Ayo Sinau...!!!

Kamis, 20 April 2017

Makalah Psikologi Agama: Perkembangan Agama pada Masa Remaja (Perkembangan dan Ekspresi Keagamaan pada Masa Remaja)

PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA REMAJA
(Perkembangan dan Ekspresi Keagamaan pada Masa Remaja)

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad




I.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa persiapan untuk masa dewasa, tidak semua remaja sama antara satu remaja dengan remaja yang lain, dilihat dari latar belakang remaja tersebut baik dari segi sejarah, budaya, gender, sosial-ekonomi, etnis, kepercayaan, maupun gaya hidup.
Remaja dimana masa perkembangan dan peningkatan pemikiran secara abstrak dan idealis untuk pencarian jati diri yang dilihat interaksi dengan sesamanya, nilai-nilai budaya, dan etnis.
Di sini peran agama sangat urgen dalam membimbing remaja dalam mencari jati diri mereka. Agama sebagai pengarah dan pegangan hidup, dimana masa ini adalah masa membingungkan, apa yang dilakukan remaja tetapi pada hakikatnya mereka belum memahami apa yang mereka cari.
Maka kita dapat melihat gejala-gelaja keagamaan mereka, sebagai perkembangan dan peningkatan daya pikirnya yang mulai aktif menuju masa dewasa awal.
B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana pengertian perkembangan dan pembagian pada masa remaja ?
2.Bagaimana perubahan dan perkembangan pada masa remaja ?
3.Bagaimana gejala-gejala keagamaan pada masa remaja ?
II. PEMBAHASAN
A.Pengertian Perkembangan dan Pembagian pada Masa Remaja
1. Pengertian Perkembangan
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan tidak ditekankan dari segi material, melainkan pada segi fungsional. Maka dapat disimpulkan, perkembangan adalah perubahan kualitatif daripada fungsi-fungsi.
Perubahan sesuatu fungsi adalah disebabkan oleh adanya proses pertumbuhan material yang memungkinkan adanya fungsi itu, dan di samping itu disebabkan oleh karena perubahan tingkah laku hasil belajar.[1] Dengan demikian, merumuskan definisi  perkembangan pribadi sebagai perubahan kualitatif daripada setiap fungsi kepribadian akibat dari pertumbuhan dan belajar seseorang.
2.Pembagian pada Masa Remaja
a.Masa Pra Pubertas (Pueral)
Masa ini adalah masa peralihan dari masa sekolah menuju masa pubertas mulai umur 12 samapi 14 tahun, di mana seorang anak yang sudah besar (puer = anak besar) ini sudah ingin berlaku seperti orang dewasa tetapi dirinya belum siap, termasuk kelompok orang dewasa.
Pra pubertas adalah saat-saat terjadi kematangan seksual yang sesungguhnya, bersamaan terjadinya perkembangan fisiologis yang berhubungan dengan kematangan kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin adalah kelenjar yang bermuara langsung di dalam seluruh darah. Dengan melalui pertukaran zat yang ada di antara jaringan-jaringan kelenjar dengan pembuluh rambut di dalam kelenjar tadi. Zat-zat yang dikeluarkan itu disebut hormon, selanjutnya hormon-hormon tadi memberikan stimulasi pada tubuh anak, sedemikian rupa. Sehingga anak merasakan adanya rangsangan-rangsangan tertentu. Suatu rangsangan hormonal ini menyebabkan rasa tidak tenang pada diri anak, suatu rasa yang belum pernah dialami sebelumnya pada akhir dunia anak-anaknya yang cukup menggebirakan.
Kematangan atas jenis kelamin, banyak tergantung dengan iklim, lingkungan budaya setempat, bangsa, dan lain-lain. Sehingga peeristiwa tiap-tiap bangsa di dunia seringkali terjadi perbedaan waktunya yang menyolok.
b.Masa pubertas (14-18 tahun)
Pada masa ini anaka tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga mulai aktif mencapai kegiatan dalam rangka menemukan dirinya (akunya), serta mencari pedoman hidup, untuk bekal kehidupannya mendatang. Kegiatan tersebut dilakukannya penuh semangat menyala-nyala tetapi ia sendiri belum memahami akan hakikat dari sesuatu yang dicarinya itu. Sehingga Ch. Buhler pernah menggambarkan dengan ungkapan “saya menginginkan sesuatu tetapi tidak mengetahui akan sesuatu itu”. Sehingga masa ini saya menyebutnya sebagai masa strumund drang (badai dan dorongan)
Tentang tanda-tanda masa pubertas ini E. Spranger, menyebutkan ada tiga aktivitas yakni:
1)Penemuan aku
2)Pertumbuhan pedoman kehidupan
3)Memasukkan diri pada kegiatan kemasyarakatan
Pada kegiatan anak dalam rangka penemuan akunya itu anak mulai menyadari akan keberadaan dirinya, yang lebih dalam dibanding pada sebelumnya. Tetapi ia pun juga mengetahui betapa pentingnya ia untuk ikut serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Walaupun terasa masih belum sempurna, ia bertingkah laku di masyarakat. Ia masih penuh dengan kecanggungan serta tidak seimbang. Oleh karena itu anak menjadi agak bersikap tertutup (introvert), dan lebih senang mengungkap pengalamannya itu pada buku harian, senang termenung, dsb.
Pada kegiatan memasukkan diri ke dalam kemasyarakatan ini anak puber mulai mengenal segala macam corak kehidupan masyarakat tetapi anak belum sempurna pengetahuannya untuk membedakan ataupun menyeleksinya. Semuanya dianggapnya sebagai sesuatu yang menyatu dalam satu sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan dirinya, kemudian ia pun akan aktif memasuki corak dan ragam kegiatan masyarakat tersebut, maka tidaklah mengherankan jika anak puber sering menampakkan sikap-sikap yang kontroversial dalam suatu masyarakat tertentu. Kegiatan-kegiatan tersebut bagi anak wanita dan pria sudah barang tentu ada perbedaan biologis dan kejiwaan, juga karena adanya perbedaan pandangan sikap dalam hidupnya.
c.Masa Adoleson (18-21 tahun)
Pada masa ini seseorang sudah dapat mengetahui kondisi dirinya, ia sudah mulai membuat rencana kehidupan serta sudah mulai memilih dan menentukan jalan hidup (way of life) yang hendak ditemuinya.
Masa ini sebenarnya sudah tidak begitu menarik untuk dibahas, karena masa ini sudah tidak lagi banyak keistimewaan yang menonjol, maka sudah mulai tenang kejiwaannya, sebagai persiapan pada masa dewasa. Adapun batas masa adolesen ini sebenanya masa banyak pendapat yang saling berbeda, tetapi untuk sekedar pedoman umum serta berdasarkan pada gejala-gejala kejiwaan yang paling tipikal adalah antara 18-21 tahun.
Tentang sifat-sifat masa adolesen, dapat diungkapkan antara lain:
1)Menunjukkan sikap positif dalam menentukan sistem tata nilai (value) yang ada.
2)Menunjukkan adanya ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan
3)Mulai menyadari bahwa sikap aktif, mengkritik waktu ia puber itu mudah tetapi melaksanakannya sulit.
4)Ia mulai memiliki rencana hidup yang jelas dan matang.
5)Ia mulai senang menghargai sesuatu yang bersifat historis dan tradisi, agama, kultur, etis, dan estetis, serta ekonomis.
6)Dalam menentukan calon teman hidup, sudah tidak lagi berdasarkan nafsu seks belaka, tetapi juga atas dasar pertimbangan yang matang dari berbagai aspek.
7)        Mulai mengambil/ menentukan sikap hidup berdasarkan sistem nilai yang diyakini.
8)        Pandangan dan perasaan yang semakin menyatu atau melebur antara erotik dan seksualitas, yang sebelumnya (pubertas) antarkeduanya terpisah.
Bilakah masa adolesence ini telah selesai atau habis maka anak-anak akan memasuki jenjang kedewasaan, sebagai fase perkembangan, seseorang telah memiliki corak dan bentuk kepribadian tersendiri.
Dr. M. J. Langeveld memberikan ciri-ciri kedewasaan seseorang antara lain:
1)Dapat berdiri sendiri dalam kehidupannya. Ia tidak selalu meminta pertolongan orang lain. Jika ada bantuan orang lain tetap ada pada tanggung jawabnya, dalam menyelesaikan tugas-tugas hidup.
2)Dapat bertanggung jawab dalam arti sebenarnya terutama moral
3)Memiliki sifat-sifat yang konstruktif terhadap masyarakat,[2] di mana ia berada.
B.Perubahan dan Perkembangan pada Masa Remaja
1.Mengenali Perubahan-perubahan Paling Penting yang Terjadi pada Masa Remaja
Masa remaja (adolesence) adalah masa perkembangan yang merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Masa ini dimulai sekitar pada usia 10 hingga 12 dan berakhir pada usia 18 hingga 21 tahun. Dalam menelusuri masa remaja, kita harus tetap mengingat bahwa tidak semua remaja sama. Etnis, budaya, sejarah, gender, sosial ekonomi, dan gaya hidup yang bervariasi, mewarnai lintasan kehidupan mereka. Bayangkan kita mengenai masa remaja haruslah mempertimbangkan remaja tertentu atau kelompok remaja yang kita pikirkan.
2.Perkembangan Sosial-Emosional pada Masa Remaja.
Peningkatan pemikiran abstrak dan idealis pada masa remaja menjadi dasar untuk mencari identitas diri sendiri. Banyak aspek dari perkembangan sosial-emosional seperti hubungan dengan orang tua, interaksi dengan teman sebaya dan persahabatan, serta nialai-nilai budaya dan etnis yang berkonstribusi terhadap perkembangan identitas remaja. Teori Erikson membahas bagaimana remaja mencari identitas mereka.
Teori Erikson dan perkembangan identitas, seperti yang kita lihat pada bagian perkembangan sosial-emosional anak-anak, teori sepanjang hayat Erik Erikson menyatakan bahwa seseorang melewati delapan tahap perkembangan psikososial. Dalam delapan tahap yang diajukan Erikson (1968), gagasan tentang pembentukan identitas selama masa remaja merupakan sumbangan terbesar bagi ilmu psikologi. Tahapan ini mengubah cara pikir kita tentang remaja. Misalnya Erikson mendorong kita untuk melihat remaja sebagai makhluk yang didorong oleh hormon saja namun, juga sebagai individu yang mencari siapa diri mereka dan mencari tempat di dunia ini.
Teori Erikson ditandai dengan perhatian utamanya pada tahap kelima dari perkembangan sosial-emosional yaitu identity versus identity confusion. Dalam mencari identitas, remaja menghadapi tantangan untuk menemukan siapa mereka, apa peran mereka dan ke mana mereka akan pergi di dunia ini. Remaja dihadapkan dengan banyak peranan baru dan status dewasa baik dari segi pekerjaan maupun percintaan. Bila mereka tidak mencari identitas mereka akan cukup pada tahap ini, maka mereka akan mengalami kebingungan mengenai siapa mereka. Dengan demikian, menurut Erikson, orangtua harus mengizinkan remaja untuk menggali beragam peran dan jalan, serta tidak memaksakan identitas tertentu pada mereka.
Erikson menjelaskan masa remaja sebagai masa penangguhan. Masa penangguhan adalah celah pada waktu dan pada perkembangan pikiran antara keamanan pada masa kanak-kanak dengan kemandirian pada masa dewasa. Remaja yang menggunakan masa penangguhan ini untuk mencari alternatif-alternatif, akan dapat mencapai beberapa resolusi dari krisis identitas, dan muncul dengan pengertian akan  dirinya sendiri yang baru dan dapat diterima. Mereka yang tidak berhasil menyelesaikan krisis ini akan mengalami kebingungan, rasa tersiksa yang disebut Erikson sebagai identity confunsion. Kebingungan ini diekpresikan dalam satu dari dua cara: entah individu tersebut menarik diri, mengisolir diri mereka dari teman sebaya dan keluarga, atau ia meleburkan diri dengan orang kebanyakan.
Erikson memperhatikan bahwa dalam budaya US, remaja ingin memutuskan bagi diri mereka sendiri sebagai permasalahan, seperti karier yang ingin mereka kejar, apakah mereka akan kuliah di perguruan tinggi, dan apakah mereka akan menikah. Mereka ingin membebaskan diri mereka dari kendali orang tua mereka dan orang dewasa lainnya serta membuat keputusan mereka sendiri. Pada saat yang sama, banyak yang takut mengambil keputusan yang salah, kemudian gagal. Pada beberapa kasus, masalah sebenarnya terletak pada ketidaksadaran remaja akan kemampuan kognitif mereka yang tengah berkembang. Satu kekuatan yang mempersenjatai mereka untuk mengejar identitas secara efektif adalah berkembangnya keabstrakan dan logika dalam pikiran mereka, yang artinya mereka dapat menalar dengan lebih berpengalaman.
Status Identitas
Membangun berdasarkan gagasan Erikson, mengambil kutipan dari James Marcia, mengajukan konsep status identitas untuk menjelaskan posisi seseorang dalam perkembangan sebuah identitas. Dalam pandangannya, terdapat dua dimensi identitas yang penting. Eksplorasi merujuk pada pencarian berbagai pilihan karier dan nilai personal seseorang. Komitmen melibatkan pengambilan keputusan tentang jalur identitas mana yang akan ia ikuti dan melakuakan investasi pribadi untuk mencapai identitas tersebut.
Beragam kombinasi atas penjajahan dan komitmen memunculkan satu dari empat status identitas:
1.Identity Diffussion: sesorang belum mencari alternatif-alternatif yang berarti dan belum membuat komitmen. Banyak remaja yang memiliki status identitas difusi (tidak jelas). Mereka belum memulai untuk mencari pilihan karier yang berbeda-beda dan nilai personal.
2.    Identity Foreclousure: seseorang sudah membuat komitmen pada sebuah identitas sebelum mencari pilihan lain. Misalnya, seseorang remaja mengatakan ia mau menjadi dokter karena hal itulah yang diinginkan kedua orangtuanya, daripada mencari pilihan karier lain dan memutuskan bahwa dirinya ingin menjadi dokter.
3.Identity Moratorium: seseorang mencari jalur alternatif, tetapi belum membuat mengenai bidang kejuruan atau karier yang mereka inginkan.
4.Identity Achievement: seseorang telah mencari jalur-jalur alternatif dan membuat karier selama beberapa waktu dan akhirnya memutuskan untuk mengejar satu karier sepenuh hati[3] dan dirasa sesuai sehingga dapat berjalan dengan baik.
C.Gejala-gejala Keagamaan pada Masa Remaja
Umumnya lingkungan pergaulan para remaja sangat luas, mereka mendapatkan lingkungan-lingkungan baru di luar keluarga. Mereka mempunyai kelompok-kelompak sebaya (peer groups) yang mempunyai pengaruh besar pada perkembangan watak mereka.
Mengenai penghayatan dan pemahamaan terhadap keagamaan, meminjam pendapat G.W. Allport menyatakan bahwa pada umumnya para remaja menunjukkan perubahan sikap terhadap agama. Berlainan dengan anak-anak yang menerima sepenuhnya apa yang diajarkan oleh orangtua mereka, para remaja menunjukkan sikap yang lebih kritis terhadap ajaran-ajaran agama, dan tak jarang pula memiliki pendapat sendiri serta mempertanyakan berbagai maslah keagamaan yang sebelumnya mereka terima begitu saja.
Dalam hal nilai-nilai hidup yang dianut, para remaja sering mengembangkan nilai-nilai sendiri (personal values) yang mungkin berlainan dengan nilai generasi-generasi sebelumnya, apa yang mereka anggap penting, berharga, dipedomani, didambakan para remaja masa kini sering berlainan, bahkan bertentangan dengan apa yang dianut remaja-remaja sebelumnya. Hal ini tak jarang mendasari sengketa antara kedua belah pihak yang berlainan nilai itu.
Pada masa remaja ini kesadaran akan diri sendiri berkembang. Para remaja mulai mempertanyakan mengenai diri mereka sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: siapakah aku ini, bagaimana seharusnya aku bersikap dan berlaku, dan lain-lain pertanyaan yang menyangkut arti hidup yang semuanya menunjukkan para remaja sedang mencari identitas diri dalam rangka pemantapan kepribadian diri.
Dari gambaran umum mengenai kondisi kejiwaan remaja di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan masa remaja ditandai oleh perkembangan serba cepat dalam berbagai aspek bio-psiko-sosio-spiritual dirinya, tetapi hal ini masih membutuhkan arah dan lingkungan yang baik agar para remaja benar-benar berhasil tumbuh sehat dan siap memasuki masa dewasa dengan berbagai tantangan dan peluang yang khusus pula. Di sinilah pentingnya pendidikan bagi para remaja untuk menyongsong masa depan mereka.[4] Sebagai seorang remaja yang baik dengan melihat masa depan yang cerah, bukan sebagai remaja dalam kondisi kebingungan yang tidak tahu arah menuju jalan masa depan yang pada umumnya diinginkan oleh para remaja ideal.
1.      Perkembangan Pemahaman tentang Agama pada Masa Remaja
Seperti halnya moral, agama juga merupakan fenomena kognitif. Oleh sebab itu, beberapa ahli psikologi perkembangan, (seperti Seifert dan Hoffnung) menempatkan pembahasan tentang agama dalam kelompok bidang perkembangan kognitif.
Bagi remaja, agama memiki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rsasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa anak-anak, ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik, Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencaari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agmaaa ini sangat dipengaruhi oleh perkebangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agmaa oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perkembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini, Seifert dan Huffnung menulis:
During adolescence, cognitive development affect both specific religious beliefs and overal religious orintation. In general, specific beliefs become more sophisticated or complex than they were  during childhood. The concept the religious denomination, for example, evolves from relatively superficial to more accurate and abstract notions (Seifert & Hoffnung, 1994).
Dalam studi yang dilakukan Golman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dengan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan  pemahaman agama remaja berada pada tahap tiga, yaitu formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotetis. Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama pada anak-anak dan remaja. Oser dan Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan penghapan. Konsep-konsep abstrak, ketika membuat pertimbangan tentang agama.
Dewasa ini salah satu teori tentang perkembangan agama yang terkenal adalah teori theory of faith dari James Fowler. Dalam teori ini, Fowler mengusulkan enam tahap perkembangan agama yang dihubungkan dengan teori-teori perkembangan Erikson, Piaget, dan Kohlberg.
Tabel Tahap Perkembangan Agama menurut Teori Fowler
Tahap
Usia
Karakteristik
Tahap 1
Intuitive-projective faith

Tahap 2
Mythical-literal faith



Tahap 3
Synthetic-conventional faith
Tahap 4
Individuative-reflective faith
Tahap 5
Conjunctive faith

Tahap 6
Universalizing
Awal masa anak-anak



Akhir masa anak-anak




Awal masa remaja


Akhir masa remaja dan awal masa dewasa


Pertengahan masa dewasa


Akhir masa
v Gambaran intuitif dari kebaikan dan kejahatan.
v Fantasi dan kenyataan adalah sama.
v Pemikiran lebih logis dan konkrit.
v Kisah-kisah agama diinterpretasikan secara harfiah; Tuhan digambarkan seperti figure orangtua.
v Pemikiran lebih abstrak.
v Menyesuaikan diri dengan keyakinan agama orang lain.
v Untuk pertama kali individu mampu memikul tanggung jawab penuh terhadap kayakian agam mereka.
v Menjelajahi kedalaman pengalaman dan nilai-nilai keyakinan agama seseorang.
v Lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan.
v Berasal dari kesadaran akan keterbatan dan pembatasan seseorang.
v Sistem kepercayaan transendental untuk dewasa mencapai perasaan ketuhanan.
v Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandang sebagai paradoks.

Berdasarkan tahap-tahap perkembangan agama Fowler tersebut, perkembangan remaja berada dalam dua tahap, yaitu tahap 3 untuk remaja awal dan tahap 4 untuk remaja akhir. Dalam tahap 3 atau tahap Synthetic-conventional faith, remaja mulai mengembangkan pemikiran formal operasional dan mulai mengintegrasikan nilai-nilai agama yang telah mereka pelajari ke dalam suatu sistem kepercayaan yang lebih rasional. Akan tetapi, meskipun tahap Synthetic-conventional faith lebih abstrak dari dua tahap sebelumnya, sebagian besar remaja awal masih menyesuaikan diri dengan kepercayaan agama orang lain dan belum mapu menganalisis ideologi-ideologi agama lain.
Sementara itu, perkembangan agama remaja akhir berada pada tahap 4 atau tahap Individuative-reflective faith. Pada tahap ini, individu untuk pertama kalinya mampu mengambil tanggung jawab penuh terhadap kepercayaan agama mereka. Mereka mulai menyatakan bahwa mereka dapat memilih jalan kehidupan mereka sendiri dan mereka harus berusaha keras untuk mengikuti satu jalan kehidupan tertentu. Fowler percaya bahwa pemikiran formal operasional dan tantangan intelektual sering mengambil tempat penting dalam perkembangan agama tahap Individuative-reflective faith di perguruan tinggi.[5] Adanya tanggung jawab dalam pilihan jalan kehidupan mereka sendir sebagai akibat masuknya dewasa awal yang matang.
2.Peran Keimanan dam Kedamaian Rohani
Suatu kajian atas sejarah kemajuan manusia membuktikan bahwa dukungan pada peradaban dan kebudayaan manusia selalu terletak di pundak orang-orang yang kekuatan iman telah memudahkan mereka memikul beban kesukaran dan kepedihan yang efek-efek negatifnya dihilangkan oleh keimanan yang hadir dalam diri mereka yang kuat. Kekuatan iman laur biasa efektifnya dalam pengoabatan penyakit jiwa dan penciptaan kepercayaan diri dan kedamaian batin. Dalam hal-hal ini di mana kesukaran berat menhancurkan kepribadian manusia dan membuang harapan dan kemauannya, keyakinan pada Tuhan memberikan efek yang tidak dapat disangkal atas jiwa yang terpukul. Kegagalan, kesukaran, dan kekalahan tak pernah menciptakan badai di hati murni orang takwa dan membuat mereka menderita putus asa sampai kehilangan kepercayaan diri dan harga dirinya.
Iman kepada Tuhan, sebagai kontrol kelegaan, mengatur membatu mengatur dorongan-dorongan psikis yang sebenarnya merupakan penyebab utama penderitaan spiritual manusia. Iman kepada Tuhan memberikan pemandangan keindahan sempurna kepada kehidupan, karena apabila seseorang mempunyai keyakinan bahwa segala sesuatu itu berakhir dengan kehidupan di dunia ini, pada dirinya akan tercipta sesuatu kedamaian batin dan ia akan melintasi seluruh perjalanan hidup dengan tabah dan sabar.
Tamak, serakah, kikir yang merupakan sebagian faktor penyebab kecemasan, dimoderasi oleh keimanan kepada Tuhan dan pelaksanaan prinsip-prinsip moral agama. Harapan akan ganjaran besar dan kekuatan akan hukuman yang pedih membuat orang menahan diri dari keserakahan dan menjauhi hasrat tak beralasan dan tak terkendali atas hal-hal material, yang mengkilau dan penuh dengan kepura-puraan. Sebagai akibat dari suatu keseimbangan yang disukai dan tenang yang patut bagi kemanusiaan ditimbulkan dalam jiwanya.
Keimanan akan kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat menyingkirkan keteganagan yang tak tertanggungkan yang disebabkan oleh gagasan tentang kemusnahan dan kesirnaan total dari ruh manusia, karena orang beriman meyakini bahwa diambang kematian akan terbuka pintu ke suatu dunia lain dan ia akan memasuki kehidupan dan rahmat abadinya yang tak dapat dibandingkan dengan kesenangan di dunia ini. Keimanan ini mengakibatkan terhapusnya suatu sarana kecemasan mental yang lainnya yang merupakan keresahan akan kesirnaan yang mutlak.[6] Perasaan bahagia ia rasakan sebagai ketentraman yang ia dapati dan miliki dari konsekuensi keberimanannya.
Salah satu metode pembangunan manusia dari Nabi Muhammad saw. ialah mengembangkan semangat dan rasa percaya diri di kalangan umatnya. Dalam tuntunan dan ajaran nabi, kaum muslim mendapatkan rasa percaya diri yang mendalam, suatu keberanian yang luhur, suatu tekad yang teguh, dan cita-cita yang unggul, ketimbang terbaw hanyut oleh harapan-harapan kosong dan menjadi mangsa selera yang membinasakan. Mereka terus mencari dukungan Tuhan dan seluruh tindakan dan kesukaran mereka dengan terus memberi perhatian kepada sumber segala kabajikan.
III.KESIMPULAN
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan ditekankan pada segi fungsional. Maka, perkembangan adalah perubahan kualitatif daripada fungsi-funsi.
Masa remaja (adolesence) adalah persiapan pada masa dewasa awal, masa perkembangan yang merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Mengingat bahwa tidak semua remaja sama. Etnis, budaya, sejarah, gender, sosial ekonomi, dan gaya hidup yang bervariasi, mewarnai lintasan kehidupan mereka.
Peningkatan pemikiran abstrak dan idealis pada masa remaja menjadi dasar untuk mencari identitas diri sendiri. Banyak aspek dari perkembangan sosial-emosional dan nilai-nilai budaya dan etnis seperti hubungan dan interaksi dengan sesama. Masa remaja sebagai masa penangguhan, celah pada waktu dan pada perkembangan pikiran antara keamanan pada masa kanak-kanak dengan kemandirian pada masa dewasa. Apapun kegiatan dilakukannya tetapi belum memahami akan hakikat dari sesuatu yang dicarinya itu. Masa ini saya menyebutnya sebagai masa strumund drang (badai dan dorongan). Tetapi masa ini sudah dapat mengetahui kondisi dirinya, ia sudah mulai membuat rencana kehidupan serta sudah mulai memilih dan menentukan jalan hidup (way of life) yang hendak ditemuinya.
Bagi remaja, agama memiki arti yang sama pentingnya dengan moral. Agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Mengenai penghayatan dan pemahamaan terhadap keagamaan pada umumnya para remaja menunjukkan perubahan sikap terhadap agama. Berlainan dengan anak-anak yang menerima sepenuhnya apa yang diajarkan oleh orangtua mereka, para remaja menunjukkan sikap yang lebih kritis terhadap ajaran-ajaran agama. Dalam hal nilai-nilai hidup yang dianut, para remaja sering mengembangkan nilai-nilai sendiri (personal values) yang mungkin berlainan dengan nilai generasi-generasi sebelumnya.
IV.PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan secermat-sedetailnya. Penulis sangat menyadari dalam tulisan ini masih banyak kekurangan. Tak ada gading yang tak retak, dari landasan itulah, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan Writer demi perbaikan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi Readers yang beriman, Aamiin.




DAFTAR PUSTAKA:

Bastaman, Hana Djumhana. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Cet. V, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba
Humanika.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi. 2001. Etika dan Pertumbuhan Spiritual. Jakarta: Lentera.
Sholeh, Abu Ahmadi dan Munawar. 2005. Psikologi Perkembangan: Untuk Fakultas Tarbiyah IKIP SGPLB serta Para Pendidik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.



[1] Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan: Untuk Fakultas Tarbiyah IKIP SGPLB serta Para Pendidik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 6.
[2] Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan: Untuk Fakultas Tarbiyah IKIP SGPLB serta Para Pendidik, hlm. 121-126.
[3] Laura A. King, Psikologi Umum: sebuah Pandangan Apresiatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 188-193.
[4] Hana Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 166-167.
[5] Desmita, Psikologi Perkembangan¸ (Cet. V, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 208-210.
[6] Sayid Mujtaba Musawi Lari, Etika dan Pertumbuhan Spiritual, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm.121-122.

Tidak ada komentar: