PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD SAW. DENGAN KHADIJAH RA.
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Allah
swt. menciptakan manusia sebagai makhluk di bumi ini yang paling sempurna
daripada yang lain. Dalam kemanusiaannya memiliki akal yang dapat digunakan
untuk berfikir dan berkehendak bebas sesuai dengan keinginannya. Apabila ia
menjalani kehidupan yang terpuji, maka dapat melebihi kemuliaan para malaikat.
Sebaliknya jika keburukan yang menjadi pedoman hidupnya, kehinaanlah yang
menjadi gelarnya yang lebih rendah dari hewan.
Adanya
makhluk yang sempurna (manusia -red) tidak arif jika tidak diimbangi dengan
agama yang paripurna, yakni Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur manusia dari berbagai aspek kehidupan
dari urusan yang sangat kecil hingga besar. Salah satunya termasuk penyaluran
naluri jasmaniah yang berdimensi rohaniah, seperti menikah.[1]
Islam
melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad saw. memberikan kemuliaan ganda antara
duniawi dan ukhrawi. Dari Rasul dan
Khadijah lah terdapat suri tauladan yang sempurna bagi umat manusia. Dua
insan yang cintanya abadi sepanjang masa.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
latar belakang terjadinya pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
2.
Bagaimana proses pernikahan Nabi
Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
3.
Bagaimana makna pendidikan dalam
pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra. ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Latar
belakang terjadinya Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.
Muhammad saw. kini
telah melewati usia yang ke dua puluh. Seiring dengan berlalunya waktu, ia
sering diajak kerabatnya melakukan perjalanan ke luar kota. Akhirnya, tiba saat
Muhammad saw. diminta membawa dagangan orang-orang yang tidak mampu berdagang
sendiri. Kesuksesannya dalam menunaikan tugas ini menumbuhkan banyak penawaran
yang serupa lainnya. Sehingga, ia memperoleh penghasilan yang lebih baik dan
pernikahan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan.
Pada saat itu
pamannya sekaligus pelindungnya, Abu Thalib, memiliki tiga orang putra: yang
tertua, Thalib, sebaya dengan Muhammad saw., ‘Aqil, berusia sekitar tiga belas
atau empat belas tahun, dan Ja’far, masih berusia empat tahun. Muhammad saw. sangat
tertarik dengan anak-anak dan suka bermain dengan mereka. Terutama sekali, ia
menyayangi Ja’far yang tampan dan cerdas. Ja’far pun membalas kasih sayang dari
sepupunya itu dengan kesetiaan yang tak kunjung pudar. Abu Thalib juga memiliki
beberapa putri. Diantara mereka ada yang telah mencapai usia nikah. Namanya
adalah Fakhitah, namun kemudian ia dipanggil dengan Umm Hani’ dan senantiasa
dikenal dengan nama itu. Rasa cinta tumbuh antara dia dan Muhammad saw.
Kemudian, ia memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya. Namun,
Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang
berasal dari bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani’. Hubayrah bukan saja
seorang yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya
Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi, kekuasaan Bani Makhzum di Makkah demikian
meningkat seiring dengan semakin merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada
Hubayrahlah Abu Thalib menikahkan putrinya, Ummu Hani’. Ketika kemenakannya
kembali mendekatinya dengan lembut, Abu Thalib hanya menjawab, “Mereka telah
menyerahkan putri mereka untuk kita kawini” – tak diragukan, ia merujuk ke
ibunya sendiri – “maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan
mereka.” Jawaban itu sebenarnya tidak memuaskan, tetapi Muhammad saw. menerima
pernyataan pamannya. Dengan sopan, ramah, dan lapang dada, ia mengakui bahwa
dirinya belum siap untuk menikah. Itulah yang diputuskan untuk dirinya. Namun,
keadaan yang tidak terduga segera mengubah pikirannya.
Salah seorang
saudagar terkaya di Makkah yakni Khadijah putri Khuwailid, dari suku Asad. Ia
sepupu Waraqah, penganut Kristen, dan saudara perempuannya, Qutaylah. Seperti
mereka juga, Khadijah adalah sepupu jauh dari anak-anak Hasyim. Sejak kematian
suami keduanya, dia mengangkat orang untuk mendagangkan hartanya. Kini,
Muhammad saw. telah dikenal di penjuru Makkah sebagai Al-Amin, orang
yang terpercaya, dapat diandalkan kejujurannya. Khadijah telah mendengar
tentang kebaikan putra Abdullah yang bersumber dari keluarganya. Pada suatu
hari, Khadijah memercayai Muhammad saw. untuk membawakan barang-barang dagangan
ke Suriah. Bayarannya dua kali lebih besar dari bayaran tertinggi yang pernah
diberikan kepada orang Quraisy. Saudagar wanita itu juga menawari bantuan
seorang budaknya bernama Maysaroh untuk menemani perjalanan Muhammad saw., ia pun
menerima tawarannya dan berangkat membawa barang dagangannya ke Utara.
Sesampainya di
Bostra, sebelah selatan Suriah, Muhammad saw. berteduh di sebuah pohon rindang
yang tidak jauh dari tempat seorang pendeta bernama Nestor. Karena tempat
persinggahan musafir jarang berubah, bisa jadi pohon itu adalah tempat ia
berteduh sekitar lima belas tahun yang lalu dalam perjalanan menuju Bostra
bersama pamannya. Mungkin Bahira telah meninggal dan digantikan oleh Nestor. Diceritakan
dari Maysarah bahwa pendeta itu keluar dari biara dan bertanya kepadanya,
“Siapa orang yang berteduh di bawah pohon itu?” “Dia orang Quraisy,” kata
Maysarah,”dari keluarga penjaga Tanah Suci.” “Dia tak lain adalah seorang
nabi,” Kata Nestor.
Setibanya di
Makkah, mereka menuju rumah Khadijah dengan barang-barang yang mereka beli di
pasar Suriah seharga dengan barang-barang yang mereka jual. Khadijah duduk
mendengarkan Muhammad saw., ketika ia menceritakan perjalanan dan transaksi
yang dilakukannya. Ternyata, transaksi itu sangat menguntungkan, karena dapat
menjual aset-asetnya hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan. Namun, hal
itu jauh dari benak Khadijah. Seluruh perhatiannya terpusat pada si pembicara
itu sendiri. Putra Aminah berusia 25 tahun. Ia memiliki postur tubuh sedang,
ramping, bentuk kepala yang besar, punggung yang lebar, dan anggota tubuh yang
lainnya yang proporsional, panjang janggutnya sesuai,
lebat serta hitam, rambutnya tidak lurus dan tidak juga ikal mencapai pertengahan antara daun
telinga dan punggungnya, memiliki dahi yang lebar, matanya oval lebar, bulu matanya panjang dan alisnya lebat tapi tidak bertaut, matanya
hitam[2], hidungnya mancung, mulutnya lebar berbentuk bagus. Meskipun janggutnya
dibiarkan tumbuh, ketampananya senantiasa tampak. Ia tidak pernah membiarkan
kumisnya tumbuh lebat di atas bibir atasnya. Kulitnya putih, namun agak
kecokelatan karena sinar matahari. Sedangkan
yang menambah ketampanan alamiahnya adalah cahaya yang memancar di wajahnya, juga memancar dari wajah ayahnya, namun pada putranya ini, pancaranya
lebih terang dan pancaran cahaya ini terutama tampak pada dahinya yang lebar
dan pada matanya yang jernih. Khadijah sadar bahwa ia sendiri masih merasa
cantik, namun ia lebih tua lima belas tahun.
Begitu Muhammad pergi, Khadijah berkonsultasi dengan temannya, Nufaysah.
Ia dimintai tolong untuk menawarkan diri mendekati sepupu Abu Thalib dan jika perlu, untuk mengatur pernikahan mereka
berdua. Maysarah datang kepada majikannya dan menceritakan tentang dua malaikat
serta mengatakan apa yang dikatakan oleh pendeta. Saudagar kaya itu pun segera menemui Waraqah, dan mengulang cerita itu
kepadanya. Jika ini benar, Khadijah, “katanya”, “maka Muhammad adalah nabi dari
kaum kita. Telah lama aku tahu bahwa seorang nabi akan diutus, dan saatnya kini telah tiba.”
Pada saat yang sama, Nufaysah datang kepada Muhammad saw. dan menanyakan mengapa ia belum menikah. “Aku tidak memiliki apa-apa
untuk dapat berumah tangga,” jawabnya. “Jika ada seorang wanita yang cantik,
kaya, terhormat, dan berlimpah harta, apakah engkau bersedia?” kata Nufaysah.
“Siapakah dia?” “Khadijah.” Bagaimana aku dapat menikahinya? “Serahkan hal itu
padaku!” “Baiklah, dari pihakku bersedia.” Nufaysah kembali kepada Khadijah
menyampaikan beritanya. Kemudian, Khadijah menyuruh Nufaysah memanggil Muhammad
saw. agar datang kepadanya. Setelah ia datang, Khadijah berkata, “Putra
pamanku, aku mencintaimu karena kebaikanmu padaku, juga karena engkau selalu
terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat, tanpa menjadi partisan.”Aku
menyukaimu karena kamu dapat diandalkan, juga karena keluhuran budi dan
kejujuran perkataanmu.” Kemudian Khadijah menawarkan dirinya untuk dinikahi.
Merekapun sepakat agar masing-masing berbicara kepada pamannya, ‘Amr, putra Asad,
karena Khuwailid, ayahnya, telah meninggal dunia. Pada kesempatan tersebut,
Hamzahlah yang diutus Bani Hasyim untuk mewakili mereka karena paling dekat hubungannya dengan Bani Asad, karena saudara perempuan
kandungnya, Shafiyyah, menikah dengan saudara lelaki Khadijah, ‘Awwam. Maka,
Hamzah membawa keponakannya menemui ‘Amr dan melamar Khadijah. Kesepakatan
dicapai di antara mereka bahwa Muhammad saw. harus memberinya mahar dua puluh ekor unta muda betina.[3]
B. Proses Pernikahan Nabi Muhammad
saw. dengan Khadijah ra.
Sebelum Sayyidatina Khadijah ra.[4]
dengan Muhammad, pernikahan pertama ia direncanakan dengan Waraqah bin Naufal,
tetapi tidak terlaksana. Selain itu, juga dengan Atiq bin ‘Aidz al-Makhzumi,
kemudian dengan Abu Halah.[5]
Setelah Abu Halah meninggal, dimulailah lembaran baru dengan Muhammad.[6]
Bertemu dalam waktu singkat kegembiraan dan
kekagumannya Khadijah dengan Muhammad berubah menjadi rasa cinta. Khadijah yang
sudah berusia empat puluh tahun yang sebelumnya telah banyak menolak lamaran
pemuka dan pembesar Quraisy, berhasrat juga menikah dengan pemuda ini yang
usianya dua puluh lima tahun, lima belas tahun lebih muda darinya.[7]
Tutur kata dan pandangan matanya yang menembus kalbunya.
Pernah Khadijah membicarakan kepada Nufaisah binti
Mun-ya[8]
untuk disampaikan kepada Muhammad. Ia pergi menemuinya seraya berkata: “Mengapa
engkau tidak mau kawin?”
“Aku tidak mempunyai apa-apa sebagai persiapan
perkawinan.” Jawab Muhammad.
“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu perempuan
cantik, berharta, terhormat, dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?”
“siapa?” balasnya.
Menanggapi dengan sepatah kata: “Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad lagi.
“Serahkan soal itu kepadaku.” Ia pun menyatakan
persetujuannya.
Peristiwa peminangan yang sebelumnya Khadijah
mengirimkan surat kepada Muhammad yang isinya: “Wahai putra pamanku, aku sangat
menyukai dirimu karena kekerabatanku, kemuliaanmu, kebaikan akhlakmu, serta
kejujuranmu.”
Kemudia Khadijah menyerahkan dirinya kepada Muhammad
saw. untuk dinikahi. Khadijah ketika itu adalah wanita terbaik Quraisy dari
segi keturunannya, paling terhormat dan kaya di antara wanita-wanita Quraisy
lainnya.[9]
Tidak lama kemudian Khadijah menentukan waktu lusa
yang akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan
keluarganya guna menentukan hari perkawinan.[10]
Muhammad saw. memberitahukan perihal tersebut kepada
pamannya. Setelah itu, Hamzah bin Abdil Muthalib dan Abu Thalib bersama
Muhammad saw. datang ke tempat orang tua Khadijah[11].
Kedua paman Nabi saw. langsung menyatakan lamarannya.[12]
Pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian,[13]
perkawinan berlangsung dengan diwakili oleh ‘Amr bin Asad pamannya Khadijah,
sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum perang Fijar.[14] Muhammad dengan maskawin dua puluh ekor unta
muda melangsungkan pernikahannya. Kemudian ia pindah ke rumah istrinya dalam
memulai lembaran hidup barunya.
Sebagai sepasang suami-istri dan ibu bapak dari
perkawinan tersebut mereka memperoleh beberapa orang anak, yakni laki-laki
al-Qasim dan Abdullah Tahir at-Tayyib[15]
yang keduanya meninggal di usia yang masih belia dan semua anak perempuan yang
masih hidup hingga dewasa.[16]
Dua puluh lima tahun Rasulullah saw. dengan
Sayyidatina Khadijah ra. tidak pernah menikah lagi dengan wanita lain karena
kecintaannya kepada Thahirah, di usianya 65 tahun menjadi pendamping setianya
Nabi Muhammad saw. mengemban tugasnya, ia wafat meninggalkan Nabi saw. Ketika
kekasih pertama Rasul meninggal, Nabi sendirilah yang turun ke makam dan
menguburkannya. Pada waktu itu, shalat jenazah belum disyari’atkan.[17]
C. Makna Pendidikan dalam Pernikahan
Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah ra.
1.
Pernikahan Nabi
saw. dengan Khadijah ra. tidak saja menjadikan beliau kaya raya, tetapi juga
menjadikan beliau tuan tanah, dan juga membuka pintu usaha yang luas bagi
beliau di Makkah dan sekitarnya.[18]
2.
Perkawinan Nabi
Muhammad saw. dengan Khadijah ra. adalah perkawinan monogami. Ini merupakan
bagian yang tak tersentuh dalam pembahasan kehidupan asmara Nabi. Kalau kita
hitung, Nabi mulai menikah pada usia 25 tahun, berarti sejak saat itu Khadijah
mendampingi suami tercintanya. Cerita cinta ini berlanjut hingga sekitar
sebelas tahun pasca kerasulan. Total kebersamaan mereka adalah 26 tahun, 15
tahun sebelum kerasulan, ditambah 11 tahun pasca kerasulan, atau pada waktu Nabi
berusia diatas 50 tahun.
3.
Dari Khadijah terlahirlah
keturunan yang shaleh.[19]
Aisyah berkata: “Terkadang aku berkata kepada Rasulullah saw: “Seolah-olah
tidak ada di dunia ini wanita selain Khadijah?” Beliau berkata: “Sesungguhnya
dia adalah wanita yang utama, bijaksana dan dari dialah aku mendapat anak.”
(HR. Bukhari)
4.
Khadijah adalah
wanita yang terpandang dan bijaksana.
5.
Nabi Muhammad saw.
adalah seorang yang jujur, amanah dan cerdas.
6.
Terbentukanya
keluarga dari pernikahan maka ada kerinduan seorang anak yang merupakan sifat
dari kebapakan dan keibuan. Keturunan yang baik terlahir dari orang tua yang
baik pula.
7.
Pernikahan
adalah satu upaya untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup, sebagai
sepasang kekasih dengan perasaan kasih sayang, membentengi diri dari perbuatan
tercela. Manusia secara fitrah adanya ketertarikan kepada lawan jenis, dan
Islam memberikan jalan keluar dengan pernikahan.
8.
Pernikahan
merupakan sunnah Rasulullah saw. Sebagai umat muslim kita diperintahkan untuk
taat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.[20]
III.
KESIMPULAN
Dari
ke tiga rumusan masalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa latar
belakang terjadinya pernikahan antara Nabi saw. dengan Khadijah ra. yakni
dimulai dari mengabdinya Muhammad saw. yang menjualkan barang-barang kepada
seorang saudagar wanita yang menghasilkan keuntungan besar yang membuat putri
Khuwailid kagum yang menjadi rasa cinta, dan di sisi lain Khadijah menyukai
akhlaq Muhammad saw. sebagai seorang pemuda yang dapat dipercaya, dan jujur
yang jarang ditemukan oleh orang-orang Arab.
Adapun
proses pernikahan Muhammad saw. dengan Khadijah dimulai dari Nufaisah yang
diperintahkan olehnya untuk menemui putra Aminah menanyakan perihal tentang
dirinya mengapa belum juga menikah di usia dewasanya. Sebab sepupu Abu Thalib
tidak juga menikah dikarenakan faktor ekonomi yang belum cukup, karena itulah
wanita kaya tersebut ingin menikah dengannya dengan persetujuannya. Akhirnya
pamannya nabi melamar Khadijah, dan pernikahan tersebut dari pihak perempuan
diwakilkan oleh pamannya, ‘Amr bin Asad karena ayahnya sudah meninggal.
Sedangkan
dari pernikahan Rasul saw. dengan Thahirah ra. terdapat nilai-nilai pendidikan
yang dapat dipetik yakni harta bukan sebagai pemisah antara yang punya dan
tidak punya. Kemudian dari keturunan yang sholeh akan melahirkan keturunan yang
sholeh pula. Adapun pernikahan merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan
ketentraman dan kebahagiaan hidup, perasaan kasih dan sayang serta membentengi
diri dari perbuatan tercela yang secara fitrah manusia mengalami ketertarikan
kepada lawan jenisnya dan agama memberi jalan keluar yang disyariatkannya.
IV.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Penulis
menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif
sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalah
ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman,
Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar Jabir al-Jazairi, Abu. 2008. Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan
Sepanjang
Zaman. Jakarta: Qisthi Press.
Halim Abu Syuqqah, Abdul. 1990. Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam.
Husain Haekal, Muhammad. 2009. Sejarah Hidup Muhammad. Cet. II, Jakarta: PT. Pustaka
Litera AntarNusa.
Lings, Martin. 2015. Muhammad Kisah Hidup Nabi
Berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta.
Margiono, dkk. 2007. Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan. Jakarta: Yudhistira.
Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad. 1998. A Prophet for All Humanity. India:
Goodword
Books.
Muhyidin, Muhammad. 2009. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga.
Zakariyya, Muhammad. 2012. Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film Innocence of
Muslims. Jakarta: Citra Risalah.
[1] Margiono, dkk., Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan,
(Jakarta: Yudhistira, 2007), hlm. 62.
[2] Kebanyakan
gambaran dalam sumber-sumber klasik menyebutkan bahwa matanya hitam, namun
menurut satu-dua di
antaranya, matanya berwarna cokelat atau cokelat
terang.
[3] Martin Lings, Muhammad Kisah
Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2015), hlm. 58-63
[4] Sebelum Islam Khadiajah sudah
mendapat gelar Thahirah atau wanita
suci. Oleh sebab itu, anak-anaknya dari suami-suami sebelumnya juga disebut
dengan Bani Thahirah.
[5] Dari pernikahan Khadijah dengan
Atiq bin Naufal dan Abu Halah (Zurarah at-Tamimi) terdapat perbedaan pendapat
oleh ahli sejarah, bahwa suami pertama Khadijah adalah Atiq bin Naufal yang
menghasilkan anak bernama Hindun, sebagian lagi menulis, perkawinannya dengan
Atiq, Khadijah memiliki dua anak laki-laki, yakni Abdullah dan Abdu Manaf.
Kemudian menikah lagi dengan Abu Halah, diriwayatkan bahwa dari pernikahan
dengannya mendapatkan dua anak laki-laki dan perempuan yang bernama Hindun dan
Halah.
[6] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film
Innocence of Muslims, (Jakarta: Citra Risalah, 2012), hlm. 249-250.
[7] Muhammad Muhyidin, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2009), hlm. 63.
[8] Nufaisah binti Mun-ya menurut
sumber merupakan saudara perempuan Khadijah, dan sumber yang lain mengatakan
sahabatnya.
[9] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan
Sepanjang Zaman, (Jakarta: Qisthi
Press, 2008), hlm. 92-93.
[10] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film
Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[11] Pada bagian paragraf ini
disebutkan ayahnya Khadijah Khuwailid ibn Asad menerima lamaran.
[12] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Muhammad SAW My Beloved Prophet: Teladan
Sepanjang Zaman,...,93.
[13] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film
Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[14] Hal ini dengan sendirinya telah
membantah apa yang biasa dikatakannya, bahwa ayahnya ada tetapi tidak
menyetujui perkawinan tersebut dan Khadijah telah memberikan minuman keras
sehingga ayahnya mabuk dengan begitu dapat melangsungkan pernikahannya dengan
Muhammad. Sedangkan dari bukunya Abu Bakar Jabir al-Jazairi, dikatakan bahwa
ayahnya, Khuwailid ibn Asad menerima laraman dan langsung mengawinkan Muhammad
dengan Khadijah.
[15] Berdasarkan pendapat besar
sebagian ahli genealogi, putra-putra Nabi saw. dari Khadijah dua orang, yaitu
al-Qasim dan Abdullah yang diberi julukan at-Tahir dan At-Tayyib. Ada juga yang
mengatakan tiga orang putra dan bahkan empat.
[16] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Cet. II,
Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2009), hlm. 66-68.
[17] Muhammad Zakariyya, Muhammad saw. My Hero: Jawaban atas Film
Innocence of Muslims,...,hlm. 250.
[18] Muhammad Maulana Wahiduddin
Khan, A Prophet for All Humanity, (India:
Goodword Books, 1998), hlm. 26.
[19] Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah,
(Kuwait: Darul Qalam, 1990), hlm. 178.
[20]
Margiono, dkk., Pendidikan Agama Islam 3: Lentera Kehidupan,...,
hlm. 669-70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar