Ayo Sinau...!!!

Kamis, 20 April 2017

Makalah Sirah Nabawiyah: Pernikahan nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.

PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD SAW. DENGAN KHADIJAH RA.


Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad





I.         PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Allah swt. menciptakan manusia sebagai makhluk di bumi ini yang paling sempurna daripada yang lain. Dalam kemanusiaannya memiliki akal yang dapat digunakan untuk berfikir dan berkehendak bebas sesuai dengan keinginannya. Apabila ia menjalani kehidupan yang terpuji, maka dapat melebihi kemuliaan para malaikat. Sebaliknya jika keburukan yang menjadi pedoman hidupnya, kehinaanlah yang menjadi gelarnya yang lebih rendah dari hewan.
Adanya makhluk yang sempurna (manusia -red) tidak arif jika tidak diimbangi dengan agama yang paripurna, yakni Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur manusia dari berbagai aspek kehidupan dari urusan yang sangat kecil hingga besar. Salah satunya termasuk penyaluran naluri jasmaniah yang berdimensi rohaniah, seperti menikah.[1]
Islam melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad saw. memberikan kemuliaan ganda antara duniawi dan ukhrawi. Dari Rasul dan  Khadijah lah terdapat suri tauladan yang sempurna bagi umat manusia. Dua insan yang cintanya abadi sepanjang masa.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang terjadinya pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
2.      Bagaimana proses pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
3.      Bagaimana makna pendidikan dalam pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
II.      PEMBAHASAN
A.     Latar belakang terjadinya Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.
Muhammad saw. kini telah melewati usia yang ke dua puluh. Seiring dengan berlalunya waktu, ia sering diajak kerabatnya melakukan perjalanan ke luar kota. Akhirnya, tiba saat Muhammad saw. diminta membawa dagangan orang-orang yang tidak mampu berdagang sendiri. Kesuksesannya dalam menunaikan tugas ini menumbuhkan banyak penawaran yang serupa lainnya. Sehingga, ia memperoleh penghasilan yang lebih baik dan pernikahan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan.
Pada saat itu pamannya sekaligus pelindungnya, Abu Thalib, memiliki tiga orang putra: yang tertua, Thalib, sebaya dengan Muhammad saw., ‘Aqil, berusia sekitar tiga belas atau empat belas tahun, dan Ja’far, masih berusia empat tahun. Muhammad saw. sangat tertarik dengan anak-anak dan suka bermain dengan mereka. Terutama sekali, ia menyayangi Ja’far yang tampan dan cerdas. Ja’far pun membalas kasih sayang dari sepupunya itu dengan kesetiaan yang tak kunjung pudar. Abu Thalib juga memiliki beberapa putri. Diantara mereka ada yang telah mencapai usia nikah. Namanya adalah Fakhitah, namun kemudian ia dipanggil dengan Umm Hani’ dan senantiasa dikenal dengan nama itu. Rasa cinta tumbuh antara dia dan Muhammad saw. Kemudian, ia memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya. Namun, Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani’. Hubayrah bukan saja seorang yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi, kekuasaan Bani Makhzum di Makkah demikian meningkat seiring dengan semakin merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada Hubayrahlah Abu Thalib menikahkan putrinya, Ummu Hani’. Ketika kemenakannya kembali mendekatinya dengan lembut, Abu Thalib hanya menjawab, “Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita kawini” – tak diragukan, ia merujuk ke ibunya sendiri – “maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan mereka.” Jawaban itu sebenarnya tidak memuaskan, tetapi Muhammad saw. menerima pernyataan pamannya. Dengan sopan, ramah, dan lapang dada, ia mengakui bahwa dirinya belum siap untuk menikah. Itulah yang diputuskan untuk dirinya. Namun, keadaan yang tidak terduga segera mengubah pikirannya.
Salah seorang saudagar terkaya di Makkah yakni Khadijah putri Khuwailid, dari suku Asad. Ia sepupu Waraqah, penganut Kristen, dan saudara perempuannya, Qutaylah. Seperti mereka juga, Khadijah adalah sepupu jauh dari anak-anak Hasyim. Sejak kematian suami keduanya, dia mengangkat orang untuk mendagangkan hartanya. Kini, Muhammad saw. telah dikenal di penjuru Makkah sebagai Al-Amin, orang yang terpercaya, dapat diandalkan kejujurannya. Khadijah telah mendengar tentang kebaikan putra Abdullah yang bersumber dari keluarganya. Pada suatu hari, Khadijah memercayai Muhammad saw. untuk membawakan barang-barang dagangan ke Suriah. Bayarannya dua kali lebih besar dari bayaran tertinggi yang pernah diberikan kepada orang Quraisy. Saudagar wanita itu juga menawari bantuan seorang budaknya bernama Maysaroh untuk menemani perjalanan Muhammad saw., ia pun menerima tawarannya dan berangkat membawa barang dagangannya ke Utara.
Sesampainya di Bostra, sebelah selatan Suriah, Muhammad saw. berteduh di sebuah pohon rindang yang tidak jauh dari tempat seorang pendeta bernama Nestor. Karena tempat persinggahan musafir jarang berubah, bisa jadi pohon itu adalah tempat ia berteduh sekitar lima belas tahun yang lalu dalam perjalanan menuju Bostra bersama pamannya. Mungkin Bahira telah meninggal dan digantikan oleh Nestor. Diceritakan dari Maysarah bahwa pendeta itu keluar dari biara dan bertanya kepadanya, “Siapa orang yang berteduh di bawah pohon itu?” “Dia orang Quraisy,” kata Maysarah,”dari keluarga penjaga Tanah Suci.” “Dia tak lain adalah seorang nabi,” Kata Nestor.
Setibanya di Makkah, mereka menuju rumah Khadijah dengan barang-barang yang mereka beli di pasar Suriah seharga dengan barang-barang yang mereka jual. Khadijah duduk mendengarkan Muhammad saw., ketika ia menceritakan perjalanan dan transaksi yang dilakukannya. Ternyata, transaksi itu sangat menguntungkan, karena dapat menjual aset-asetnya hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan. Namun, hal itu jauh dari benak Khadijah. Seluruh perhatiannya terpusat pada si pembicara itu sendiri. Putra Aminah berusia 25 tahun. Ia memiliki postur tubuh sedang, ramping, bentuk kepala yang besar, punggung yang lebar, dan anggota tubuh yang lainnya yang proporsional, panjang janggutnya sesuai, lebat serta hitam, rambutnya tidak lurus dan tidak juga ikal mencapai pertengahan antara daun telinga dan punggungnya, memiliki dahi yang lebar, matanya oval lebar, bulu matanya panjang dan alisnya lebat tapi tidak bertaut, matanya hitam[2], hidungnya mancung, mulutnya lebar berbentuk bagus. Meskipun janggutnya dibiarkan tumbuh, ketampananya senantiasa tampak. Ia tidak pernah membiarkan kumisnya tumbuh lebat di atas bibir atasnya. Kulitnya putih, namun agak kecokelatan karena sinar matahari. Sedangkan yang menambah ketampanan alamiahnya adalah cahaya yang memancar di wajahnya, juga memancar dari wajah ayahnya, namun pada putranya ini, pancaranya lebih terang dan pancaran cahaya ini terutama tampak pada dahinya yang lebar dan pada matanya yang jernih. Khadijah sadar bahwa ia sendiri masih merasa cantik, namun ia lebih tua lima belas tahun.
Begitu Muhammad pergi, Khadijah berkonsultasi dengan temannya, Nufaysah. Ia dimintai tolong untuk menawarkan diri mendekati sepupu Abu Thalib dan jika perlu, untuk mengatur pernikahan mereka berdua. Maysarah datang kepada majikannya dan menceritakan tentang dua malaikat serta mengatakan apa yang dikatakan oleh pendeta. Saudagar kaya itu pun segera menemui Waraqah, dan mengulang cerita itu kepadanya. Jika ini benar, Khadijah, “katanya”, “maka Muhammad adalah nabi dari kaum kita. Telah lama aku tahu bahwa seorang nabi akan diutus, dan saatnya kini telah tiba.”
Pada saat yang sama, Nufaysah datang kepada Muhammad saw. dan menanyakan mengapa ia belum menikah. “Aku tidak memiliki apa-apa untuk dapat berumah tangga,” jawabnya. “Jika ada seorang wanita yang cantik, kaya, terhormat, dan berlimpah harta, apakah engkau bersedia?” kata Nufaysah. “Siapakah dia?” “Khadijah.” Bagaimana aku dapat menikahinya? “Serahkan hal itu padaku!” “Baiklah, dari pihakku bersedia.” Nufaysah kembali kepada Khadijah menyampaikan beritanya. Kemudian, Khadijah menyuruh Nufaysah memanggil Muhammad saw. agar datang kepadanya. Setelah ia datang, Khadijah berkata, “Putra pamanku, aku mencintaimu karena kebaikanmu padaku, juga karena engkau selalu terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat, tanpa menjadi partisan.”Aku menyukaimu karena kamu dapat diandalkan, juga karena keluhuran budi dan kejujuran perkataanmu.” Kemudian Khadijah menawarkan dirinya untuk dinikahi. Merekapun sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya, ‘Amr, putra Asad, karena Khuwailid, ayahnya, telah meninggal dunia. Pada kesempatan tersebut, Hamzahlah yang diutus Bani Hasyim untuk mewakili mereka karena paling dekat hubungannya dengan Bani Asad, karena saudara perempuan kandungnya, Shafiyyah, menikah dengan saudara lelaki Khadijah, ‘Awwam. Maka, Hamzah membawa keponakannya menemui ‘Amr dan melamar Khadijah. Kesepakatan dicapai di antara mereka bahwa Muhammad saw. harus memberinya mahar dua puluh ekor unta muda betina.[3]
B.     Proses Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.
Sebelum Sayyidatina Khadijah ra.[4] dengan Muhammad, pernikahan pertama ia direncanakan dengan Waraqah bin Naufal, tetapi tidak terlaksana. Selain itu, juga dengan Atiq bin ‘Aidz al-Makhzumi, kemudian dengan Abu Halah.[5] Setelah Abu Halah meninggal, dimulailah lembaran baru dengan Muhammad.[6]
Bertemu dalam waktu singkat kegembiraan dan kekagumannya Khadijah dengan Muhammad berubah menjadi rasa cinta. Khadijah yang sudah berusia empat puluh tahun yang sebelumnya telah banyak menolak lamaran pemuka dan pembesar Quraisy, berhasrat juga menikah dengan pemuda ini yang usianya dua puluh lima tahun, lima belas tahun lebih muda darinya.[7] Tutur kata dan pandangan matanya yang menembus kalbunya.
Pernah Khadijah membicarakan kepada Nufaisah binti Mun-ya[8] untuk disampaikan kepada Muhammad. Ia pergi menemuinya seraya berkata: “Mengapa engkau tidak mau kawin?”
“Aku tidak mempunyai apa-apa sebagai persiapan perkawinan.” Jawab Muhammad.
“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu perempuan cantik, berharta, terhormat, dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?”
“siapa?” balasnya.
Menanggapi dengan sepatah kata: “Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad lagi.
“Serahkan soal itu kepadaku.” Ia pun menyatakan persetujuannya.
Peristiwa peminangan yang sebelumnya Khadijah mengirimkan surat kepada Muhammad yang isinya: “Wahai putra pamanku, aku sangat menyukai dirimu karena kekerabatanku, kemuliaanmu, kebaikan akhlakmu, serta kejujuranmu.”
Kemudia Khadijah menyerahkan dirinya kepada Muhammad saw. untuk dinikahi. Khadijah ketika itu adalah wanita terbaik Quraisy dari segi keturunannya, paling terhormat dan kaya di antara wanita-wanita Quraisy lainnya.[9]
Tidak lama kemudian Khadijah menentukan waktu lusa yang akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarganya guna menentukan hari perkawinan.[10]
Muhammad saw. memberitahukan perihal tersebut kepada pamannya. Setelah itu, Hamzah bin Abdil Muthalib dan Abu Thalib bersama Muhammad saw. datang ke tempat orang tua Khadijah[11]. Kedua paman Nabi saw. langsung menyatakan lamarannya.[12]
Pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian,[13] perkawinan berlangsung dengan diwakili oleh ‘Amr bin Asad pamannya Khadijah, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum perang Fijar.[14]  Muhammad dengan maskawin dua puluh ekor unta muda melangsungkan pernikahannya. Kemudian ia pindah ke rumah istrinya dalam memulai lembaran hidup barunya.
Sebagai sepasang suami-istri dan ibu bapak dari perkawinan tersebut mereka memperoleh beberapa orang anak, yakni laki-laki al-Qasim dan Abdullah Tahir at-Tayyib[15] yang keduanya meninggal di usia yang masih belia dan semua anak perempuan yang masih hidup hingga dewasa.[16]
Dua puluh lima tahun Rasulullah saw. dengan Sayyidatina Khadijah ra. tidak pernah menikah lagi dengan wanita lain karena kecintaannya kepada Thahirah, di usianya 65 tahun menjadi pendamping setianya Nabi Muhammad saw. mengemban tugasnya, ia wafat meninggalkan Nabi saw. Ketika kekasih pertama Rasul meninggal, Nabi sendirilah yang turun ke makam dan menguburkannya. Pada waktu itu, shalat jenazah belum disyari’atkan.[17]
C.     Makna Pendidikan dalam Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.
                              1.            Pernikahan Nabi saw. dengan Khadijah ra. tidak saja menjadikan beliau kaya raya, tetapi juga menjadikan beliau tuan tanah, dan juga membuka pintu usaha yang luas bagi beliau di Makkah dan sekitarnya.[18]
                              2.            Perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. adalah perkawinan monogami. Ini merupakan bagian yang tak tersentuh dalam pembahasan kehidupan asmara Nabi. Kalau kita hitung, Nabi mulai menikah pada usia 25 tahun, berarti sejak saat itu Khadijah mendampingi suami tercintanya. Cerita cinta ini berlanjut hingga sekitar sebelas tahun pasca kerasulan. Total kebersamaan mereka adalah 26 tahun, 15 tahun sebelum kerasulan, ditambah 11 tahun pasca kerasulan, atau pada waktu Nabi berusia diatas 50 tahun.
                              3.            Dari Khadijah terlahirlah keturunan yang shaleh.[19] Aisyah berkata: “Terkadang aku berkata kepada Rasulullah saw: “Seolah-olah tidak ada di dunia ini wanita selain Khadijah?” Beliau berkata: “Sesungguhnya dia adalah wanita yang utama, bijaksana dan dari dialah aku mendapat anak.” (HR. Bukhari)
                              4.            Khadijah adalah wanita yang terpandang dan bijaksana.
                              5.            Nabi Muhammad saw. adalah seorang yang jujur, amanah dan cerdas.
                              6.            Terbentukanya keluarga dari pernikahan maka ada kerinduan seorang anak yang merupakan sifat dari kebapakan dan keibuan. Keturunan yang baik terlahir dari orang tua yang baik pula.
                              7.            Pernikahan adalah satu upaya untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup, sebagai sepasang kekasih dengan perasaan kasih sayang, membentengi diri dari perbuatan tercela. Manusia secara fitrah adanya ketertarikan kepada lawan jenis, dan Islam memberikan jalan keluar dengan pernikahan.
                              8.            Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah saw. Sebagai umat muslim kita diperintahkan untuk taat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.[20]

III.   KESIMPULAN
Dari ke tiga rumusan masalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa latar belakang terjadinya pernikahan antara Nabi saw. dengan Khadijah ra. yakni dimulai dari mengabdinya Muhammad saw. yang menjualkan barang-barang kepada seorang saudagar wanita yang menghasilkan keuntungan besar yang membuat putri Khuwailid kagum yang menjadi rasa cinta, dan di sisi lain Khadijah menyukai akhlaq Muhammad saw. sebagai seorang pemuda yang dapat dipercaya, dan jujur yang jarang ditemukan oleh orang-orang Arab.
Adapun proses pernikahan Muhammad saw. dengan Khadijah dimulai dari Nufaisah yang diperintahkan olehnya untuk menemui putra Aminah menanyakan perihal tentang dirinya mengapa belum juga menikah di usia dewasanya. Sebab sepupu Abu Thalib tidak juga menikah dikarenakan faktor ekonomi yang belum cukup, karena itulah wanita kaya tersebut ingin menikah dengannya dengan persetujuannya. Akhirnya pamannya nabi melamar Khadijah, dan pernikahan tersebut dari pihak perempuan diwakilkan oleh pamannya, ‘Amr bin Asad karena ayahnya sudah meninggal.
Sedangkan dari pernikahan Rasul saw. dengan Thahirah ra. terdapat nilai-nilai pendidikan yang dapat dipetik yakni harta bukan sebagai pemisah antara yang punya dan tidak punya. Kemudian dari keturunan yang sholeh akan melahirkan keturunan yang sholeh pula. Adapun pernikahan merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup, perasaan kasih dan sayang serta membentengi diri dari perbuatan tercela yang secara fitrah manusia mengalami ketertarikan kepada lawan jenisnya dan agama memberi jalan keluar yang disyariatkannya.
IV.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman, Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Bakar Jabir al-Jazairi, Abu. 2008. Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan Sepanjang
Zaman. Jakarta: Qisthi Press.

Halim Abu Syuqqah, Abdul. 1990. Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam.
Husain Haekal, Muhammad. 2009. Sejarah Hidup Muhammad. Cet. II, Jakarta: PT. Pustaka
Litera AntarNusa.

Lings, Martin. 2015. Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta.

Margiono, dkk. 2007. Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan. Jakarta: Yudhistira.
Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad. 1998. A Prophet for All Humanity. India: Goodword
Books.

Muhyidin, Muhammad. 2009. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga.
Zakariyya, Muhammad. 2012. Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of
Muslims. Jakarta: Citra Risalah.





[1] Margiono, dkk., Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan, (Jakarta: Yudhistira, 2007), hlm. 62.
[2] Kebanyakan gambaran dalam sumber-sumber klasik menyebutkan bahwa matanya hitam, namun menurut satu-dua di antaranya, matanya berwarna cokelat atau cokelat terang.
[3] Martin Lings, Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015), hlm. 58-63
[4] Sebelum Islam Khadiajah sudah mendapat gelar Thahirah atau wanita suci. Oleh sebab itu, anak-anaknya dari suami-suami sebelumnya juga disebut dengan Bani Thahirah.
[5] Dari pernikahan Khadijah dengan Atiq bin Naufal dan Abu Halah (Zurarah at-Tamimi) terdapat perbedaan pendapat oleh ahli sejarah, bahwa suami pertama Khadijah adalah Atiq bin Naufal yang menghasilkan anak bernama Hindun, sebagian lagi menulis, perkawinannya dengan Atiq, Khadijah memiliki dua anak laki-laki, yakni Abdullah dan Abdu Manaf. Kemudian menikah lagi dengan Abu Halah, diriwayatkan bahwa dari pernikahan dengannya mendapatkan dua anak laki-laki dan perempuan yang bernama Hindun dan Halah.
[6] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of Muslims, (Jakarta: Citra Risalah, 2012), hlm. 249-250.
[7] Muhammad Muhyidin, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 63.
[8] Nufaisah binti Mun-ya menurut sumber merupakan saudara perempuan Khadijah, dan sumber yang lain mengatakan sahabatnya.
[9] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan Sepanjang Zaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2008), hlm. 92-93.
[10] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[11] Pada bagian paragraf ini disebutkan ayahnya Khadijah Khuwailid ibn Asad menerima lamaran.
[12] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan Sepanjang Zaman,...,93.
[13] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[14] Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakannya, bahwa ayahnya ada tetapi tidak menyetujui perkawinan tersebut dan Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ayahnya mabuk dengan begitu dapat melangsungkan pernikahannya dengan Muhammad. Sedangkan dari bukunya Abu Bakar Jabir al-Jazairi, dikatakan bahwa ayahnya, Khuwailid ibn Asad menerima laraman dan langsung mengawinkan Muhammad dengan Khadijah.
[15] Berdasarkan pendapat besar sebagian ahli genealogi, putra-putra Nabi saw. dari Khadijah dua orang, yaitu al-Qasim dan Abdullah yang diberi julukan at-Tahir dan At-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga orang putra dan bahkan empat.
[16] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Cet. II, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 66-68.
[17] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[18] Muhammad Maulana Wahiduddin Khan, A Prophet for All Humanity, (India: Goodword Books, 1998), hlm. 26.
[19] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah, (Kuwait: Darul Qalam, 1990), hlm. 178.
[20] Margiono, dkk., Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan,..., hlm. 669-70.

Tidak ada komentar: