ASBAB AL – NUZUL
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran diturunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan
untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak, dan pergaulam manusia yang sudah sangat menyimpang jauh dari kebenaran dan tujuan
hidup manusia.
Asbab Al – Nuzul disini dapat
dibagi menjadi dua kategori yaitu pertama, sebab turunnya lebih dari satu dan
ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu dan
kedua, persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih
dari satu sedang sebab turunnya satu. Sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW. atau sesuatu
pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi SAW. sehingga turunlah satu atau
beberapa ayat dari Allah SWT. yang berhubungan dengan kejadian pada saat itu,
atau sebagai jawaban atas pertanyaan dan situasi yang terjadi pada saat itu
juga, baik peristiwa pertengkaran atau kesalahan yang dipermasalahkan yang
dilakukan maupun suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik.
suatu
yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu
pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai
penjelasan sesuatu hukum yang diturunkan pada saat terjadinya suatu peristiwa.
Dalam
kaitan ini, perlu dikemukakan , bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang
didahului oleh suatu kasus tidak selalu pada saat berlangsungnya peristiwa itu
atau mengiringi terjadinya suatu peristiwa.
Semakin jauh manusia
dari zaman turunnya Al-Qur’an, semakin sukar lagi mengetahui sebab turunnya,
karena semakin jauh dari sumber yang jernih. Inilah sebabnya para ulama’ salaf
sangat ketat dalam menerima periwayat yang berhubunngan dengan sebab nuzul
ayat, baik mengenai rawi, ataupun mengenai matan-matan yang diriwayatkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada empat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud asbab al – nuzul?
2. Apakah macam – macam asbab al – nuzul?
3. Bagaimana arti pentingnya asbab al – nuzul dalam menafsirkan al –
Qur’an?
4. Bagaimana kaidah penetapan hukum yang berkaitan dengan asbab al – nuzul
BAB II.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Asbab al-Nuzul
Asbab
adalah bentuk jama’ dari kata sabab yang dalam bahasa indonesia biasa diartikan
: sebab, alasan, motif, latar belakang. Jadi asbab al-nuzul adalah sebab-sebab
turunnya Al-Qur’an.
Dalam
Al-Qur’an, kata asbab diungkapkan sebanyak delapan kali, empat kali bentuk
jama’nya, dan empat kali dalam bentuk tunggal.
Keempat
bentuk tunggalnya disebutkan dalam kisah Dzulkurnain, yang diabadikan dalam
firman Allah (Q.S Al-Khahfi : 84-85). Semua kata asbab yang dalam bentuk
tunggal pada ayat tersebut berarti “al-thariq” (jalan).
Sedangkan keempat bentuk jama’ itu diungkapkan
masing-masing dalam firman Allah (Q.S Al-Baqarah : 166). Kata asbab dalam ayat
tersebut berarti “alaqah” (hubungan). Dalam firman Allah yang lain (Q.S
Al-Mu’minun : 36-37). Kata asbab dalam ayat tersebut berarti
“abwab”(pintu-pintu).
Dengan
memperhatikan kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa kata asbab atau sabab
adalah termasuk kalimat musytarak yang mempunyai beberapa arti, sebagaimana
teleh dijelaskan diatas. Demikian pengertian asbab al-nuzul secara etimologi.[1]
Sedangkan
secara terminologi, sababun nuzul adalah : “sesuatu kejadian yang terjadi di
zaman Nabi atau sesuatu pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi sehingga
turunlah satu atau beberapa ayat dari Allah yang berhubungan dengan kejadian
itu, atau sebagai jawaban atas pertanyaan itu, baik peristiwa pertengkaran atau
kesalahan yang dilakukan maupun suatu peristiwa atau suatu keinginan yang
baik.” Dapat dikemukakan pula batasan-batasan pengertian yang berhasil
diformulasikan oleh para ulama’. Batas-batas tersebut adalah:
Asbab
al-Nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa
ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban,
atau sebagai penjelasan sesuatu hukum yang diturunkan pada saat terjadinya
suatu peristiwa. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat di
simpulkan, bah antara definisi yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda,
baik dari segi konten atau isi maupun redaksinya. Oleh karena itu dapat ditarik
unsur-unsur dari pengertian di atas:
1. Adanya
peristiwa atau pertanyaan yang mendahului turunnya ayat.
2. Adanya
tindak lanjut dari peristiwa itu.
3. Ada
objek yang dituju.
4. Berkaitan
erat peristiwa dengan materi ayat yang turun.
5. Terjadi
pada masa Rasulullah.
Definisi-definisi
“sabab al-nuzul” diatas menegaskan pengertian terhadap pembagian ayat-ayat
Al-Qur’an menjadi dua kelompok :
a. Ayat-ayat
yang ada sebab nuzulnya.
b. Ayat-ayat
yang tidak ada sebab nuzulnya.
Memang demikianlah ayat-ayat Al-Qur’an.
Ada yang diturunkan tanpa didahului sebab dan ada yang didahului suatu sebab.[2]
Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan ,
bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang didahului oleh suatu kasus tidak selalu
pada saat berlangsungnya peristiwa itu atau mengiringi terjadinya suatu
peristiwa, tapi ada kalanya ditangguhkan sampai beberapa hari, bahkan sampai
berpuluh-puluh hari. Hal ini dapat dilihat dalam kasus turunnya firman Allah
surat al-Kahfi(18):23-26 yang berkaitan dengan pertanyaan orang-orang Quraisiy
mengenai penduduk gua, serta ayat 83 dan seterusnya tentang Dzulkurnain.[3]
Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad di
setiap saat sesudah terjadi sesuatu kejadian, atau beberapa kejadian, maka
tentulah tidak mungkin para sahabat menyaksikan sendiri sebab-sebab turunnya
ayat. Walaupun mereka hafal ayat-ayat Al-Qur’an
namun ada kemungkinan meraka tidak mengetahui semua asbabun nuzulnya.
Semakin jauh manusia dari zaman turunnya
Al-Qur’an, semakin sukar lagi mengetahui sebab turunnya, karena semakin jauh
dari sumber yang jernih. Inilah sebabnya para ulama’ salaf sangat ketat dalam
menerima periwayat yang berhubunngan dengan sebab nuzul ayat, baik mengenai
rawi, ataupun mengenai matan-matan yang diriwayatkan.[4]
2. Macam-macam Asbab Al-Nuzul
Dari segi
jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab Al-Nuzul dapat di bagi dua kepada:
a)
Ta’addud
Al-Nazil (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang
terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu)
b)
Ta’addud
Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid (ini persoalan yang terkandung dalam
ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya
satu).
Sebab turun
ayat disebut Ta’addud Al-Nazil, bila inti persoalan yang terkandung dalam
ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu persoalan. Jika
ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing
menyebutkan suatu sebab
yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawanya, maka kedua riwayat ini
teliti dan dianalisis. Permasalahanya ada empat bentuk.
Pertama, salah satu dari keduanya sahih dan
lainnya tidak. Bentuk pertama
diselesaikan dengan jalan memilih riwayat yang sahih dan menolak yang tidak
sahih. Misalnya perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhary, Muslim, dan
lainnya dari satu pihak dan riwayat At-Tabrani dan Ibnu Abi Syaibah di pihak
lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan baru Jundab. Ia (Jundab)
berkata: “Nabi SAW.kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam”. Seorang perempuan datang kepadanya
dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat setanmu kecuali ia telah
meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan: وَالضُّحَى. وَ الَّليْلِ اِذَا
سَجَى. مَا وَدَّ عكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى.~الضحى:3-1
Al-Thabrani dan
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafsh bin Maisarah dari ibunya, dari ibunya
(neneknya dari ibu) dan ibunya ini pembantu Rasul SAW: “Sesengguhnya seekor
anak anjing memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah tempat tidur dan mati, maka
selama empat hari Nabi SAW. Tidak dituruni wahyu. Maka ia (Nabi) berkata: Hai
Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rasulullah? Jibril tidak datang
kepadaku”.Saya berkata pada diri saya sendiri: “Sekiranyalah engaku
persiapkan rumah ini dan engaku sapu, maka saya jangkaukan penyapu ke bawah
tempat tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW. Pun
datang dalam keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun (wahyu)
kepadanya ia menjadi gemetar”, maka Allah menurunkan: وَالضُّحَى
hingga firman-Nya فَتَرْضَى
Dalam hal demikian menurut Al-Zarkani, kita mendahulukan riwayat yang pertama
dalam menerangkan sebab turunnya ayat tersebut karena kesahihan riwayatnya dan
tidak riwayat yang kedua. Sebab dalam sanad riwayat kedua terdapat periwayat
yang tidak dikenal. Ibnu Hajar berkata: “Kisah terlambatnya Jibril karena
adanya anak anjing yang masuk itu. Akan tetapi, keadaanya menjadi sebab bagi
turunnya ayat aneh itu. Dalam sanadnya terdapat orang yang tidak terkenal.
Karena itu, yang diterima adalah ada yang ada didalam kitab Sahih”.
Kedua, keduanya sahih, akan tetapi salah
satunya mempunyai penguat (murajjih) dan lainnya tidak. Bentuk kedua
ialah keadaan dua riwayat itu sahih. Akan tetapi, salah satu diantaranya
mempunyai penguat (murajjih). Penyelesainnya ada yang mengambil yang
kuat rajjihah. Penguat (murajjih) itu adakalanya salah satunya lebih
sahih dari yang lainnya atau periwayat salah satu dari keduannya menyaksikan
kisah itu berlangsung sedang periwayat lainnya tidak demikian. Misalnya, hadits
yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud. Ia (Ibnu Mas’ud) berkata: “Saya
berjalan bersama. Nabi SAW. di Madinah dan ia (Nabi) bertongkatkan pelepah
kurma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian
orang lainnya: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan
kepada kami tentang ruh”. Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia
mengangkatkan kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu
itu naik. Kemudian ia berkata :
قُلِ الرُّوْحِ مِنْ اَمْرِ رَبِّئ
وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ اِلأَّ قَلِيْل
Dalam hubungan ayat yang sama, At-Tirmizi
meriwayatkan hadis yang disahihkan
dari Ibnu Abbas. Ia (Ibnu Abbas) berkata: “Orang-orang Quraisy berkata
kepada orang-orang Yahudi, “Berikanlah kepada kami sesuatu yang akan kami
pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”. Mereka berkata: “Tanyakanlah kepadanya tentang ruh”, mereka pun menanyakannya, maka
Allah menurunkan: {وَيَسْــءَلُوْ نَكَ عَنِ الرُّوْحِ . {الاية} Menurut
As-Suyuti dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini menunjukan bahwa ayat tersebut
turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy. Sedangkan riwayat yang pertama jelas
menunjukan turunnya di Madinah karena sebab turunnya adalah pertanyaan
orang-orang Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat dari yang kedua. Yang
pertama adalah riwayat Al-Bukhary dan yang kedua riwayat at-Tirmizi. Telah
menjadi ketentuan bahwa riwayat Al-Bukhary lebih sahih dari riwayat lainnya.
Kemudian, periwayat pertama, Ibnu Mas’ud menyaksikan kisah turun ayat tersebut,
sedangkan periwayat hadis yang kedua tidak demikian. Orang yang menyaksikan
tentunya mempunyai kekuatan yang lebih dalam penerimaan dan penyampaian riwayat
dari pada orang yang tidak menyaksikanya. Karena itu, riwayat yang pertama
diterima dan riwayat kedua ditalak.
Ketiga, keduanya sahih dan keduanya
sama-sama tidak mempunyai penguat (murajjih). Akan tetapi keduanya dapat
diambil sekaligus. Bentuk
ketiga ialah kesasihan dua riwayat itu sama dan tidak ditemukan riwayat (murajjih)
bagi salah satu keduanya. Akan tetapi, keduannya dapat dikompromikan. Kedua
sebab itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi peristiwa tersebut karena masa keduanya berhampiran.
Penyelesaiannya adalah dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi
turunnya ayat tersebut. Ibnu Hajar pernah berkata: “Tidak ada halangan bagi
tejadinya Ta’addud Al-Asbab (sebab ganda). Misalnya, hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal
bin Umayyah menuduh isterinya berbuat mesum (qazf) di sisi Nabi dengan Syarik
bin Samba. Nabi berkata: “Bukti atau hukuman (had) atas pundakmu”, Ia
berkata: “Hai Rasulullah, jika seseorang dari kamu mendapati seorang
laki-laki bersama isterinya, dia harus pergi mencari bukti?”. Menurut satu
riwayat, ia berkata: “Demi Tuhan yang membangkitkanmu dengan kebenaran,
sesungguhnya saya benar, dan sesungguhnya Allah akan menurunkan sesuatu (ayat)
yang akan membebaskan pundak saya dari hukuman (had), maka Jibril pun turut dan
menurunkan atas (Nabi).
Sementara itu,
Al-Bukhari dan Muslim (lafal Al-Bukhari) meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d, bahwa
Uaimir datang kepada Ashim bin Aidy yang adalah pemimpin bani Ajlan seraya
berkata: Bagaimana pendapat kamu tentang seseorang yang menemukan isterinya
bersama laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu maka kamu pun
membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak?
Tanyakanalah untuk saya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi
menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Umaiwir
pergi menanyakannya langsung kepada Rasul. Rasul berkata: “Allah telah menurunkan Al-Quran tentang
engaku dan temanmu (isterimu)”. Rasul memerintahkan keduanya melakukan
Mula’anah sehingga Umaiwir melakukan Li’an terhadap isterinya.
Kedua riwayat ini sahih dan tidak ada penguat (Murajjih)
bagi salah satu keduanya atas lainnya. Dalam pada itu, tidak terdapat
kesuliatan untuk menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun ayat-ayat tersebut
karena waktu peristiwanya berhampiran. Hilal bin Umayyah dipandang sebagai
penanya pertama dan Uwaimir penanya kedua sebelum ada jawaban Rasul. Pada
mulanya Uwaimir menanyakan melalaui Ashim dan kemudian menanyakannya secara
langsung.
Masalah ini juga dapat diselesaikan melalui jalan lain,
yaitu dengan memahaminya dari riwayat yang kedua. Melalui riwayat yang kedua.
Melalui riwayat yang kedua dapat dipahami bahwa ayat-ayat Mula’anah pada
mulanya turun sehubungan dengan masalah Hilal. Kemuadian, Umaiwir datang, maka
Rasul menjawabnya dengan ayat-ayat yang telah turun pada masalah Hilal.
Keempat, keadaan dua
riwayat itu sahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya
atas lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduannya sekaligus sebagai
Asbab Al-Nuzul karena waktu peristiwannya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah
dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak Asbab Al-Nuzulnya.
Misalnya ialah Hadis yang diriwayatkan.
3. Arti pentingnya asbab al – nuzul dalam menafsirkan al – Qur’an
Mempelajari dan mengetahui Asbab Al-Nuzul bagi
turunnya Al-Qur’an sangat penting, terutama dalam memahami ayat-ayat yang
menyangkut hukum. Para ulama telah menulis beberapa kitab khusus tentang
sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan menekankan pentingnya mengetahui
Asbab Al-Nuzul dengan pernyataan-pernyataan yang tegas. Di antara kitab yang
paling populer membahas ilmu ini adalah kitab Asbab Al-Nuzul karangan Al-Wahidi
(wafat 427 H), Ibnu Taimiyah (wafat 726 H) menulis sebuah buku Asbab Al-Nuzul,
dan As-Suyuti (wafat 991 H) menulis kitabnya Lubab Al-Nuqul Asbab Al-Nuzul.
Tentang perlunya mengetahui Asbab Al-Nuzul, Al-Wahidi berkata: “Tidak mungkin
kita mengetahui penafsiran ayat
Al-Qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turun ayat adalah jalan
yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an. Ibnu Taimiyah berkata: “Mengetahui
sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat Al-Qur’an. Sebab, pengetahuan
tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Sebagai contoh tentang bahaya menafsirkan
Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya ialah penafsiran Usman bin Mazun dan
Amr bin Ma’addi Kariba terhadap QS. Al-Maidah: 93. Maksudnya, mereka
membolehkan minum khamar berdasarkan ayat ini. As-Suyuti berkomentar bahwa
sekiranya mereka mengetahui sebab turun ayat ini, tentunya mereka tidak akan
mengatakan demikian. Sebab, Ahmad An-Nasai, dan lainnya meriwayatkan bahwa
sebab turun ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar diharamkan
mempertanyakan nasib kaum muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka
dahulunya minum khamar.
Kekeliruan yang serupa terjadi juga kepada
Marwah bin Al-Hakam dalam memahami ayat tanpa mengetahui sebab turunnya. Ayat
Al-Imron: 188.[5]
Sebagai ancaman bagi orang-orang Mukmin.
Karena itu, ia menyuruh penjaganya menanyakan kepeda Ibnu Abbas. Sekiranya
setiap orang yang gembira dengan apa yang diberikan kepadanya dan senang
dipujidengan apa yang tidak dilakukannya disiksa, maka semuanya kita akan
disiksa? Ibnu Abbas menjawab: memanggil orang-orang Yahudi dan menanyakannya
dari Nabi dan menceritakan hal lain kepada Nabi. Dalam pada itu, mereka
memperlihatkan kepada Nabi bahwa mereka telah berhak pujian atas apa yang
mereka berikan kepadanya. Mereka merasa gembira dengan kemampuan mereka
menyembunyikannya. Kemudian, Ibnu Abbas membacakan ayat: Ali-Imron: 187-183.
Dari dua contoh yang dikemukakan ini dapat
dipahami betapa bahayanya memahami Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya.
Namun demikian sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua ayat Al-Qur’an
harus mempunyai sebab turun. Ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak
semuanya harus diketahui sehingga tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa
dipahami. Ahamad Adil Kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an
melalui tiga cara. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan
yang dikemukakan kepada Nabi. Ketiga, ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa
didahului oleh peristiwa atau pertanyaan. Kemudian, ia menambahkan bahwa
ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi kepada dua kelompok. Kelompok
pertama, ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui, seperti ayat-ayat
hukum. Sebab, Sabab Al-Nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak
menjadi keliru. Kelompok kedua, ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui,
seperti ayat-ayat menyangkut kisah dalam Al-Qur’an. Kebanyakan ayat-ayat kisah
turun tanpa sebab yang khusus. Namun, ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat
kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya. Bagaimanapun, sebagian kisah
Al-Qur’an tidk dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya, seperti
ayat-ayat menyangkut tuduhan dusta terhadap Aisyah ra.[6]
الأفك kisah Nabi Khidhir dengan NabiMusa pada surat
Al-Kahfi. Sedangakan kisah-kisah yang sebab turun ayatnya tidak harus diketahui
ialah kisah bangsa-bangsa yang dahulu, ayat-ayat yang menyangkut ibadah celaan,
janji, ancaman, pengajaran, pengarahan, perintah, dan larangan. Ayat-ayat
seperti ini dapat dipahami tanpa mengetahui sebab turunnya. Sementara ayat
tertentu tidak dapat dipahami sama sekali tanpa mengetahui sebab turunnya.
Secara terinci, Al-Zarqani menyebutkan tujuh macam di antara kegunaan atau
faedah mengetahui Asbab Al-Nuzul.
1. Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul membawa kepada pengetahuan tentang
rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan Agama-Nya melalui
Al-Qur’an. Pengetahuan yang demikian akan memberi manfaat baik bagi orang
Mukmin maupun non-Mukmin.
2. Pengetahuan tentang Asbab Al-Nuzul membantu dalam memahami ayat dan
menghindarkan kesulitannya. Di antara contohnya ialah:
a. Firman Allah:
b. Marwan bin Al-Hakam mengalami kesulitan memahami ayat 188 dari surat Ali
Imron tanpa mengetahui sebab turunnya sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.[7]
3. Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul, dapat menolak dugaan adanya Hasr
(pembatasan) dalam ayat yang menurut lahirnya mengandung Hasr (pembatasan).
4. Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul dapat mengkhususkan (takhsis) hukum pada
sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah
kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5. Dengan mempelajari Sabab Al-Nuzul diketahui pula bahwa sebab turun ayat
tidak pernah ke luar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun
datang mukhasisnya (Yang mengkhususkannya). Hal ini didasarkan atas ijma’ yang
menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya. Dengan demikian, takhsis
(pengkhususan) terbatas pada masalah yang di luar sebab. Sekiranya Sabab
Al-Nuzul tidak diketahui, tentunya boleh dipahami bahwa Sabab A-Nuzul juga
termasuk yang ke luar dari hukum dengan adanya takhsis (pengkhususan). Padahal,
sesungguhnya tidak bolehnya mengeluarkan sebab dari hukum ayat yang lafalnya
umum itu adalah qat’i (pasti) menurut ijma’.
6. Dengan Sabab Al-Nuzul, diketahui orang yang ayat tertentu turun padanya
secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan
terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang salah.
7. Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul akan mempermudah orang menghafal
ayat-ayat Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang
mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Sebab, pertalian antara sebab atau
musabbab (akibat), hukumdan peristiwanya, peristiwa dan pelaku,masa, dan
tempatnya. Semua ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan
terlukisnya sesuatu dalam ingatan.
Dari tujuh macam kegunaan pengetahuan tentang
Sabab Al-Nuzul yang telah dikemukakan di atas, setidaknya lima di antaranya
mempunyai hubungan yang erat dengan kepentingan menafsirkan Al-Qur’an dan
mengistinbat hukum dari padanya. Seorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an atau
mengistinbat hukum dari ayat-ayatnya harus mengetahui sebab-sebab turunnya,
terutama sebab-sebab turun ayat-ayat yang menyangkut hukum.
4. Kaidah penetapan hukum yang berkaitan dengan asbab al – nuzul
Beberapa pakar
‘Ulum Al-Quran misalnya Al-Zarqany dan Al-Suyuthy, mensinyalir adanya
kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab
Nuzul tidak ada gunanya. Hal itu dianggapnya tidak lebih daripada sejarah
turunnya ayat yang tidak ada kaitannya dengan pemahaman Al-Quran. Anggapan
semacam ini, oleh kebanyakan ulama termasuk di antaranya Ibnu Taimiyah yang
mendalami ilmu-ilmu Al-Quran, dinilai sebagai pandangan yang keliru karena
banyak sekali hal yang dapat dibantu
oleh pemahaman Asbab Nuzul di dalam
upaya memahami Al-Quran. Faedah-faedah itu di antaranya adalah
sebagai berikut.
1. Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian di dalam mengangkat
ayat-ayat Al-Quran yang terdapat pada firman Allah (QS
Al-Baqarah [2]: 115)
Menurut zahir ayat ini, orang yang shalat, boleh
menghadap ke arah mana saja, sesuai kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak
berkewajiban menghadap Ka’bah saat shalat, dan zahir ayat itu membolehkan orang menghadap arah mana saja, baik
ketika bermukim maupun dalam perjalanan. Akan tetapi, setelah memahami Asbab Nuzul ayat di atas, ternyata tidak
demikian. Orang yang di dalam shalatnya dibenarkan menghadap arah mana saja
hanyalah orang yang tidak tahu arah kiblat dan kemudian dia berijtihad. Contoh
lainnya, Urwah pernah keliru dalam menangkap makna ayat: (QS Al-Baqarah [2]:
158).
Kekeliruan ‘Urwah
terletak pada pemahamannya mengenai pernyataan “tidak ada dosa baginya”.
Artinya, menurut yang dipahami ‘Urwah, seseorang yang mengerjakan ibadah haji
tidak berdosa bila tidak mengerjakan sa’i
antara Shafa dan Marwa karena dikepala ‘Urwah tergambar peristiwa yang
terjadi pada zaman jahiliyah. Pada zaman itu, orang-orang mengerjakan sa’i untuk beribadah kepada berhala yang
bernama Isaf yang ada di Bukit Shafa, dan patung Na’ilah yang ada di Marwah.
Barang kali, di dalam benak ‘Urwah terbetik alasan, sikap orang-orang jahiliyah
yang menyembah patung Isaf dan Na’ilah di Bukit Shafa dan Marwah itulah yang
membuat Al-Quran menetapkan hukum seperti pada ayat di atas. Untung ‘urwah
ragu. Pasalnya, ia menyaksikan semua kaum Muslimin yang tengah mengerjakan
ibadah haji berlari-lari kecil antara kedua bukit itu. ‘Urwah krmudian
menghampiri ‘Aisyah binti Abu Bakar untuk mencari kejelasan dan duduk persoalan
yang sebenarnya.
Setelah dijelaskan oleh
‘Aisyah, ‘Urwah baru tau kalau ayat itu diturunkan sehubungan dengan
orang-orang Anshar. Sebelum masuk Islam, mereka biasa mondar-mandir antara
Shafa dan Marwah untuk menyembah berhala. Setelah masuk Islam, mereka bertanya
kepada Rosulullah Saw. Lalu turunlah ayat yang menyatakan bahwa sa’i (berlari-lari kecil) antara Shafa
dan Marwah bukanlah dosa, justru sebaliknya. Di dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, ‘Aisyah mengatakan kepada ‘Urwah: “Rosulullah Saw. telah
mensunahkan sa’i di antara keduanya.
Tak seorang pun yang disuruh meninggalkan sa’i
di antara keduanya.
2. Mengatasi
keraguan terhadap ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Misalnya firman
Allah swt. (QS Al-An’am [6]: 145).
Menurut Imam Al-Syafi’i, pengertian yang
dimakud ayat ini tidaklah umum (hashr).
Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, Imam
Syafi’i menggunakan”alat bantu” nuzul ayat. Ayat ini, seperti diturunkan
Al-Zarqany, menurut Syafi’i diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang
tidak mau memakan sesuatu kecuali yang telah mereka halalkan. Telah menjadi
kebiasaan orang-orang kafir, terutama Yahudi, mengharamkan apa saja yang
dihalalkan Allah Swt. Dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah Swt.
Selanjutnya turunlah ayat 145 surah Al-An’am di atas untuk menetapkan
pengharaman dan bukan untuk menetapkan penghalalan makanan yang tidak disebut
ayat tersebut.
3. Aisyah
pernah menjernihkan kekeliruan Marwan. Menurut Marwan, surah Al-Ahqaf ayat 17, diturunkan sehubungan dengan Abd
Al-Rahman bin Abu Bakar. Dengan mengetahui Asbab Nuzul persoalan bisa
didudukkan pada proporsi yang sebenarnya. Seperti pada kasus tuduhan Marwan
terhadap Abd Al-Rahman. Nama Abd Al-Rahman bisa tercemar sepanjang sejarah
kalau tidak ada keterangan yang meluruskan dari Aisyah.
BAB III. KESIMPULAN
1. Asbab al-Nuzul adalah: suatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau
beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai
jawaban, atau sebagai penjelasan sesuatu hukum yang diturunkan pada saat
terjadinya suatu peristiwa.
2. Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab Al-Nuzul dapat di bagi
dua kepada:
a) Ta’addud Al-Asbab Wa
Al-Nazil Wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang
terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu)
b) Ta’addud Al-Asbab Wa
Al-Nazil Wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat
yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
3. Faedah empelajari asbab al-nuzul
1. Mengatasi keraguan terhadap ayat yang diduga mengandung
pengertian umum.
2. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian di
dalam mengangkat ayat-ayat Al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Ulumul
Qur’an 1, CV Pustaka Setia, Bandung , 1997
Muhammad Teungku, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Pustaka Rizki Putra, Semarang , 2002.
Usman, Ulumul Qur’an,Teras,
Yogyakarta, 2009.
[1] Usman, Ulumul Qur’an,(
Yogyakarta : Teras, 2009), hal.103
[2] Teungku Muhammad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,( Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2002), hal.18
[3] Usman, Ulumul Qur’an,(
Yogyakarta : Teras, 2009), hal.107
[4] Teungku Muhammad, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an,( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), hal.20
[5] Drs. H. Ahmad Syadili dan Drs. H. Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an 1, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1997), Hlm. 112-113
[6] Drs. H. Ahmad Syadili dan Drs. H. Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an 1, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1997), Hlm. 115
1 komentar:
siph keren...
Posting Komentar