PROSES AL-ADA’ WA TAHAMMUL AL-HADITS
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat
konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan
riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan
kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi
syarat-syarat yang amat rumit yang
telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di
dalam buku-buku Ushulul Hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan
hadits Rasulullah SAW, kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara
mereka yang
mengatakan, ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya
pengabdian dan perhatian serius ulama. Untuk memahami ilmu hadits ulama telah
memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh
besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan
terhadap para perawi hadits, yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai masing- masing ilmu bisa berdiri
sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam
waktu yang hampir bersamaan dan saling
berkaitan.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman
dan pengenalan
terhadap para perawi hadits adalah al-Ada’wa Tahammul al-Hadits yang
akan kita bahas dalam makalah ini.
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu yang
selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah,
dan memegang janji. Sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap
al-Quran dan ilmunya, yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan
berbagai macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan
sungguh-sungguh dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik yang harus
dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri atau
ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits
hal ini dikenal dengan istilah al-Ada’wa Tahammul al-Hadis. Di dalam makalah ini akan dibahas cara penerimaaan dan
periwayatan hadis yang disebut dengan al-Ada’wa Tahammul al-Hadits.[1]
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, munculah pertanyaan-pertanyaan yang penulis rumuskan
dalam masalah tersebut:
Ø
Apa pengertian Al-‘Adawa Tahammul
al-hadits?
Ø Apa Syarat-syarat Al-‘Adawa Tahammul al-Hadits?
Ø
Apa saja komponen-komponen dalam proses tersebut?
Ø Bagaimanakah metode PTH?
1.3
Tujuan
Adapun
tujan penulis adalah:
1.3.1 Tujuan Pembahasan
·
Menjelaskan arti dari Al-‘Adawa Tahammul
al-Hadits
·
Mampu
meenjelaskan mutahammul dan mutaaddi
·
Menjelaskan
komponen-komponen dalam hal tersebut
·
Menjelaskan
metode-metode PTH
1.3.2
Tujuan Penulis
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits semester
satu.
1.4 Manfaat
Agar mpembaca memahami pengertian Al-‘adawa tahammul al-hadits
syarat-syaratnya, komponen-komponen penting dalam proses tersebut, dan
menegetahui metode-metode tersebut.
1.4 Metode
Metode
yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini adalah metode deskripsi dan study
kepustakaan. metode deskripsi adalah memaparkan hasil kedalam karangan ilmiah.
Studi kepustakaan adalah pengutipan referensi dari sumber tertulis.
BAB II. PEMBAHASAN
2.2 Uraian Pembahasan
2.2.1 Pengertian
Al’adawa Tahammul al-Hadits
Al-Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologi
Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang
guru kepada muridnya. Para ulama ahli hadis mengistilahkan al-ada’ yaitu
menyampaikan atau meriwayatkan hadis. Jadi Al-Ada’ yaitu meriwayatkan dan
menyampaikan hadits kepada murid atau proses mereportasekan hadits setelah ia
menerimanya dari seorang guru.
Menurut bahasa tahammul
berasal dari kata ( mashdar) yaituَحَمَّلَ
يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً yang berarti menanggung, membawa,atau biasa diterjemahkan dengan
menerima. Sedangkan menurut istilah yaitu mempelajari sebuah hadits dari
seorang syeikh.
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahamul adalah “mengambil atau
menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu”. Sedangkan
para ulama ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadis dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis”
dengan istilah al-tahammul.[2]
2.2.2 Syarat-syarat Al-‘adawa Tahammul
al-Hadits
a.
Syarat-syarat Al-‘ada’ul Al-Hadits
Mayoritas ulama Hadits, Ushul dan Fiqih
mensyaratkan untuk orang yang kita dapat berhujjah dengan riwayatnya, baik dia
laki-laki ataupun perempuan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Beragama Islam
Karena,
tidak dapat diterima riwayat orang kafir, walaupun dia bukan orang yang
berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat orang-orang fasik
sebagaimana telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 6.
2.
Sudah Sampai Umur
Karenanya
tidaklah diterima riwayat anak-anak yang belum sampai umur, mengingat hadits
yanh diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dari Umar dan Ali yaitu:
رفع القلم عن ثلاثة : عن المجنون المغلوب على عقله حت يبراوعن ا لنا ئم حت
يستيقظ و عن الصبي حت يحتلم.
“Diangkat kalam
dari tiga orang: dari orang gila, yang digagahi akalnya sehingga dia sembuh,
dari orang tidur sehingga dia bangun, dari anak kecil sehingga dia dewasa”.
Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai
paham dengan pengertian. Yang dimaksud sampai umur disini adalah sampai umur
sudah mempunyai akal.
Para
ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum
menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali
terhadap dirinya dalam urusan keduniaan. Maka dalam urusan keakhiratan tentulah
lebih utama lagi.[3]
3.
Keadilan
Yaitu sifat yang tetap terhujam peda seseorang yang mendorong yang
bersifat keadilan itu, berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Karenannya
timbullah kepercayaan masyarakat kepadanya.[4]
Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits yang dimaksud
adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya
melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan
dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.[5]
4.
Kedabitan
(ingatan dan hafalan yang kuat)
Yaitu si perawi itu sadar benar apa yang
didengarnya dan dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak dari dia
menerima sampai kepada dia menceritakan kepada orang lain. Jalan mengetahui kedlabitan seseorang ialah
mengecek riwayatnya dengan riwayat orang lain. Jika bersesuaian dengan riwayat
orang lain, walaupun pada ma’na, diterimalah riwayatnya. Dalam pada itu
perbedaan yang sekali saja terjainya, tidaklah menghalangi kita menerima
riwatnya. Jika terjadi banyak perbedaan dengan riwayat orang lain, tentulah
riwayatnya tidak dapat diterima.
Apabila
kita perhatikan pendapat Asy Syafi’I dalam Ar Risalah tentang kedlhabitan
hadits ahad, bahwa segala dasar dan kaidah yang berpautan dengan riwayat dan
dirayat telah dibukukan sebelum berakhir abad kedua hijrah.[6]
2.2.3 Syarat-syarat Tahammul Al-Hadits
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits
dari orang lain adalah:
1.
Penerima harus dlobid
(memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid)
2.
Berakal sempurna
3.
Tamyiz (Tamyiz adalah sesuatu kemmpuan yang menjadikan seseorang dapat
memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya).
2.2.4 Komponen-komponen penting dalam proses al-‘Adawa tahammul
al-Hadis.
A.
Al-Tahammul
Dalam tahammul hadits, tidak
disyaratkan seorang rawi itu harus baligh dan muslim, menurut pendapat yang
shahih. Sebagaimana dijelaskan as-Suyuthi (w.911 H) dalam Tadrib ar-Rawi.
B.
Al-Mu’addi
Berbeda
dalam ada’, maka disyaratkan
sudah baligh dan muslim. Maksudnya riwayat seseorang itu diterima meskipun saat
mendengar hadits itu, seorang tersebut masih dalam keadaan kafir maupun masih
belum baligh. Belum baligh disini disyaratkan sudah tamyiz, sebagaimana jika ia
sudah bisa membedakan kambing dan keledai.
Meskipun
ada pula yang mengatakan bahwa riwayat hadits seseorang tidaklah diterima jika
waktu memperoleh haditsnya saat belum baligh. Tetapi pendapat ini tidaklah
benar. Karena para Ulama’ telah menerima riwayat shahabat padahal saat menerima
hadits, mereka belum baligh. Sebagaimana riwayat Hasan, Husain, Abdullah bin
Zubair, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Said bin Yazid dan lainnya.
Al-Kathib
al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya al-Kifayah telah menjelaskan secara luas,
tentang diterima riwayat seseorang yang mendengar hadits saat belum baligh.
Hasan
bin Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan hadits dari Nabi, padahal beliau
lahir tahun 2 Hijriyah Maslamah bin Mukhallad meriwayatkan hadits dari Nabi.
Saat Nabi wafat, maslamah baru berusia 14 tahun.
Salah satu contoh hadits
yang diriwayatkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib saat masih kecil adalah sebuah
hadits yang diriwayatkan al-Khathib al-Baghdadi dengan sanadnya:
أخبرنا أبو سعيد
محمد بن موسى بن الفضل بن شاذان الصيرفي ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب الأصم ثنا
الحسن بن مكرم ثنا عثمان بن عمر انا ثابت بن عمارة عن ربيعة بن شيبان قال قلت
للحسن بن على ما تذكر من رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: حملنى على عنقه
فأدخلنى غرفة للصدقة فأخذت تمرة فجعلتها في في فقال ألقها أما علمت انا لا تحل لنا
الصدقة
Adapun
contoh hadits yang didapatkan rawi saat masih kafir adalah hadits Jabir bin Muth’im.
حديث جبير بن
مطعم المتفق عليه أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم يقرأ في المغرب بالطور. وكان
جاء في فداء اسرى بدر قبل أن يسلم. وفي رواية للبخاري وذلك أول ما وقر الإيمان في
قلبي.
Sanad
|
Rawi
|
Shighat Ada’
|
1
|
الخطيب
البغدادي
|
|
أخبرنا
|
||
2
|
أبو سعيد محمد
بن موسى بن الفضل الصيرفي
|
|
ثنا
|
||
3
|
أبو العباس
محمد بن يعقوب الأصم
|
|
ثنا
|
||
4
|
الحسن بن مكرم
|
|
ثنا
|
||
5
|
عثمان بن عمر
|
|
أنا
|
||
6
|
ثابت بن عمارة
|
|
عن
|
||
7
|
ربيعة بن
شيبان
|
|
قال
|
||
8
|
الحسن بن على
|
|
Matan hadits
|
حملنى على
عنقه فأدخلنى غرفة للصدقة فأخذت تمرة فجعلتها في في فقال ألقها أما علمت انا لا
تحل لنا الصدقة
|
Tabel 1: Contoh shighat Ada’ hadits
Apakah ada batas umur
tertentu dalam menerima hadits? Sebagian Ulama’ mensyaratkan batas minimal usia
5 tahun. Ada pula yang tidak membatasinya. Batasnya adalah jika sudah tamyiz,
sudah paham jika diajak bicara, bisa menjawab jika ditanya, dan bagus
pendengaranny.
Selain
kelayakan tahammul, sebagaimana disebutkan diatas yaitu
kelayakan ada’. Kelayakan ada’ seseorang agar diterima
riwayatnya yaitu sebagaimana syarat hadits maqbul (shahih/hasan); yaitu muslim
yang baligh, ‘adil dan dhabith. Untuk keterangan lebih detail,
bisa merujuk kepada tema syarat-syarat rawi.[7]
C.
Matan dan sanad
Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan
menurut istilah ahli hadis, sanad yaitu jalan
yang menyampaikan kepada matan hadis. Contoh :
Artinya:
"Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. " (Al-Hadis)
"Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. " (Al-Hadis)
Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:
(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari
nafi yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW
bersabda:...)
Matan
dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menuru
istilah ahli hadis, matan yaitu:
(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni
sabda Nabi SAW yang disebut
sesudah habis disebutkan sanadnya) .
Artinya:
" Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. " (Al-Hadis)
" Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. " (Al-Hadis)
Adapun
yang disebut matan dalam hadis tersebut yaitu:
KEDUDUKAN SANAD DAN MATAN HADIS
Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu
hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar
dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan
apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati
dalam menerima hadis .
Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan
hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan
kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum
yang meriwayatkannya disumpah.
Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah
merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam
menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu
meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi
untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu
undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan
dalam menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika
sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena
hadis yang diperoleh/ diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya.
Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima
atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad
merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa
hadis dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu:
Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:
Artinya:
"Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka," Abdullah lbnu Mubarak berkata:
"Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka," Abdullah lbnu Mubarak berkata:
Artinya:
"Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga."
"Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga."
Asy-Syafii berkata.
Artinya:
"Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari. "
"Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari. "
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan
menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai daya ingat yang luar biasa.
Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan
ahli bid'ah dan para pendusta. Karenanya pula imam- imam hadis berusaha pergi
dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul
yang dilakukan sanad 'aali
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan
dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan
bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah
khususnya kepada orang-orang Islam.
·
Metode
·
Sighot
2.2.5 Metode-Metode Proses Tahammul al-Ada’wa Tahammul al-Hadits.
1. Al sima’ (Mendengarkan hadis dari guru)
Al-sima adalah suatu cara yang ditempuh oleh para muhadditsin periode
pertama untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian mereka
meriwayatkannya kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Maka tidak
heran cara ini dinilai sebagai cara penerimaan hadis yang paling tinggi
tingkatannya. Demikian menrut pendapat jumhur ulama dari kalangan muhaddisin
dan lainnya.[8]
Menurut pendapat Abu Bastham Syu’ban ibn Al Hajjaj, pendengar hadits
dari seorang guru, sedang guru itu tidak dapat dilihat, karena duduk dibelakang
tabir umpamanya, tidak dibenarkan meriwayatkan hadits yang didengar semacam
itu. Abu Bastham berkata:
اذ
حدثك ا لمحدث فلم تر وجهه فلا تروعنه وايله ثيطا ن تصور فى صورته يقول: حد ثنا
واخبرنا
“Apabila
seorang muhadits menerangkan sesuatu Hadits kepada engkau sedang engkau tidak
melihat mukanya, maka janganlah engkau meriwayatkan hadits itu, karena boleh
jadi dia itu setan yang merupakan diri dalam rupa ahli hadits. Dia berkata diceritakan kepada kami dan dikhabarkan kepada kami”. Pendapat ini di bantah oleh jumhur.
An-Nawawy menerangkan, bahwa; “Para
sahabat mendengar Hadits dari ‘Aisyah dan dari istri-istri Rasul, yang duduk
dibelakang hijab. Merkeka hanya berpegang kepada suara”.
Abdul Ghani Al Maqdisi berhujjah dengan sabda Nabi SAW:
ان
بلا لا ينا د ى بليل فكلو ا و ا شربواحتى ينا د ى ابن مكتومن
“Bilal beradzan dimalam hari, Karena itu, makanlah dan minumlah
kamu sehingga ibnu Ummi Maktum membaca adzan”.
Nabi menyuruh kita berpegang pada suara
padahal orangnya jauh dari kita.
Apabila sesorang menerima hadis dari guru seperti itu, hendaklah ia
mengatakan disaat ia menyampaikan (Ada’wa)
hadits dengan :
سمعت = Saya Mendengar
Inilah perkataan yang
paling tinggi yang menunjukan kepada benar-benar mendengar sendiri.
Dibawahnya perkataan :
حدثني = Dia menceritakan kepadaku atau
حدثنا
= Dia menceritakan kepada kami.
Dibawah dari dirayat ini :
أخبرني
= Dia Khabarkan kepadaku
أخبرنا
= Dia Khabarkan Kepada Kami
أنبأنا/ ذكرنا =
Dia Menyebutkan Kepada Kami
Dan
boleh dia mengatakan:
قالنا
= Dia berkata kepada kami
Menurut
As Sayuti perkataan yang akhir ini biasa dipakai pada hadis yang didengar si
rawi dari gurunya dalam masa bermudzakarah.
Al
Imam Abu Amer ibnu Shalah berpendapat, bahwa perkataan Hadatsana atau Akhbarna,
lebih tinggi dari sami’tu.
Menurut
Az Zarkasyi dan Al Qurtubi Al Qatsalany, Hadatsana lebih tinggi, jika ia
meriwayatkan Hadits itu secara khusus.[9]
2. Al-‘Ardh (Membaca Hadis
di Hadapan Guru)
Para
muhaddisin menempuh jalan ini setelah pembukuan hadis banyak dilakukan dan
tersebar di berbagai tempat.
Makna
‘Ardh yaitu kita membaca sesuatu kitab kepada seseorang guru atau kita baca
hafalan kita kepda seorang guru, atau kita memperhatikan pembacaan seseorang
yang membacanya, baik dari kitabnya, ataupun dari hafalannya.
Riwayat
melalui jalan ini dibolehkan (dibenarkan) dengan syarat guru itu seseorang yang
benar menghafal apa yang dibaca dihadapannya atau memegang kitab yang mnjadi
asal bagi kitab yang dibaca oleh muridnya itu, atau kitab tersebut dipegang
oleh seseorang lain yang dipeecaya.
Hafidh Al-Iraqi
mengatakan bahwa: “Demikian juga apabila ada di waktu itu seseorang pendengar
dapat dipercaya apa yang dibaca dan benar-benar memperhatikan bacaan”.
Sebenarnya, apabila
yang mendengar hdis itu adalah orang lain, maka yang menjadi syekh adalah orang
lain itu.
Abu
‘Ashim An Nabili mengatakan, bahwa riwayat secara ini tidak diperbolehkan.
Para ulama berselisih
tentang samakah riwayat semacam ini dengan Al-Sama’.
Malik, Asyahab dan
guru-gurunya dari Madinah, kebanyakan ulama Hijaj, Ulama-ulama Kuffah dan Al
imam Al-Bukhari mengatakan: “Bahwasanya ‘Ardh, sama nilainya dengan Sama’.
Jumhur Ulama timur
berpendapat, bahwasanya sama’ lebih tinggi martabatnya dari ‘Ardh (membaca
dihadapan syekh/guru). Pendapat ini dibenarkan oleh An-Nawawi.
Abu Hanifah, Ibnu Abi
Dzi’bin, Malik-menurut hikayat Adarakuthni Al Lait’s Ibnu Sa’ad, Syu’ban, Ibnu
Lahi’ah, Yahya Ibnu Sa’id, Yahya Ibnu Abdillah ibnu Bakir dan kebanyakan ulama,
berpendapat bahwa membaca dihadapan guru yang didengar benar oleh guru
(qiraatan ‘alassy-syaikhi) lebih tinggi nilainya dari sama’.
Lafadz-lafadz yang
digunakan untuk menyampaikan hadis yang diterima secara Ardh:
Apabila perawi hendak
meriwayatkan hadis yang diterima ddengan jalan ini, maka yang sangat baik
dipergunakan lafadz:
قرعت
على فلان = Saya baca dihadapan Si Anu
atau
قراى
على فلان وا نااسمع = Telah dibaca dihadapan
si Anu sedang aku mendengarnya.
Salah
satu lafadz yang telah diterangkan di jalan pertama, asal dikaitkan dengan
bacaan, seperti dikatakan:
حدثنا قراة عليه = “Telah diceritakan kepada kami dengan jalan mmbaca
dihadapannya”
حدثن بقراتي عليه = “Telah dia ceritakan kepada kami dengan jalan aku bacakan
dihadapannya”
اخبرنا قراة عليه = “Telah dikabarkan kepada kami dengan jalan membaca
dihadapannya”
Dan
tidak boleh dipakai dalam cara lafadz ini: “Sami’tu = Saya mendengar, menurut
madzhab Jumhur Muhaddisin. Tapi Menurut Malik, Sufyan At Tsaury, Sufyan ibn
‘Uyainah, Ahmad ibn Shalih, Abu Bakar Al-Baqilani menyatakan boleh, asal
dikaitkan dengan qira’at bacaan. Misalnya:
قراءةسمعت = “Saya mendengar dengan jalan membaca”.
3.
Al – Ijazah
Al
– Ijazah adalah izin guru hadist kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau
kitab yang diriwayatkan dirinya padahal muridnya itu tidak mendengar hadist
tersebut atau tidak membaca kitab tersebut dihadapannya.
4.
Al – Munawalah
Pengertian
Al – Munawarah menurut Muhadistsin adalah bahwa seorang guru
menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadist kepada muridnya agar
diriwayatkan dengan sanad darinya.
5.
Al – Mukatabah
Yang dimaksud dengan maktabah adalah
seorang muhaddits menulis suatu hadis
lalu mengirimkannya kepada murid. Maktabah terdiri dari dua macam.
Bentuk pertama, maktabah yang disertai dengan ijazah. Bentuk kedua maktabah
yang tidak disertai dengan ijazah.
6.
Al – I’lam
Yakni
pemberitaan oleh seorang muhadist kepada seorang pencari hadist atau kitab yang
ditunjuknya adalah hadist atau kitab yang telah didengarnya dari seseorang, tanpa disertai izin periwayatan
kepadanya.
7.
Al – Wasiyah
8.
Al – Wijadah
Al Wijadah adalah kasus dimana seseorang menemukan suatu hadist
atau kitab hasil tulisan orang lain
lengkap dengan sanadnya
III. PENUTUT
Hadist adalah sumber rujukan kedua bagi umat islam
setelah menggunakan sumber rujukan berupa Al – Qur’an. Tidak sebagaimana
rujukan pertama yang eksistensinya disepkati oleh seluruh umat Islam, hadist
yang masih diperselisihkan sebagaimana lantaran sanad dan matannya yang tidak semuanya
shahih. Keraguan terus membayangi benak umat Islam ketika membaca dan apalagi
hendak mengamalkannya dalam kehidupan sehari – hari.[10]
Adapun pengertian Al-Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologi Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan
(meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. Para ulama ahli hadis
mengistilahkan Al-ada’ yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadist. Jadi Al-Ada’ yaitu meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada
murid atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang
guru.
Paling tidak ada beberapa faktor yang menjadikan
penelitian hadist berkedudukan sangat penting, yaitu hadist Nabi sebagai salah
satu sumber ajaran islam atau rujukan kedua setelah Al – Qur’an, tidak seluruh
hadist tertulis pada zaman Nabi, timbulnya pemalsuan hadist, proses
penghimpunan hadist yang memakan waktu yang sangat lama, adanya jumlah kitab
hadist yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam.
Mayoritas ulama Hadits, Ushul dan Fiqih mensyaratkan untuk
orang yang kita dapat berhujjah dengan riwayatnya, baik dia laki-laki ataupun seorang
perempuan dengan syarat - syarat yaitu
beragama islam, baligh/sudah sampai umur, adil, kedabitan
(ingatan dan hafalan yang kuat).
Adapun
komponen-komponen penting dalam proses al-‘Adawa tahammul
al-Hadis yaitu Al-Tahammul, Al-Mu’addi, Matan dan sanad.
Metode-Metode Proses Tahammul al-Ada’wa adalah Al sima’ (Mendengarkan hadis dari guru), Al-‘Ardh (Membaca Hadis di Hadapan Guru), Al – Ijazah, Al
– Munawalah, Al –Mukatabah, Al – I’lam, Al – Wasiyah, Al – Wijadah.
DAFTAR PUSTAKA
Rujukan
Buku :
Ash-Shiddieqy
Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, N.V
Bulan Bintang, Jakarta, 1981.
Jamhari Tri, Al-‘adawa Tahammul Hadits,
2013.
Robbhi, Tahammul dan ada’ dalam ilmu hadis, 2013.
Nuruddin,’Uluml
Hadis, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012.
Dari Internet :
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ulumul-hadits/allsub/94/sanad-dan-matan-hadist.html. (di akses tanggal 22 sep 2014)
http://abdurobbihi.blogspot.com/2013/01/tahammul-dan-ada-dalam-ilmu-hadist.html, (Diakses 18 september 2014)
http://ijamhomosapiens.blogspot.com/2013/06/al-adawa-tahammul-al-hadis_11.html, (Di akses 19 September 2014).
[1] Tri Jamhari,
2013, Al-‘adawa Tahammul Hadits, http://ijamhomosapiens.blogspot.com/2013/06/al-adawa-tahammul-al-hadis_11.html, (Di akses 19
September 2014).
[2] Tri Jamhari,
2013, Al-‘adawa Tahammul Hadits, http://ijamhomosapiens.blogspot.com/2013/06/al-adawa-tahammul-al-hadis_11.html, (Di akses 18
September 2014).
[3] Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta:N.V Bulan
Bintang,1981), Hlm.41-43
[4] Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta:N.V Bulan
Bintang,1981), Hlm. 42
[5] Tri Jamhari,
2013, Al-‘adawa Tahammul Hadits, http://ijamhomosapiens.blogspot.com/2013/06/al-adawa-tahammul-al-hadis_11.html, (Di akses 18
September 2014).
[6]
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta:N.V Bulan
Bintang,1981), Hlm.42-43
[7] Robbhi,2013,Tahammul
dan ada’ dalam ilmu hadis, http://abdurobbihi.blogspot.com/2013/01/tahammul-dan-ada-dalam-ilmu-hadist.html,
(Diakses 18 september 2014)
[8]
Nuruddin,’Uluml Hadis,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2012), Hlm. 208
[9]
M.Hasbi Ash-Shiddieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits,
(Jakarta:N.V.Bulan Bintang,1981), hlm.
43-45
[10]
Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis
(Yogyakarta: Teras, 2010)
1 komentar:
siph keren
Posting Komentar