Ayo Sinau...!!!

Kamis, 20 April 2017

Makalah Sirah Nabawiyah: Pernikahan nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.

PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD SAW. DENGAN KHADIJAH RA.


Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad





I.         PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Allah swt. menciptakan manusia sebagai makhluk di bumi ini yang paling sempurna daripada yang lain. Dalam kemanusiaannya memiliki akal yang dapat digunakan untuk berfikir dan berkehendak bebas sesuai dengan keinginannya. Apabila ia menjalani kehidupan yang terpuji, maka dapat melebihi kemuliaan para malaikat. Sebaliknya jika keburukan yang menjadi pedoman hidupnya, kehinaanlah yang menjadi gelarnya yang lebih rendah dari hewan.
Adanya makhluk yang sempurna (manusia -red) tidak arif jika tidak diimbangi dengan agama yang paripurna, yakni Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur manusia dari berbagai aspek kehidupan dari urusan yang sangat kecil hingga besar. Salah satunya termasuk penyaluran naluri jasmaniah yang berdimensi rohaniah, seperti menikah.[1]
Islam melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad saw. memberikan kemuliaan ganda antara duniawi dan ukhrawi. Dari Rasul dan  Khadijah lah terdapat suri tauladan yang sempurna bagi umat manusia. Dua insan yang cintanya abadi sepanjang masa.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang terjadinya pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
2.      Bagaimana proses pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
3.      Bagaimana makna pendidikan dalam pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
II.      PEMBAHASAN
A.     Latar belakang terjadinya Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.
Muhammad saw. kini telah melewati usia yang ke dua puluh. Seiring dengan berlalunya waktu, ia sering diajak kerabatnya melakukan perjalanan ke luar kota. Akhirnya, tiba saat Muhammad saw. diminta membawa dagangan orang-orang yang tidak mampu berdagang sendiri. Kesuksesannya dalam menunaikan tugas ini menumbuhkan banyak penawaran yang serupa lainnya. Sehingga, ia memperoleh penghasilan yang lebih baik dan pernikahan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan.
Pada saat itu pamannya sekaligus pelindungnya, Abu Thalib, memiliki tiga orang putra: yang tertua, Thalib, sebaya dengan Muhammad saw., ‘Aqil, berusia sekitar tiga belas atau empat belas tahun, dan Ja’far, masih berusia empat tahun. Muhammad saw. sangat tertarik dengan anak-anak dan suka bermain dengan mereka. Terutama sekali, ia menyayangi Ja’far yang tampan dan cerdas. Ja’far pun membalas kasih sayang dari sepupunya itu dengan kesetiaan yang tak kunjung pudar. Abu Thalib juga memiliki beberapa putri. Diantara mereka ada yang telah mencapai usia nikah. Namanya adalah Fakhitah, namun kemudian ia dipanggil dengan Umm Hani’ dan senantiasa dikenal dengan nama itu. Rasa cinta tumbuh antara dia dan Muhammad saw. Kemudian, ia memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya. Namun, Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani’. Hubayrah bukan saja seorang yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi, kekuasaan Bani Makhzum di Makkah demikian meningkat seiring dengan semakin merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada Hubayrahlah Abu Thalib menikahkan putrinya, Ummu Hani’. Ketika kemenakannya kembali mendekatinya dengan lembut, Abu Thalib hanya menjawab, “Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita kawini” – tak diragukan, ia merujuk ke ibunya sendiri – “maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan mereka.” Jawaban itu sebenarnya tidak memuaskan, tetapi Muhammad saw. menerima pernyataan pamannya. Dengan sopan, ramah, dan lapang dada, ia mengakui bahwa dirinya belum siap untuk menikah. Itulah yang diputuskan untuk dirinya. Namun, keadaan yang tidak terduga segera mengubah pikirannya.
Salah seorang saudagar terkaya di Makkah yakni Khadijah putri Khuwailid, dari suku Asad. Ia sepupu Waraqah, penganut Kristen, dan saudara perempuannya, Qutaylah. Seperti mereka juga, Khadijah adalah sepupu jauh dari anak-anak Hasyim. Sejak kematian suami keduanya, dia mengangkat orang untuk mendagangkan hartanya. Kini, Muhammad saw. telah dikenal di penjuru Makkah sebagai Al-Amin, orang yang terpercaya, dapat diandalkan kejujurannya. Khadijah telah mendengar tentang kebaikan putra Abdullah yang bersumber dari keluarganya. Pada suatu hari, Khadijah memercayai Muhammad saw. untuk membawakan barang-barang dagangan ke Suriah. Bayarannya dua kali lebih besar dari bayaran tertinggi yang pernah diberikan kepada orang Quraisy. Saudagar wanita itu juga menawari bantuan seorang budaknya bernama Maysaroh untuk menemani perjalanan Muhammad saw., ia pun menerima tawarannya dan berangkat membawa barang dagangannya ke Utara.
Sesampainya di Bostra, sebelah selatan Suriah, Muhammad saw. berteduh di sebuah pohon rindang yang tidak jauh dari tempat seorang pendeta bernama Nestor. Karena tempat persinggahan musafir jarang berubah, bisa jadi pohon itu adalah tempat ia berteduh sekitar lima belas tahun yang lalu dalam perjalanan menuju Bostra bersama pamannya. Mungkin Bahira telah meninggal dan digantikan oleh Nestor. Diceritakan dari Maysarah bahwa pendeta itu keluar dari biara dan bertanya kepadanya, “Siapa orang yang berteduh di bawah pohon itu?” “Dia orang Quraisy,” kata Maysarah,”dari keluarga penjaga Tanah Suci.” “Dia tak lain adalah seorang nabi,” Kata Nestor.
Setibanya di Makkah, mereka menuju rumah Khadijah dengan barang-barang yang mereka beli di pasar Suriah seharga dengan barang-barang yang mereka jual. Khadijah duduk mendengarkan Muhammad saw., ketika ia menceritakan perjalanan dan transaksi yang dilakukannya. Ternyata, transaksi itu sangat menguntungkan, karena dapat menjual aset-asetnya hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan. Namun, hal itu jauh dari benak Khadijah. Seluruh perhatiannya terpusat pada si pembicara itu sendiri. Putra Aminah berusia 25 tahun. Ia memiliki postur tubuh sedang, ramping, bentuk kepala yang besar, punggung yang lebar, dan anggota tubuh yang lainnya yang proporsional, panjang janggutnya sesuai, lebat serta hitam, rambutnya tidak lurus dan tidak juga ikal mencapai pertengahan antara daun telinga dan punggungnya, memiliki dahi yang lebar, matanya oval lebar, bulu matanya panjang dan alisnya lebat tapi tidak bertaut, matanya hitam[2], hidungnya mancung, mulutnya lebar berbentuk bagus. Meskipun janggutnya dibiarkan tumbuh, ketampananya senantiasa tampak. Ia tidak pernah membiarkan kumisnya tumbuh lebat di atas bibir atasnya. Kulitnya putih, namun agak kecokelatan karena sinar matahari. Sedangkan yang menambah ketampanan alamiahnya adalah cahaya yang memancar di wajahnya, juga memancar dari wajah ayahnya, namun pada putranya ini, pancaranya lebih terang dan pancaran cahaya ini terutama tampak pada dahinya yang lebar dan pada matanya yang jernih. Khadijah sadar bahwa ia sendiri masih merasa cantik, namun ia lebih tua lima belas tahun.
Begitu Muhammad pergi, Khadijah berkonsultasi dengan temannya, Nufaysah. Ia dimintai tolong untuk menawarkan diri mendekati sepupu Abu Thalib dan jika perlu, untuk mengatur pernikahan mereka berdua. Maysarah datang kepada majikannya dan menceritakan tentang dua malaikat serta mengatakan apa yang dikatakan oleh pendeta. Saudagar kaya itu pun segera menemui Waraqah, dan mengulang cerita itu kepadanya. Jika ini benar, Khadijah, “katanya”, “maka Muhammad adalah nabi dari kaum kita. Telah lama aku tahu bahwa seorang nabi akan diutus, dan saatnya kini telah tiba.”
Pada saat yang sama, Nufaysah datang kepada Muhammad saw. dan menanyakan mengapa ia belum menikah. “Aku tidak memiliki apa-apa untuk dapat berumah tangga,” jawabnya. “Jika ada seorang wanita yang cantik, kaya, terhormat, dan berlimpah harta, apakah engkau bersedia?” kata Nufaysah. “Siapakah dia?” “Khadijah.” Bagaimana aku dapat menikahinya? “Serahkan hal itu padaku!” “Baiklah, dari pihakku bersedia.” Nufaysah kembali kepada Khadijah menyampaikan beritanya. Kemudian, Khadijah menyuruh Nufaysah memanggil Muhammad saw. agar datang kepadanya. Setelah ia datang, Khadijah berkata, “Putra pamanku, aku mencintaimu karena kebaikanmu padaku, juga karena engkau selalu terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat, tanpa menjadi partisan.”Aku menyukaimu karena kamu dapat diandalkan, juga karena keluhuran budi dan kejujuran perkataanmu.” Kemudian Khadijah menawarkan dirinya untuk dinikahi. Merekapun sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya, ‘Amr, putra Asad, karena Khuwailid, ayahnya, telah meninggal dunia. Pada kesempatan tersebut, Hamzahlah yang diutus Bani Hasyim untuk mewakili mereka karena paling dekat hubungannya dengan Bani Asad, karena saudara perempuan kandungnya, Shafiyyah, menikah dengan saudara lelaki Khadijah, ‘Awwam. Maka, Hamzah membawa keponakannya menemui ‘Amr dan melamar Khadijah. Kesepakatan dicapai di antara mereka bahwa Muhammad saw. harus memberinya mahar dua puluh ekor unta muda betina.[3]
B.     Proses Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.
Sebelum Sayyidatina Khadijah ra.[4] dengan Muhammad, pernikahan pertama ia direncanakan dengan Waraqah bin Naufal, tetapi tidak terlaksana. Selain itu, juga dengan Atiq bin ‘Aidz al-Makhzumi, kemudian dengan Abu Halah.[5] Setelah Abu Halah meninggal, dimulailah lembaran baru dengan Muhammad.[6]
Bertemu dalam waktu singkat kegembiraan dan kekagumannya Khadijah dengan Muhammad berubah menjadi rasa cinta. Khadijah yang sudah berusia empat puluh tahun yang sebelumnya telah banyak menolak lamaran pemuka dan pembesar Quraisy, berhasrat juga menikah dengan pemuda ini yang usianya dua puluh lima tahun, lima belas tahun lebih muda darinya.[7] Tutur kata dan pandangan matanya yang menembus kalbunya.
Pernah Khadijah membicarakan kepada Nufaisah binti Mun-ya[8] untuk disampaikan kepada Muhammad. Ia pergi menemuinya seraya berkata: “Mengapa engkau tidak mau kawin?”
“Aku tidak mempunyai apa-apa sebagai persiapan perkawinan.” Jawab Muhammad.
“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu perempuan cantik, berharta, terhormat, dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?”
“siapa?” balasnya.
Menanggapi dengan sepatah kata: “Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad lagi.
“Serahkan soal itu kepadaku.” Ia pun menyatakan persetujuannya.
Peristiwa peminangan yang sebelumnya Khadijah mengirimkan surat kepada Muhammad yang isinya: “Wahai putra pamanku, aku sangat menyukai dirimu karena kekerabatanku, kemuliaanmu, kebaikan akhlakmu, serta kejujuranmu.”
Kemudia Khadijah menyerahkan dirinya kepada Muhammad saw. untuk dinikahi. Khadijah ketika itu adalah wanita terbaik Quraisy dari segi keturunannya, paling terhormat dan kaya di antara wanita-wanita Quraisy lainnya.[9]
Tidak lama kemudian Khadijah menentukan waktu lusa yang akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarganya guna menentukan hari perkawinan.[10]
Muhammad saw. memberitahukan perihal tersebut kepada pamannya. Setelah itu, Hamzah bin Abdil Muthalib dan Abu Thalib bersama Muhammad saw. datang ke tempat orang tua Khadijah[11]. Kedua paman Nabi saw. langsung menyatakan lamarannya.[12]
Pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian,[13] perkawinan berlangsung dengan diwakili oleh ‘Amr bin Asad pamannya Khadijah, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum perang Fijar.[14]  Muhammad dengan maskawin dua puluh ekor unta muda melangsungkan pernikahannya. Kemudian ia pindah ke rumah istrinya dalam memulai lembaran hidup barunya.
Sebagai sepasang suami-istri dan ibu bapak dari perkawinan tersebut mereka memperoleh beberapa orang anak, yakni laki-laki al-Qasim dan Abdullah Tahir at-Tayyib[15] yang keduanya meninggal di usia yang masih belia dan semua anak perempuan yang masih hidup hingga dewasa.[16]
Dua puluh lima tahun Rasulullah saw. dengan Sayyidatina Khadijah ra. tidak pernah menikah lagi dengan wanita lain karena kecintaannya kepada Thahirah, di usianya 65 tahun menjadi pendamping setianya Nabi Muhammad saw. mengemban tugasnya, ia wafat meninggalkan Nabi saw. Ketika kekasih pertama Rasul meninggal, Nabi sendirilah yang turun ke makam dan menguburkannya. Pada waktu itu, shalat jenazah belum disyari’atkan.[17]
C.     Makna Pendidikan dalam Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.
                              1.            Pernikahan Nabi saw. dengan Khadijah ra. tidak saja menjadikan beliau kaya raya, tetapi juga menjadikan beliau tuan tanah, dan juga membuka pintu usaha yang luas bagi beliau di Makkah dan sekitarnya.[18]
                              2.            Perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. adalah perkawinan monogami. Ini merupakan bagian yang tak tersentuh dalam pembahasan kehidupan asmara Nabi. Kalau kita hitung, Nabi mulai menikah pada usia 25 tahun, berarti sejak saat itu Khadijah mendampingi suami tercintanya. Cerita cinta ini berlanjut hingga sekitar sebelas tahun pasca kerasulan. Total kebersamaan mereka adalah 26 tahun, 15 tahun sebelum kerasulan, ditambah 11 tahun pasca kerasulan, atau pada waktu Nabi berusia diatas 50 tahun.
                              3.            Dari Khadijah terlahirlah keturunan yang shaleh.[19] Aisyah berkata: “Terkadang aku berkata kepada Rasulullah saw: “Seolah-olah tidak ada di dunia ini wanita selain Khadijah?” Beliau berkata: “Sesungguhnya dia adalah wanita yang utama, bijaksana dan dari dialah aku mendapat anak.” (HR. Bukhari)
                              4.            Khadijah adalah wanita yang terpandang dan bijaksana.
                              5.            Nabi Muhammad saw. adalah seorang yang jujur, amanah dan cerdas.
                              6.            Terbentukanya keluarga dari pernikahan maka ada kerinduan seorang anak yang merupakan sifat dari kebapakan dan keibuan. Keturunan yang baik terlahir dari orang tua yang baik pula.
                              7.            Pernikahan adalah satu upaya untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup, sebagai sepasang kekasih dengan perasaan kasih sayang, membentengi diri dari perbuatan tercela. Manusia secara fitrah adanya ketertarikan kepada lawan jenis, dan Islam memberikan jalan keluar dengan pernikahan.
                              8.            Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah saw. Sebagai umat muslim kita diperintahkan untuk taat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.[20]

III.   KESIMPULAN
Dari ke tiga rumusan masalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa latar belakang terjadinya pernikahan antara Nabi saw. dengan Khadijah ra. yakni dimulai dari mengabdinya Muhammad saw. yang menjualkan barang-barang kepada seorang saudagar wanita yang menghasilkan keuntungan besar yang membuat putri Khuwailid kagum yang menjadi rasa cinta, dan di sisi lain Khadijah menyukai akhlaq Muhammad saw. sebagai seorang pemuda yang dapat dipercaya, dan jujur yang jarang ditemukan oleh orang-orang Arab.
Adapun proses pernikahan Muhammad saw. dengan Khadijah dimulai dari Nufaisah yang diperintahkan olehnya untuk menemui putra Aminah menanyakan perihal tentang dirinya mengapa belum juga menikah di usia dewasanya. Sebab sepupu Abu Thalib tidak juga menikah dikarenakan faktor ekonomi yang belum cukup, karena itulah wanita kaya tersebut ingin menikah dengannya dengan persetujuannya. Akhirnya pamannya nabi melamar Khadijah, dan pernikahan tersebut dari pihak perempuan diwakilkan oleh pamannya, ‘Amr bin Asad karena ayahnya sudah meninggal.
Sedangkan dari pernikahan Rasul saw. dengan Thahirah ra. terdapat nilai-nilai pendidikan yang dapat dipetik yakni harta bukan sebagai pemisah antara yang punya dan tidak punya. Kemudian dari keturunan yang sholeh akan melahirkan keturunan yang sholeh pula. Adapun pernikahan merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup, perasaan kasih dan sayang serta membentengi diri dari perbuatan tercela yang secara fitrah manusia mengalami ketertarikan kepada lawan jenisnya dan agama memberi jalan keluar yang disyariatkannya.
IV.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Bakar Jabir al-Jazairi, Abu. 2008. Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan Sepanjang
Zaman. Jakarta: Qisthi Press.

Halim Abu Syuqqah, Abdul. 1990. Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam.
Husain Haekal, Muhammad. 2009. Sejarah Hidup Muhammad. Cet. II, Jakarta: PT. Pustaka
Litera AntarNusa.

Lings, Martin. 2015. Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta.

Margiono, dkk. 2007. Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan. Jakarta: Yudhistira.
Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad. 1998. A Prophet for All Humanity. India: Goodword
Books.

Muhyidin, Muhammad. 2009. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga.
Zakariyya, Muhammad. 2012. Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of
Muslims. Jakarta: Citra Risalah.





[1] Margiono, dkk., Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan, (Jakarta: Yudhistira, 2007), hlm. 62.
[2] Kebanyakan gambaran dalam sumber-sumber klasik menyebutkan bahwa matanya hitam, namun menurut satu-dua di antaranya, matanya berwarna cokelat atau cokelat terang.
[3] Martin Lings, Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015), hlm. 58-63
[4] Sebelum Islam Khadiajah sudah mendapat gelar Thahirah atau wanita suci. Oleh sebab itu, anak-anaknya dari suami-suami sebelumnya juga disebut dengan Bani Thahirah.
[5] Dari pernikahan Khadijah dengan Atiq bin Naufal dan Abu Halah (Zurarah at-Tamimi) terdapat perbedaan pendapat oleh ahli sejarah, bahwa suami pertama Khadijah adalah Atiq bin Naufal yang menghasilkan anak bernama Hindun, sebagian lagi menulis, perkawinannya dengan Atiq, Khadijah memiliki dua anak laki-laki, yakni Abdullah dan Abdu Manaf. Kemudian menikah lagi dengan Abu Halah, diriwayatkan bahwa dari pernikahan dengannya mendapatkan dua anak laki-laki dan perempuan yang bernama Hindun dan Halah.
[6] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of Muslims, (Jakarta: Citra Risalah, 2012), hlm. 249-250.
[7] Muhammad Muhyidin, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 63.
[8] Nufaisah binti Mun-ya menurut sumber merupakan saudara perempuan Khadijah, dan sumber yang lain mengatakan sahabatnya.
[9] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan Sepanjang Zaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2008), hlm. 92-93.
[10] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[11] Pada bagian paragraf ini disebutkan ayahnya Khadijah Khuwailid ibn Asad menerima lamaran.
[12] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan Sepanjang Zaman,...,93.
[13] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[14] Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakannya, bahwa ayahnya ada tetapi tidak menyetujui perkawinan tersebut dan Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ayahnya mabuk dengan begitu dapat melangsungkan pernikahannya dengan Muhammad. Sedangkan dari bukunya Abu Bakar Jabir al-Jazairi, dikatakan bahwa ayahnya, Khuwailid ibn Asad menerima laraman dan langsung mengawinkan Muhammad dengan Khadijah.
[15] Berdasarkan pendapat besar sebagian ahli genealogi, putra-putra Nabi saw. dari Khadijah dua orang, yaitu al-Qasim dan Abdullah yang diberi julukan at-Tahir dan At-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga orang putra dan bahkan empat.
[16] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Cet. II, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 66-68.
[17] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[18] Muhammad Maulana Wahiduddin Khan, A Prophet for All Humanity, (India: Goodword Books, 1998), hlm. 26.
[19] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah, (Kuwait: Darul Qalam, 1990), hlm. 178.
[20] Margiono, dkk., Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan,..., hlm. 669-70.

Makalah Naqd al-Hadis: Laporan Penelitian Hadis tentang Kurma Ajwa’

LAPORAN PENELITIAN HADIS TENTANG KURMA AJWA’


   Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, M. Ag.




I.               PENDAHULUAN
A.            Latar Belakang
Hadis merupakan segala sesuatu apa yang dilakukan oleh Nabi saw. baik perkataan, perbuatan, maupun takhrirnya. Dilihat dari fungsinya hadis merupakan sebagai penerjemah dan penjelas dari wahyu Allah swt. yakni al-Qur’an. Sebagai penerapan dan contoh dari al-Qur’an yang mana nabi Muhammad saw. memiliki guru langsung dari Allah swt.
Merihat realitas tersebut, maka hadis menjadi sesuatu yang sangat urgen karena menyangkut dengan hidup manusia dan sebagai jalan hidup serta pegangan dalam kehidupan manusia yang hakiki.
Inti dari permasalahan di atas karena hadis sebagai pegangan umat muslim khususnya maka pemecahan masalah tersebut adalah dengan melihat atau menganalisis dan meneliti apakah hadis tersebut benar-benar dari Rasul saw. ataukah dari seseorang yang bukan dari Nabi saw. karena faktor kepentingan pribadi.
Dapat ditarik benang merah, melakukan penelitian guna mengecek ulang apakah hadis tersebut shahih atau dhaif. Dalam penelitian ini bukan berarti hadis yang sudah diriwayatkan oleh para perawi diragukan  keshahihannya atau sebaliknya, tetapi semata-mata sebagai tradisi keilmuan khususnya dalam dunia pendidikan dan check and balance. Karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
B.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana naqd al-sanad hadis tentang kurma ajwa’?
2.      Bagaimana naqd al-matn hadis tentang kurma ajwa’?
II.            PEMBAHASAN
Status hadis shahih atau dhaif, perlu dilihat sanad dan matan hadis sebagai objek penelitian.
A.            Naqd al-Sanad Hadis tentang Kurma Ajwa
1.              Takhrijul al-Hadis
Penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli hadis dari hadis yang bersangkutan yang akan diteliti sanad dan matannya yang dikemukakan secara jelas dan lengkap. Metode takhrij ada dua macam, yaitu takhrij al-hadits bil lafs (penelusuran hadis melalui lafal) dan takhrij al-hadits bil maudu’(penelusuran hadis melalui topik masalah).[1]
Dalam penelitian ini, untuk menemukan hadis melalui pencarian sembilan kitab yang diakui atau melalui metode takhrij al-hadits bil lafs melalui lafal matannya yang berbunyi مَنْ تَصَبَّحَ sehingga akan ditemukan banyak periwayat.
Selain itu, penelusuran juga melalui metode topik masalah, sebagai contoh dengan kata kunci “kurma ajwa, tujuh butir, sihir dan racun”. Kemudian ditemukan hadis, di sini diambil Shahih Bukhari dan Muslim sebagai objek penelitian dari sekian periwayat yang lain:
a.       Shahih Bukhari, bab Keutamaan Kurma Ajwa, hadis nomor 5445
b.      Shahih Muslim, bab Keutamaan Kurma Madinah, hadis nomor 5338, 5339, 5340, dan 5341.
c.       Musnad Ahmad bin Hanbal, bab Kurma Ajwa, hadis nomor 1508
d.      Al-Adab Baihaqiy, bab Kurma Ajwa, nomor 692
e.       Dan lain sebagainya
2.              Al-I’tibar Sanad
a.      Hadis dari Shahih al-Bhukhari, bab keutamaan kurma ajwa, nomor 5445
 ثَنَا جُمُعَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ، ثَنَا مَرْوَانُ ، أَنَا هَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ ، أَنَا عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمْرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلا سِحْرٌ "
Artinya:
Jum’ah bin Abdullah menyampaikan kepada kami dari Marwan yang mengabarkan dari Hasyim bin Hasyim, dari Amir bin Sa’d, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “siapa yang makan tujuh butir kurma ajwa setiap pagi, maka racun atau sihir tidak akan memberikan mudarat kepadanya pada hari itu.”[2]

b.      Hadis Shahih Muslim, bab keutamaan kurma Madinah, nomor  5339
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ ، عَنْ هَاشِمِ بْنِ هَاشِمٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَامِرَ بْنَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ، يَقُولُ : سَمِعْتُ سَعْدًا ، يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : " مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ "
Artinya:
Abu Bakar bin Syuibah menyampaikan kepada kami dari Abu Usamah, dari Hasyim bin Hasyim yang mengatakan, aku mendengar dari Amir bin Sa’d bin Abu Waqqash, dari Sa’d bahwa Rasulullah saw. bersabda, “siapa yang makan tujuh butir kurma ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu dia tidak akan celaka oleh racun maupun sihir.”[3]
c.       Musnad Ahmad bin Hanbal, bab kurma ajwa, hadis nomor 1508
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ ، حَدَّثَنَا هَاشِمٌ ، عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدٍ ، عَنْ سَعْدٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ ، وَلَا سِحْرٌ " 
d.      Al-Adab Baihaqiy, bab Kurma Ajwa, Hadis nomor 692
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ ، أَنْبَأَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمُنَادِي ، حَدَّثَنَا أَبُو بَدْرٍ شُجَاعُ بْنُ الْوَلِيدِ ، حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ ، أَنَّ سَعْدًا ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمْرَاتٍ مِنْ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلا سِحْرٌ " 
*Skema I’tibar Sanad terlampir
e.              Jam’ur Ruwah Sanad
Jam’ur ruwah diambil dari dua hadis shahih yaitu shahih al-Bukhari nomor 5445 dan Muslim nomor 5339.
 ثَنَا جُمُعَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ، ثَنَا مَرْوَانُ ، أَنَا هَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ ، أَنَا عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمْرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلا سِحْرٌ "
Artinya:
Jum’ah bin Abdullah menyampaikan kepada kami dari Marwan yang mengabarkan dari Hasyim bin Hasyim, dari Amir bin Sa’d, dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “siapa yang makan tujuh butir kurma ajwa setiap pagi, maka racun atau sihir tidak akan memberikan mudarat kepadanya pada hari itu.”
No
Nama Periwayat
Urutan Periwayat
Urutan Sanad
1
Sa’d bin Abu Waqqash
I
VI
2
Amir bin Sa’d
II
V
3
Hasyim bin Hasyim
III
IV
4
Marwan
IV
III
5
Jum’ah bin Abdullah
V
II
6
Al-Bukhari
VI
Mukharrij Hadis

Tabel urutan sanad dan periwayatan hadis Shahih Muslim nomor 5339
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ ، عَنْ هَاشِمِ بْنِ هَاشِمٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَامِرَ بْنَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ، يَقُولُ : سَمِعْتُ سَعْدًا ، يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : " مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ "
Artinya:
Abu Bakar bin Syuibah menyampaikan kepada kami dari Abu Usamah, dari Hasyim bin Hasyim yang mengatakan, aku mendengar dari Amir bin Sa’d bin Abu Waqqash, dari Sa’d bahwa Rasulullah saw. bersabda, “siapa yang makan tujuh butir kurma ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu dia tidak akan celaka oleh racun maupun sihir.”
No
Nama Periwayat
Urutan Periwayat
Urutan Sanad
1
Sa’d bin Abu Waqqash
I
VI
2
Amir bin Sa’d bin Abu Waqqash
II
V
3
Hasyim bin Hasyim
III
IV
4
Abu Usamah
IV
III
5
Abu Bakar bin Syuibah
V
II
6
Muslim
VI
Mukharrij Hadis
*Tabel Jam’ur ruwah hadis shahih al-Bukhari (5445) dan Muslim (5339) terlampir
f.               Ittisal al-Sanad
Dalam ittisal al-sanad diambil dari kedua hadis yakni Buhari dan Muslim:
1)      Sa’d bin Abu Waqqash
Nama Sa’d bin Abi Waqqash dan yang terkenal Ibnu Abi Waqqash, mendapat julukan Abu Ishaq. Tinggal di Madinah dan wafat di al-Akiq pada tahun 55 H. ada juga yang mengatakan pada tahun 51, 56, 57, 58. Sisilahnya bertemu dengan Rasululllah saw. di kakeknya yaitu Kilab bin Murrah. Sa’d bin Abi Waqqash termasuk orang yang pertama kali masuk Islam dan hijrah ke Madianah sebelum Rasulullah saw., dia termasuk sahabat nabi saw. yang terkenal
Menurut Ibnu Hajar al-Asqolaniy Sa’d bin Abi Waqqash merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang akan dijamin masuk surga, berjuang dijalan Allah dan banyak sejarah yang menerangkannya dirinya.
Guru-gurunya: Rasulullah saw.,  dan Khiwalah binti Hakim
Murid-murinya: Ibnuhu Amir bin Abi Waqqash, Ibnu Abi Umar, Ibnuhu Ibrahim bin Sa’d bin Abi Waqqash, Ibrahim bin Abdurrahman bin Waqos, dll.
2)      Amir bin Sa’d
Nama lengkap Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash al-Qurasiy al-Zuhriy al-Madaniy Terkenal dengan Sa’d al-Qurasiy dengan julukan Ibnu Abi Waqqash. Tinggal dan meninggal di Madinah tahun 103 H. menurut Yahya bin Abdullah bin Bukhair, sedangkan pendapat lain mengatakan wafatnya pada tahun 96 H., pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik.
Guru-gurunya: Abihi Sa’d Abi Waqqash, Usamah bin Zaid bin Haritsah, Jabar bin Samroh, Wakhubab Sohibul al-Maqsuroh, Abbas bin Abdu Muthalib, dll.
Murid-muridnya: Hasyim bin Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqash, As’at bin Ishaq bin Sa’d bin Abi Waqqash, Ayyub bin Salamah bin Abdullah bin al-Walid al-Makhzumiy, Ibnu Akhihi bin Musa bin Sa’d bin Abi Waqqash, Bakir bin Abdullah bin al-Asaj, dll.
Dalam periwayatan hadis, komentar dari para ulama antara lain; Ahmad bin Sholih al-Jaililiy, Ibnu Hajar al-Asqolaniy, ad-Dahabiy, Muhammad bin Sa’d Khattib al-Waqdiy tidak keberatan semua mengatakan bahwa Ibnu Abi Waqqash tsiqah.
3)      Hasyim bin Hasyim
Nama lengkap Hasyim bin Hasyim bin Utbah Abi Waqqash al-Qurosiy al-Zuhriy al-Madaniy, mashur dengan nama Ibnu Abi Waqqash. Ia tinggal di Madinah dan meninggal tahun 144 H.
Dia seorang yang tsiqah komentar dari Ahmad bin Syuaib an-Nasa’i, Ahmad bin Sholeh al-Jaililiy, Ibnu Hajar al-Asqolaniy, ad-Dahabiy, dan Yahya bin Mu’in.
Gurunya antara lain: Umar bin Sa’d bin Abi Waqqash, Ishaq bin Abdullah bin Harits bin Kinanah al-Madaniy, sa’id al-Musayyab, dll. Murid-muridnya: Abu Usamah Hammad Ibnu Usamah, Ibrahim bin Hamid al-Rowasiy, dll.[4]
4)      Marwan bin Muawiyah
Nama lengkap Marwan bin Muawiyah al-Fazariy dengan julukan Abu Abdullah dan gelar ثقة حافظ وكان يدلس أسماء الشيوخ. Ia pernah tinggal Damaskus, Kuffah, dan terakhir di Makkah dan wafat di sana pada tahun 193 H. Berkerabat dekat dengan Ibnu ‘Am Abi Ishaq al-Fazariy.
Komentar ulama yang diberikan kepada Marwan bin Muawiyah antara lain; Abu Hatim bin Hiban al-Bastiy, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Syuaib an-Nasai, Ahmad bin Sholeh al-Jailiy, Ibnu Hajar al-Asqolaniy, ad-Dahabiy, Muhammad bin Sa’d Khatib al-waqidiy, Yahaya bin Said al-Qotan, Yahya bin Muin, Yaqub bin syuibah as-sadusiy semua berkomentar tsiqah.
Guru-gurunya: Ibnu Umar, Ibrahim bin Ziyad al-Khuziy, Ishaq bin Yahya bin Tolhah bin Abdullah, Ismail bin Abi Khalid, Ismail bin Sami’, Aiman bin Nabil, Hasyim bin Hasyim Utbah, dll
Murid-muridnya: Jum’ah bin Abdullah al-Balaghiy, Ahmad bin Abdullah bin al-Hakam bin al-Kurdiy, Abu Walid Ahmad bin Abdurrahman bin Bakar al-Basariy.[5]

5)      Jum’ah bin Abdullah
Nama lengkap Jum’ah bin Abdullah bin Ziyad al-Salamiy, nama panggilan Jum’ah itu sebagai julukan, sedangkan nama aslinya adalah Yahya. Ia bersaudara dengan bin Abdullah. Dari Abu Qosim al-Lalakaiy mengatakan bahwa Jum’ah meninggal pada tahun 233 H.
Beliau memiliki guru antara lain: Asad Umar al-Bajaliy al-Qodiy, Marwan bin Muawiyah al-Fazariy, Abi Muqotil Hafiz bin Salim, al-Samaroqandiy, Umar bin Harun al-Lakhiy, dan Hasyim bin Basyir. Sedangkan murid-muridnya yaitu: al-Bukhari, al-Hasan bin Sofyan as-Saniy, al-Hasan bin Tayyib al-Balaghiy, dan Muhammad bin Ishaq bin Utsman al-Bukhari al-Samasariy.
Abu Hakim menuturkan dalam kitab As-Tsiqat beliau mengatakan bahwa hadis yang disanadkan beliau (Jum’ah bin Abdullah) itu hadisnya mustaqim. Ia mengikuti madzhab perawi hadis terdahulu, dan hadis-hadis darinya sanadnya kuat serta menjaga keaslian hadisnya hingga Ahmad bin Harb. Masuk ke negeri Wasajird (واشجرد) kemudian beliau berdakwah di sana hingga orang-orang atau penduduk di sekitar menyebutnya sebagai seorang yang ahli hadis. Tatkala Jum’ah bin abdullah sebelum sampai di negeri واشجرد itu, orang-orang sebelum di negeri واشجرد akan memberitahukan kedatangannya.[6]
6)      Abu Usamah
Nama lengkap Hammad bin Usamah bin Zaid al-Qursiy Abu Usamah al-Kufiy. Tinggal dan meninggal di Kuffah pada bulan November tahun 201 H. pada bulan Dzulqaidah di usia 80 tahun. Bersaudara dengan Maula Bani Hasyim.
Menurut Abu Bakar al-Baihaqiy, Abu Abdullah al-Hakim An-Naisaburi, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Solih al-Jailili, Ibnu Hajar al-Asqolaniy, ad-Daruqutniy, Muhammad bin Sa’d Katib al-Wakidi dan Yahya bin Mu’in mengatakan bahwa Abu Usamah orang yang tsiqah. Dhabit dalam periwayatan hadis
Seorang yang sholihul hadis. Orang yang dapat dipercaya dalam periwayatan hadis. Diakui kebenaran kitab dan hadisnya. Dia menulis seratus ribu hadis dengan jari tangannya.
Gurunya antara lain Hasyim bin Hasyim al-Zuhri, Abi Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Fazariy, dan lainnya. Sedangkan murinya: Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Saibah, Ibrahim bin Sa’id al-Juhariy, Ahmad bin Ibrahim ad-Duroqiy, dan lain sebagainya.
7)      Abu Bakar bin Abi Syuibah
Nama lengkap Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasitiy al-Absiy maulahum Abu Bakar bin Abi Syuaibah, mashur dipanggil dengan Ibnu Abi Syuibah al-Abasiy. Pernah tinggal di Wasit, Damaskus, dan terakhir Kuffah. Meninggal pada bulan Muharram tahun 235 H. Saudara dekat dengan Ahmad dan Utsman. Dari Utsman bin Said al-Daromiy berkata saya mendengar dari Yahya al Hamaniy berkata, “anak-anaknya Ibnu Abi Syuaibah itu ahli ilmu. Abu Bakar adalah orang yang sangat jujur, dia suka meniru akhlak Utsman.
Al-Ajali mengemukakan bahwa ia seorang hafidzul hadis. Dari Abu Hatim bin Hiban mengatakan bahwa Abu Bakar merupakan seorang yang pandai dalam masalah agama, mencatat, menulis, mengumulkan, menyusun dan menuturkan dan orang yang hafal serta ahli pada zamannya.
Menurut komentar Ahmad bin Syuaib an-Nasa’i, Ahmad bin Sholih al-Jiliy, Ibnu Abi Hatim ar-Raziy, Ibnu Hajar al-Asqolaniy, dan al-Dzahabiy; Abu Bakar adalah orang yang tsiqah.
Guru-gurunya: Abu Usamah, Ahmad bin Ishaq, al-Hadromiy, Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Ahmad bin Abdul Malik bin Waqid al-Haraniy, Ahmad, bin al-Mafadzal al-Hafariy, Ishaq bin Mansur as-Saluliy, dll.
Murid-muridnya: al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibrahim bin Ishaq, al-Harbiy.[7]
g.              Natijah Sanad
Dalam melakukan natijah sanad, unsur-unsur kaedah keshahihan sebuah hadis dapat dilihat dari sanad dan matannya. Adapun kaidah-kaidah sanad sebagai berikut:
1)      Sanad hadis harus bersambung dari mukharrijnya sampai kepada Nabi saw. hal ini bisa dilihat dari posisi masing-masing periwayatnya sebagai guru dan murid.
Dari penelitian tersebut, maka dapat ditarik benang merahnya dalam telaah naqd al-sanad, dilihat dari aspek ittisal sanad dan jam’ur ruwah ketersambungan antara guru dan murid yakni mulai dari nabi Muhammad saw. sampai mukharrij hadis-nya dapat dipertanggungjawabkan.
2)      Seluruh periwayat harus mempunyai sifat adil dan dhabit.
Seseorang yang dapat dikatakan sebagai periwayat hadis harus memiliki syarat salah satu yaitu adil dan dhabit. Dapat dilihat dari قول النقاد (komentar para ulama ahli hadis) menunjukkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim seluruh periwayatnya memiliki predikat tsiqah. Adapun yang tidak ada komentar tsiqah[8] namun para ulama hadis tidak mencela maupun mendapatkan cacat pada periwayatnya.
3)      Terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).[9]
Pendapat para ulama mengenai syuzuz antara lain adalah pendapat dari Imam Syafi’i: hadis yang diriwayatkan orang yang siqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang siqah juga. Kemudian pendapat yang dikemukakan oleh al-Hakim an-Naisaburi: hadis yang diriwayatkan oleh orang yang siqah, tetapi orang-orang siqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Selanjutnya pendapat dari Abu Ya’la al-Khalili: hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat siqah maupun tidak siqah.
Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat Imam Syafi’i-lah yang banyak diikuti oleh ulama hadis sampai saat ini. Kemungkinan suatu sanad mengandung syuzuz bila sanad diteliti lebih dari satu buah. Hadis yang memiliki satu buah saja, tidak dikenal adanya kemungkinan mengandung syuzuz. Salah satu penelitian yang sangat penting untuk meneliti adanya syuzuz suatu sanad hadis ialah dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan.
‘Illat yakni cacat hadis yang oleh ulama dinyatakan mudah untuk diketahui yang biasa disebut sebagai ta’nul hadis. Cara menelitinya antara lain dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna.[10]
B.            Naqd al-Matan Hadis tentang Kurma Ajwa
Dalam penelitian matan hadis ada beberapa langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Meneliti matan sesudah meneliti sanad
Melakukan penelitian matan dilakukan setelah meneliti sanad, dan setiap matan harus bersanad serta kualitas sebuah matan tidak mengharuskan sejalan dengan sanadnya.

2.      Meneliti susunan lafal matan yang semakna
Hadis yang disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada penerimanya (mukharrij) memiliki banyak keragaman, karena manusia satu dengan yang lainnya berbeda, tetapi pada esensinya sama. Dalam hal ini diperlukan adanya analisis dan telaah terhadap beberapa hadis yang telah diriwayatkan. Penyebat perbedaan dalam menyampaikan sebuah matan hadis yang sampai kepada mukharrij lebih bersifat pada maknanya (bil ma’na) daripada lafanya (bi al-lafzi). Biasanya para mukharrij dalam meriwayatkan hadis terdapat sedikit perbedaan kata maupun susunan bahasanya, tapi dalam hal ini masih dapat ditoleransi sehingga masih dapat diterima dengan pengecualian sama-sama shahih.
Sebagai contoh matan hadis dari jalur riwayat yang berbeda; al-Bukhari “siapa yang makan tujuh butir kurma ajwa setiap pagi, maka racun atau sihir tidak akan memberikan mudarat kepadanya pada hari itu.” (5445) dan Muslim “siapa yang makan tujuh butir kurma ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu dia tidak akan celaka oleh racun maupun sihir.” Dari kedua hadis tersebut, terdapat perbedaan susunan kata tetapi pada intinya mempunyai maksud yang sama.
3.      Meneliti kandungan matan
Menurut Salahud-Din al-Adlabi, tolok ukur dalam sebuah matan hadis ada empat macam yang harus diperhatikan, yakni:
a.       Tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an
Dalam al-Qur’an tentang kurma banyak disebutkan sebagai contoh QS. Al An`Am : 99 dan 141, Al Kahfi : 32, Thaha : 71, Asy Syu`Ara : 148, Qamar : 20, Ar Rahman : 11 dan 68, Al Haqqah : 7, Abasa : 27-29, Maryam : 23 dan 25, Al Baqarah : 266, Ar Ra`D : 4, An Nahl : 11 dan 67, Al Isra` : 91, Al Mu`Minun : 19, Yasin : 34, dan Ibrahim : 24.
b.      Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat (shahih)
Derajat hadis shahih yang paling tinggi adalah hadis yang bersanad ashahul asanid. Urutan hadis dari tingkat keshahihan antara lain:
1)      Hadis yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim
2)      Hadis yang hanya diriwayatkan oleh Iman Bukhari sendiri
3)      Hadis yang hanya diriwayatkan oleh Iman Muslim sendiri
4)      Hadis shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat oleh Imam Bukhari dan Muslim, sedangkan dari keduanya tidak mentakhrijnya.
5)      Hadis shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam (al-Bukhari dan Muslim) tersebut.
c.       Tidak bertentangan dengan akal sehat dan sejarah[11]
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan masa kontemporer saat ini, maka hadis-hadis nabi saw. dapat dibuktikan dengan penelitian ilmiah, sebagaimana dijelaskan oleh prof. Najjar dalam bukunya Sains dan Hadis,  disebutkan kurma dapat menghilangkan racun dan berbagai penyakit karena kandungannya yang sangat banyak dan bermanfaat bagi manusia.
Dalam hal ini, berarti hadis nabi tidak bertentangan dengan akal, sebagaimana berjalannya kemajuan ilmu modern untuk membuktikannya secara ilmiah atau medis.
d.      Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
C.           Kandungan Kurma secra Ilmiah
Pohon kurma merupakan salah satu pohon yang berusia panjang dan hijau. Pada dasarnya pohon kurma hanya bisa tumbuh di kawasan panas, namun ia dapat beradaptasi dengan kawasan yang beriklim sedang dan kering. Pohon kurma juga memiliki peluang terbanyak untuk hidup dan tertanam di kawasan beriklim kering dan asin, serta tandus sekalipun. Mampu bertahan melawan suhu yang sangat dingin dan rasa sangat asin.
Komposisi kimia pada buah kurma, setiap buah kurma mengandung zat gula, karbohidrat, protein, lemak, dan sejumlah unsur lain yang penting, dan vitamin yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Analisis-analisis kimiawi telah membuktikan bahwa setiap buah kurma kering mengandung 70,6% karbohidrat, 2,5% lemak, 1,32% garam mineral yang mengandung komposisi kalsium, zat besi, fosfor, magnesium, potasium, tembaga, asam, kobalt, zinc (seng), dan lainnya. Kurma kering juga mengandung 10% serat (polyester) dan vitamin A, B1, B2, dan C, dan dengan kadar gula dan protein yang berbeda-beda.
Adapun banyak manfaat kurma secara medis, kurma merupakan makanan yang penting untuk sel-sel saraf, pembasmi racun, dan bermanfaat untuk orang yang mengalami gagal ginjal, cholecystitis, darah tinggi, wasir atau ambien, dan encok. Selain itu buah kurma merupakan pelembut alami, penguat pendengaran, pemberi sinyal aktivitas rahim, dan pengencang oto-otot rahim sehingga mempermudah kelahiran secara alami.[12]
III.         KESIMPULAN
Dari sekian rangkaian penelitian mulai dari naqd al-sanad (takhrijul al-hadis, ittibar sanad, jam’ur ruwah sanad, ittisal al-sanad, dan natijah sanad) dan naqd al-matan dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis yang diriwayatkan berstatus shahih. Adapun penyebab keshahihan hadis tersebut, karena antarperawi saling keterkaitan (bersambung) yakni antara guru dan murid tidak saling menyangkal.
Komentar yang diberikan ulama ahli hadis kepada perawi hadis tentang Kurma Ajwa’ khususnya yang diriwayatkan oleh Iman al-Bukhari dan Imam Muslim, kebanyakan mengatakan tsiqah dan keunggulan-keunggulan dari para perawi serta tidak ditemukan oleh Pemakalah komentar ulama yang mengatakan cacat kepada perawi. Jadi, hadis tersebut shahih dan dapat dijadikan pedoman hidup manusia.
IV.         PENUTUP
Demikian makalah laporan penelitian hadis ini kami susun. Penulis menyadari dalam karya ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan untuk koreksi dan perbaikan karya ilmiah selanjutnya. Semoga dalam makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Abu. 2012. Ensiklopedia Hadits 2: Shahih al-
Bukhari. Terj. Subhan Abdullah, dkk. Jakarta: Almahira.
Bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Muslim. 2012. Ensiklopedia Hadits 4: Shahih Muslim
2. Terj. Masyhari dan Tatam Wijaya. Jakarta: Almahira.
Islamweb.com, Mausu’ad al-Hadis
Al-Muttaqim Jamaluddin Abi al-hajjaj, Al-Hafidz. 1983. Tadzhibul al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal
Juz 5, 27, 30. Beirut: Muassanah ar-Risalah.
An-Najjar, Zaghlul. 2011. Sains dalam Hadis: Mengungkap Fakta Ilmiah dari
Kemukjizatan Hadis Nabi. Jakarta: Amzah.
Sholahudin dan Agus Suyadi, Agus. 2013. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Syuhudi Ismail, M.  1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.






[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 43-46.
[2] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, terj. Subhan Abdullah, dkk., Ensiklopedia Hadits 2: Shahih al-Bukhari, (Jakarta: Almahira, 2012), hlm. 418.
[3] Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, terj. Masyhari dan Tatam Wijaya, Ensiklopedia Hadits 4: Shahih Muslim 2, (Jakarta: Almahira, 2012), hlm. 307-308.
[4] Al-Hafidz al-Muttaqim Jamaluddin Abi al-hajjaj, Tadzhibul al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal Juz 30, (Beirut: Muassanah ar-Risalah, 1983), hlm. 137-138.
[5] Al-Hafidz al-Muttaqim Jamaluddin Abi al-hajjaj, Tadzhibul al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal Juz 27,... , hlm. 403-410.
[6] Al-Hafidz al-Muttaqim Jamaluddin Abi al-hajjaj, Tadzhibul al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal Juz 5,... , hlm. 120-121.
[7] Islamweb.com, Mausu’ad al-Hadis
[8] Dimungkinkan karena kurangnya penelusuran oleh pemakalah
[9] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,... , hlm. 64.
[10] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,... , hlm. 85-87.
[11] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 144-145.
[12] Zaghlul An-Najjar, Sains dalam Hadis: Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan Hadis Nabi, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 235-240.