
“kadarkanlah kepadanya” (faqduruu lahu) pada hadits Bukhari-Muslim
seperti telah disebutkan.
Jadi, dari pemahaman terhadap hadits ini, sebenarnya pengembangan teknologi
rukyah yang tembus awan tidak perlu terlalu dipaksakan karena dalam kondisi ini
rukyah menjadi tidak wajib. Bukankah Allah SWT tidak pernah menyulitkan
hamba-Nya dalam menjalankan perintah-Nya.
Pada dasarnya, ulama setidak-tidaknya ulama di Indonesia tidak keberatan
dengan penggunaan teknologi untuk pelaksanaan rukyah. Sebelum teknologi untuk
pelaksanaan rukyah dikembangkan, ICMI Orsat Puspitek dan ICMI Orsat Pasar Jumat
telah menyelenggarakan Diskusi Panel “Teknologi Rukyat Objektif untuk penentuan
awal dan Akhir Ramadhan” pada tanggal 3 September 1993 di Kawasan Puspitek
serpong.[1]
Dalam buku yang berjudul “100 Masalah Hisab dan Rukyat” oleh DR. IR. H. S.
Farid Ruskanda, M.Sc.,APU. diterangkan bahwa selain dua pemrasaran Teknologi
Rukyah, yaitu Dr. Farid Ruskanda itu sendiri dan H. Zalbawi Soejoeti, S.F.,
berbicara pula pemakalah dari PB Nahdlatul Ulama (K.H. Ma’ruf Amin), PP
Muhammadiyah (Ir. H. Basith Wahid), Departemen agama (Drs. H. Wahyu Widiana,
M.A), Drs. Darsa Sukartadiredja (Planetarium dan Observatorium Jakarta), dan
BATAN (Dr. Budi Santoso).
Pada dasarnya, semua pihak memberi kesempatan kepada kalangan teknolog
untuk mewujudkan gagasannya. Lewat Khatib ‘Am syuriah PBNU, K.H. Ma’ruf amin,
secara resmi NU mendukung penggunaan alat ini, bahkan telah mengeluarkan fatwa
bahwa jika langit tertutup awan dan tidak ada teknolog yang mampu merekam hilal
maka PBNU akan menerima keabsahannya dari segi syariah Islam.
Sebagai ulil amri, pemerintah Repiblik Indonesialah yang berwenang
menetapkannya, demikian pula untuk waktu-waktu yang lain, terutama yang
menyangkut pelaksanaan syariat Islam. Khusus untuk penetapan waktu pelaksanaan
syariat Islam, pemerintah membentuk Badan Hisab-Rukyah yang beranggotakan para
ulama dari Majelis Ulama Indonesia, Ormas-Ormas Islam (seperti nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan Persis), para pakar dari IAIN, praktisi/tenaga ahli dalam
hisab-rukyah, staf Planetarium dan Observatorium Jakarta, staf Badan
Meteorologi dan Geofisika, serta para pejabat Departemen Agama RI. Badan ini
diketuai ex-officio oleh Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama.
Keputusan diambil dalam suatu sidang itsbat, sedangkan Departemen Agama hanya
berfungsi sebagai fasilitator. Dalam merumuskan keputusannya, sidang itsbat
mengevaluasi semua data, baik data hisab maupun kesaksian rukyah.
Kesaksian rukyah yang datang dari seluruh penjuru Indonesia disahkan oleh
Hakim Agama dari Pengadilan Agama sebelum disampaikan ke Jakarta pada sidang
itsbat. Tidak sedikit pihak yang langsung menyerahkan laporan hasil rukyah
mereka kepada cabang-cabang Ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Biasanya, laporan ini dijadikan bahan
pertimbangan oleh perwakilan Ormas Islam bersangkutan di dalam sidang itsbat.
Setelah sidang itsbat mencapai keputusan, maka pemerintah cq. Departemen
Agama mengukuhkannya lewat surat keputusan Menteri, dan biasanya diumumkan
secara langsung oleh Menteri Agama melalui televisi. Memang tidak semua
keputusan disepakati secara bulat, namun dengan asas musyawarah dan mufakat,
hasil keputusan sidang itsbat selalu berhasil dirumuskan demi kemaslahatan umat
Islam Indonesia dan ketepatan waktu pelaksanaan syariat Islam.
Disusun oleh: Hendri Ahmad
Rizal, Fauzul Muna, dan Imro’atul Latifah
Editor: Tomy Muhlisin Ahmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar