Ayo Sinau...!!!

Sabtu, 11 Oktober 2014

Makalah Proses al-Ada’ Wa Tahammul al-Hadits

PROSES AL-ADA’ WA TAHAMMUL AL-HADITS

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad





BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW, kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan, ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama. Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits, yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya  sampai masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah al-Ada’wa Tahammul al-Hadits yang akan kita bahas dalam makalah ini.
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu yang selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya, yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan istilah al-Ada’wa Tahammul al-Hadis. Di dalam makalah ini akan dibahas cara penerimaaan dan periwayatan hadis yang disebut dengan al-Ada’wa Tahammul al-Hadits.[1]

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, munculah pertanyaan-pertanyaan yang penulis rumuskan dalam masalah tersebut:
Ø  Apa pengertian Al-‘Adawa Tahammul al-hadits?
Ø  Apa Syarat-syarat Al-‘Adawa Tahammul al-Hadits?
Ø  Apa saja  komponen-komponen dalam proses tersebut?
Ø  Bagaimanakah metode PTH?
1.3 Tujuan
Adapun tujan penulis adalah:
1.3.1 Tujuan Pembahasan
·        Menjelaskan arti dari Al-‘Adawa Tahammul al-Hadits
·        Mampu meenjelaskan mutahammul dan mutaaddi
·        Menjelaskan komponen-komponen dalam hal tersebut
·        Menjelaskan metode-metode PTH

1.3.2        Tujuan Penulis
     Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits semester satu.
1.4 Manfaat
     Agar mpembaca memahami pengertian Al-‘adawa tahammul al-hadits syarat-syaratnya, komponen-komponen penting dalam proses tersebut, dan menegetahui metode-metode tersebut.
1.4     Metode
            Metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini adalah metode deskripsi dan study kepustakaan. metode deskripsi adalah memaparkan hasil kedalam karangan ilmiah. Studi kepustakaan adalah pengutipan referensi dari sumber tertulis.

BAB II. PEMBAHASAN

2.2 Uraian Pembahasan

2.2.1 Pengertian Al’adawa Tahammul al-Hadits
Al-Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologi Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. Para ulama ahli hadis mengistilahkan al-ada’ yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadis. Jadi Al-Ada’ yaitu meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Menurut bahasa tahammul berasal dari kata ( mashdar) yaituَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً  yang berarti menanggung, membawa,atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Sedangkan menurut istilah yaitu mempelajari sebuah hadits dari seorang syeikh.
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu”. Sedangkan para ulama ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis” dengan istilah al-tahammul.[2]

2.2.2 Syarat-syarat Al-‘adawa Tahammul al-Hadits

a. Syarat-syarat Al-‘ada’ul Al-Hadits
Mayoritas ulama Hadits, Ushul dan Fiqih mensyaratkan untuk orang yang kita dapat berhujjah dengan riwayatnya, baik dia laki-laki ataupun perempuan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Beragama Islam
Karena, tidak dapat diterima riwayat orang kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat orang-orang fasik sebagaimana telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 6.
2.      Sudah Sampai Umur
Karenanya tidaklah diterima riwayat anak-anak yang belum sampai umur, mengingat hadits yanh diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dari Umar dan Ali yaitu:
رفع القلم عن ثلاثة : عن المجنون المغلوب على عقله حت يبراوعن ا لنا ئم حت يستيقظ و عن الصبي حت يحتلم.
“Diangkat kalam dari tiga orang: dari orang gila, yang digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga dia bangun, dari anak kecil sehingga dia dewasa”.
            Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dengan pengertian. Yang dimaksud sampai umur disini adalah sampai umur sudah mempunyai akal.
            Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali terhadap dirinya dalam urusan keduniaan. Maka dalam urusan keakhiratan tentulah lebih utama lagi.[3]
3.    Keadilan
            Yaitu sifat yang tetap terhujam peda seseorang yang mendorong yang bersifat keadilan itu, berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Karenannya timbullah kepercayaan masyarakat kepadanya.[4]
            Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.[5]
4.    Kedabitan (ingatan dan hafalan yang kuat)
            Yaitu si perawi itu sadar benar apa yang didengarnya dan dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak dari dia menerima sampai kepada dia menceritakan kepada orang lain.  Jalan mengetahui kedlabitan seseorang ialah mengecek riwayatnya dengan riwayat orang lain. Jika bersesuaian dengan riwayat orang lain, walaupun pada ma’na, diterimalah riwayatnya. Dalam pada itu perbedaan yang sekali saja terjainya, tidaklah menghalangi kita menerima riwatnya. Jika terjadi banyak perbedaan dengan riwayat orang lain, tentulah riwayatnya tidak dapat diterima.
            Apabila kita perhatikan pendapat Asy Syafi’I dalam Ar Risalah tentang kedlhabitan hadits ahad, bahwa segala dasar dan kaidah yang berpautan dengan riwayat dan dirayat telah dibukukan sebelum berakhir abad kedua hijrah.[6]

2.2.3 Syarat-syarat Tahammul Al-Hadits
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
1.      Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid)
2.      Berakal sempurna 
3.       Tamyiz (Tamyiz adalah sesuatu kemmpuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya).


2.2.4 Komponen-komponen penting dalam proses al-‘Adawa tahammul al-Hadis.
A.     Al-Tahammul
            Dalam tahammul hadits, tidak disyaratkan seorang rawi itu harus baligh dan muslim, menurut pendapat yang shahih. Sebagaimana dijelaskan as-Suyuthi (w.911 H) dalam Tadrib ar-Rawi.

B.     Al-Mu’addi
Berbeda dalam ada’, maka  disyaratkan sudah baligh dan muslim. Maksudnya riwayat seseorang itu diterima meskipun saat mendengar hadits itu, seorang tersebut masih dalam keadaan kafir maupun masih belum baligh. Belum baligh disini disyaratkan sudah tamyiz, sebagaimana jika ia sudah bisa membedakan kambing dan keledai.
Meskipun ada pula yang mengatakan bahwa riwayat hadits seseorang tidaklah diterima jika waktu memperoleh haditsnya saat belum baligh. Tetapi pendapat ini tidaklah benar. Karena para Ulama’ telah menerima riwayat shahabat padahal saat menerima hadits, mereka belum baligh. Sebagaimana riwayat Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Said bin Yazid dan lainnya.
Al-Kathib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya al-Kifayah telah menjelaskan secara luas, tentang diterima riwayat seseorang yang mendengar hadits saat belum baligh.
Hasan bin Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan hadits dari Nabi, padahal beliau lahir tahun 2 Hijriyah Maslamah bin Mukhallad meriwayatkan hadits dari Nabi. Saat Nabi wafat, maslamah baru berusia 14 tahun.
Salah satu contoh hadits yang diriwayatkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib saat masih kecil adalah sebuah hadits yang diriwayatkan al-Khathib al-Baghdadi dengan sanadnya:
أخبرنا أبو سعيد محمد بن موسى بن الفضل بن شاذان الصيرفي ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب الأصم ثنا الحسن بن مكرم ثنا عثمان بن عمر انا ثابت بن عمارة عن ربيعة بن شيبان قال قلت للحسن بن على ما تذكر من رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: حملنى على عنقه فأدخلنى غرفة للصدقة فأخذت تمرة فجعلتها في في فقال ألقها أما علمت انا لا تحل لنا الصدقة
Adapun contoh hadits yang didapatkan rawi saat masih kafir adalah hadits Jabir   bin Muth’im.

حديث جبير بن مطعم المتفق عليه أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم يقرأ في المغرب بالطور. وكان جاء في فداء اسرى بدر قبل أن يسلم. وفي رواية للبخاري وذلك أول ما وقر الإيمان في قلبي.
 Sanad
Rawi
Shighat Ada’
1
الخطيب البغدادي



أخبرنا
2
أبو سعيد محمد بن موسى بن الفضل الصيرفي



ثنا
3
أبو العباس محمد بن يعقوب الأصم



ثنا
4
الحسن بن مكرم



ثنا
5
عثمان بن عمر



أنا
6
ثابت بن عمارة



عن
7
ربيعة بن شيبان



قال
8
الحسن بن على

Matan hadits
حملنى على عنقه فأدخلنى غرفة للصدقة فأخذت تمرة فجعلتها في في فقال ألقها أما علمت انا لا تحل لنا الصدقة
Tabel 1: Contoh shighat Ada’ hadits

Apakah ada batas umur tertentu dalam menerima hadits? Sebagian Ulama’ mensyaratkan batas minimal usia 5 tahun. Ada pula yang tidak membatasinya. Batasnya adalah jika sudah tamyiz, sudah paham jika diajak bicara, bisa menjawab jika ditanya, dan bagus pendengaranny.
Selain kelayakan tahammul, sebagaimana disebutkan diatas  yaitu kelayakan ada’. Kelayakan ada’ seseorang agar diterima riwayatnya yaitu sebagaimana syarat hadits maqbul (shahih/hasan); yaitu muslim yang baligh, ‘adil dan dhabith. Untuk keterangan lebih detail, bisa merujuk kepada tema syarat-syarat rawi.[7]
C.     Matan dan sanad
Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah ahli hadis, sanad yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis. Contoh :
Artinya:
"Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. " (Al-Hadis)
Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:
(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:...)
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menuru 
istilah ahli hadis, matan yaitu:
(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut 
sesudah habis disebutkan sanadnya) .
Artinya:
" Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. " (Al-Hadis)
Adapun yang disebut matan dalam hadis tersebut yaitu:


 KEDUDUKAN SANAD DAN MATAN HADIS
Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis .
Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah.
Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang diperoleh/ diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa hadis dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu: Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:
Artinya:
"Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka," Abdullah lbnu Mubarak berkata:
Artinya:
"Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga."
Asy-Syafii berkata.
Artinya:
"Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari. "
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid'ah dan para pendusta. Karenanya pula imam- imam hadis berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad 'aali
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.
·        Metode
·        Sighot
2.2.5 Metode-Metode Proses Tahammul al-Ada’wa Tahammul al-Hadits.
1.      Al sima’ (Mendengarkan hadis dari guru)
Al-sima adalah suatu cara yang ditempuh oleh para muhadditsin periode pertama untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Maka tidak heran cara ini dinilai sebagai cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Demikian menrut pendapat jumhur ulama dari kalangan muhaddisin dan lainnya.[8]
Menurut pendapat Abu Bastham Syu’ban ibn Al Hajjaj, pendengar hadits dari seorang guru, sedang guru itu tidak dapat dilihat, karena duduk dibelakang tabir umpamanya, tidak dibenarkan meriwayatkan hadits yang didengar semacam itu. Abu Bastham berkata:
اذ حدثك ا لمحدث فلم تر وجهه فلا تروعنه وايله ثيطا ن تصور فى صورته يقول: حد ثنا واخبرنا
     “Apabila seorang muhadits menerangkan sesuatu Hadits kepada engkau sedang engkau tidak melihat mukanya, maka janganlah engkau meriwayatkan hadits itu, karena boleh jadi dia itu setan yang merupakan diri dalam rupa ahli hadits. Dia berkata diceritakan kepada kami dan dikhabarkan kepada kami”. Pendapat ini di bantah oleh jumhur.
An-Nawawy menerangkan, bahwa; “Para sahabat mendengar Hadits dari ‘Aisyah dan dari istri-istri Rasul, yang duduk dibelakang hijab. Merkeka hanya berpegang kepada suara”.
Abdul Ghani Al Maqdisi berhujjah dengan sabda Nabi SAW:
ان بلا لا ينا د ى بليل فكلو ا و ا شربواحتى ينا د ى ابن مكتومن
“Bilal beradzan dimalam hari, Karena itu, makanlah dan minumlah kamu sehingga ibnu Ummi Maktum membaca adzan”.
Nabi menyuruh kita berpegang pada suara padahal orangnya jauh dari kita.
Apabila sesorang menerima hadis dari guru seperti itu, hendaklah ia mengatakan disaat ia menyampaikan (Ada’wa)  hadits dengan :
سمعت = Saya Mendengar
Inilah perkataan yang paling tinggi yang menunjukan kepada benar-benar mendengar sendiri.
Dibawahnya perkataan :
حدثني = Dia menceritakan kepadaku atau
  حدثنا = Dia menceritakan kepada kami.
Dibawah dari dirayat ini :
أخبرني = Dia Khabarkan kepadaku
أخبرنا = Dia Khabarkan Kepada Kami
أنبأنا/ ذكرنا  = Dia Menyebutkan Kepada Kami
Dan boleh dia mengatakan:
قالنا = Dia berkata kepada kami
Menurut As Sayuti perkataan yang akhir ini biasa dipakai pada hadis yang didengar si rawi dari gurunya dalam masa bermudzakarah.
Al Imam Abu Amer ibnu Shalah berpendapat, bahwa perkataan Hadatsana atau Akhbarna, lebih tinggi dari sami’tu.
Menurut Az Zarkasyi dan Al Qurtubi Al Qatsalany, Hadatsana lebih tinggi, jika ia meriwayatkan Hadits itu secara khusus.[9]
2.      Al-‘Ardh (Membaca Hadis di Hadapan Guru)
Para muhaddisin menempuh jalan ini setelah pembukuan hadis banyak dilakukan dan tersebar di berbagai tempat.
Makna ‘Ardh yaitu kita membaca sesuatu kitab kepada seseorang guru atau kita baca hafalan kita kepda seorang guru, atau kita memperhatikan pembacaan seseorang yang membacanya, baik dari kitabnya, ataupun dari hafalannya.
Riwayat melalui jalan ini dibolehkan (dibenarkan) dengan syarat guru itu seseorang yang benar menghafal apa yang dibaca dihadapannya atau memegang kitab yang mnjadi asal bagi kitab yang dibaca oleh muridnya itu, atau kitab tersebut dipegang oleh seseorang lain yang dipeecaya.
Hafidh Al-Iraqi mengatakan bahwa: “Demikian juga apabila ada di waktu itu seseorang pendengar dapat dipercaya apa yang dibaca dan benar-benar memperhatikan bacaan”.
Sebenarnya, apabila yang mendengar hdis itu adalah orang lain, maka yang menjadi syekh adalah orang lain itu.
Abu ‘Ashim An Nabili mengatakan, bahwa riwayat secara ini tidak diperbolehkan.
Para ulama berselisih tentang samakah riwayat semacam ini dengan Al-Sama’.
Malik, Asyahab dan guru-gurunya dari Madinah, kebanyakan ulama Hijaj, Ulama-ulama Kuffah dan Al imam Al-Bukhari mengatakan: “Bahwasanya ‘Ardh, sama nilainya dengan Sama’.
Jumhur Ulama timur berpendapat, bahwasanya sama’ lebih tinggi martabatnya dari ‘Ardh (membaca dihadapan syekh/guru). Pendapat ini dibenarkan oleh An-Nawawi.
Abu Hanifah, Ibnu Abi Dzi’bin, Malik-menurut hikayat Adarakuthni Al Lait’s Ibnu Sa’ad, Syu’ban, Ibnu Lahi’ah, Yahya Ibnu Sa’id, Yahya Ibnu Abdillah ibnu Bakir dan kebanyakan ulama, berpendapat bahwa membaca dihadapan guru yang didengar benar oleh guru (qiraatan ‘alassy-syaikhi) lebih tinggi nilainya dari sama’.
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadis yang diterima secara Ardh:
Apabila perawi hendak meriwayatkan hadis yang diterima ddengan jalan ini, maka yang sangat baik dipergunakan lafadz:
قرعت على فلان = Saya baca dihadapan Si Anu
atau
قراى على فلان وا نااسمع = Telah dibaca dihadapan si Anu sedang aku mendengarnya.
Salah satu lafadz yang telah diterangkan di jalan pertama, asal dikaitkan dengan bacaan, seperti dikatakan:
حدثنا قراة عليه = “Telah diceritakan kepada kami dengan jalan mmbaca dihadapannya”
حدثن بقراتي عليه = “Telah dia ceritakan kepada kami dengan jalan aku bacakan dihadapannya”
اخبرنا قراة عليه = “Telah dikabarkan kepada kami dengan jalan membaca dihadapannya”
Dan tidak boleh dipakai dalam cara lafadz ini: “Sami’tu = Saya mendengar, menurut madzhab Jumhur Muhaddisin. Tapi Menurut Malik, Sufyan At Tsaury, Sufyan ibn ‘Uyainah, Ahmad ibn Shalih, Abu Bakar Al-Baqilani menyatakan boleh, asal dikaitkan dengan qira’at bacaan. Misalnya:
 قراءةسمعت = “Saya mendengar dengan jalan membaca”.
3.      Al – Ijazah
Al – Ijazah adalah izin guru hadist kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab yang diriwayatkan dirinya padahal muridnya itu tidak mendengar hadist tersebut atau tidak membaca kitab tersebut dihadapannya.
4.      Al – Munawalah
Pengertian Al – Munawarah menurut Muhadistsin adalah bahwa seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadist kepada muridnya agar diriwayatkan dengan sanad darinya.
5.      Al – Mukatabah
Yang dimaksud dengan maktabah adalah seorang muhaddits menulis suatu hadis   lalu mengirimkannya kepada murid. Maktabah terdiri dari dua macam. Bentuk pertama, maktabah yang disertai dengan ijazah. Bentuk kedua maktabah yang tidak disertai dengan ijazah.


6.      Al – I’lam
Yakni pemberitaan oleh seorang muhadist kepada seorang pencari hadist atau kitab yang ditunjuknya adalah hadist atau kitab yang telah didengarnya  dari seseorang, tanpa disertai izin periwayatan kepadanya.
7.      Al – Wasiyah
8.      Al – Wijadah
Al Wijadah adalah kasus dimana seseorang menemukan suatu hadist atau kitab  hasil tulisan orang lain lengkap dengan sanadnya


III. PENUTUT
            Hadist adalah sumber rujukan kedua bagi umat islam setelah menggunakan sumber rujukan berupa Al – Qur’an. Tidak sebagaimana rujukan pertama yang eksistensinya disepkati oleh seluruh umat Islam, hadist yang masih diperselisihkan sebagaimana lantaran sanad dan matannya yang tidak semuanya shahih. Keraguan terus membayangi benak umat Islam ketika membaca dan apalagi hendak mengamalkannya dalam kehidupan sehari – hari.[10]
Adapun pengertian Al-Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologi Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. Para ulama ahli hadis mengistilahkan Al-ada’ yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadist. Jadi Al-Ada’ yaitu meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Paling tidak ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian hadist berkedudukan sangat penting, yaitu hadist Nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam atau rujukan kedua setelah Al – Qur’an, tidak seluruh hadist tertulis pada zaman Nabi, timbulnya pemalsuan hadist, proses penghimpunan hadist yang memakan waktu yang sangat lama, adanya jumlah kitab hadist yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam.
Mayoritas ulama Hadits, Ushul dan Fiqih mensyaratkan untuk orang yang kita dapat berhujjah dengan riwayatnya, baik dia laki-laki ataupun seorang perempuan dengan syarat -  syarat yaitu beragama islam, baligh/sudah sampai umur, adil, kedabitan (ingatan dan hafalan yang kuat).
            Adapun komponen-komponen penting dalam proses al-‘Adawa tahammul al-Hadis yaitu Al-Tahammul, Al-Mu’addi, Matan dan sanad.
Metode-Metode Proses Tahammul al-Ada’wa adalah Al sima’ (Mendengarkan hadis dari guru), Al-‘Ardh (Membaca Hadis di Hadapan Guru), Al – Ijazah, Al – Munawalah, Al –Mukatabah, Al – I’lam, Al – Wasiyah, Al – Wijadah.

DAFTAR PUSTAKA

Rujukan Buku :
Ash-Shiddieqy Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, N.V Bulan Bintang, Jakarta, 1981.

Jamhari Tri, Al-‘adawa Tahammul Hadits, 2013.

Robbhi, Tahammul dan ada’ dalam ilmu hadis, 2013.
Nuruddin,’Uluml Hadis, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012.

Dari Internet :


[1] Tri Jamhari, 2013, Al-‘adawa Tahammul Hadits, http://ijamhomosapiens.blogspot.com/2013/06/al-adawa-tahammul-al-hadis_11.html, (Di akses 19 September 2014).
[2] Tri Jamhari, 2013, Al-‘adawa Tahammul Hadits, http://ijamhomosapiens.blogspot.com/2013/06/al-adawa-tahammul-al-hadis_11.html, (Di akses 18 September 2014).

[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta:N.V Bulan Bintang,1981), Hlm.41-43
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta:N.V Bulan Bintang,1981), Hlm. 42
[5] Tri Jamhari, 2013, Al-‘adawa Tahammul Hadits, http://ijamhomosapiens.blogspot.com/2013/06/al-adawa-tahammul-al-hadis_11.html, (Di akses 18 September 2014).
[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta:N.V Bulan Bintang,1981), Hlm.42-43
[7] Robbhi,2013,Tahammul dan ada’ dalam ilmu hadis, http://abdurobbihi.blogspot.com/2013/01/tahammul-dan-ada-dalam-ilmu-hadist.html, (Diakses 18 september 2014)
[8] Nuruddin,’Uluml Hadis,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2012), Hlm. 208
[9] M.Hasbi Ash-Shiddieqy,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta:N.V.Bulan Bintang,1981), hlm. 43-45
[10] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Teras, 2010)