Ayo Sinau...!!!

Kamis, 20 April 2017

Makalah Perkembangan Pemikiran Islam: Hubungan antara Islam dan Sekularisasi

HUBUNGAN ANTARA ISLAM DAN SEKULARISASI

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad



I.         PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Aristoteles pernah mengatakan waktu adalah sesuatu yang dihitung, bukan dijumlah. Senada dengan pendapat Heraklitus, seseorang yang terjun di dalam aliran sungai tidak dapat terjun kembali di aliran yang sama.[1] Sebagaimana perjalanan waktu mewakili evolusi manusia dari awal peradaban yang terus berlangsung. Keadaan dinamis yang menjadi ide-ide dasar yang mempengaruhi gerak pikir manusia.
Dalam hal ini berkaitan erat hubungannya dengan Islam dan sekularisasi sebagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang sekaligus tidak dapat disahkan dari peradaban zaman yang terus bergerak maju.
Di lihat dari historisnya, Barat mengawali sekularisasi berawal dari revolusi agama, sebaliknya di dunia Islam khususnya di Timur, sekularisasi sebagai fobia yang berakibat banyak pandangan pro dan kontra, khususnya antara cendekiawan Muslim dan nasionalis sekuler.
Mereka yang mendukung sekularisme dalam suatu negara, berdalih bahwa sekularisasi sebagai bentuk kemajuan dunia modern yang tidak dapat terelakkan. Sedang mereka yang kontra, lebih pada pemisahan dan mengesampingkan agama dan ketakutan sejarah Barat (sekuler) di Timur sebagai akibat kolonialisme dan imperialisme.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan sejarah hubungan Islam dan Sekularisasi ?
2.      Bagaimana perkembangan hubungan antara Islam dan Sekularisasi ?
3.      Bagaimana inti permasalahan antara Islam dan Sekularisasi ?
II.      PEMBAHASAN
A.     Pengertian dan Sejarah Hubungan Islam dan Sekularisasi
Kata “sekuler” (bahasa Inggris) berasal dari kata Latin saeculum yang artinya “periode besar waktu” atau “spirit zaman”. Kemudian maknanya berubah menjadi “dunia ini” yang berarti ada lebih dari satu dunia. Istilah ini akhirnya diterjemahkan menjadi konsep “sekular” dan “religius” yang berasal dari ide temporal dan spiritual. Berkembang dalam konteks Eropa dari sekularisasi dalam artian privatisasi wilayah-wilayah keagamaan, hingga sekularisasi politik, seni dan ekonomi.
­­Dalam kamus Webster sekularisasi diartikan sebagai penolakan atau pengasingan agama atau pertimbangan-pertimbangan keagamaan. Sedangkan The Short Oxford Dictionary: sekularisasi sebagai doktrin bahwa moralitas seharusnya semata-mata didasarkan pada penghargaan atas umat manusia dalam kehidupan sekarang ini, dengan membuang semua pertimbangan yang diambil dari keyakinan pada Tuhan atau pada akhirat.[2] Kemudian istilah ini digunakan untuk menandakan kemunduran agama, kehidupan masa kini, pemisahan dan pembedaan masyarakat dari agama, transposisi keyakinan dan institusi agama, desakralisasi dunia, serta sakralisasi akal pikiran.
Sekularisme menurut Harvey Cox dan John Keane (abad ke-16) merupakan ideologi yang mengandung ajaran yang mengikat menyerupai agama baru yang mempunyai sifat terbuka dan kebebasan. Bersifat dinamis dan membawa kepada perubahan dan pembaruan serta tidak semua sekularisasi mengandung arti ideologi.[3] Secara sosiologis berkaitan dengan modernisasi: sebuah proses bertahap yang menuju pada penurunan pengaruh agama dalam institusi-institusi sosial, kehidupan masyarakat dan hubungan antarmanusia.
Talal Asad, kajian antropologisnya menuliskan sekularisme dan sekularis diperkenalkan oleh para pemikir liberal untuk menghindari tuduhan atheisme yang dianggap imoralitas dalam masyarakat agamis. Dalam bukunya Jacob, Prinsip-prinsip Sekularisme (The Principles of Secularism), sekularisme adalah tentang kajian tentang upaya mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alat-alat material.
Nikki Keddie merinci cara sekularisasi sebagai peningkatan jumlah orang dengan kepercayaan dan tindakan sekuler, penurunan pengaruh agama terhadap kehidupan, dan pemisahan negara dari agama serta dalam pengaturan yang sekuler.[4] terhadap lembaga dan adat-istiadat yang sebelumnya sudah tertata dan bersifat keagamaan.
Sekularisme apabila dimaknai sebagai pemisahan agama dan negara, tidak sanggup memenuhi tuntutan kolektif kebijakan publik yang tidak memberikan pedoman yang cukup bagi warga negara dalam membuat pilihan personal yang penting dalam kehidupan pribadi atau publiknya.
Negosiasi antara sekuralisme dan kerangka religius, kultural, dan etis tidak dapat diprediksi, melibatkan faktor dan aktor yang menjadi bahan perdebatan dan perubahan, kemudian proses tersebut harus diinisiasi dan dipromosikan. Strategi dan paradigma yang beragam diterapkan untuk meningkatkan ruang public reason antara sekular dan religius.
Dr. Asghar Ali Engineer dalam proyek reformasinya di India, mengombinasikan pemahaman atas Islam dengan dukungan penuh terhadap nilai-nilai sekularisme dan harmonisasi hubungan antaragama yang menekankan fakta bahwa al-Qur’an terbuka pada berbagai makna. Dikondisikan dalam konteks sosio-kultural tempat mufasir berada. Membedakan nilai normatif dengan aspek khusus yang kontekstual hanya berlaku pada masanya dan menentang gagasan budaya islami yang murni.[5]
Di Barat, sekularisme bertujuan untuk memisahkan negara dari gereja agar tidak terjadi benturan, sekularisme tidak dimaksudkan untuk menghancurkan nilai-nilai agama. Sedangkan dalam dunia Islam sengaja disusupkan oleh imperalis Barat.[6] Meregional dan menasionalkan dunia Islam sehingga persatuan kaum muslimin terpecah dengan pemahaman Barat dan sebagai prinsip yang dipraktekkan dalam masyarakat.
Sedangkan di Indonesia akar sekularisme dapat ditelusuri pada masa kolonialisme Belanda dan perjuangan kemerdekaan. Permasalahan mengenai dasar filosofis negara, satu kelompok nasionalis agama mengklaim bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim dan Islam harus menjadi agama resmi negara. Di pihak lain terdapat penolakkan kelompok nasionalis sekular yang memisahkan agama dan negara dengan alasan akan terjadi perpecahan kesatuan rakyat Indonesia.
Pemikir di Indonesia yang pertama kali mencetuskan sekularisme sebagai persatuan dalam keragaman sebagai kunci keberhasilan perjuangan mencapai kemerdekaan adalah Bung Karno.[7] Saoki dalam jurnalnya diambil dari pendapat Gus Dur: Hukum dan perundangan Islam, antara agama dan negara harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya, dan seharusnya Islam dijadikan sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara bukan landasan ideologi.[8]
Nurcholish Madjid dalam teminologinya, sekuralisasi disebut sebagai proses pembebasan. Membedakan sekularisasi sebagai proses sosiologi yang membantu pemahaman rasional atas dunia dari ideologi yang anti agama dan perlunya reformasi Islam. Sekularisasi yakni bentuk perkembangan yang membebaskan bukan sebagai penerapan sekularisme melainkan pandangan dunia tertutup dan transformasi Muslim menjadi sekular.[9] Proses yang mengarah pada pembebasan pikiran dari kendala ideologis dan mengevaluasi kembali pikiran agama dan praktik serta ideologi asing yang bermusuhan dengan agama harus dihindari.
Sekularisme politik tetap kuat di Indonesia, pancasila yang telah membantu mendamaikan ketegangan antara agama dan negara (sekuler). Azurmardi Azra menyebut pancasila sebagai sekularisme ramah agama. Pribumisasi sekularisme dan pengakuan terhadap HAM merupakan faktor kunci dalam menjelaskan konstribusi Islam bagi perkembangan politik masyarakat. [10]

B.     Perkembangan Hubungan antara Islam dan Sekularisasi
Sekularisme adalah konsep multidimensional yang menggambarkan elemen-elemen lanskap sejarah, politik, sosial, dan ekonomi suatu negara. Lebih mempertimbangkan dimensi keagamaan dalam kehidupan komunitas lokal yang telah terbentuk sebelumnya[11] daripada dilihat sebagai usaha untuk memaksakan suatu gagasan yang belum tentu diterima oleh masyarakat.
Dalam kerangka proses sekularisasi maka teori dan gagasan pluralisme agama merupakan salah satu bagian atau mekanisme, keduanya saling mempengaruhi secara simbiosis antara sekularisme dan teori-teori pluralisme agama. Dari perspektif agama, menurut Bryan Wilson dalam bukunya Secularization: Religion in the Modern World, menuliskan satu-satunya karakter dunia modern yang paling penting adalah sekularitasnya.[12]
Artikel The Challenge of Secularization oleh Filali Ansary menuliskan bahwa di dunia Islam, sekularisasi mendahului reformasi agama, kebalikan dari pengalaman Eropa[13] sebagai hasil pembaharuan keagamaan. Memahami lemahnya akar intelektual sekularisme di dunia Islam diketahui dari hubungan antara pembaharuan keagamaan dengan sekularisasi.
Pandangan Akeel Bagrami bahwa di Timur sekularisme harus diperbolehkan melalui proses, bukan sesuatu yang diamsusikan sejak awal, sebagaimana pengalaman sejarah yang dilihat sebagai ideologi penindas. Upaya menghilangkan persepsi ini mengharuskan kelompok dan cendekiawan Islam secara moral terlibat dalam topik sekularisme.
Islam yang sehat dan berkembang penting untuk mewujud, tidak hanya Muslim tetapi seluruh dunia. Masyarakat Muslim memahami sekularisme dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan dan prasyarat pembangunan demokrasi liberal[14] dalam membentuk norma-norma politik di dunia Islam. Menurut Alfred Stepan, apabila batas agama dan negara lebih cair dengan menunjukkan kejelasan dapat diperoleh dengan menggeser perhatian dari konsep yang ambigus dan penuh emosi dengan menggantinya dengan istilah “toleransi kembar”.[15]
Menurut Dr. Kuntowijoyo, masa sekarang sedang terjadi transformasi sosial-budaya yang menyentuh sampai akar terbawah. Reaksinya memunculkan kecenderungan spiritual[16] memungkinkan kelompok agama memainkan peran yang konstruktif dalam pengembangan demokrasi dan perlindungan atas hak asasi manusia.
Islam telah dalam menetapkan aturan yang tepat dan permanen di segala zaman guna melayani kebutuhan manusia dalam menyesuaikan diri dengan setiap tempat dan zaman[17] dengan batas-batas tertentu.
Agama Islam tidak hanya sekedar lambang keshalehan atau ajaran-ajaran melangit,[18] juga harus bisa menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah yang timbul di masyarakat sebagai tuntutan mengingat kehadiran agama yang dihadapi oleh umat manusia.
Secara normatif, sekulerisme tidak boleh dipaksakan oleh negara terhadap masyarakat, tetapi harus muncul dari bawah ke atas (botton-up), berasal dari dalam masyarakat berdasarkan negosiasi yang demokratis mengenai peran agama yang tepat dalam politik.[19] Tradisi agama tidak lahir dengan konsepsi politik yang demokratis dan sekuler. Ide dibangun secara sosial, sekularisme menjadi terpribumisasi sebagai bagian dari budaya politik yang diterima.
Sekularisme terkait dengan masalah hak-hak kaum minoritas keagamaan, khususnya mereka agar tidak diperintah berdasarkan agama mayoritas. Jadi dalam konteks ini, membangun negara berdasarkan prinsip demokrasi rasional, bukan hegemoni keagamaan.[20]
Pola pemikiran Islam tradisional yang lebih menekankan kolektivisme berakibat lambannya mengambil langkah penyesuaian dengan perubahan zaman dan daya penyerapan tata aturan pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan.[21]
Tidak hanya masalah negara saja, proses dialog antara ilmu keislaman dengan sains merupakan sebuah keharusan, memunculkan wacana islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar, Ismail Raji al-Faruqi, dan Fazlur Rahman. Menurut Ian G. Barbour, antara sains dan agama terdapat varian hubungan; konflik, independensi, dialog, dan integrasi.[22] Melalui dialoglah antara sains dan agama dapat menyatu pada masa sekarang.
Seperti yang dikatakan Amien Rais, proses alih-ilmu dan teknologi, secara beriringan juga transfer of values, cara berfikir Barat. Akibat gerakan sekularisasi tumbuhlah cara berfikir yang meletakkan ilmu dalam posisi yang bertentangan dengan agama.[23] Peradaban Islam pernah mengalami masa keemasan  pada era ilmu modern dan agama tanpa pemisahan. Sebenarnya proses alih ilmu dan teknologi tidak harus alih pandangan dan berfikir cara Barat. Ironinya kebanyakan cendekiawan Muslim yang mempunyai latarbekalang pendidikan agama berfikir dengan cara demikian.
Menurut Faruqi, islamisasi ilmu memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern sekuler yang religiusitas dalam sebuah model yang utuh. Adanya penguasaan, pembangunan, dan pemaduan disiplin ilmu modern dan khazanah warisan Islam secara kreatif, dan pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.
Masyarakat Muslim yang memegang prinsip-prinsip dasar Islam, membutuhkan pola pikir ilmiah untuk dapat menjamin kelangsungan kehidupannya. Sedangkan para ilmuan (non-Muslim) yang berfikir demonstratif, progresif, logis, dan dinamis pada suatu saat akan menghadapi realitas ontologis (being in the world) yang tidak cukup dipecahkan dengan ilmu pengetahuan saja. Sehingga manusia membutuhkan guiding principle yang mendasar.
Contoh sifat inklusifisme Ponpes Pabean, keterbukaan untuk menerima gagasan-gagasan modernisasi dari luar yang kemudian disublimasikan sebagai ibadah.[24] Tidak cukup hanya mempelajari ilmu-ilmu agama saja tetapi ilmu umum juga sebagai penunjang seiring dengan perkembangan zaman.
Proses sekularisasi dan rasionalisasi justru semakin menyuburkan praktek spiritualisasi dan mistifikasi pada diri umat beragama. Semakin kuat serbuan arus dua anak kandung modernitas (sekularisasi dan rasionalisasi) maka semakin kuat mekanisme pertahanan untuk membentengi dari kebudayaan setan.[25] Bersinggungan dengan pendapat S. Al-Qurtuby bahwa modernitas adalah sejenis eksorsisme metafisis (istilah dari Ulil Abshar-Abdalla) atau pengusiran roh agama dari dunia, telah membawa sejumlah konsekuensi yang bersifat sekuler, yakni merosotnya agama dan lembaga keagamaan sebagai orientasi nilai dalam kehidupan sosial.[26]
Islam dapat sejalan dengan sekularisme dalam memperhatikan masalah duniawi. Akan tetapi, Islam secara prinsip menolak sekularisme yang secara sadar memalingkan muka dari agama.[27] Banyak umat Islam menolak sekularisasi secara ideologi karena proses yang membawa orang, golongan, atau masyarakat semata-mata berhalauan dunia. Di sisi lain, Islam adalah agama harmoni, agama keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Islam tidak mengakui tembok pemisah antara spiritual dan temporal, melainkan sudah diatur dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam perkembangannya, karakteristik pemikiran Islam masih dalam tarik-menarik antara tiga kelompok yakni integralistik, sekularistik, dan simbolik[28] yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Menurut kaum modernis perubahan adalah sunnatullah yang berlaku terhadap hambaNya dengan warisan sejarah dan tradisi Islam. Zaman ini pun dengan sendirinya tidak dapat mengikat pada generasi kaum Muslim yang hidup kemudian.[29]
Ismail dalam jurnalnya menuliskan dari pandangan Yusuf Qardhawi, bahwa sekularisasi tidak dikenal dalam warisan Islam. Karena pemisahan agama dan non agama adalah pemisahan yang tidak ada akarnya dalam tradisi Islam[30] yang secara prinsip Islam adalah agama yang seimbang.

C.     Inti Permasalahan antara Islam dan Sekularisasi
Sebagaimana fatwa yang ditetapkan oleh MUI tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama, ketentetuan umum; mengatakan sekularisme adalah memisahkan urusan duniawi dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan dengan manusia diatur dengan berdasarkan kesepakatan sosial. Sedangkan ketentuan hukum, mengatakan bahwa sekularisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan umat muslim haram mengikutinya.[31]
Adanya sumber konflik yakni klaim dogmatis agama dan sekte bahwa hanya mereka sendiri yang memiliki satu-satunya kebenaran multak dan pembungkaman segala bentuk skeptisme dalam hal keyakinan. Masuknya seorang dalam komunitas agama sering menuntut internalisasi dari kebenarannya yang suci dan absolut.[32]
Agama tetap kukuh di tengah kritik sains modern yang begitu keras (tough minded), kebutuhan akan the meaning and the purpose of life, dari sudut pandang perennial phisolophy, menjadi alasan mengapa diturunkannya agama yang mempunyai grand narrative terutama mengenai keselamatan, kebahagiaan, dan kesengsaraan manusia di dunia dan akhirat.
Pandangan inklusif mengarah kepada pluralis, agama mempunyai peranan besar dan penting di masa depan. Ditulis oleh Knitter bahwa liberalisme di kalangan ahli agama merupakan perkembangan yang sangat baik dan saling memahami[33] dalam mengenal sekularisme.
Sekularisme dalam penolakannya di berbagai masyarakat Islam. Sebagian bersifat teoritis bahwa secara doktrinal dan historis, Islam berbeda dengan Kristen, tidak kompatibel dengan sekularisme, namun mayoritas bersifat pragtis.
Tantangan ideologis di level praktis, seperti sekularisme berkaitan dengan kolonialisme dan imperialisme, kegagalan negara Islam pasca-kolonial yang dikendalikan oleh ideologi politik sekular. Kesenjangan ekonomi dan penindasan terhadap Barat membuat konsep sekularisme dicurigai di berbagai masyarakat Islam.
Sebagai konsekuensi dari reputasi buruk sekularisme di dunia Islam adalah masyarakat yang aktif dalam politik, penolakan pemisahan terhadap gagasan normatif terhadap agama dan negara. Demokrasi liberal membutuhkan bentuk pandangan sekuler politik, namun pada saat bersamaan sekularisme adalah kutukan bagi banyak kaum muslimin.[34]
Sekularisme faktanya berbeda-beda sesuai dengan pengalaman sejarah masing-masing. Sedang menurut Charles Tylor, tidak sepenuhnya jelas apa yang dimaksud dengan sekularisme. Mundur dan menyusutnya praktek agama dari ruang publik dalam negara demokrasi liberal di Barat seiring dengan kebangkitannya sistem kepercayaan alternatif.
Muslim mempunyai alasan kuat untuk bersikap skeptis terhadap sekularisme. Krisis sekularisme di dunia Islam saat ini sangat terkait dengan kagagalan program dan kebijakan modernisasi. Berbeda dengan Barat, dimana modernisasi terkait dengan keadilan sosial. Sedang masyarakat Islam, modernisasi menjadi sinonim dengan kediktatoran, penindasan dan korupsi (ketidakadilan sosial). Khususnya peran negara sebagai kendaraan utama di mana ide, kebijakan dan praktik sekular dipromosikan.
Solusi terhadap krisis sekularisme dalam masyarakat Muslim, Nader berpendapat bahwa dengan memahami pengalaman sejarah yang berbeda antara Eropa dan dunia Islam dalam hal hubungan antara reformulasi agama dan sekularisasi politik.
Ansary membuat observasi, Eropa menunjukkan bahwa reformasi agama mendahului yang mengarah pada sekularisasi, dalam masyarakat Muslim malah berkebalikkan. Fakta ini menjelaskan kelemahan akar intlektual mengenai sekularisme dalam masyarakat Muslim sebagai kesalahan besar tentang sekularisme dalam politik Islam yang berlangsung saat ini.[35] Sedangkan menurut Marshal Hodgson[36] bahwa modernisasi dalam masyarakat Muslim, berbeda dengan Eropa, ditandai dengan perpecahan sosial dan intelektual yang radikal.
Akar dari permasalahan sekularisme dari pengalaman hidup aktual selama dua ratus tahun yang lalu. Menurut William Shepard sebagai kenyataan yang mendominasi dunia Islam adalah imperialisme Barat dalam pelbagai dimensi saat ini.
Kemunduran sekularisme sekaligus refleksi dari kemunduran negara post-kolonial di dunia Islam. Barat yang secara keras dan bangga menyatakan dirinya sebagai sekular dan sering dipandang sebagai penopang rezim represif di dunia Muslim.[37] Sekularisme makin ditolak dalam pandangan dunia pribumi dan institusional sosial dan melemahkan citra positif sekularisme.
Religion’s way of knowing membahas mengenai masalah keagamaan, dan tidak berurusan dengan permasalahan ilmu pengetahuan. Sedangkan science’s way of knowing lebih kepada soal materiil, masalah duniawi keilmuan dibuktikan dengan benar-salahnya (ferifikasi dan falsifikasi) secara empiris.
Penjelasan subject matter dari religion’s way of knowing, kritik saintis-sekuler menjadi tidak relevan. Memang sains lebih superior dalam masalah dunia alamiah. Tetapi untuk dunia, dalam filsafat the meaning and the puspose of life (berkaitan dengan makna dan tujuan hidup) sains sama sekali diam, dan tidak mengerti apa-apa.
Sekarang dapat melihat tanda-tanda bahwa sains bisa membawa kepada hakikat wujud (kesatuan Tuhan)/ tauhid (teologi). Hal tersebut sebagai petunjuk dan menjadi ruang pembuka hubungan yang lebih harmonis antara sains dan Islam.[38]
Pertimbangan dan alasan yang mendorong umat Islam untuk melakukan pengembangan dalam bidang ilmu pengetahuan yakni al-Qur’an dan hadits mendorong manusia mengembangkan ilmu pengetahuan. Dikemukakan Fazlur Rahman, al-Qur’an menunjukkan bahwa materi merupakan objek kajian ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang kotor dan tanpa nilai. Petunjuk-petunjuk ini bagi umat Muslim belum dilaksakan secara optimal.
Islam di abad Klasik tidak hanya menguasai berbagai cabang ilmu agama Islam melainkan juga mengusai ilmu pengetahuan umum/ sosial yang belum diketahui oleh umat muslim pada umumnya dan hanya mengetahui ilmu-ilmu agama dalam keadaan terbatas. Keadaan inilah yang menjadi terjadinya suatu pemisahan antara islamisme dan sekuralisme.[39]
Agama Islam merupakan sebuah paradigma dengan sikap terbuka, akomodatif, dan selektif. Sebagai mata rantai peradaban dunia dalam Islam mewarisi peradaban selama abad ke-7 sampai 15 ketika peradaban Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban Persia, India, dan China di Timur merosot dan tenggelam. Sekarang endingnya Barat mengambil alih melalui ranaisans.[40]
Islam sejak awal telah memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat.[41] Saat ini adanya sebuah ketakuatan dan kekawatiran terhadap dominasi sains dan teknologi modern serta globalisasi yang terjadi pada golongan Islam. Sehingga terjadi adanya ekslusif agama Islam yang sekarang menjadi penyakit.
‘Ulum al-din masa depan adalah keilmuan agama yang terintegrasi-terinkoneksi dengan semua disiplin keilmuan. Sebaliknya jika agama Islam tidak mau bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan termasuk keilmuan umum, maka masa depannya tidak dapat diharapkan. Integritas ilmu-ilmu takamul al-ulum wa izdiwaj al-ma’arif; trend masa depan keilmuan Islam sebagai bekal menghadapi era perubahan sosial. Perlu adanya pandangan sekularisasi dan fresh ijtihad menjadi bagian dari keislaman untuk menghadapi kehidupan kontemporer. Al-turats (masa lalu) tetap diperlukan juga diperlukan pergeseran paradigma (al-hadatsah) dalam melihat dan memecahkan persoalan keagamaan kontemporer.[42]
Berhaluan dengan Muhammad Imarah[43] berpendapat bahwa sekularisme bukanlah pilihan untuk kemajuan, mereka yang berkomitmen secara sadar atau tidak adalah peniru. Dalam buku al-Maniyya wa Nahdatuna al-Haditha (sekularisme dan Kebangkitan Renaisans Modern), menurutnya pandangan Islam dengan pandangan sekularisme sebagai daya tarik sistem ideologis yang cacat. Islam merupakan alternatif superior atas sekularisme yang menaruh perhatian pada keadilan sosial dan kepentingan publik, sedangkan sekularisme adalah utilitarian dan berfokus pada kepentingan individual.
Sejalan dengan buku Islam, Secularism, and the Philosophy of the Future, tulisan sarjana Malaysia, Syed Naquib al-Attas, menuliskan: Islam, dari dirinya, menolak secara total setiap penerapan konsep sekular, sekularisasi, atau sekularisme, sebab dalam segala aspek, sekularisme sungguh tidak sesuai dan asing terhadap Islam. Serupa dengan Yusuf Qardawi, al-Attas berpendapat bahwa hakikat Islam dan Kristen berbeda, sehingga sekularisme dapat berkembang dalam Kristen namun tidak dalam Islam.
Alasan sekularisme menjadi konsep yang dicurigai oleh masyarakat Islam yakni terjemahan kata tersebut mengonstruksi sebuah dikotomi, erat dengan otoritarianisme politik, kegagalan perkembangan dan represi negara post-kolonial, kebijakan domestik dan asing dari kekuatan Barat dianggap negatif.[44]
Menurut Nurcholish Madjid, kelesuan intelektual yang melanda umat Muslim adalah ketidakmampuan membedakan antara nilai-nilai yang transendental dari yang temporal. Kritiknya dalam melihat segala nilai membuat tidak mampu merespon dengan baik terhadap perkembangan pemikiran di dunia saat ini dan secara intelektual tidak siap untuk mengadapi tantangan dunia modern.
Solusinya yaitu temporalisasi nilai-nilai yang memang sebernarnya duniawi, dan membebaskan umat dari kecenderungan untuk menspiritualisasikannya. Pemikiran kreatif dan mengolah kesiapan mental untuk menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai dalam menghadapi fakta materi, moral atau historis dapat menjadi karakter umat Islam.[45]
Sedang menurut Fazlur Rahman, kemunculan sekularisme dalam dunia Islam karena kemandegan pemikiran Islam secara umum dan tradisi filsafat Islam yang telah mati setelah diserang bertubi-tubi oleh al-Ghazali pada abad ke-12,[46] secara khusus karena kegagalan syariat dan institusi agama dalam mengembangkan dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang berubah dan sekularisme menghancurkan kesucian dan universalitas (transcendence) nilai-nilai moral. [47]

III.   KESIMPULAN
Dari beberapa pendapat mengenai pengertian sekuler, sekularisme, dan sekularisasi pada dasarnya mempunyai kemiripan dari segi historitas Barat (Eropa) yakni pemisahan antara negara dengan agama sebagai pembaharuan agar tidak terjadi suatu benturan. Faktanya sekularisme memiliki pengertian dan penolakan serta penerimaan sesuai dengan kondisi historis dan tingkat intelektualitasnya masing-masing tempat.
Dari sejarah peradaban Islam pada masa keemasan tidak ada pemisahan sekularisme dan agama, tidak sekarang ini yang mengalami kemandegan intelektualitas yang menjadi perdebatan panjang antara yang menerima dan menolak. Sedangkan pengalaman Eropa merupakan hasil pembaharuan keagamaan yang tidak berkembang.
Inti dari permasalahan sekularisme bagi dunia Islam yakni pada nilai sejarahnya yang dilakukan oleh Barat terhadap negara-negara Islam sebagai akibat ketidakadilan dari berbagai dimensi sosial.
Bagi mereka yang menerima, berpendapat bahwa tidak adanya kemampuan membedakan antara nilai yang transendental dari yang temporal yang secara intelektual tidak mampu merespon tantangan dunia modern.
IV.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan secermat-cermatnya. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan penulis demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 2015. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, pada
bab Fikih dan Kalam Sosial Era Kontemporer (Perjumpaan Ulum al-Din dan Sains
Modern menuju Fresh Ijtihad). Bandung: Mizan Pustaka.

Abdullah, M. Amin. 2002. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Cet. III, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).

Abdullah, Yatimin. 2004. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah.
Anshari, Endang Saefuddin. 2004. Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma
dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani.

Baedowi, Jajat Burhanudin dan Ahmad. 2003. Transformasi Otoritas Keagamaan:
Pengalaman Islam Indonesia. Jakarta: PT. Sun.

Fambudi, Masykur Rozi dan Dian Isti. 2014. Sebuah Bunga Rampai: Meneruskan Intektual
Khazanah Klasik. Semarang: tp.

Hashemi, Nader. 2010. Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi
dalam Masyarakat Muslim. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

Husaini, Adian. 2005. Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak
Kontroversial. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2001. Agama, Negara, dan Penerapan Syariah. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Al-Kylani, Ismail. 1993. Sekularisme: Upaya Memisahkan Agama dari Negara. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.

M. Syukri Ismail, Jurnal Kontektualita, Vol. 29, No. 1, Kritik terhadap Sekularisme Pandangan
Yusuf Qardhawi. 2014.
Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at at-i-Islami (Pakistan).
Jakarta: Paramadina.

Maksun. 2014. Negara Syari’ah Modern: Telaah Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im.
Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Pers.
An-Na’im, Abdullah Ahmed. 2007. Islam dan Negara sekular: Menegosiasikan Masa Depan
Syariah. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional. Bandung: Mizan.


Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Qassem, Naim. 2008. Blueprint Hizbullah: Rahasia Manajemen Ormas Islam Tersukses di
Dunia. Jakarta: Ufuk Press.
           
Al Qurtuby, Sumanto. 2011. Islam Postliberal: Agama, Kebebasan, dan Kemanusiaan.
Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Pers.

Rahman, Budhy Munawar. 2004. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Rais, M. Amien, ed. 1992. Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri. Cet. III, Jakarta:
CV. Rajawali Pers.
Saoki, Jurnal al Daulah, Vol. 4 No. 2, Hukum dan Perundangan Islam, 2014
Sirozi, M., dkk. 2013. Arah Baru Studi Islam di Indonesia: Teori dan Metodologi. Cet. II,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sutrisno. 2006. Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thoha, Anis Malik. 2007. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Cet. III, Jakarta: Perspektif
Kelompok Gema Insani.
Tsuwaibah. 2014. Epistemologi Unity of Science Ibn Sina: Kajian Integrasi Keilmuan Ibn Sina
dalam Kitab Asy-Syifa Juz I dan Relevansinya dengan Unity of Science IAIN Walisongo (UIN Walisongo -red). Semarang: LP2M.




[1] Masykur Rozi dan Dian Isti Fambudi, Sebuah Bunga Rampai: Meneruskan Intektual Khazanah Klasik, (Semarang: tp., 2014), hlm. 4-5.
[2] Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 60-63.
[3] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188-189.
[4] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm.174-175.
[5] Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah,... , hlm. 333-334.
[6] Ismail Al-Kylani, Sekularisme: Upaya Memisahkan Agama dari Negara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), hlm. 211.
[7] Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,... , hlm. 28.
[8] Saoki, Jurnal al Daulah, Vol. 4 No. 2, Hukum dan Perundangan Islam, 2014, hlm. 363.
[9] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... ,  hlm. 255.
[10] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... ,  hlm. 252-258.
[11] Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah,... , hlm. 63.
[12] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Cet. III, Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2007), hlm. 133-137.
[13] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 235.
[14] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 25-30.
[15] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 209.
[16] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987), hlm. 10.
[17] Naim Qassem, Blueprint Hizbullah: Rahasia Manajemen Ormas Islam Tersukses di Dunia, (Jakarta: Ufuk Press, 2008), hlm. 38.
[18] M. Sirozi, dkk., Arah Baru Studi Islam di Indonesia: Teori dan Metodologi, (Cet. II, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 44-45.
[19] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 2.
[20] Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 104.
[21] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Cet. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), 2002), hlm. 189-190.
[22] Tsuwaibah, Epistemologi Unity of Science Ibn Sina: Kajian Integrasi Keilmuan Ibn Sina dalam Kitab Asy-Syifa Juz I dan Relevansinya dengan Unity of Science IAIN Walisongo (UIN Walisongo -red), (Semarang: LP2M, 2014), hlm. 1-2.
[23] M. Amien Rais, ed., Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Cet. III, Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992), hlm. 9-10.
[24] Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi, Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Sun, 2003), hlm. 171.
[25] Istilah kaum fanatikus agama untuk menyebut kebudayaan sekuler dan rasional.
[26] Sumanto Al Qurtuby, Islam Postliberal: Agama, Kebebasan, dan Kemanusiaan, (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Pers, 2011), hlm. 142-143.
[27] Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 184.
[28] Maksun, Negara Syari’ah Modern: Telaah Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Pers, 2014), hlm. 48-55.
[29] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at at-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 30.
[30] M. Syukri Ismail, Jurnal Kontektualita, Vol. 29, No. 1, Kritik terhadap Sekularisme Pandangan Yusuf Qardhawi, 2014, hlm. 90.
[31] Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 2-4. Fatwa MUI tersebut ditetapkan di Jakarta, 22 Juli 2005.
[32] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 173-187.
[33] Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. IX-X.
[34] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 27.
[35] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 222.
[36] Sejarawan dunia terkemuka dan ahli Islam.
[37] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 217-227.
[38] Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,... , hlm 206-207.
[39] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 361-362.
[40] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2004), hlm. 158-161.
[41] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer,... , hlm. 156.
[42] Amin Abdullah, Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, pada bab Fikih dan Kalam Sosial Era Kontemporer (Perjumpaan Ulum al-Din dan Sains Modern menuju Fresh Ijtihad), (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), hlm. 69.
[43] Seorang ahli hukum Mesir dan intelektual Islam moderat.
[44] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 232-235.
[45] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim,... , hlm. 253.
[46] Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 78.
[47] M. Syukri Ismail, Kritik terhadap Sekularisme Pandangan Yusuf Qardhawi,... ,hlm. 87.

Tidak ada komentar: