Ayo Sinau...!!!

Sabtu, 11 Oktober 2014

Makalah Asbab al-Nuzul

ASBAB AL – NUZUL

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad





BAB  I.  PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Al-Quran diturunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak, dan pergaulam manusia yang sudah sangat menyimpang jauh dari kebenaran dan tujuan hidup manusia.
Asbab Al – Nuzul disini dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu pertama, sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu dan kedua, persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu. Sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW. atau sesuatu pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi SAW. sehingga turunlah satu atau beberapa ayat dari Allah SWT. yang berhubungan dengan kejadian pada saat itu, atau sebagai jawaban atas pertanyaan dan situasi yang terjadi pada saat itu juga, baik peristiwa pertengkaran atau kesalahan yang dipermasalahkan yang dilakukan maupun suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik.
suatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan sesuatu hukum yang diturunkan pada saat terjadinya suatu peristiwa.
Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan , bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang didahului oleh suatu kasus tidak selalu pada saat berlangsungnya peristiwa itu atau mengiringi terjadinya suatu peristiwa.
Semakin jauh manusia dari zaman turunnya Al-Qur’an, semakin sukar lagi mengetahui sebab turunnya, karena semakin jauh dari sumber yang jernih. Inilah sebabnya para ulama’ salaf sangat ketat dalam menerima periwayat yang berhubunngan dengan sebab nuzul ayat, baik mengenai rawi, ataupun mengenai matan-matan yang diriwayatkan.
 

B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, ada empat rumusan masalah sebagai berikut:
1.     Apa yang dimaksud asbab al – nuzul?            
2.     Apakah macam – macam asbab al – nuzul?
3.     Bagaimana arti pentingnya asbab al – nuzul dalam menafsirkan al – Qur’an?
4.     Bagaimana kaidah penetapan hukum yang berkaitan dengan asbab al – nuzul


  BAB  II. PEMBAHASAN

1.      Pengertian Asbab al-Nuzul
Asbab adalah bentuk jama’ dari kata sabab yang dalam bahasa indonesia biasa diartikan : sebab, alasan, motif, latar belakang. Jadi asbab al-nuzul adalah sebab-sebab turunnya Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an, kata asbab diungkapkan sebanyak delapan kali, empat kali bentuk jama’nya, dan empat kali dalam bentuk tunggal.
Keempat bentuk tunggalnya disebutkan dalam kisah Dzulkurnain, yang diabadikan dalam firman Allah (Q.S Al-Khahfi : 84-85). Semua kata asbab yang dalam bentuk tunggal pada ayat tersebut berarti “al-thariq” (jalan).
 Sedangkan keempat bentuk jama’ itu diungkapkan masing-masing dalam firman Allah (Q.S Al-Baqarah : 166). Kata asbab dalam ayat tersebut berarti “alaqah” (hubungan). Dalam firman Allah yang lain (Q.S Al-Mu’minun : 36-37). Kata asbab dalam ayat tersebut berarti “abwab”(pintu-pintu).
Dengan memperhatikan kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa kata asbab atau sabab adalah termasuk kalimat musytarak yang mempunyai beberapa arti, sebagaimana teleh dijelaskan diatas. Demikian pengertian asbab al-nuzul secara etimologi.[1]
Sedangkan secara terminologi, sababun nuzul adalah : “sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi atau sesuatu pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi sehingga turunlah satu atau beberapa ayat dari Allah yang berhubungan dengan kejadian itu, atau sebagai jawaban atas pertanyaan itu, baik peristiwa pertengkaran atau kesalahan yang dilakukan maupun suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik.” Dapat dikemukakan pula batasan-batasan pengertian yang berhasil diformulasikan oleh para ulama’. Batas-batas tersebut adalah:
Asbab al-Nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan sesuatu hukum yang diturunkan pada saat terjadinya suatu peristiwa. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat di simpulkan, bah antara definisi yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda, baik dari segi konten atau isi maupun redaksinya. Oleh karena itu dapat ditarik unsur-unsur dari pengertian di atas:
1.      Adanya peristiwa atau pertanyaan yang mendahului turunnya ayat.
2.      Adanya tindak lanjut dari peristiwa itu.
3.      Ada objek yang dituju.
4.      Berkaitan erat peristiwa dengan materi ayat yang turun.
5.      Terjadi pada masa Rasulullah.
Definisi-definisi “sabab al-nuzul” diatas menegaskan pengertian terhadap pembagian ayat-ayat Al-Qur’an menjadi dua kelompok :
a.       Ayat-ayat yang ada sebab nuzulnya.
b.      Ayat-ayat yang tidak ada sebab nuzulnya.
Memang demikianlah ayat-ayat Al-Qur’an. Ada yang diturunkan tanpa didahului sebab dan ada yang didahului suatu sebab.[2]
Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan , bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang didahului oleh suatu kasus tidak selalu pada saat berlangsungnya peristiwa itu atau mengiringi terjadinya suatu peristiwa, tapi ada kalanya ditangguhkan sampai beberapa hari, bahkan sampai berpuluh-puluh hari. Hal ini dapat dilihat dalam kasus turunnya firman Allah surat al-Kahfi(18):23-26 yang berkaitan dengan pertanyaan orang-orang Quraisiy mengenai penduduk gua, serta ayat 83 dan seterusnya tentang Dzulkurnain.[3]
Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad di setiap saat sesudah terjadi sesuatu kejadian, atau beberapa kejadian, maka tentulah tidak mungkin para sahabat menyaksikan sendiri sebab-sebab turunnya ayat. Walaupun mereka hafal ayat-ayat Al-Qur’an  namun ada kemungkinan meraka tidak mengetahui semua asbabun nuzulnya.
Semakin jauh manusia dari zaman turunnya Al-Qur’an, semakin sukar lagi mengetahui sebab turunnya, karena semakin jauh dari sumber yang jernih. Inilah sebabnya para ulama’ salaf sangat ketat dalam menerima periwayat yang berhubunngan dengan sebab nuzul ayat, baik mengenai rawi, ataupun mengenai matan-matan yang diriwayatkan.[4]

2.      Macam-macam Asbab Al-Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab Al-Nuzul dapat di bagi dua kepada:
a)      Ta’addud Al-Nazil (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu)
b)      Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
Sebab turun ayat disebut Ta’addud Al-Nazil, bila inti persoalan yang terkandung dalam ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu persoalan. Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawanya, maka kedua riwayat ini teliti dan dianalisis. Permasalahanya ada empat bentuk.
Pertama, salah satu dari keduanya sahih dan lainnya tidak. Bentuk pertama diselesaikan dengan jalan memilih riwayat yang sahih dan menolak yang tidak sahih. Misalnya perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhary, Muslim, dan lainnya dari satu pihak dan riwayat At-Tabrani dan Ibnu Abi Syaibah di pihak lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan baru Jundab. Ia (Jundab) berkata: “Nabi SAW.kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam. Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat setanmu kecuali ia telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan: وَالضُّحَى. وَ الَّليْلِ اِذَا سَجَى. مَا وَدَّ عكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى.~الضحى:3-1
Al-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafsh bin Maisarah dari ibunya, dari ibunya (neneknya dari ibu) dan ibunya ini pembantu Rasul SAW: “Sesengguhnya seekor anak anjing memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah tempat tidur dan mati, maka selama empat hari Nabi SAW. Tidak dituruni wahyu. Maka ia (Nabi) berkata: Hai Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”.Saya berkata pada diri saya sendiri: “Sekiranyalah engaku persiapkan rumah ini dan engaku sapu, maka saya jangkaukan penyapu ke bawah tempat tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW. Pun datang dalam keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun (wahyu) kepadanya ia menjadi gemetar”, maka Allah menurunkan: وَالضُّحَى  hingga firman-Nya فَتَرْضَى
Dalam hal demikian menurut Al-Zarkani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam menerangkan sebab turunnya ayat tersebut karena kesahihan riwayatnya dan tidak riwayat yang kedua. Sebab dalam sanad riwayat kedua terdapat periwayat yang tidak dikenal. Ibnu Hajar berkata: “Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing yang masuk itu. Akan tetapi, keadaanya menjadi sebab bagi turunnya ayat aneh itu. Dalam sanadnya terdapat orang yang tidak terkenal. Karena itu, yang diterima adalah ada yang ada didalam kitab Sahih”.
Kedua, keduanya sahih, akan tetapi salah satunya mempunyai penguat (murajjih) dan lainnya tidak. Bentuk kedua ialah keadaan dua riwayat itu sahih. Akan tetapi, salah satu diantaranya mempunyai penguat (murajjih). Penyelesainnya ada yang mengambil yang kuat rajjihah. Penguat (murajjih) itu adakalanya salah satunya lebih sahih dari yang lainnya atau periwayat salah satu dari keduannya menyaksikan kisah itu berlangsung sedang periwayat lainnya tidak demikian. Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud. Ia (Ibnu Mas’ud) berkata: “Saya berjalan bersama. Nabi SAW. di Madinah dan ia (Nabi) bertongkatkan pelepah kurma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian orang lainnya: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan kepada kami tentang ruh”. Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia mengangkatkan kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik. Kemudian ia berkata :
 قُلِ الرُّوْحِ مِنْ اَمْرِ رَبِّئ وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ اِلأَّ قَلِيْل Dalam hubungan ayat yang sama, At-Tirmizi meriwayatkan hadis yang disahihkan dari Ibnu Abbas. Ia (Ibnu Abbas) berkata: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, “Berikanlah kepada kami sesuatu yang akan kami pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”. Mereka berkata: “Tanyakanlah kepadanya tentang ruh”, mereka pun menanyakannya, maka Allah menurunkan: {وَيَسْــءَلُوْ نَكَ عَنِ الرُّوْحِ . {الاية} Menurut As-Suyuti dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini menunjukan bahwa ayat tersebut turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy. Sedangkan riwayat yang pertama jelas menunjukan turunnya di Madinah karena sebab turunnya adalah pertanyaan orang-orang Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat dari yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-Bukhary dan yang kedua riwayat at-Tirmizi. Telah menjadi ketentuan bahwa riwayat Al-Bukhary lebih sahih dari riwayat lainnya. Kemudian, periwayat pertama, Ibnu Mas’ud menyaksikan kisah turun ayat tersebut, sedangkan periwayat hadis yang kedua tidak demikian. Orang yang menyaksikan tentunya mempunyai kekuatan yang lebih dalam penerimaan dan penyampaian riwayat dari pada orang yang tidak menyaksikanya. Karena itu, riwayat yang pertama diterima dan riwayat kedua ditalak.
Ketiga, keduanya sahih dan keduanya  sama-sama tidak mempunyai penguat (murajjih). Akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus. Bentuk ketiga ialah kesasihan dua riwayat itu sama dan tidak ditemukan riwayat (murajjih) bagi salah satu keduanya. Akan tetapi, keduannya dapat dikompromikan. Kedua sebab itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi peristiwa tersebut karena masa keduanya berhampiran. Penyelesaiannya adalah dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Ibnu Hajar pernah berkata: “Tidak ada halangan bagi tejadinya Ta’addud Al-Asbab (sebab ganda). Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berbuat mesum (qazf) di sisi Nabi dengan Syarik bin Samba. Nabi berkata: “Bukti atau hukuman (had) atas pundakmu”, Ia berkata: “Hai Rasulullah, jika seseorang dari kamu mendapati seorang laki-laki bersama isterinya, dia harus pergi mencari bukti?”. Menurut satu riwayat, ia berkata: “Demi Tuhan yang membangkitkanmu dengan kebenaran, sesungguhnya saya benar, dan sesungguhnya Allah akan menurunkan sesuatu (ayat) yang akan membebaskan pundak saya dari hukuman (had), maka Jibril pun turut dan menurunkan atas (Nabi).
Sementara itu, Al-Bukhari dan Muslim (lafal Al-Bukhari) meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d, bahwa Uaimir datang kepada Ashim bin Aidy yang adalah pemimpin bani Ajlan seraya berkata: Bagaimana pendapat kamu tentang seseorang yang menemukan isterinya bersama laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu maka kamu pun membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak?
Tanyakanalah untuk saya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Umaiwir pergi menanyakannya langsung kepada Rasul. Rasul berkata: “Allah telah menurunkan Al-Quran tentang engaku dan temanmu (isterimu)”. Rasul memerintahkan keduanya melakukan Mula’anah sehingga Umaiwir melakukan Li’an terhadap isterinya.
Kedua riwayat ini sahih dan tidak ada penguat (Murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya. Dalam pada itu, tidak terdapat kesuliatan untuk menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun ayat-ayat tersebut karena waktu peristiwanya berhampiran. Hilal bin Umayyah dipandang sebagai penanya pertama dan Uwaimir penanya kedua sebelum ada jawaban Rasul. Pada mulanya Uwaimir menanyakan melalaui Ashim dan kemudian menanyakannya secara langsung.
Masalah ini juga dapat diselesaikan melalui jalan lain, yaitu dengan memahaminya dari riwayat yang kedua. Melalui riwayat yang kedua. Melalui riwayat yang kedua dapat dipahami bahwa ayat-ayat Mula’anah pada mulanya turun sehubungan dengan masalah Hilal. Kemuadian, Umaiwir datang, maka Rasul menjawabnya dengan ayat-ayat yang telah turun pada masalah Hilal.
Keempat, keadaan dua riwayat itu sahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduannya sekaligus sebagai Asbab Al-Nuzul karena waktu peristiwannya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak Asbab Al-Nuzulnya. Misalnya ialah Hadis yang diriwayatkan.


3.      Arti pentingnya asbab al – nuzul dalam menafsirkan al – Qur’an
Mempelajari dan mengetahui Asbab Al-Nuzul bagi turunnya Al-Qur’an sangat penting, terutama dalam memahami ayat-ayat yang menyangkut hukum. Para ulama telah menulis beberapa kitab khusus tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan menekankan pentingnya mengetahui Asbab Al-Nuzul dengan pernyataan-pernyataan yang tegas. Di antara kitab yang paling populer membahas ilmu ini adalah kitab Asbab Al-Nuzul karangan Al-Wahidi (wafat 427 H), Ibnu Taimiyah (wafat 726 H) menulis sebuah buku Asbab Al-Nuzul, dan As-Suyuti (wafat 991 H) menulis kitabnya Lubab Al-Nuqul Asbab Al-Nuzul. Tentang perlunya mengetahui Asbab Al-Nuzul, Al-Wahidi berkata: “Tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat  Al-Qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turun ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an. Ibnu Taimiyah berkata: “Mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat Al-Qur’an. Sebab, pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Sebagai contoh tentang bahaya menafsirkan Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya ialah penafsiran Usman bin Mazun dan Amr bin Ma’addi Kariba terhadap  QS. Al-Maidah: 93. Maksudnya, mereka membolehkan minum khamar berdasarkan ayat ini. As-Suyuti berkomentar bahwa sekiranya mereka mengetahui sebab turun ayat ini, tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab, Ahmad An-Nasai, dan lainnya meriwayatkan bahwa sebab turun ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya minum khamar.
Kekeliruan yang serupa terjadi juga kepada Marwah bin Al-Hakam dalam memahami ayat tanpa mengetahui sebab turunnya. Ayat Al-Imron: 188.[5]
Sebagai ancaman bagi orang-orang Mukmin. Karena itu, ia menyuruh penjaganya menanyakan kepeda Ibnu Abbas. Sekiranya setiap orang yang gembira dengan apa yang diberikan kepadanya dan senang dipujidengan apa yang tidak dilakukannya disiksa, maka semuanya kita akan disiksa? Ibnu Abbas menjawab: memanggil orang-orang Yahudi dan menanyakannya dari Nabi dan menceritakan hal lain kepada Nabi. Dalam pada itu, mereka memperlihatkan kepada Nabi bahwa mereka telah berhak pujian atas apa yang mereka berikan kepadanya. Mereka merasa gembira dengan kemampuan mereka menyembunyikannya. Kemudian, Ibnu Abbas membacakan ayat: Ali-Imron: 187-183.
Dari dua contoh yang dikemukakan ini dapat dipahami betapa bahayanya memahami Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya. Namun demikian sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua ayat Al-Qur’an harus mempunyai sebab turun. Ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami. Ahamad Adil Kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an melalui tiga cara. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada Nabi. Ketiga, ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan. Kemudian, ia menambahkan bahwa ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi kepada dua kelompok. Kelompok pertama, ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui, seperti ayat-ayat hukum. Sebab, Sabab Al-Nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru. Kelompok kedua, ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, seperti ayat-ayat menyangkut kisah dalam Al-Qur’an. Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus. Namun, ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya. Bagaimanapun, sebagian kisah Al-Qur’an tidk dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya, seperti ayat-ayat menyangkut tuduhan dusta terhadap Aisyah ra.[6]
الأفك kisah Nabi Khidhir dengan NabiMusa pada surat Al-Kahfi. Sedangakan kisah-kisah yang sebab turun ayatnya tidak harus diketahui ialah kisah bangsa-bangsa yang dahulu, ayat-ayat yang menyangkut ibadah celaan, janji, ancaman, pengajaran, pengarahan, perintah, dan larangan. Ayat-ayat seperti ini dapat dipahami tanpa mengetahui sebab turunnya. Sementara ayat tertentu tidak dapat dipahami sama sekali tanpa mengetahui sebab turunnya. Secara terinci, Al-Zarqani menyebutkan tujuh macam di antara kegunaan atau faedah mengetahui Asbab Al-Nuzul.
1.      Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan Agama-Nya melalui Al-Qur’an. Pengetahuan yang demikian akan memberi manfaat baik bagi orang Mukmin maupun non-Mukmin.  
2.      Pengetahuan tentang Asbab Al-Nuzul membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya. Di antara contohnya ialah:
a.       Firman Allah:
b.      Marwan bin Al-Hakam mengalami kesulitan memahami ayat 188 dari surat Ali Imron tanpa mengetahui sebab turunnya sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.[7]
3.      Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul, dapat menolak dugaan adanya Hasr (pembatasan) dalam ayat yang menurut lahirnya mengandung Hasr (pembatasan).
4.      Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul dapat mengkhususkan (takhsis) hukum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5.      Dengan mempelajari Sabab Al-Nuzul diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah ke luar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (Yang mengkhususkannya). Hal ini didasarkan atas ijma’ yang menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya. Dengan demikian, takhsis (pengkhususan) terbatas pada masalah yang di luar sebab. Sekiranya Sabab Al-Nuzul tidak diketahui, tentunya boleh dipahami bahwa Sabab A-Nuzul juga termasuk yang ke luar dari hukum dengan adanya takhsis (pengkhususan). Padahal, sesungguhnya tidak bolehnya mengeluarkan sebab dari hukum ayat yang lafalnya umum itu adalah qat’i (pasti) menurut ijma’.
6.      Dengan Sabab Al-Nuzul, diketahui orang yang ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang salah.
7.      Pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Sebab, pertalian antara sebab atau musabbab (akibat), hukumdan peristiwanya, peristiwa dan pelaku,masa, dan tempatnya. Semua ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan terlukisnya sesuatu dalam ingatan.
Dari tujuh macam kegunaan pengetahuan tentang Sabab Al-Nuzul yang telah dikemukakan di atas, setidaknya lima di antaranya mempunyai hubungan yang erat dengan kepentingan menafsirkan Al-Qur’an dan mengistinbat hukum dari padanya. Seorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an atau mengistinbat hukum dari ayat-ayatnya harus mengetahui sebab-sebab turunnya, terutama sebab-sebab turun ayat-ayat yang menyangkut hukum.


4.      Kaidah penetapan hukum yang berkaitan dengan asbab al – nuzul

Beberapa pakar  ‘Ulum Al-Quran misalnya Al-Zarqany dan Al-Suyuthy, mensinyalir adanya kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab Nuzul tidak ada gunanya. Hal itu dianggapnya tidak lebih daripada sejarah turunnya ayat yang tidak ada kaitannya dengan pemahaman Al-Quran. Anggapan semacam ini, oleh kebanyakan ulama termasuk di antaranya Ibnu Taimiyah yang mendalami ilmu-ilmu Al-Quran, dinilai sebagai pandangan yang keliru karena banyak sekali hal yang  dapat dibantu oleh pemahaman Asbab Nuzul di dalam upaya memahami Al-Quran. Faedah-faedah itu di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian di dalam mengangkat ayat-ayat  Al-Quran yang terdapat pada firman Allah (QS Al-Baqarah [2]: 115)
Menurut zahir ayat ini, orang yang shalat, boleh menghadap ke arah mana saja, sesuai kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban menghadap Ka’bah saat shalat, dan zahir ayat itu membolehkan orang menghadap arah mana saja, baik ketika bermukim maupun dalam perjalanan. Akan tetapi, setelah memahami Asbab Nuzul ayat di atas, ternyata tidak demikian. Orang yang di dalam shalatnya dibenarkan menghadap arah mana saja hanyalah orang yang tidak tahu arah kiblat dan kemudian dia berijtihad. Contoh lainnya, Urwah pernah keliru dalam menangkap makna ayat: (QS Al-Baqarah [2]: 158).
Kekeliruan ‘Urwah terletak pada pemahamannya mengenai pernyataan “tidak ada dosa baginya”. Artinya, menurut yang dipahami ‘Urwah, seseorang yang mengerjakan ibadah haji tidak berdosa bila tidak mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwa karena dikepala ‘Urwah tergambar peristiwa yang terjadi pada zaman jahiliyah. Pada zaman itu, orang-orang mengerjakan sa’i untuk beribadah kepada berhala yang bernama Isaf yang ada di Bukit Shafa, dan patung Na’ilah yang ada di Marwah. Barang kali, di dalam benak ‘Urwah terbetik alasan, sikap orang-orang jahiliyah yang menyembah patung Isaf dan Na’ilah di Bukit Shafa dan Marwah itulah yang membuat Al-Quran menetapkan hukum seperti pada ayat di atas. Untung ‘urwah ragu. Pasalnya, ia menyaksikan semua kaum Muslimin yang tengah mengerjakan ibadah haji berlari-lari kecil antara kedua bukit itu. ‘Urwah krmudian menghampiri ‘Aisyah binti Abu Bakar untuk mencari kejelasan dan duduk persoalan yang sebenarnya.
Setelah dijelaskan oleh ‘Aisyah, ‘Urwah baru tau kalau ayat itu diturunkan sehubungan dengan orang-orang Anshar. Sebelum masuk Islam, mereka biasa mondar-mandir antara Shafa dan Marwah untuk menyembah berhala. Setelah masuk Islam, mereka bertanya kepada Rosulullah Saw. Lalu turunlah ayat yang menyatakan bahwa sa’i (berlari-lari kecil) antara Shafa dan Marwah bukanlah dosa, justru sebaliknya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, ‘Aisyah mengatakan kepada ‘Urwah: “Rosulullah Saw. telah mensunahkan sa’i di antara keduanya. Tak seorang pun yang disuruh meninggalkan sa’i di antara keduanya.
2.      Mengatasi keraguan terhadap ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Misalnya firman Allah swt. (QS Al-An’am [6]: 145).
Menurut Imam Al-Syafi’i, pengertian yang dimakud ayat ini tidaklah umum (hashr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, Imam Syafi’i menggunakan”alat bantu” nuzul ayat. Ayat ini, seperti diturunkan Al-Zarqany, menurut Syafi’i diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu kecuali yang telah mereka halalkan. Telah menjadi kebiasaan orang-orang kafir, terutama Yahudi, mengharamkan apa saja yang dihalalkan Allah Swt. Dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah Swt. Selanjutnya turunlah ayat 145 surah Al-An’am di atas untuk menetapkan pengharaman dan bukan untuk menetapkan penghalalan makanan yang tidak disebut ayat tersebut.
3.      Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan. Menurut Marwan, surah Al-Ahqaf  ayat 17, diturunkan sehubungan dengan Abd Al-Rahman bin Abu Bakar. Dengan mengetahui Asbab Nuzul persoalan bisa didudukkan pada proporsi yang sebenarnya. Seperti pada kasus tuduhan Marwan terhadap Abd Al-Rahman. Nama Abd Al-Rahman bisa tercemar sepanjang sejarah kalau tidak ada keterangan yang meluruskan dari Aisyah.

        BAB III. KESIMPULAN

1.      Asbab al-Nuzul adalah: suatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan sesuatu hukum yang diturunkan pada saat terjadinya suatu peristiwa.
2.      Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab Al-Nuzul dapat di bagi dua kepada:
a)  Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu)
b)  Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
3.      Faedah empelajari asbab al-nuzul
1. Mengatasi keraguan terhadap ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
2. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian di dalam mengangkat ayat-ayat  Al-Quran.


 DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an 1, CV Pustaka Setia, Bandung , 1997
Muhammad Teungku, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Rizki Putra, Semarang , 2002.
Usman, Ulumul Qur’an,Teras, Yogyakarta,  2009.




[1]  Usman, Ulumul Qur’an,( Yogyakarta : Teras, 2009), hal.103
[2] Teungku Muhammad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), hal.18
[3]  Usman, Ulumul Qur’an,( Yogyakarta : Teras, 2009), hal.107
[4]  Teungku Muhammad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), hal.20
[5] Drs. H. Ahmad Syadili dan Drs. H. Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), Hlm. 112-113
[6] Drs. H. Ahmad Syadili dan Drs. H. Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), Hlm. 115
[7] Ibid. hlm. 116