PERKEMBANGAN AGAMA
PADA MASA REMAJA
(Perkembangan dan Ekspresi
Keagamaan pada Masa Remaja)
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
I.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Masa
remaja merupakan masa persiapan untuk masa dewasa, tidak semua remaja sama
antara satu remaja dengan remaja yang lain, dilihat dari latar belakang remaja
tersebut baik dari segi sejarah, budaya, gender, sosial-ekonomi, etnis,
kepercayaan, maupun gaya hidup.
Remaja dimana masa perkembangan dan peningkatan
pemikiran secara abstrak dan idealis untuk pencarian jati diri yang dilihat
interaksi dengan sesamanya, nilai-nilai budaya, dan etnis.
Di sini peran agama sangat urgen dalam membimbing
remaja dalam mencari jati diri mereka. Agama sebagai pengarah dan pegangan
hidup, dimana masa ini adalah masa membingungkan, apa yang dilakukan remaja
tetapi pada hakikatnya mereka belum memahami apa yang mereka cari.
Maka kita dapat melihat gejala-gelaja keagamaan
mereka, sebagai perkembangan dan peningkatan daya pikirnya yang mulai aktif
menuju masa dewasa awal.
B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana pengertian perkembangan dan pembagian pada masa
remaja ?
2.Bagaimana perubahan dan perkembangan pada masa remaja ?
3.Bagaimana gejala-gejala keagamaan pada masa remaja ?
II. PEMBAHASAN
A.Pengertian Perkembangan dan Pembagian pada Masa Remaja
1. Pengertian Perkembangan
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan
perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan
tidak ditekankan dari segi material, melainkan pada segi fungsional. Maka dapat
disimpulkan, perkembangan adalah perubahan kualitatif daripada fungsi-fungsi.
Perubahan sesuatu fungsi adalah disebabkan
oleh adanya proses pertumbuhan material yang memungkinkan adanya fungsi itu,
dan di samping itu disebabkan oleh karena perubahan tingkah laku hasil belajar.[1]
Dengan demikian, merumuskan definisi perkembangan pribadi sebagai perubahan
kualitatif daripada setiap fungsi kepribadian akibat dari pertumbuhan dan belajar
seseorang.
2.Pembagian pada Masa Remaja
a.Masa Pra
Pubertas (Pueral)
Masa ini
adalah masa peralihan dari masa sekolah menuju masa pubertas mulai umur 12
samapi 14 tahun, di mana seorang anak yang sudah besar (puer = anak besar) ini sudah ingin berlaku seperti orang dewasa
tetapi dirinya belum siap, termasuk kelompok orang dewasa.
Pra pubertas
adalah saat-saat terjadi kematangan seksual yang sesungguhnya, bersamaan
terjadinya perkembangan fisiologis yang berhubungan dengan kematangan kelenjar
endokrin. Kelenjar endokrin adalah kelenjar yang bermuara langsung di dalam
seluruh darah. Dengan melalui pertukaran zat yang ada di antara
jaringan-jaringan kelenjar dengan pembuluh rambut di dalam kelenjar tadi.
Zat-zat yang dikeluarkan itu disebut hormon, selanjutnya hormon-hormon tadi
memberikan stimulasi pada tubuh anak, sedemikian rupa. Sehingga anak merasakan
adanya rangsangan-rangsangan tertentu. Suatu rangsangan hormonal ini
menyebabkan rasa tidak tenang pada diri anak, suatu rasa yang belum pernah
dialami sebelumnya pada akhir dunia anak-anaknya yang cukup menggebirakan.
Kematangan
atas jenis kelamin, banyak tergantung dengan iklim, lingkungan budaya setempat,
bangsa, dan lain-lain. Sehingga peeristiwa tiap-tiap bangsa di dunia seringkali
terjadi perbedaan waktunya yang menyolok.
b.Masa pubertas
(14-18 tahun)
Pada masa ini
anaka tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga mulai aktif mencapai kegiatan
dalam rangka menemukan dirinya (akunya), serta mencari pedoman hidup, untuk
bekal kehidupannya mendatang. Kegiatan tersebut dilakukannya penuh semangat menyala-nyala
tetapi ia sendiri belum memahami akan hakikat dari sesuatu yang dicarinya itu.
Sehingga Ch. Buhler pernah menggambarkan dengan ungkapan “saya menginginkan
sesuatu tetapi tidak mengetahui akan sesuatu itu”. Sehingga masa ini saya
menyebutnya sebagai masa strumund drang (badai
dan dorongan)
Tentang
tanda-tanda masa pubertas ini E. Spranger, menyebutkan ada tiga aktivitas
yakni:
1)Penemuan aku
2)Pertumbuhan pedoman kehidupan
3)Memasukkan diri pada kegiatan
kemasyarakatan
Pada kegiatan anak dalam rangka penemuan
akunya itu anak mulai menyadari akan keberadaan dirinya, yang lebih dalam
dibanding pada sebelumnya. Tetapi ia pun juga mengetahui betapa pentingnya ia
untuk ikut serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Walaupun terasa masih belum
sempurna, ia bertingkah laku di masyarakat. Ia masih penuh dengan kecanggungan
serta tidak seimbang. Oleh karena itu anak menjadi agak bersikap tertutup (introvert), dan lebih senang mengungkap
pengalamannya itu pada buku harian, senang termenung, dsb.
Pada kegiatan memasukkan diri ke dalam
kemasyarakatan ini anak puber mulai mengenal segala macam corak kehidupan
masyarakat tetapi anak belum sempurna pengetahuannya untuk membedakan ataupun menyeleksinya.
Semuanya dianggapnya sebagai sesuatu yang menyatu dalam satu sistem
kemasyarakatan yang sesuai dengan dirinya, kemudian ia pun akan aktif memasuki
corak dan ragam kegiatan masyarakat tersebut, maka tidaklah mengherankan jika
anak puber sering menampakkan sikap-sikap yang kontroversial dalam suatu
masyarakat tertentu. Kegiatan-kegiatan tersebut bagi anak wanita dan pria sudah
barang tentu ada perbedaan biologis dan kejiwaan, juga karena adanya perbedaan
pandangan sikap dalam hidupnya.
c.Masa Adoleson
(18-21 tahun)
Pada masa ini
seseorang sudah dapat mengetahui kondisi dirinya, ia sudah mulai membuat
rencana kehidupan serta sudah mulai memilih dan menentukan jalan hidup (way of life) yang hendak ditemuinya.
Masa ini
sebenarnya sudah tidak begitu menarik untuk dibahas, karena masa ini sudah
tidak lagi banyak keistimewaan yang menonjol, maka sudah mulai tenang
kejiwaannya, sebagai persiapan pada masa dewasa. Adapun batas masa adolesen ini
sebenanya masa banyak pendapat yang saling berbeda, tetapi untuk sekedar
pedoman umum serta berdasarkan pada gejala-gejala kejiwaan yang paling tipikal
adalah antara 18-21 tahun.
Tentang
sifat-sifat masa adolesen, dapat diungkapkan antara lain:
1)Menunjukkan sikap positif dalam
menentukan sistem tata nilai (value)
yang ada.
2)Menunjukkan adanya ketenangan dan
keseimbangan dalam kehidupan
3)Mulai menyadari bahwa sikap aktif,
mengkritik waktu ia puber itu mudah tetapi melaksanakannya sulit.
4)Ia mulai memiliki rencana hidup yang
jelas dan matang.
5)Ia mulai senang menghargai sesuatu
yang bersifat historis dan tradisi, agama, kultur, etis, dan estetis, serta
ekonomis.
6)Dalam menentukan calon teman hidup,
sudah tidak lagi berdasarkan nafsu seks belaka, tetapi juga atas dasar
pertimbangan yang matang dari berbagai aspek.
7)
Mulai mengambil/ menentukan sikap
hidup berdasarkan sistem nilai yang diyakini.
8)
Pandangan dan perasaan yang semakin
menyatu atau melebur antara erotik dan seksualitas, yang sebelumnya (pubertas)
antarkeduanya terpisah.
Bilakah masa adolesence ini telah selesai
atau habis maka anak-anak akan memasuki jenjang kedewasaan, sebagai fase
perkembangan, seseorang telah memiliki corak dan bentuk kepribadian tersendiri.
Dr. M. J. Langeveld memberikan ciri-ciri
kedewasaan seseorang antara lain:
1)Dapat berdiri sendiri dalam
kehidupannya. Ia tidak selalu meminta pertolongan orang lain. Jika ada bantuan
orang lain tetap ada pada tanggung jawabnya, dalam menyelesaikan tugas-tugas
hidup.
2)Dapat bertanggung jawab dalam arti
sebenarnya terutama moral
3)Memiliki sifat-sifat yang
konstruktif terhadap masyarakat,[2] di mana
ia berada.
B.Perubahan dan
Perkembangan pada Masa Remaja
1.Mengenali Perubahan-perubahan
Paling Penting yang Terjadi pada Masa Remaja
Masa remaja (adolesence) adalah masa perkembangan yang merupakan masa transisi
dari anak-anak menuju dewasa. Masa ini dimulai sekitar pada usia 10 hingga 12
dan berakhir pada usia 18 hingga 21 tahun. Dalam menelusuri masa remaja, kita
harus tetap mengingat bahwa tidak semua remaja sama. Etnis, budaya, sejarah,
gender, sosial ekonomi, dan gaya hidup yang bervariasi, mewarnai lintasan
kehidupan mereka. Bayangkan kita mengenai masa remaja haruslah mempertimbangkan
remaja tertentu atau kelompok remaja yang kita pikirkan.
2.Perkembangan Sosial-Emosional pada Masa
Remaja.
Peningkatan pemikiran abstrak dan idealis
pada masa remaja menjadi dasar untuk mencari identitas diri sendiri. Banyak
aspek dari perkembangan sosial-emosional seperti hubungan dengan orang tua,
interaksi dengan teman sebaya dan persahabatan, serta nialai-nilai budaya dan
etnis yang berkonstribusi terhadap perkembangan identitas remaja. Teori Erikson
membahas bagaimana remaja mencari identitas mereka.
Teori Erikson dan perkembangan identitas,
seperti yang kita lihat pada bagian perkembangan sosial-emosional anak-anak,
teori sepanjang hayat Erik Erikson menyatakan bahwa seseorang melewati delapan
tahap perkembangan psikososial. Dalam delapan tahap yang diajukan Erikson
(1968), gagasan tentang pembentukan identitas selama masa remaja merupakan
sumbangan terbesar bagi ilmu psikologi. Tahapan ini mengubah cara pikir kita
tentang remaja. Misalnya Erikson mendorong kita untuk melihat remaja sebagai
makhluk yang didorong oleh hormon saja namun, juga sebagai individu yang
mencari siapa diri mereka dan mencari tempat di dunia ini.
Teori Erikson ditandai dengan perhatian
utamanya pada tahap kelima dari perkembangan sosial-emosional yaitu identity versus identity confusion.
Dalam mencari identitas, remaja menghadapi tantangan untuk menemukan siapa
mereka, apa peran mereka dan ke mana mereka akan pergi di dunia ini. Remaja
dihadapkan dengan banyak peranan baru dan status dewasa baik dari segi
pekerjaan maupun percintaan. Bila mereka tidak mencari identitas mereka akan
cukup pada tahap ini, maka mereka akan mengalami kebingungan mengenai siapa
mereka. Dengan demikian, menurut Erikson, orangtua harus mengizinkan remaja
untuk menggali beragam peran dan jalan, serta tidak memaksakan identitas
tertentu pada mereka.
Erikson menjelaskan masa remaja sebagai masa
penangguhan. Masa penangguhan adalah celah pada waktu dan pada perkembangan
pikiran antara keamanan pada masa kanak-kanak dengan kemandirian pada masa
dewasa. Remaja yang menggunakan masa penangguhan ini untuk mencari
alternatif-alternatif, akan dapat mencapai beberapa resolusi dari krisis identitas,
dan muncul dengan pengertian akan
dirinya sendiri yang baru dan dapat diterima. Mereka yang tidak berhasil
menyelesaikan krisis ini akan mengalami kebingungan, rasa tersiksa yang disebut
Erikson sebagai identity confunsion. Kebingungan
ini diekpresikan dalam satu dari dua cara: entah individu tersebut menarik
diri, mengisolir diri mereka dari teman sebaya dan keluarga, atau ia meleburkan
diri dengan orang kebanyakan.
Erikson memperhatikan bahwa dalam budaya US,
remaja ingin memutuskan bagi diri mereka sendiri sebagai permasalahan, seperti
karier yang ingin mereka kejar, apakah mereka akan kuliah di perguruan tinggi,
dan apakah mereka akan menikah. Mereka ingin membebaskan diri mereka dari
kendali orang tua mereka dan orang dewasa lainnya serta membuat keputusan
mereka sendiri. Pada saat yang sama, banyak yang takut mengambil keputusan yang
salah, kemudian gagal. Pada beberapa kasus, masalah sebenarnya terletak pada
ketidaksadaran remaja akan kemampuan kognitif mereka yang tengah berkembang.
Satu kekuatan yang mempersenjatai mereka untuk mengejar identitas secara
efektif adalah berkembangnya keabstrakan dan logika dalam pikiran mereka, yang
artinya mereka dapat menalar dengan lebih berpengalaman.
Status Identitas
Membangun berdasarkan gagasan Erikson,
mengambil kutipan dari James Marcia, mengajukan konsep status identitas untuk
menjelaskan posisi seseorang dalam perkembangan sebuah identitas. Dalam
pandangannya, terdapat dua dimensi identitas yang penting. Eksplorasi merujuk
pada pencarian berbagai pilihan karier dan nilai personal seseorang. Komitmen
melibatkan pengambilan keputusan tentang jalur identitas mana yang akan ia
ikuti dan melakuakan investasi pribadi untuk mencapai identitas tersebut.
Beragam kombinasi atas penjajahan dan
komitmen memunculkan satu dari empat status identitas:
1.Identity Diffussion: sesorang
belum mencari alternatif-alternatif yang berarti dan belum membuat komitmen.
Banyak remaja yang memiliki status identitas difusi (tidak jelas). Mereka belum
memulai untuk mencari pilihan karier yang berbeda-beda dan nilai personal.
2. Identity Foreclousure: seseorang
sudah membuat komitmen pada sebuah identitas sebelum mencari pilihan lain.
Misalnya, seseorang remaja mengatakan ia mau menjadi dokter karena hal itulah
yang diinginkan kedua orangtuanya, daripada mencari pilihan karier lain dan
memutuskan bahwa dirinya ingin menjadi dokter.
3.Identity Moratorium: seseorang
mencari jalur alternatif, tetapi belum membuat mengenai bidang kejuruan atau
karier yang mereka inginkan.
4.Identity Achievement: seseorang
telah mencari jalur-jalur alternatif dan membuat karier selama beberapa waktu
dan akhirnya memutuskan untuk mengejar satu karier sepenuh hati[3] dan
dirasa sesuai sehingga dapat berjalan dengan baik.
C.Gejala-gejala Keagamaan pada
Masa Remaja
Umumnya lingkungan
pergaulan para remaja sangat luas, mereka mendapatkan lingkungan-lingkungan
baru di luar keluarga. Mereka mempunyai kelompok-kelompak sebaya (peer groups) yang mempunyai pengaruh
besar pada perkembangan watak mereka.
Mengenai
penghayatan dan pemahamaan terhadap keagamaan, meminjam pendapat G.W. Allport
menyatakan bahwa pada umumnya para remaja menunjukkan perubahan sikap terhadap
agama. Berlainan dengan anak-anak yang menerima sepenuhnya apa yang diajarkan
oleh orangtua mereka, para remaja menunjukkan sikap yang lebih kritis terhadap
ajaran-ajaran agama, dan tak jarang pula memiliki pendapat sendiri serta
mempertanyakan berbagai maslah keagamaan yang sebelumnya mereka terima begitu
saja.
Dalam hal
nilai-nilai hidup yang dianut, para remaja sering mengembangkan nilai-nilai
sendiri (personal values) yang
mungkin berlainan dengan nilai generasi-generasi sebelumnya, apa yang mereka
anggap penting, berharga, dipedomani, didambakan para remaja masa kini sering
berlainan, bahkan bertentangan dengan apa yang dianut remaja-remaja sebelumnya.
Hal ini tak jarang mendasari sengketa antara kedua belah pihak yang berlainan
nilai itu.
Pada masa
remaja ini kesadaran akan diri sendiri berkembang. Para remaja mulai
mempertanyakan mengenai diri mereka sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti: siapakah aku ini, bagaimana seharusnya aku bersikap dan berlaku, dan
lain-lain pertanyaan yang menyangkut arti hidup yang semuanya menunjukkan para
remaja sedang mencari identitas diri dalam rangka pemantapan kepribadian diri.
Dari gambaran
umum mengenai kondisi kejiwaan remaja di atas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan masa remaja ditandai oleh perkembangan serba cepat dalam berbagai
aspek bio-psiko-sosio-spiritual dirinya, tetapi hal ini masih membutuhkan arah
dan lingkungan yang baik agar para remaja benar-benar berhasil tumbuh sehat dan
siap memasuki masa dewasa dengan berbagai tantangan dan peluang yang khusus
pula. Di sinilah pentingnya pendidikan bagi para remaja untuk menyongsong masa
depan mereka.[4]
Sebagai seorang remaja yang baik dengan melihat masa depan yang cerah, bukan
sebagai remaja dalam kondisi kebingungan yang tidak tahu arah menuju jalan masa
depan yang pada umumnya diinginkan oleh para remaja ideal.
1. Perkembangan Pemahaman tentang Agama
pada Masa Remaja
Seperti halnya moral, agama juga merupakan
fenomena kognitif. Oleh sebab itu, beberapa ahli psikologi perkembangan,
(seperti Seifert dan Hoffnung) menempatkan pembahasan tentang agama dalam
kelompok bidang perkembangan kognitif.
Bagi remaja, agama memiki arti yang sama
pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullotta
(1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang
mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan
bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini.
Agama memberikan perlindungan rsasa aman, terutama bagi remaja yang tengah
mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak
misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup
berarti. Kalau pada masa anak-anak, ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir
simbolik, Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa
remaja mereka mungkin berusaha mencaari sebuah konsep yang lebih mendalam
tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan
agmaaa ini sangat dipengaruhi oleh perkebangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal
anak-anak ia telah diajarkan agmaa oleh orang tua mereka, namun karena pada
masa remaja mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin
mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan
dengan pengaruh perkembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa
remaja ini, Seifert dan Huffnung menulis:
During adolescence, cognitive
development affect both specific religious beliefs and overal religious
orintation. In general, specific beliefs become more sophisticated or complex
than they were during childhood. The
concept the religious denomination, for example, evolves from relatively
superficial to more accurate and abstract notions (Seifert & Hoffnung,
1994).
Dalam studi yang dilakukan Golman (1962) tentang
perkembangan pemahaman agama anak-anak dengan remaja dengan latar belakang
teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap
tiga, yaitu formal operational religious
thought, di mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak
dan hipotetis. Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama
pada anak-anak dan remaja. Oser dan Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998)
misalnya menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat
ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan penghapan. Konsep-konsep abstrak,
ketika membuat pertimbangan tentang agama.
Dewasa ini salah satu teori tentang
perkembangan agama yang terkenal adalah teori theory of faith dari James Fowler. Dalam teori ini, Fowler
mengusulkan enam tahap perkembangan agama yang dihubungkan dengan teori-teori
perkembangan Erikson, Piaget, dan Kohlberg.
Tabel Tahap Perkembangan Agama menurut Teori Fowler
Tahap
|
Usia
|
Karakteristik
|
Tahap 1
Intuitive-projective faith
Tahap 2
Mythical-literal faith
Tahap 3
Synthetic-conventional faith
Tahap 4
Individuative-reflective faith
Tahap 5
Conjunctive faith
Tahap 6
Universalizing
|
Awal masa anak-anak
Akhir masa anak-anak
Awal masa remaja
Akhir masa remaja dan awal masa dewasa
Pertengahan masa dewasa
Akhir masa
|
v
Gambaran intuitif dari kebaikan
dan kejahatan.
v
Fantasi dan kenyataan adalah sama.
v
Pemikiran lebih logis dan konkrit.
v
Kisah-kisah agama
diinterpretasikan secara harfiah; Tuhan digambarkan seperti figure orangtua.
v
Pemikiran lebih abstrak.
v
Menyesuaikan diri dengan keyakinan
agama orang lain.
v Untuk pertama kali
individu mampu memikul tanggung jawab penuh terhadap kayakian agam mereka.
v Menjelajahi kedalaman
pengalaman dan nilai-nilai keyakinan agama seseorang.
v Lebih terbuka terhadap
pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan.
v Berasal dari kesadaran
akan keterbatan dan pembatasan seseorang.
v Sistem kepercayaan
transendental untuk dewasa mencapai perasaan ketuhanan.
v Peristiwa-peristiwa
konflik tidak selamanya dipandang sebagai paradoks.
|
Berdasarkan tahap-tahap perkembangan agama
Fowler tersebut, perkembangan remaja berada dalam dua tahap, yaitu tahap 3
untuk remaja awal dan tahap 4 untuk remaja akhir. Dalam tahap 3 atau tahap Synthetic-conventional faith, remaja
mulai mengembangkan pemikiran formal operasional dan mulai mengintegrasikan
nilai-nilai agama yang telah mereka pelajari ke dalam suatu sistem kepercayaan
yang lebih rasional. Akan tetapi, meskipun tahap Synthetic-conventional faith lebih abstrak dari dua tahap
sebelumnya, sebagian besar remaja awal masih menyesuaikan diri dengan
kepercayaan agama orang lain dan belum mapu menganalisis ideologi-ideologi
agama lain.
Sementara itu, perkembangan agama remaja
akhir berada pada tahap 4 atau tahap Individuative-reflective
faith. Pada tahap ini, individu untuk pertama kalinya mampu mengambil
tanggung jawab penuh terhadap kepercayaan agama mereka. Mereka mulai menyatakan
bahwa mereka dapat memilih jalan kehidupan mereka sendiri dan mereka harus
berusaha keras untuk mengikuti satu jalan kehidupan tertentu. Fowler percaya
bahwa pemikiran formal operasional dan tantangan intelektual sering mengambil
tempat penting dalam perkembangan agama tahap Individuative-reflective faith di perguruan tinggi.[5]
Adanya tanggung jawab dalam pilihan jalan kehidupan mereka sendir sebagai
akibat masuknya dewasa awal yang matang.
2.Peran Keimanan dam Kedamaian Rohani
Suatu kajian atas sejarah kemajuan manusia
membuktikan bahwa dukungan pada peradaban dan kebudayaan manusia selalu
terletak di pundak orang-orang yang kekuatan iman telah memudahkan mereka
memikul beban kesukaran dan kepedihan yang efek-efek negatifnya dihilangkan
oleh keimanan yang hadir dalam diri mereka yang kuat. Kekuatan iman laur biasa
efektifnya dalam pengoabatan penyakit jiwa dan penciptaan kepercayaan diri dan
kedamaian batin. Dalam hal-hal ini di mana kesukaran berat menhancurkan
kepribadian manusia dan membuang harapan dan kemauannya, keyakinan pada Tuhan
memberikan efek yang tidak dapat disangkal atas jiwa yang terpukul. Kegagalan,
kesukaran, dan kekalahan tak pernah menciptakan badai di hati murni orang takwa
dan membuat mereka menderita putus asa sampai kehilangan kepercayaan diri dan
harga dirinya.
Iman kepada Tuhan, sebagai kontrol kelegaan,
mengatur membatu mengatur dorongan-dorongan psikis yang sebenarnya merupakan
penyebab utama penderitaan spiritual manusia. Iman kepada Tuhan memberikan
pemandangan keindahan sempurna kepada kehidupan, karena apabila seseorang
mempunyai keyakinan bahwa segala sesuatu itu berakhir dengan kehidupan di dunia
ini, pada dirinya akan tercipta sesuatu kedamaian batin dan ia akan melintasi
seluruh perjalanan hidup dengan tabah dan sabar.
Tamak, serakah, kikir yang merupakan sebagian
faktor penyebab kecemasan, dimoderasi oleh keimanan kepada Tuhan dan
pelaksanaan prinsip-prinsip moral agama. Harapan akan ganjaran besar dan
kekuatan akan hukuman yang pedih membuat orang menahan diri dari keserakahan dan
menjauhi hasrat tak beralasan dan tak terkendali atas hal-hal material, yang
mengkilau dan penuh dengan kepura-puraan. Sebagai akibat dari suatu
keseimbangan yang disukai dan tenang yang patut bagi kemanusiaan ditimbulkan
dalam jiwanya.
Keimanan akan kebangkitan kembali dan
kehidupan akhirat menyingkirkan keteganagan yang tak tertanggungkan yang
disebabkan oleh gagasan tentang kemusnahan dan kesirnaan total dari ruh
manusia, karena orang beriman meyakini bahwa diambang kematian akan terbuka
pintu ke suatu dunia lain dan ia akan memasuki kehidupan dan rahmat abadinya
yang tak dapat dibandingkan dengan kesenangan di dunia ini. Keimanan ini
mengakibatkan terhapusnya suatu sarana kecemasan mental yang lainnya yang
merupakan keresahan akan kesirnaan yang mutlak.[6]
Perasaan bahagia ia rasakan sebagai ketentraman yang ia dapati dan miliki dari
konsekuensi keberimanannya.
Salah satu metode pembangunan manusia dari
Nabi Muhammad saw. ialah mengembangkan semangat dan rasa percaya diri di
kalangan umatnya. Dalam tuntunan dan ajaran nabi, kaum muslim mendapatkan rasa
percaya diri yang mendalam, suatu keberanian yang luhur, suatu tekad yang
teguh, dan cita-cita yang unggul, ketimbang terbaw hanyut oleh harapan-harapan
kosong dan menjadi mangsa selera yang membinasakan. Mereka terus mencari
dukungan Tuhan dan seluruh tindakan dan kesukaran mereka dengan terus memberi
perhatian kepada sumber segala kabajikan.
III.KESIMPULAN
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan
perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan
ditekankan pada segi fungsional. Maka, perkembangan adalah perubahan kualitatif
daripada fungsi-funsi.
Masa remaja (adolesence) adalah persiapan pada masa dewasa awal, masa
perkembangan yang merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.
Mengingat bahwa tidak semua remaja sama. Etnis, budaya, sejarah, gender, sosial
ekonomi, dan gaya hidup yang bervariasi, mewarnai lintasan kehidupan mereka.
Peningkatan pemikiran abstrak dan idealis
pada masa remaja menjadi dasar untuk mencari identitas diri sendiri. Banyak
aspek dari perkembangan sosial-emosional dan nilai-nilai budaya dan etnis
seperti hubungan dan interaksi dengan sesama. Masa remaja sebagai masa
penangguhan, celah pada waktu dan pada perkembangan pikiran antara keamanan
pada masa kanak-kanak dengan kemandirian pada masa dewasa. Apapun kegiatan
dilakukannya tetapi belum memahami akan hakikat dari sesuatu yang dicarinya
itu. Masa ini saya menyebutnya sebagai masa strumund
drang (badai dan dorongan). Tetapi masa ini sudah dapat mengetahui kondisi
dirinya, ia sudah mulai membuat rencana kehidupan serta sudah mulai memilih dan
menentukan jalan hidup (way of life)
yang hendak ditemuinya.
Bagi remaja, agama memiki arti yang sama
pentingnya dengan moral. Agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga
membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Mengenai penghayatan dan
pemahamaan terhadap keagamaan pada umumnya para remaja menunjukkan perubahan
sikap terhadap agama. Berlainan dengan anak-anak yang menerima sepenuhnya apa
yang diajarkan oleh orangtua mereka, para remaja menunjukkan sikap yang lebih
kritis terhadap ajaran-ajaran agama. Dalam hal nilai-nilai hidup yang dianut,
para remaja sering mengembangkan nilai-nilai sendiri (personal values) yang mungkin berlainan dengan nilai
generasi-generasi sebelumnya.
IV.PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan secermat-sedetailnya. Penulis sangat
menyadari dalam tulisan ini masih banyak kekurangan. Tak ada gading yang tak retak,
dari landasan itulah, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat
diharapkan Writer demi perbaikan
karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi
dan bermanfaat bagi Readers yang
beriman, Aamiin.
DAFTAR
PUSTAKA:
Bastaman,
Hana Djumhana. 1995. Integrasi Psikologi
dengan Islam: Menuju Psikologi Islami.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Desmita. 2009. Psikologi
Perkembangan. Cet. V, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
King,
Laura A. 2010. Psikologi Umum: sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba
Humanika.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi. 2001. Etika dan Pertumbuhan Spiritual. Jakarta:
Lentera.
Sholeh, Abu Ahmadi dan Munawar. 2005. Psikologi Perkembangan: Untuk Fakultas
Tarbiyah IKIP SGPLB serta Para Pendidik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[1] Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan: Untuk Fakultas
Tarbiyah IKIP SGPLB serta Para Pendidik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005),
hlm. 6.
[2] Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan: Untuk Fakultas
Tarbiyah IKIP SGPLB serta Para Pendidik, hlm. 121-126.
[3] Laura A. King, Psikologi Umum:
sebuah Pandangan Apresiatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 188-193.
[4] Hana Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 166-167.
[5] Desmita, Psikologi Perkembangan¸ (Cet. V, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), hlm. 208-210.
[6] Sayid Mujtaba Musawi Lari, Etika dan Pertumbuhan Spiritual, (Jakarta:
Lentera, 2001), hlm.121-122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar