HUBUNGAN ANTARA ISLAM DAN SEKULARISASI
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aristoteles
pernah mengatakan waktu adalah sesuatu yang dihitung, bukan dijumlah. Senada
dengan pendapat Heraklitus, seseorang yang terjun di dalam aliran sungai tidak
dapat terjun kembali di aliran yang sama.[1]
Sebagaimana perjalanan waktu mewakili evolusi manusia dari awal peradaban yang
terus berlangsung. Keadaan dinamis yang menjadi ide-ide dasar yang mempengaruhi
gerak pikir manusia.
Dalam
hal ini berkaitan erat hubungannya dengan Islam dan sekularisasi sebagai dua
sisi mata uang yang bertolak belakang sekaligus tidak dapat disahkan dari
peradaban zaman yang terus bergerak maju.
Di
lihat dari historisnya, Barat mengawali sekularisasi berawal dari revolusi
agama, sebaliknya di dunia Islam khususnya di Timur, sekularisasi sebagai fobia
yang berakibat banyak pandangan pro dan kontra, khususnya antara cendekiawan
Muslim dan nasionalis sekuler.
Mereka
yang mendukung sekularisme dalam suatu negara, berdalih bahwa sekularisasi
sebagai bentuk kemajuan dunia modern yang tidak dapat terelakkan. Sedang mereka
yang kontra, lebih pada pemisahan dan mengesampingkan agama dan ketakutan
sejarah Barat (sekuler) di Timur sebagai akibat kolonialisme dan imperialisme.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian dan sejarah hubungan Islam dan Sekularisasi ?
2. Bagaimana
perkembangan hubungan antara Islam dan Sekularisasi ?
3. Bagaimana
inti permasalahan antara Islam dan Sekularisasi ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Sejarah Hubungan Islam dan Sekularisasi
Kata “sekuler” (bahasa Inggris) berasal dari kata
Latin saeculum yang artinya “periode
besar waktu” atau “spirit zaman”. Kemudian maknanya berubah menjadi “dunia ini”
yang berarti ada lebih dari satu dunia. Istilah ini akhirnya diterjemahkan
menjadi konsep “sekular” dan “religius” yang berasal dari ide temporal dan spiritual.
Berkembang dalam konteks Eropa dari sekularisasi dalam artian privatisasi
wilayah-wilayah keagamaan, hingga sekularisasi politik, seni dan ekonomi.
Dalam kamus Webster sekularisasi diartikan sebagai
penolakan atau pengasingan agama atau pertimbangan-pertimbangan keagamaan.
Sedangkan The Short Oxford Dictionary:
sekularisasi sebagai doktrin bahwa moralitas seharusnya semata-mata didasarkan
pada penghargaan atas umat manusia dalam kehidupan sekarang ini, dengan
membuang semua pertimbangan yang diambil dari keyakinan pada Tuhan atau pada
akhirat.[2] Kemudian
istilah ini digunakan untuk menandakan kemunduran agama, kehidupan masa kini,
pemisahan dan pembedaan masyarakat dari agama, transposisi keyakinan dan
institusi agama, desakralisasi dunia, serta sakralisasi akal pikiran.
Sekularisme menurut
Harvey Cox dan John Keane (abad ke-16) merupakan ideologi yang mengandung
ajaran yang mengikat menyerupai agama baru yang mempunyai sifat terbuka dan
kebebasan. Bersifat dinamis dan membawa kepada perubahan dan pembaruan serta
tidak semua sekularisasi mengandung arti ideologi.[3] Secara sosiologis berkaitan dengan modernisasi:
sebuah proses bertahap yang menuju pada penurunan pengaruh agama dalam
institusi-institusi sosial, kehidupan masyarakat dan hubungan antarmanusia.
Talal Asad,
kajian antropologisnya menuliskan sekularisme dan sekularis diperkenalkan oleh
para pemikir liberal untuk menghindari tuduhan atheisme yang dianggap
imoralitas dalam masyarakat agamis. Dalam bukunya Jacob, Prinsip-prinsip Sekularisme (The
Principles of Secularism), sekularisme adalah tentang kajian tentang upaya
mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alat-alat material.
Nikki Keddie
merinci cara sekularisasi sebagai peningkatan jumlah orang dengan kepercayaan
dan tindakan sekuler, penurunan pengaruh agama terhadap kehidupan, dan
pemisahan negara dari agama serta dalam pengaturan yang sekuler.[4] terhadap
lembaga dan adat-istiadat yang sebelumnya sudah tertata dan bersifat keagamaan.
Sekularisme apabila dimaknai sebagai pemisahan agama
dan negara, tidak sanggup memenuhi tuntutan kolektif kebijakan publik yang
tidak memberikan pedoman yang cukup bagi warga negara dalam membuat pilihan
personal yang penting dalam kehidupan pribadi atau publiknya.
Negosiasi antara sekuralisme dan kerangka religius,
kultural, dan etis tidak dapat diprediksi, melibatkan faktor dan aktor yang menjadi
bahan perdebatan dan perubahan, kemudian proses tersebut harus diinisiasi dan
dipromosikan. Strategi dan paradigma yang beragam diterapkan untuk meningkatkan
ruang public reason antara sekular
dan religius.
Dr. Asghar Ali Engineer dalam proyek reformasinya di
India, mengombinasikan pemahaman atas Islam dengan dukungan penuh terhadap
nilai-nilai sekularisme dan harmonisasi hubungan antaragama yang menekankan
fakta bahwa al-Qur’an terbuka pada berbagai makna. Dikondisikan dalam konteks sosio-kultural
tempat mufasir berada. Membedakan nilai normatif dengan aspek khusus yang
kontekstual hanya berlaku pada masanya dan menentang gagasan budaya islami yang
murni.[5]
Di Barat, sekularisme bertujuan untuk memisahkan negara dari gereja
agar tidak terjadi benturan, sekularisme tidak dimaksudkan untuk menghancurkan
nilai-nilai agama. Sedangkan dalam dunia Islam sengaja disusupkan oleh
imperalis Barat.[6] Meregional dan menasionalkan
dunia Islam sehingga persatuan kaum muslimin terpecah dengan pemahaman Barat
dan sebagai prinsip yang dipraktekkan dalam masyarakat.
Sedangkan di
Indonesia akar sekularisme dapat ditelusuri pada masa kolonialisme Belanda dan
perjuangan kemerdekaan. Permasalahan mengenai dasar filosofis negara, satu
kelompok nasionalis agama mengklaim bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah
Muslim dan Islam harus menjadi agama resmi negara. Di pihak lain terdapat
penolakkan kelompok nasionalis sekular yang memisahkan agama dan negara dengan
alasan akan terjadi perpecahan kesatuan rakyat Indonesia.
Pemikir di Indonesia yang pertama kali
mencetuskan sekularisme sebagai persatuan dalam keragaman sebagai kunci
keberhasilan perjuangan mencapai kemerdekaan adalah Bung Karno.[7]
Saoki dalam jurnalnya diambil dari pendapat Gus Dur: Hukum dan perundangan
Islam, antara agama dan negara harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya,
dan seharusnya Islam dijadikan sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara
bukan landasan ideologi.[8]
Nurcholish
Madjid dalam teminologinya, sekuralisasi disebut sebagai proses pembebasan. Membedakan
sekularisasi sebagai proses sosiologi yang membantu pemahaman rasional atas
dunia dari ideologi yang anti agama dan perlunya reformasi Islam. Sekularisasi yakni
bentuk perkembangan yang membebaskan bukan sebagai penerapan sekularisme
melainkan pandangan dunia tertutup dan transformasi Muslim menjadi sekular.[9] Proses
yang mengarah pada pembebasan pikiran dari kendala ideologis dan mengevaluasi
kembali pikiran agama dan praktik serta ideologi asing yang bermusuhan dengan
agama harus dihindari.
Sekularisme
politik tetap kuat di Indonesia, pancasila yang telah membantu mendamaikan
ketegangan antara agama dan negara (sekuler). Azurmardi Azra menyebut pancasila
sebagai sekularisme ramah agama. Pribumisasi sekularisme dan pengakuan terhadap
HAM merupakan faktor kunci dalam menjelaskan konstribusi Islam bagi
perkembangan politik masyarakat. [10]
B. Perkembangan Hubungan antara Islam
dan Sekularisasi
Sekularisme adalah konsep multidimensional yang
menggambarkan elemen-elemen lanskap sejarah, politik, sosial, dan ekonomi suatu
negara. Lebih mempertimbangkan dimensi keagamaan dalam kehidupan komunitas
lokal yang telah terbentuk sebelumnya[11] daripada
dilihat sebagai usaha untuk memaksakan suatu gagasan yang belum tentu diterima
oleh masyarakat.
Dalam kerangka proses
sekularisasi maka teori dan gagasan pluralisme agama merupakan salah satu
bagian atau mekanisme, keduanya saling mempengaruhi secara simbiosis antara
sekularisme dan teori-teori pluralisme agama. Dari perspektif agama, menurut
Bryan Wilson dalam bukunya Secularization:
Religion in the Modern World, menuliskan satu-satunya karakter dunia modern
yang paling penting adalah sekularitasnya.[12]
Artikel The Challenge of Secularization oleh Filali
Ansary menuliskan bahwa di dunia Islam, sekularisasi mendahului reformasi
agama, kebalikan dari pengalaman Eropa[13] sebagai
hasil
pembaharuan keagamaan. Memahami lemahnya akar intelektual sekularisme di dunia
Islam diketahui dari hubungan antara pembaharuan keagamaan dengan sekularisasi.
Pandangan Akeel
Bagrami bahwa di Timur sekularisme harus diperbolehkan melalui proses, bukan
sesuatu yang diamsusikan sejak awal, sebagaimana pengalaman sejarah yang
dilihat sebagai ideologi penindas. Upaya menghilangkan persepsi ini
mengharuskan kelompok dan cendekiawan Islam secara moral terlibat dalam topik
sekularisme.
Islam yang sehat
dan berkembang penting untuk mewujud, tidak hanya Muslim tetapi seluruh dunia.
Masyarakat Muslim memahami sekularisme dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan dan prasyarat pembangunan demokrasi liberal[14] dalam
membentuk norma-norma politik di dunia Islam. Menurut Alfred Stepan, apabila batas
agama dan negara lebih cair dengan menunjukkan kejelasan dapat diperoleh dengan
menggeser perhatian dari konsep yang ambigus dan penuh emosi dengan
menggantinya dengan istilah “toleransi kembar”.[15]
Menurut
Dr. Kuntowijoyo, masa sekarang sedang terjadi transformasi sosial-budaya yang
menyentuh sampai akar terbawah. Reaksinya memunculkan kecenderungan spiritual[16] memungkinkan kelompok agama memainkan peran yang
konstruktif dalam pengembangan demokrasi dan perlindungan atas hak asasi
manusia.
Islam telah dalam menetapkan
aturan yang tepat dan permanen di segala zaman guna melayani kebutuhan manusia
dalam menyesuaikan diri dengan setiap tempat dan zaman[17]
dengan batas-batas tertentu.
Agama Islam tidak hanya
sekedar lambang keshalehan atau ajaran-ajaran melangit,[18]
juga harus bisa menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah yang timbul di masyarakat sebagai tuntutan mengingat kehadiran agama
yang dihadapi oleh umat manusia.
Secara normatif, sekulerisme tidak boleh
dipaksakan oleh negara terhadap masyarakat, tetapi harus muncul dari bawah ke
atas (botton-up), berasal dari dalam
masyarakat berdasarkan negosiasi yang demokratis mengenai peran agama yang
tepat dalam politik.[19]
Tradisi agama tidak lahir dengan konsepsi politik yang demokratis dan sekuler.
Ide dibangun secara sosial, sekularisme menjadi terpribumisasi sebagai bagian
dari budaya politik yang diterima.
Sekularisme
terkait dengan masalah hak-hak kaum minoritas keagamaan, khususnya mereka agar
tidak diperintah berdasarkan agama mayoritas. Jadi dalam konteks ini, membangun
negara berdasarkan prinsip demokrasi rasional, bukan hegemoni keagamaan.[20]
Pola
pemikiran Islam tradisional yang lebih menekankan kolektivisme berakibat
lambannya mengambil langkah penyesuaian dengan perubahan zaman dan daya
penyerapan tata aturan pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan.[21]
Tidak hanya masalah negara saja, proses dialog
antara ilmu keislaman dengan sains merupakan sebuah keharusan, memunculkan
wacana islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh Naquib al-Attas, Ziauddin
Sardar, Ismail Raji al-Faruqi, dan Fazlur Rahman. Menurut Ian G. Barbour,
antara sains dan agama terdapat varian hubungan; konflik, independensi, dialog,
dan integrasi.[22] Melalui dialoglah antara
sains dan agama dapat menyatu pada masa sekarang.
Seperti yang dikatakan Amien Rais,
proses alih-ilmu dan teknologi, secara beriringan juga transfer of values, cara berfikir Barat. Akibat gerakan
sekularisasi tumbuhlah cara berfikir yang meletakkan ilmu dalam posisi yang
bertentangan dengan agama.[23] Peradaban
Islam pernah mengalami masa keemasan pada
era ilmu modern dan agama tanpa pemisahan. Sebenarnya proses alih ilmu dan
teknologi tidak harus alih pandangan dan berfikir cara Barat. Ironinya
kebanyakan cendekiawan Muslim yang mempunyai latarbekalang pendidikan agama
berfikir dengan cara demikian.
Menurut Faruqi, islamisasi ilmu memberikan respon positif terhadap
realitas ilmu pengetahuan modern sekuler yang religiusitas dalam sebuah model
yang utuh. Adanya penguasaan, pembangunan, dan pemaduan disiplin ilmu modern
dan khazanah warisan Islam secara kreatif, dan pengarahan aliran pemikiran Islam
ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.
Masyarakat Muslim yang memegang prinsip-prinsip
dasar Islam, membutuhkan pola pikir ilmiah untuk dapat menjamin kelangsungan
kehidupannya. Sedangkan para ilmuan (non-Muslim) yang berfikir demonstratif,
progresif, logis, dan dinamis pada suatu saat akan menghadapi realitas
ontologis (being in the world) yang
tidak cukup dipecahkan dengan ilmu pengetahuan saja. Sehingga manusia
membutuhkan guiding principle yang
mendasar.
Contoh sifat inklusifisme Ponpes Pabean, keterbukaan
untuk menerima gagasan-gagasan modernisasi dari luar yang kemudian
disublimasikan sebagai ibadah.[24]
Tidak cukup hanya mempelajari ilmu-ilmu agama saja tetapi ilmu umum juga
sebagai penunjang seiring dengan perkembangan zaman.
Proses sekularisasi dan rasionalisasi justru semakin
menyuburkan praktek spiritualisasi dan mistifikasi pada diri umat beragama.
Semakin kuat serbuan arus dua anak kandung modernitas (sekularisasi dan
rasionalisasi) maka semakin kuat mekanisme pertahanan untuk membentengi dari
kebudayaan setan.[25]
Bersinggungan dengan pendapat S. Al-Qurtuby bahwa modernitas adalah sejenis
eksorsisme metafisis (istilah dari Ulil Abshar-Abdalla) atau pengusiran roh
agama dari dunia, telah membawa sejumlah konsekuensi yang bersifat sekuler,
yakni merosotnya agama dan lembaga keagamaan sebagai orientasi nilai dalam
kehidupan sosial.[26]
Islam dapat sejalan dengan sekularisme dalam
memperhatikan masalah duniawi. Akan tetapi, Islam secara prinsip menolak
sekularisme yang secara sadar memalingkan muka dari agama.[27] Banyak
umat Islam menolak sekularisasi secara ideologi karena proses yang membawa
orang, golongan, atau masyarakat semata-mata berhalauan dunia. Di sisi lain,
Islam adalah agama harmoni, agama keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Islam tidak mengakui tembok pemisah
antara spiritual dan temporal, melainkan sudah diatur dalam berbagai aspek
kehidupan. Dalam perkembangannya, karakteristik pemikiran Islam masih dalam
tarik-menarik antara tiga kelompok yakni integralistik, sekularistik, dan
simbolik[28]
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Menurut kaum modernis
perubahan adalah sunnatullah yang
berlaku terhadap hambaNya dengan warisan sejarah dan tradisi Islam. Zaman ini
pun dengan sendirinya tidak dapat mengikat pada generasi kaum Muslim yang hidup
kemudian.[29]
Ismail dalam jurnalnya menuliskan dari pandangan Yusuf Qardhawi,
bahwa sekularisasi tidak dikenal dalam warisan Islam. Karena pemisahan agama
dan non agama adalah pemisahan yang tidak ada akarnya dalam tradisi Islam[30]
yang secara prinsip Islam adalah agama yang seimbang.
C. Inti Permasalahan antara Islam dan
Sekularisasi
Sebagaimana
fatwa yang ditetapkan oleh MUI tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme
agama, ketentetuan umum; mengatakan sekularisme adalah memisahkan urusan
duniawi dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi
dengan Tuhan, sedangkan hubungan dengan manusia diatur dengan berdasarkan
kesepakatan sosial. Sedangkan ketentuan hukum, mengatakan bahwa sekularisme
agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan umat muslim
haram mengikutinya.[31]
Adanya sumber
konflik yakni klaim dogmatis agama dan sekte bahwa hanya mereka sendiri yang
memiliki satu-satunya kebenaran multak
dan pembungkaman segala bentuk skeptisme dalam hal keyakinan. Masuknya seorang
dalam komunitas agama sering menuntut internalisasi dari kebenarannya yang suci
dan absolut.[32]
Agama tetap kukuh di tengah kritik sains modern yang
begitu keras (tough minded),
kebutuhan akan the meaning and the
purpose of life, dari sudut pandang perennial
phisolophy, menjadi alasan mengapa diturunkannya agama yang mempunyai grand narrative terutama mengenai
keselamatan, kebahagiaan, dan kesengsaraan manusia di dunia dan akhirat.
Pandangan inklusif mengarah kepada pluralis, agama
mempunyai peranan besar dan penting di masa depan. Ditulis oleh Knitter bahwa liberalisme
di kalangan ahli agama merupakan perkembangan yang sangat baik dan saling
memahami[33] dalam mengenal sekularisme.
Sekularisme dalam penolakannya di berbagai
masyarakat Islam. Sebagian bersifat teoritis bahwa secara doktrinal dan
historis, Islam berbeda dengan Kristen, tidak kompatibel dengan sekularisme,
namun mayoritas bersifat pragtis.
Tantangan ideologis di level praktis, seperti sekularisme
berkaitan dengan kolonialisme dan imperialisme, kegagalan negara Islam pasca-kolonial
yang dikendalikan oleh ideologi politik sekular. Kesenjangan ekonomi dan penindasan
terhadap Barat membuat konsep sekularisme dicurigai di berbagai masyarakat
Islam.
Sebagai konsekuensi dari reputasi buruk sekularisme
di dunia Islam adalah masyarakat yang aktif dalam politik, penolakan pemisahan terhadap
gagasan normatif terhadap agama dan negara. Demokrasi liberal membutuhkan
bentuk pandangan sekuler politik, namun pada saat bersamaan sekularisme adalah
kutukan bagi banyak kaum muslimin.[34]
Sekularisme faktanya
berbeda-beda sesuai dengan pengalaman sejarah masing-masing. Sedang menurut
Charles Tylor, tidak sepenuhnya jelas apa yang dimaksud dengan sekularisme. Mundur dan
menyusutnya praktek agama dari ruang publik dalam negara demokrasi liberal di
Barat seiring dengan kebangkitannya sistem kepercayaan alternatif.
Muslim mempunyai
alasan kuat untuk bersikap skeptis terhadap sekularisme. Krisis sekularisme di
dunia Islam saat ini sangat terkait dengan kagagalan program dan kebijakan
modernisasi. Berbeda dengan Barat, dimana modernisasi terkait dengan keadilan
sosial. Sedang masyarakat Islam, modernisasi menjadi sinonim dengan
kediktatoran, penindasan dan korupsi (ketidakadilan sosial). Khususnya peran
negara sebagai kendaraan utama di mana ide, kebijakan dan praktik sekular
dipromosikan.
Solusi terhadap
krisis sekularisme dalam masyarakat Muslim, Nader berpendapat bahwa dengan memahami
pengalaman sejarah yang berbeda antara Eropa dan dunia Islam dalam hal hubungan
antara reformulasi agama dan sekularisasi politik.
Ansary membuat
observasi, Eropa menunjukkan bahwa reformasi agama mendahului yang mengarah
pada sekularisasi, dalam masyarakat Muslim malah berkebalikkan. Fakta ini
menjelaskan kelemahan akar intlektual mengenai sekularisme dalam masyarakat
Muslim sebagai kesalahan besar tentang sekularisme dalam politik Islam yang
berlangsung saat ini.[35] Sedangkan
menurut Marshal Hodgson[36]
bahwa modernisasi dalam masyarakat Muslim, berbeda dengan Eropa, ditandai dengan
perpecahan sosial dan intelektual yang radikal.
Akar dari
permasalahan sekularisme dari pengalaman hidup aktual selama dua ratus tahun yang
lalu. Menurut William Shepard sebagai kenyataan yang mendominasi dunia Islam
adalah imperialisme Barat dalam pelbagai dimensi saat ini.
Kemunduran
sekularisme sekaligus refleksi dari kemunduran negara post-kolonial di dunia
Islam. Barat yang secara keras dan bangga menyatakan dirinya sebagai sekular
dan sering dipandang sebagai penopang rezim represif di dunia Muslim.[37] Sekularisme
makin ditolak dalam pandangan dunia pribumi dan institusional sosial dan melemahkan
citra positif sekularisme.
Religion’s way of knowing membahas mengenai masalah keagamaan, dan tidak
berurusan dengan permasalahan ilmu pengetahuan. Sedangkan science’s way of knowing lebih kepada soal materiil, masalah duniawi
keilmuan dibuktikan dengan benar-salahnya (ferifikasi dan falsifikasi) secara
empiris.
Penjelasan subject
matter dari religion’s way of knowing,
kritik saintis-sekuler menjadi tidak relevan. Memang sains lebih superior dalam
masalah dunia alamiah. Tetapi untuk dunia, dalam filsafat the meaning and the puspose of life (berkaitan dengan makna dan
tujuan hidup) sains sama sekali diam, dan tidak mengerti apa-apa.
Sekarang dapat melihat tanda-tanda bahwa sains bisa
membawa kepada hakikat wujud (kesatuan Tuhan)/ tauhid (teologi). Hal tersebut
sebagai petunjuk dan menjadi ruang pembuka hubungan yang lebih harmonis antara
sains dan Islam.[38]
Pertimbangan dan alasan yang mendorong umat Islam
untuk melakukan pengembangan dalam bidang ilmu pengetahuan yakni al-Qur’an dan
hadits mendorong manusia mengembangkan ilmu pengetahuan. Dikemukakan Fazlur
Rahman, al-Qur’an menunjukkan bahwa materi merupakan objek kajian ilmu
pengetahuan bukanlah sesuatu yang kotor dan tanpa nilai. Petunjuk-petunjuk ini
bagi umat Muslim belum dilaksakan secara optimal.
Islam di abad Klasik tidak hanya menguasai berbagai
cabang ilmu agama Islam melainkan juga mengusai ilmu pengetahuan umum/ sosial
yang belum diketahui oleh umat muslim pada umumnya dan hanya mengetahui
ilmu-ilmu agama dalam keadaan terbatas. Keadaan inilah yang menjadi terjadinya
suatu pemisahan antara islamisme dan sekuralisme.[39]
Agama Islam merupakan sebuah paradigma dengan sikap
terbuka, akomodatif, dan selektif. Sebagai mata rantai peradaban dunia dalam Islam
mewarisi peradaban selama abad ke-7 sampai 15 ketika peradaban Yunani-Romawi di
Barat, dan peradaban Persia, India, dan China di Timur merosot dan tenggelam. Sekarang
endingnya Barat mengambil alih
melalui ranaisans.[40]
Islam sejak awal telah memberi perhatian pada
keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat.[41] Saat ini adanya sebuah ketakuatan dan kekawatiran
terhadap dominasi sains dan teknologi modern serta globalisasi yang terjadi
pada golongan Islam. Sehingga terjadi adanya ekslusif agama Islam yang sekarang
menjadi penyakit.
‘Ulum al-din masa depan adalah keilmuan agama yang
terintegrasi-terinkoneksi dengan semua disiplin keilmuan. Sebaliknya jika agama
Islam tidak mau bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan termasuk keilmuan
umum, maka masa depannya tidak dapat diharapkan. Integritas ilmu-ilmu takamul al-ulum wa izdiwaj al-ma’arif; trend masa depan keilmuan Islam sebagai
bekal menghadapi era perubahan sosial. Perlu adanya pandangan sekularisasi dan fresh ijtihad menjadi bagian dari keislaman
untuk menghadapi kehidupan kontemporer. Al-turats
(masa lalu) tetap diperlukan juga diperlukan pergeseran paradigma (al-hadatsah) dalam melihat dan
memecahkan persoalan keagamaan kontemporer.[42]
Berhaluan dengan
Muhammad Imarah[43] berpendapat bahwa
sekularisme bukanlah pilihan untuk kemajuan, mereka yang berkomitmen secara
sadar atau tidak adalah peniru. Dalam buku al-Maniyya
wa Nahdatuna al-Haditha (sekularisme dan Kebangkitan Renaisans Modern),
menurutnya pandangan Islam dengan pandangan sekularisme sebagai daya tarik
sistem ideologis yang cacat. Islam merupakan alternatif superior atas
sekularisme yang menaruh perhatian pada keadilan sosial dan kepentingan publik,
sedangkan sekularisme adalah utilitarian dan berfokus pada kepentingan
individual.
Sejalan dengan
buku Islam, Secularism, and the
Philosophy of the Future, tulisan
sarjana Malaysia, Syed Naquib al-Attas, menuliskan: Islam, dari dirinya,
menolak secara total setiap penerapan konsep sekular, sekularisasi, atau
sekularisme, sebab dalam segala aspek, sekularisme sungguh tidak sesuai dan
asing terhadap Islam. Serupa dengan Yusuf Qardawi, al-Attas berpendapat bahwa
hakikat Islam dan Kristen berbeda, sehingga sekularisme dapat berkembang dalam
Kristen namun tidak dalam Islam.
Alasan
sekularisme menjadi konsep yang dicurigai oleh masyarakat Islam yakni
terjemahan kata tersebut mengonstruksi sebuah dikotomi, erat dengan
otoritarianisme politik, kegagalan perkembangan dan represi negara
post-kolonial, kebijakan domestik dan asing dari kekuatan Barat dianggap
negatif.[44]
Menurut
Nurcholish Madjid, kelesuan intelektual yang melanda umat Muslim adalah
ketidakmampuan membedakan antara nilai-nilai yang transendental dari yang
temporal. Kritiknya dalam melihat segala nilai membuat tidak mampu merespon
dengan baik terhadap perkembangan pemikiran di dunia saat ini dan secara intelektual
tidak siap untuk mengadapi tantangan dunia modern.
Solusinya yaitu
temporalisasi nilai-nilai yang memang sebernarnya duniawi, dan membebaskan umat
dari kecenderungan untuk menspiritualisasikannya. Pemikiran kreatif dan
mengolah kesiapan mental untuk menguji dan menguji kembali kebenaran suatu
nilai dalam menghadapi fakta materi, moral atau historis dapat menjadi karakter
umat Islam.[45]
Sedang menurut Fazlur Rahman, kemunculan
sekularisme dalam dunia Islam karena kemandegan pemikiran Islam secara umum dan
tradisi filsafat Islam yang telah mati setelah diserang bertubi-tubi oleh
al-Ghazali pada abad ke-12,[46]
secara khusus karena kegagalan syariat dan institusi agama dalam mengembangkan
dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang berubah dan sekularisme
menghancurkan kesucian dan universalitas (transcendence) nilai-nilai moral. [47]
III.
KESIMPULAN
Dari
beberapa pendapat mengenai pengertian sekuler, sekularisme, dan sekularisasi
pada dasarnya mempunyai kemiripan dari segi historitas Barat (Eropa) yakni pemisahan
antara negara dengan agama sebagai pembaharuan agar tidak terjadi suatu benturan.
Faktanya sekularisme memiliki pengertian dan penolakan serta penerimaan sesuai
dengan kondisi historis dan tingkat intelektualitasnya masing-masing tempat.
Dari sejarah peradaban Islam pada masa keemasan
tidak ada pemisahan sekularisme dan agama, tidak sekarang ini yang mengalami
kemandegan intelektualitas yang menjadi perdebatan panjang antara yang menerima
dan menolak. Sedangkan pengalaman Eropa merupakan hasil
pembaharuan keagamaan yang tidak berkembang.
Inti
dari permasalahan sekularisme bagi dunia Islam yakni pada nilai sejarahnya yang
dilakukan oleh Barat terhadap negara-negara Islam sebagai akibat ketidakadilan
dari berbagai dimensi sosial.
Bagi
mereka yang menerima, berpendapat bahwa tidak adanya kemampuan membedakan
antara nilai yang transendental dari yang temporal yang secara intelektual
tidak mampu merespon tantangan dunia modern.
IV.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan
secermat-cermatnya. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Tak ada gading yang tak retak. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan penulis
demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan
sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Amin. 2015. Islam Nusantara: Dari Ushul
Fiqh hingga Paham Kebangsaan, pada
bab Fikih dan Kalam Sosial Era
Kontemporer (Perjumpaan Ulum al-Din dan Sains
Modern menuju Fresh Ijtihad).
Bandung: Mizan Pustaka.
Abdullah,
M. Amin. 2002. Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas?. Cet. III, Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar (Anggota IKAPI).
Abdullah, Yatimin. 2004. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah.
Anshari,
Endang Saefuddin. 2004. Wawasan Islam:
Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma
dan Sistem Islam.
Jakarta: Gema Insani.
Baedowi,
Jajat Burhanudin dan Ahmad. 2003. Transformasi
Otoritas Keagamaan:
Pengalaman Islam Indonesia.
Jakarta: PT. Sun.
Fambudi,
Masykur Rozi dan Dian Isti. 2014. Sebuah
Bunga Rampai: Meneruskan Intektual
Khazanah Klasik.
Semarang: tp.
Hashemi,
Nader. 2010. Islam, Sekularisme, dan
Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi
dalam Masyarakat Muslim.
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Husaini,
Adian. 2005. Pluralisme Agama: Haram,
Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak
Kontroversial. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Jabiri,
Muhammad Abid. 2001. Agama, Negara, dan
Penerapan Syariah. Yogyakarta: Fajar
Pustaka
Baru.
Kuntowijoyo.
1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya.
Al-Kylani,
Ismail. 1993. Sekularisme: Upaya
Memisahkan Agama dari Negara. Jakarta:
Pustaka
Al-Kautsar.
M.
Syukri Ismail, Jurnal Kontektualita, Vol. 29, No. 1, Kritik terhadap Sekularisme Pandangan
Yusuf
Qardhawi. 2014.
Mahendra,
Yusril Ihza. 1999. Modernisme dan
Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi
(Indonesia) dan Partai Jama’at at-i-Islami (Pakistan).
Jakarta:
Paramadina.
Maksun.
2014. Negara Syari’ah Modern: Telaah
Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im.
Semarang: Lembaga Studi
Sosial dan Agama (eLSA) Pers.
An-Na’im,
Abdullah Ahmed. 2007. Islam dan Negara
sekular: Menegosiasikan Masa Depan
Syariah.
Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional. Bandung:
Mizan.
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Qassem,
Naim. 2008. Blueprint Hizbullah: Rahasia
Manajemen Ormas Islam Tersukses di
Dunia.
Jakarta: Ufuk Press.
Al
Qurtuby, Sumanto. 2011. Islam
Postliberal: Agama, Kebebasan, dan Kemanusiaan.
Semarang:
Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Pers.
Rahman,
Budhy Munawar. 2004. Islam Pluralis:
Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta:
PT. Raja Grafindo
Persada.
Rais,
M. Amien, ed. 1992. Islam di Indonesia:
Suatu Ikhtiar Mengaca Diri. Cet. III, Jakarta:
CV. Rajawali Pers.
Saoki, Jurnal al Daulah, Vol. 4 No. 2, Hukum dan Perundangan Islam, 2014
Sirozi,
M., dkk. 2013. Arah Baru Studi Islam di
Indonesia: Teori dan Metodologi. Cet. II,
Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Sutrisno.
2006. Fazlur Rahman: Kajian terhadap
Metode, Epistemologi, dan Sistem
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thoha,
Anis Malik. 2007. Tren Pluralisme Agama:
Tinjauan Kritis. Cet. III, Jakarta: Perspektif
Kelompok Gema Insani.
Tsuwaibah.
2014. Epistemologi Unity of Science Ibn
Sina: Kajian Integrasi Keilmuan Ibn Sina
dalam Kitab Asy-Syifa Juz I dan
Relevansinya dengan Unity of Science IAIN Walisongo (UIN
Walisongo -red). Semarang: LP2M.
[1] Masykur Rozi dan Dian Isti
Fambudi, Sebuah Bunga Rampai: Meneruskan
Intektual Khazanah Klasik, (Semarang: tp., 2014), hlm. 4-5.
[2] Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara sekular: Menegosiasikan
Masa Depan Syariah, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 60-63.
[3] Harun Nasution, Islam
Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188-189.
[4] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim, (Jakarta, PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2010), hlm.174-175.
[5] Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara sekular: Menegosiasikan
Masa Depan Syariah,... , hlm. 333-334.
[6] Ismail Al-Kylani, Sekularisme: Upaya Memisahkan Agama dari
Negara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), hlm. 211.
[7] Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman,... , hlm. 28.
[8] Saoki, Jurnal al Daulah, Vol. 4
No. 2, Hukum dan Perundangan Islam,
2014, hlm. 363.
[9] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 255.
[10] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 252-258.
[11] Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara sekular: Menegosiasikan
Masa Depan Syariah,... , hlm. 63.
[12] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis,
(Cet. III, Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2007), hlm. 133-137.
[13] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 235.
[14] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 25-30.
[15] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 209.
[16] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 1987), hlm. 10.
[17] Naim Qassem, Blueprint Hizbullah: Rahasia Manajemen Ormas
Islam Tersukses di Dunia, (Jakarta: Ufuk Press, 2008), hlm. 38.
[18] M. Sirozi, dkk., Arah Baru Studi Islam di Indonesia: Teori
dan Metodologi, (Cet. II, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 44-45.
[19] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 2.
[20] Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 104.
[21] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,
(Cet. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), 2002), hlm. 189-190.
[22] Tsuwaibah, Epistemologi Unity of Science Ibn Sina: Kajian Integrasi Keilmuan Ibn
Sina dalam Kitab Asy-Syifa Juz I dan Relevansinya dengan Unity of Science IAIN
Walisongo (UIN Walisongo -red), (Semarang: LP2M, 2014), hlm. 1-2.
[23] M. Amien Rais, ed., Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca
Diri, (Cet. III, Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992), hlm. 9-10.
[24] Jajat Burhanudin dan Ahmad
Baedowi, Transformasi Otoritas Keagamaan:
Pengalaman Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Sun, 2003), hlm. 171.
[25] Istilah kaum fanatikus agama
untuk menyebut kebudayaan sekuler dan rasional.
[26] Sumanto Al Qurtuby, Islam Postliberal: Agama, Kebebasan, dan
Kemanusiaan, (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Pers, 2011),
hlm. 142-143.
[27] Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang
Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 184.
[28] Maksun, Negara Syari’ah Modern: Telaah Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im,
(Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Pers, 2014), hlm. 48-55.
[29] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik
Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at at-i-Islami
(Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 30.
[30] M. Syukri Ismail, Jurnal
Kontektualita, Vol. 29, No. 1, Kritik
terhadap Sekularisme Pandangan Yusuf Qardhawi, 2014, hlm. 90.
[31] Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang
Tegas dan Tidak Kontroversial, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm.
2-4. Fatwa MUI tersebut ditetapkan di Jakarta, 22 Juli 2005.
[32] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 173-187.
[33] Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. IX-X.
[34] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 27.
[35] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 222.
[36] Sejarawan dunia terkemuka dan
ahli Islam.
[37] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 217-227.
[38] Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman,... , hlm 206-207.
[39] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 361-362.
[40] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta:
Amzah, 2004), hlm. 158-161.
[41] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer,... , hlm. 156.
[42] Amin Abdullah, Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga
Paham Kebangsaan, pada bab Fikih dan Kalam Sosial Era Kontemporer (Perjumpaan
Ulum al-Din dan Sains Modern menuju Fresh Ijtihad), (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), hlm. 69.
[43] Seorang ahli hukum Mesir dan
intelektual Islam moderat.
[44] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 232-235.
[45] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 253.
[46] Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem
Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 78.
[47] M. Syukri Ismail, Kritik terhadap Sekularisme Pandangan Yusuf
Qardhawi,... ,hlm. 87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar