KARAKTER STUDI ISLAM
Oleh :
Tomy Muhlisin Ahmad, Bevi Dimiesta, Dzikrina Istighfaroh, dan Martha
Julia. M
Dosen Pengampu : Fihris, M. Ag.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karakter adalah pisau bermata dua. Setiap
karakter memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, memiliki kemungkinan
yang berbeda dan berlawanan.[1] Pertumbuhan
dan perkembangan pendidikan Islam dari waktu ke waktu sejak zaman Nabi Adam as.
ke zaman Nabi Muhammad SAW. sampai masa sekarang, berkembangnya di berbagai
daerah dari sistem yang paling sederhana menuju sistem pendidikan Islam yang
modern. Dalam perkembangan pendidikan Islam didalam sejarahnya menunjukan
perkembangan dalam subsistem yang bersifat operasional dan teknis terutama
tentang metode, alat-alat dan bentuk kelembagaan adapun hal yang menjadi dasar
dan tujuan pendidikan Islam tetap dapat dipertahankan sesuai dengan ajaran Islam
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.[2]
Islam memiliki ajaran
yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang bahwan pendidikan adalah hak
bagi setiap orang (Education for All),
laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (Long Life Education).
Karakteristik
pendidikan Islam berpengertian sebagai ciri-ciri khusus yang membedakan
pendidikan Islam dengan sistem pendidikan lainnya. Identitas yang membuat
sistem pendidikan tersebut dapat membangun manusia seutuhnya, seimbang antara
jasmani dan rohani, siap untuk menjadi manusia unggul dalam menghadapi
kehidupan dunia dan akhirat. Ciri yang membuat manusia semakin dekat dengan
penciptanya.[3]
Dari semua itu proses bimbingan dari pendidik
yang mengarahkan anak didiknya kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud
dalam amal perbuatan dan terbentuknya pribadi muslim yang baik. Dalam ajaran Islam,
pendidikan mendapatkan posisi yang sangat penting dan tinggi karena pendidikan
merupakan salah satu perhatian sentral (central attention) masyarakat. Pengalaman
pembangunan di negara-negara maju khususnya di dunia Barat membuktikan betapa
besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, peranan
pendidik sangat penting dan pendidikan hendaknya memenuhi kebutuhan masyarakat.[4]
Al-Quran diturunkan
Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan untuk memperbaiki
akidah, ibadah, akhlak, dan pergaulam manusia yang sudah sangat menyimpang jauh
dari kebenaran dan tujuan hidup manusia. Dalam studi Islam banyak sekali yang
membahas tentang hukum-hukum Islam dan sejarah tentang keIslaman masa lampau.
Hadist juga merupakan sumber rujukan kedua bagi umat Islam setelah
menggunakan sumber rujukan berupa Al-Qur’an. Tidak sebagaimana rujukan pertama
yang eksistensinya disepkati oleh seluruh umat Islam, hadist yang masih
diperselisihkan sebagaimana lantaran sanad dan matannya yang tidak semuanya shahih.
Keraguan terus membayangi benak umat Islam ketika membaca dan apalagi hendak
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[5]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada empat
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah karakteristik studi Islam dalam perspektif Studi Al-Quran?
2.
Bagaimanakah karakteristik studi Islam dalam perspektif Studi Hadits?
3.
Bagaimanakah karakteristik studi Islam dalam perspektif Studi Hukum
Islam?
4. Bagaimanakah karakteristik studi Islam dalam perspektif Studi Sejarah
Islam?
II.
PEMBAHASAN
1.
STUDI AL-QUR’AN
a. Definisi Al-Qur’an
Secara etimologis lafadz Al-Qur’an berasal
dari bahasa Arab, yaitu akar kata dari qara’a yang berarti
”membaca” . Al-Qur’an adalah bentuk isim masdar yang diartikan sebagai isim maf’ul, yaitu
maqru’ yang berarti “yang dibaca”. Pendapat lain menyatakan bahwa lafadz
Al-Qur’an yang berasal dari akar qara’a tersebut juga memiliki arti al-jamu’
yaitu ”mengumpulkan dan menghimpun”. Jadi lafadz qur’an dan qira’ah
berarti menghimpun dan mengumpulkan sebagian huruf-huruf dan kata-kata yang
satu dengan yang lainnya. Sementara itu menurut Schwally dan Weelhausen dalam
kitab Dairah al-Ma’arif menulis
bahwa lafadz Al-Qur’an berasal dari bahasa Hebrew, yaitu dari kata keryani yang
berarti “yang dibacakan”.[6]
Pengertian Al-Qur’an secara terminologis
banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin
ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda.
Sedangkan menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum
Al-Qur’an, bahwa definisi Al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan ahli
bahasa, ahli kalam, ahli fiqh, adalah sebagai berikut. Al-Qur’an adalah firman
Allah yang berfungsi sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir, dan
membacanya merupakan suatu ibadah.[7]
Muhammad Ali al-Shabuni dalam al-Thibyan fi
UlumAl-Qur’an mendenifisikan Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bersifat
mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantaraan malaikat
Jibril dangan lafal dan maknanya dari Allah SWT. yang dinukilkan secara
mutawatir, membacanya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surah al-Fatihah
dan diakhiri dangan surah an-Nas.
Semakin banyak sifat-sifat Al-Qur’an yang
diungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi Al-Qur’an, demikian juga
sebaliknya.[8]
b.
Definisi Ulumul Qur’an
Secara Etomologi Ulumul Al-Qur’an terdiri dari dua kata
yaitu Ulum dan Al-Qur’an. Ulum adalah jamak dari al-‘ilm yang berarti ilmu, maka ulum berarti ilmu-ilmu. Sedangkan kata Al-Qur’an secara harfiyah berasal dari
kata qara’a yang berarti “membaca” atau mengumpulkan. Kedua makna ini
mempunyai maksud yang sama, membaca berarti juga mengumpulkan, sebab orang yang
membaca bekerja mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang baca. Maka
perintah membaca dalam Al-Qur’an, seperti yang terdapat diawal surat Al ‘Alaq,
bermakna bahwa
Allah menyuruh umat Islam mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat di alam
raya atau dimana saja dengan tujuan agar pembaca melalui gagasan, bukti dan ide
yang terkumpul dalam pikirannya itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala
yang ada semua diatur oleh Allah SWT.[9]
Menurut Az
Zarqoni Ulumul Qur’an adalah “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an
mulai dari aspek turun, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir,
mukjizat, nashikh dan mansukh, menolak subhat darinya, dan
lain-lain.[10]
Jadi, Ulumul
Qur’an secara istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang berkaitan dengan turun, bacaan,
kemukjizatan, dan lain sebagainya”. Ash Shabuni mendefinisikan Ulumul Qur’an
itu kepada “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari aspek turun,
pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab
an nuzul, al makki wa al madani, pengetahuan mengenai an nasikh dan al mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain sebagainya, segala pembahasan yang berkaitan
dengan Al-Qur’an.[11]
“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami
bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri
dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. An Nahl: 89).
c. Ruang Lingkup Kajian
Al-Qur’an
Definisi diatas
menggambarkan bahwa Ulumul Qur’an mencakup bahasa yang sangat luas, antara lain
nuzul Al-Qur’an, asbab al nuzul atau sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, ilmu an nasikh wa al mansukh dan ilmunya fawatikh as-suwar serta masih banyak yang lainnya. Karena begitu luasnya cakupan kajian
Ulumul Qur’an, maka para ulama harus mengakhiri definisi yang mereka buat
dengan ungkapan “dan lain-lain”. Ungkapan ini menunjukan, kajian Ulumul Qur’an
tidak hanya hal-hal
yang disebutkan dalam definisi itu saja, tetapi banyak hal yang secara
keseluruhan tidak mungkin disebutkan dalam definisi. Ibnu Arabi (W 554 H),
seperti yang dikutip oleh Az Zarkasyi, menyebutkan Ulumul Qur’an mencakup
77.450 ilmu sesuai dengan bilangan kata-katanya.[12]
Secara garis
besar Ulumul Qur’an itu dapat dikatagorikan menjadi dua macam, yaitu ilmu-ilmu
yang diistinbathkan dari Al-Qur’an yang kemudian dapat digunakan sebagai
pedoman oleh manusia dalam menjalani kehidupan yang fana ini. Termasuk dalam
kategori ini, misalnya ilmu fiqh, ushul, tafsir, balaghah, kaidah-kaidah
bahasa, aqidah, akhlak, dan sejarah. Dan yang kedua, ilmu-ilmu yang menjadi syarat atau alat untuk memahami Al-Qur’an.
Yang dimaksud dengan istilah Ulumul Qur’an dalam kajian ini mencakup antara lain sebagai berikut :
1) Ilmu nuzul Al-Qur’an atau ilmu turunnya Al-Qur’an. Kajian ini mencakup penyampaian Al-Qur’an dari Allah kepada
Nabi Muhammad SAW.,
Al makki wa al madani, ayat paling
awal dan paling akhir diturunkan, ayat yang turun di malam hari (al lailiyah), yang turun di waktu siang
(al mahariyah), ayat yang turun dalam
perjalanan, ayat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW. berada ditempat tingalnya, ayat yang turun ketika Nabi
berada dalam perjalalanan dan ayat yang berulang kali turunnya.
2) Ilmu qiro’ah. Hal ini mencakup cara memulai bacaan, membaca wakaf, mad, idghom, dan lain
sebagainya. Termasuk juga dalam kajian ini perbedaan para ulama dalam
membacanya,
ada bacaan yang mutawatir, ahad, masyhur,
dan syazz.
3) Kajian tentang makna Al-Qur’an yang
berhubungan dengan hukum, seperti lafal ‘am
yang tetap dalam keumumannya, ‘am
yang telah ditakhsikan manthuq, mafhum,
muthlaq, mukayyad, dan lain sebagainya.
4) Kajian tentang makna Al-Qur’an yang
berkaitan dengan lafal, seperti ‘ijaz,
ithnab, muSAW.a, qashor, dan lain-lain.
Dengan
demikian, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Ulumul Qur’an itu mencakup
ilmu-ilmu bahasa Arab dan segala kajian yang berkaitan dengan ajaran Islam.
Bahkan As Sayuthi berpendapat, bahwa ilmu jiwa, ilmu falak, ilmu astronomi, dan
lain sebagainya juga termasuk Ulumul Qur’an. Hal itu didasarkan kepada firman
Allah SWT.
Dalam kitab-kitab ilmu-ilmu Al-Qur’an dikupas
sejumlah masalah. Topik bahasan ilmu Al-Qur’an dalam ringkasan dapat
digambarkan demikian.
Pertama, sejarah ilmu Al-Qur’an yang mencangkup:
1. Pertumbuhan ilmu-ilmu Al-Qur’an
2. Ilmu Al-Qur’an dimasa Rasul dan Khulafa Rasyidin
3. Tokoh-tokoh tafsir dalam abad ke-2 hijrah
4. Ilmu- ilmu Al-Qur’an yang tumbuh dalam abad ke-3 hijrah
5. Ilmu- ilmu Al-Qur’an yang tumbuh dalam abad ke-4 hijrah
6. Ilmu- ilmu Al-Qur’an yang tumbuh dalam abad ke-5 hijrah
7. Ilmu- ilmu Al-Qur’an yang tumbuh dalam abad ke-6 dan 7 hijrah
8. Kapankah timbul istilah ‘ulum Al-Qur’an (ilmu- ilmu Al-Qur’an)
9. Ilmu- ilmu Al-Qur’an dalam ke-8 dan ke-9 hijrah, dan
10. Ilmu- ilmu Al-Qur’an dalam ke-11 ta’rif ‘ulum Al-Qur’an.
Kedua, ilmu tentang latar belakang turunnya ayat (‘ilm
asbab al nuzul) yang mencangkup:
1. Hubungan sebab dengan musabbab
2. Kisah nuzulnya ayat
3. Kepentingan dan kedudukan ‘ilm asbab al nuzul
4. Ta’rif (makna) asbab al nuzul
5. Ada sejumlah sebab yang menjadi latar belakang turun, dan
6. Hubungan surat dengan surat.
Ketiga, ilmu makki wa al madani yakni ilmu yang
menerangkan makna Al-Qur’an yang turun di Mekkah dan mana yang turun di Madinah
mencakup:
1. Ciri-ciri surat Makkiyah
2. Ciri-ciri surat Makkiyah yang aghlabiah
3. Ciri-ciri surat Maddaniyah
4. Ciri-ciri surat Maddaniyah yang aghlabiah
5. Surat Makkiyah dan Maddaniyah masing-masing dibagi kepada tiga marhalah
6. Analisis sembilan surat yang disepakati turunnya dalam marhalah Makkiyah
yang pertama
7. Uslub surat-surat Makkiyah marhalah yang pertama
8. Keadaan surat Makkiyah marhalah yang kedua
9. Surat Makkiyah marhalah yang ketiga
10. Kisah aszab al Kahfi
11. Kisah Musa
12. Kisah Dzulkarnain, dan
13. Ciri surat Maddaniyah dari marhalah ke marhalah.
Keempat, sekitar kalimat yang dipakai untuk pembukaan
surat (fawatihu al-suwar), yang mencangkup:
1. Keistimewaan surat Makkiyah
2. Pendapat ulama tentang makna fawatihu al-suwar, dan
3. Makna fawatihu al-suwar.
Kelima, ilmu cara-cara membaca Al-Qur’an (ilmu
qira’at), yang mencangkup:
1. Makna Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf
2. Para qurra’, dan
3. Qira’ar yang benar dan yang tidak benar.
Keenam, ilmu yang menerangkan ayat-ayat penghapus
hukum dan ayat-ayat yang dihapus hukumnya (ilmu nasikh wa al-mansukh), yang
mencangkup:
1.
Makna
nasakh
2.
Pendapat
para ulama tentang mansukh Al-Qur’an, dan
3.
Pendapat
para ahli tahqiq.
Ketujuh, tentang ilmu
cara-cara menulis lafadz-lafadz Al-Qur’an (ilmu rasmi Al-Qur’an) .
Kedelapan, ilmu yang
menerangkan ayat-ayat mahkamah dan yang mustasyabih (ilmu muhkam wa mustasyabih
).
Kesembilan, ilmu
perumpamaan yang digunakan Al-Qur’an (ilmu amthal Al-Qur’an).
Kesepuluh, ilmu tentang
sumpah Al-Qur’an (ilmu aqsam Al-Qur’an).
Kesebelas, tentang
kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an.
Keduabelas, ilmu jadal
Al-Qur’an.
Ketigabelas, ilmu tafsir.
Keempatbelas, metode yang
diperlukan mufassir, dan
Kelimabelas, ilmu tentang
kemukjizatan dalam Al-Qur’an.[13]
d.
Metode/ Model Tafsir
1)
Metode/Model Tafsir Tahlili
Dapat
disebut model kajian yang digunakan dalam mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber
ajaran Islam (nash) secara umum adalah model kajian tahlili. Maksudnya
adalah metode kajian Al-Qur’an dengan menganalisis secara kronologis dan
memaparkan sebagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an sesuai
dengan urutan bacaan yang terdapat dalam urutan mushaf ‘Ustmani. Ternyata
menurut sejumlah ilmuan metode yang sebagian ilmuan menyebutkan dengan metode
kajian otomistik atau metode kajian yang bersifat parsial ini memiliki beberapa
kelemahan. Fazlur Rahman misalnya berpandangan, metode kajian atomistik menjadi
penyebab kegagalan umum memahami keutuhan ajaran Al-Qur’an. Sebab dengan metode
parsial ini nash (Al-Qur’an) dipahami kata demi kata atau ayat demi ayat yang
ada dalam surah secara terpisah-pisah. Akibatnya Al-Qur’an terkesan tidak
menjadi satu kesatuan yang utuh, melainkan terpisah-pisah, dan pada giliran
hukum-hukum yang diambil dari Al-Qur’an pun tidak sejalan dengan nilai yang
semestinya.
Tafsir tahlili oleh
al-Farmawi dikelompokkan kepada tujuh jenis tafsir, yakni:
a) Al-Tafsir
bi al-Mathur (Riwayah)
b) Al-Tafsir
bi al-Ray
c) Al-Tafsir
al-Sufi a Al-Tafsir al-Sufi
d) Al-Tafsir
fiqhi
e) Al-Tafsir
al-Falsafi
f) Al-Tafsir
al-Ilmi, dan
g) Al-Tafsir
al-Adabi al-Ijtima’i.
2)
Metode/Model Tafsir Muqaran
Maksud tafsir muqarin (perbandingan) adalah
metode penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an yang berbicara satu masalah dengan
cara membandingkan antara ayat dengan ayat dan antara ayat dengan sunnah Nabi
Muhammad SAW., baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat para
ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan dari objek yang
dibandingkan.
3)
Metode/Model Tafsir Ijmali (Global)
Model
Tafsir Ijmali (Global) adalah metode tafsir dengan cara menafsirkan secara
singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar.
4)
Metode/Model Tafsir Maudu’i
(Tematik)
Dalam sejarah, tafsir
tematik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Tematik
berdasarkan subyek, dan
Tematik berdasarkan
subyek diantaranya adalah karya Ibn Qayyim al-Jauziyah (1292-1350 H), ulama
besar dari mahzab Hambali yang berjudul al-Bayun fi Aqsam Al-Qur’an; Majaz
Al-Qur’an oleh Abu ‘Ubaid; Mufradat Al-Qur’an sejumlah ulama; Asbab
al-Nuzul oleh Abu al Hasan al Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya alJasas
(W 370 H.) adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang diaplikasikan
ketika menafsirkan seluruh Al-Qur’an.
2.
Tematik
berdasar surah Al-Qur’an.
Zarkashi
dengan karyanya al-Burhan, misalnya adalah salah satu contoh yang paling
awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi
surah. Demikian juga Suyuti dalam karyanya al-itqan. Tafsir tematik
sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini
secara metodologis dan sistematis berkembang dimasa kontemporer. Demikian juga
jumlahnya semakin bertambah diawal abad ke-20, baik tematik berdasarkasn
subyek/topik maupun tematik berdasarkan surah Al-Qur’an.[14]
5)
Metode/Model Tafsir Holistik (Kulli)
Tafsir Holistik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
Tafisr Hermeneutik Fazlur Rahman (1919-1988). Ada juga yang menyebut Tafsir Kontekstual. Teori ini juga yang digunakan Amina Wadud Muhsin
ketika melakukan studi tentang Al-Qur’an dan wanita. Rahman sendiri tidak
menyebut metodenya dengan tafsir holistik, tidak juga kontekstual, tetapi
disebutnya sebagai metode atau teori hermeneutik (hermeneutical theory).
Maka penyebutan Tafsir Holistik dan Tafsir Kontekstual lebih melihat pada
penggunaan teori tersebut. Penyebutan Tafsir Holistik dalam tulisan ini
disimpulkan dari proses dan tujuan penggunaan metode Rahman, misalnya Rahman
menulis:
Ada kebutuhan yang luar biasa terhadap teori hermeneutik yang akan dapat
membantu kita memahami makna Al-Qur’an sebagai satu kesatuan agar baik isi
teologi maupun isi etis dan yuridisnya menjadi satu kesatuan.
Namun demikian, baik tematik maupun holistik
sama-sama menekankan pada pentingnya pemahaman Al-Qur’an dengan metode silang (cross-referential),
atau induktif. Metode ini kelihatan diilhami oleh konsep yang mengatakan
“seluruh Al-Qur’an saling menafsirkan” (one part of the Qur’an interprets
another) atau “different parts or the Qur’an explain one another” (Al-Qur’an
yufassiru ba’duhu ba’dan), sebuah konsep yang sudah dikenal sejak masa
sahabat.
Tujuan dari penggunaan metode holistik dengan
demikian adalah untuk menemukan nilai dasar, prinsip dan etika (spirit) dari
nilai partikular-partikular ayat yang dipahami secara sepotong-sepotong (juz’i).[15]
6)
Metode/Model Tafsir Kombinasi Tematik dan Holistik
Tafsir Tematik yang ditawarkan al-Kulli dan tafsir
holistik Fazlur Rahman, keduanya sama-sama menawarkan dan menekankan pentingnya
memahami Al-Qur’an secara menyeluruh ketika membahas satu masalah. Sebagai
contoh, ketika membahas konsep riba dalam Al-Qur’an, maka seluruh ayat yang
berbicara riba harus masuk dalam kajian. Kedua pemikir juga menekankan pada
pentingnya penafsiran kontekstual, al-Kulli menekankan pada pendekatan
sastra-linguistik, meskipun dikatakan bahwa pendekatan sastra-linguistik
merupakan tahap awal memahami konteks. Sementara Rahman menekankan pada
pendekatan sejarah dan ilmu sosial (kontemporer).
Namun demikian Rahman menekankan pada pentingnya memahami
Al-Qur’an sebagai kesatu-paduan yang berjalin berkelindan dan utuh yang menghasilkan
“weltanschauung” yang pasti. Dengan cara pemahaman seperti ini diharapkan lahir
Islam yang utuh dan terkait secara logis (coherence) antara satu tema
dengan tema lain, dan akhirnya seluruh Al-Qur’an terjalin menjadi satu kesatuan
yang utuh dan terpadu. Setelah ditemukan konsep satu masalah dengan kajian
tematik, masih harus diselaraskan dengan nilai-nilai yang lain dalam Al-Qur’an,
baik yang bersifat teologis maupun etis. Dengan cara seperti ini lahirlah hukum
yang sejalan dengan isi keseluruhan Al-Qur’an, dan Al-Qur’an menjadi satu
kesatuan yang utuh, tidak ada ajaran atau nash yang bertentangan antara satu
dengan yang lain; teologi, etis dan hukum.
Penggunaan metode tematik adalah untuk menemukan nilai
dasar (prinsip) dari masing-masing tema atau subyek. Sementara metode holistik
untuk menemukan nilai dasar (prinsip) antar subyek, yang pada gilirannya
menyatukan nilai dasar antar subyek menjadi satu kesatuan yang utuh dan
menyatu. Agar antara tema/subyek dapat menjadi kesatuan yang utuh dan menyatu,
dibutuhkan keserasian nilai. Karena itu, untuk mencapai tujuan kesatuan yang
utuh dan menyatu, antar subyek/tema harus mempunyai nilai dasar yang selaras.
Demikian juga dalam kajian ini berusaha memadukan pendekatan sastra-linguistik
yang ditawarkan al-Kulli dengan pendekatan sejarah dan sosial yang ditawarkan
Rahman.[16]
2.
STUDI HADITS
a. Pengertian Hadist
Hadits secara
etimologi diartikan sebagai sunah, al-khabar, dan al-atsar (Natta: 73; Suryaman,
1982:14). Hadits dipahami sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik
ucapan, perbuatan, maupun ketetapan.[17]
b.
Tujuan Mengajarkan Hadits
1) Sunnah
mengajarkan hal-hal yang bersifat masih umum dalam Al-Qur’an, menerangkan, atau
membatasi pengertianny
2) Hendaklah
kita mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan Rasulullah SAW. walaupun peraturan
itu tidak terdapat didalam Al-Qur’an.
3) Taat
kepada Allah adalah melalui taat kepada Rasulullah dan mengamalkan
segala haditsnya dalam kehidupan kita.
4) Memelihara
bacaan dan ucapan huruf-hurufnya.
5) Memahami
hadits dengan baik agar dapat dipergunakan dalam menghadapi berbagai persoalan
hidup kita.
6) Mengenal
berbagai segi kehidupan Nabi SAW. untuk mendorong generasi muda kita mengikuti
petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah-Nya.
7) Memperlihatkan
ungkapan-ungkapan yang indah dalam hadits.
c.
Metode Mengajarkan Hadits
Cara mengajarkan hadits hampir sama dengan
mengajarkan Al-Qur’an, hanya saja hadits tidak dibaca dengan dilakukan. Hadits
biasanya lebih pendek dari pada ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam mengajarkan hadits guru dapat
menggunakan cara mengajarkan Al-Qur’an, baik mengenai pengantar, pembahasan,
memberikan contoh, menyuruh murid untuk membaca, mendiskusikan, membagi-bagi
dalam satuan-satuan pikiran, menjelaskan sinonim-sinonimnya, menghubungkan
hadits dengan persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari, dan
mengambil kesimpulan dari maksud hadits tersebut.
Disamping itu guru juga harus memperhatikan hubungan
pengajaran hadits dengan persoalan-persoalan agama yang ada hubungannya dengan
hadits yang diajarkan, dan dengan ayat-ayat Al-Qur’an serta persoalan-persoalan
akhlak.[18]
d.
Pengertian Ilmu Hadits dan
Macam-macamnya
Ilmu hadits adalah ilmu yang berkaitan dengan hadits yang secara
garis besar terbagi kedalam dua bagian yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu
hadits dirayah. Dari kedua macam hadits ini muncul pula cabang-cabang ilmu
hadits lainnya, yaitu Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Jarh wa al-ta’dil, Ilmu Fan
al-Mubhamat, Ilmu Tashif wa Tahrif, Ilmu Ilal al-Hadits, Ilmu Gharib al-Hadits,
Ilmu Nasikh wa al-Mansukh, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Talfiq al-Hadits,
dan Ilmu Mushthalah ahl al-Hadits.
e.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Ilmu Hadits
Pertumbuhan dan
perkembangan ilmu hadits tersebut sangat dekat kaitannya dengan permasalahan
yang timbul dalam perjalanan hadits itu sendiri. Para ahli pada umumnya membagi
masa pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh periode yaitu :
1) Periode pertama (masa Rasulullah SAW.)
2)
Periode
kedua (masa Khulafaur Rasyiddin)
3)
Periode
ketiga ( masa sahabat kecil dan tabi’in besar)
4)
Periode
keempat (masa pembukuan dan pengumpulan hadits)
5)
Periode
kelima (masa pentashihan hadits dan menyusun kaidah-kaidahnya)
6)
Periode
keenam (dari abad IV hingga tahun 656 H), dan
7)
Periode
ketujuh ( tahun 656 H hingga sekarang).
Periode pertama, pada masa ini hadits masih dalam proses
pertumbuhan seiring dengan diturunkannya Al-Qur’an, serta belum ditulis secara
resmi, sebagaimana halnya Al-Qur’an, dengan alasan karena dikhawatirkan sulit
dibedakan antara Al-Qur’an dengan Al-Hadits, juga karena para penulis pada masa
itu sangat terbatas.[19]
Selanjutnya pada periode kedua, ditandai oleh upaya
penyebaran hadits ke berbagai wilayah daulat Islamiyah, munculnya
lafal-lafalnya yang digunakan para sahabat dalam meriwayatkan hadits, serta
ketelitian para sahabat dalam menerima hadits.
Pada periode ketiga, yang ditandai oleh masa berkembang dan
meluasnya periwayatan hadits, para sahabat mengadakan perjalanan dan rihlah
ilmiah (perjalanan menurut ilmu) untuk mencari hadits, munculnya tokoh-tokoh
hadits dari kalangan tabi’in, pusat-pusat hadits, dan terjadinya pemalsuan
hadits sebagai akibat dari pertentangan idiologi dan politik.
Kemudian pada periode keempat, ditandai oleh mulainya pembukuan
hadits, lahirnya berbagai sistem dalam
pembukuan hadits, seperti jami al-shahih, musnad, dan lainnya, munculnya
kitab-kitab hadits yang keadaannya masih bercampur antara yang shahih dengan
yang dhaif dan maudlu’, serta semakin meluasnya pemalsuan hadits.
Selanjutnya pada periode kelima, pada periode ini dilakukan
pembukuan hadits, memperluas lawatan para ulama untuk mencari hadits, serta
penyusunan kaidah-kaidah pentashihan hadits, dasar-dasar pentashihan hadits, langkah-langkah
yang ditempuh untuk memelihara hadits, munculnya para imam yang membukukan
hadits, memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima oleh para ahli tentang
kebenaran atau kedustaannya, membuat undang-undang umum tentang tingkatan
hadits guna memilah dan membedakan antara yang sahih, dhaif, dan maudlu’,
lahirnya para tokoh penashih hadits, seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi, Nadsai, dan Ibn Majah.
Kemudian pada periode keenam,
terdapat upaya mengumpulkan hadits-hadits shahih yang tidak terdapat dalam
kitab yang keenam, kitab-kitab hadits memperbaiki susunan kitab-kitab hadits,
munculnya kitab jami’, targhib dan tahrib, hukum dan athraf, kitab-kitab
istikhraj dan istidrak, serta para tokoh hadits.[20]
Selanjutnya pada periode ketujuh, muncul pusat-pusat
perkembangan hadits di India dan Mesir, jalan-jalan yang ditempuh dalam
mengembangkan hadits, tokoh-tokoh hadits, serta kitab-kitab yang muncul pada
abad ketujuh.
3.
STUDI
HUKUM ISLAM
a. Rancang-Bangun Ilmu Hukum Islam
Tradisi
keilmuan Islam lebih khusus tradisi ilmu hukum Islam dianggap sebagai kekayaan dan
kekuatan spiritual yang perlu dipertahankan. Tradisi merupakan sumber kekuatan mental spiritual yang ampuh untuk
menahan berbagai perubahan dan pembangunan dalam segala bidang. Bentuk piramida
pemikiran Islam
yang meliputi fiqh, kalam dan tasawuf adalah bentuk bangunan yang “paten”, yang
ghairu qabilin li al-taghhyir, ghairu
qabilin li al-niqas. Generasi yang sekarang tinggal mewarisi kekayaan intelektual-spiritual generasi
terdahulu. Dengan begitu tanpa terasa tradisi tersebut diterima secara
dogmatis, tidak ada kreativitas yang bersifat inovatif untuk mengembangkan
tradisi sesuai dengan perkembangan wilayah pengalaman manusia.
Karya-karya yang menitik-beratkan pada sisi metafisik dari rancang-bangun keutuhan
pemikiran manusia, serta penekanan pada konsepsi “ide” Plato yang tidak
berubah-ubah, sangat mengilhami mereka. Dalam struktur piramida khazanah
keilmuan Islam klasik, terutama kajian hukum Islam tersebut tampak mencolok
belum dimasukannya pendekatan baru yang muncul pada abad ke 18-19, yaitu
pendekatan ilmu-ilmu sosial dan pendekatan kesejahteraan. Pendekatan filosofi
memang digunakan oleh para protagonis alur pemikiran ini, namun penggunaanya
lebih ditekankan pada aspek ishraq (illuminis) yakni suatu usaha yang ingin
menggabungkan kemampuan akal dan kemampuan perasaan manusia dalam mencapai
keutuhan pemahaman terhadap realitas.
Implikasinya,
wilayah dan muatan pengalaman manusia yang berkembang sebagai akibat
persentuhannya dengan dinamika ilmu pengetahuan kurang begitu diakomodir dalam
keutuhan pengalaman spiritualitas keberagaman manusia. Pengalaman beragama
begitu terosilir (terpencil)
dan tidak menyatu dalam kehidupan yang realitas. Jika tidak cermat dalam
mengapresiasi trend pemikiran yang pertama ini, maka kecenderungan pemikiran Islam khususnya hukum Islam model pertama ini memang sulit
untuk dibedakan dari tradisi yang bersifat taqlidi-dogmatis. Ini dapat dilihat
dari perkembangan para penganut mazhab yang enggan untuk mengkritik
pendahuluannya. Padahal tradisi Amiah
al-Madhahib selalu mengedepankan sikap inklusif dalam mensikapi pendapat
orang lain. Imam Safi’i
berkata: “Pendapatku benar tapi
ada kemungkinan salah dan pendapat selain saya salah tapi ada kemungkinan
benar”.
b.
Pengembangan
Kajian Hukum Islam
Melihat
perkembangan pemikiran Islam
seperti diatas, maka perlu dimunculkan tradisi pemikiran filosofis-kritis
terhadap segala bentuk pemikiran manusia, termasuk didalamnya ada horizon
pemikiran hukum
Islam. Tradisi kritis-filosofis melihat
khazanah intelektual Islam
dan pemikiran hukum
Islam pada umumnya merupakan suatu
produk sejarah biasa, yang sudah barang tentu qabilun li al taghyir dan qalibun li al-niqas. Oleh karena
pemikiran hukum Islam adalah juga produk sejarah yang berkembang pada zaman
tertentu, maka sangat boleh jadi ia juga mewakili nuansa pemikiran yang
berkembang pada saat tertentu pula.
Pemikiran hukum Islam dari empat mazhab (Hanafi, Maliki,
Safi’i, dan Hambali) adalah bangunan pemikiran hukum Islam yang dibentuk oleh
suatu zaman yang berkembang saat itu, tidak bersifat mutlak harus diikuti tanpa
pertanyaan yang kritis, lantaran perbedaan zaman juga akan berakibat pada
perbedaan muatan pengalaman dan penghayatan, yang pada gilirannya, akan membuat
perbedaan rumusan, termasuk rumusan pemikiran hukum Islam itu sendiri. Tantangan
dan keprihatinan zaman, adalah selalu berbeda, seperti halnya perbedaan antara
akumulasi pengalaman manusia pada wilayah geografis tertentu diakumulasi pengalaman manusia pada wilayah
geografis yang lain.
Tradisi pemikiran hukum Islam kritis ini, pada masa lalu
dikembangkan oleh al-Syatibi, al-Tufi, Shah Wali Allah al-Dihlawi, kemudian
diteruskan oleh Fazlur Rahman, M. Arkoun, Hassan Hanafi, al-Na’im, Shahrur,
Khalid, abu Fadhl dan yang lain, termasuk Hashim Kamali. Mereka sebenarnya
sepakat bahwa dalam hal menyangkut pemahaman aspek normativitas Al-Qur’an adalah ghairu
qabilin li al-taghyir, ghairu qabilin li al-niqas, tetapi mereka juga
menggaris bawahi peran historisitas kekhalifahan
manusia di muka bumi. Aspek yang kedua ini qabilun li al-niqas wa al-taghyir. Trend
pemikiran kritis ini melihat tradisi keilmuan hukum Islam sebagai suatu horizon
pemikiran yang tidak taken for granted.
Mereka lebih melihat tradisi keilmuan hukum Islam sebagai hasil akumulasi
pengalaman sejarah kemanusiaan biasa yang selalu terikat oleh keadaan ruang dan
waktu, alias ghairu ma’sum. Tradisi
yang sudah ada itu dapat dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan
perkembangan wilayah pengalaman manusia beragama itu sendiri. Mereka sadar
betul bahwa muatan pengalaman manusia beragama abad tengah dan abad modern
adalah jauh berbeda, meskipun dalam aspek normativitasnya bisa jadi tidak
banyak berbeda. Mereka lebih melihat aspek etika sosial dan spiritualitas keberagamaan Islam
yang bersifat inklusif-terbuka bukan
aspek legal-formal yang lebih
menonjolkan eksklusifitas-tertutup.
Rumusan
piramida tradisi keislaman
yang tercermin dalam fiqh adalah hasil rumusan manusia, yang tidak luput dari
campur tangan “ideologi” yang berkembang saat itu, meskipun di sana-sini dibalut dengan petikan wahyu
atau sunnah Nabi. Ideologi
yang hidup pada saat bangunan piramida keilmuan hukum Islam itu dibangun cukup
mewarnai corak dan bentuk serta isi tradisi keilmuan hukum Islam yang dimaksud.
Pendekatan filsafat ilmu, pendekatan sociology
of knowledge (sosiologi ilmu pengetahuan) serta pendekatan kesejarahan
seperti ini sangat mewarnai pemikiran hukum Islam kritis ini. Jika tradisi
kajian hukum Islam tertentu adalah sebagai zaman yang mengitarinya, maka
tradisi itu dapat juga dibahas, dikupas, dikritik dan dianalisi, sehingga
tampak mana aspek normativitasnya dan
mana aspek historisitasnya, mana
aspek tujuan dan mana aspek alat mana dimensi universalitas (kulliyat) dan mana aspek partikularitas (juziyat) nya.
c. Tradisi Kritis dalam Kajian Hukum Islam
Melihat sejarah perkembangan ilmu fiqh (hukum Islam),
para pengamat sulit untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa sejak dari semula,
pemikiran hukum Islam sudah tidak dapat dipisahkan dari dominasi kekuasaan
politik. Essensi dan subtansi pemikiran ketuhanan yang
termanifestasikan dalam etika sosial dan spiritualitas keberagamaan kurang
mendapat porsi yang mengigit dalam tradisi keilmuan hukum Islam. Tradisi
pemikiran hukum Islam yang seperti itu, yang secara sadar dikaji secara turun-menurun, berkesinambungan
dikalangan pesantren, madrasah bahkan juga sampai perguruan tinggi Islam.
Literatul
fiqh klasik yang mempunyai implikasi seperti itulah yang dikaji terus-menerus
secara turun-temurun, berkesinambungan di lingkungan
pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam. Kajian Al-Qur’an secara
komprehensif, inklusif, holistik, kurang mendapat porsi yang proposional,
lantaran mujtahid-mujtahidnya dan mustanbit-mustanbit sulit dimunculkan
dari tradisi keilmuan fiqih yang bersifat dogmatis. Hingga sekarang, sulit
ditemukan kitab atau penulisan kitab fiqih yang bersifat komprehensif,
inklusif, “munsyarihul al-sadr” (lapang
dada) seperti tampak dalam proses perjalanan historitas Al-Qur’an ketika
menawarkan fundamental ethical values
selama 23 tahun. Kesulitan
yang sama juga melekat pada pendekatan philosophy
of religion di Barat.
Menurut sementara pengamat, istilah philosophy
of religion yang aturannya bersifat comprehensife-inklusif
, justru hanya didominasi oleh teologi Kristiani
saja, tanpa memperhatikan nuansa pemikiran nuansa pemikiran keagamaan yang
dimiliki oleh agama dan budaya lain non-Kristiani.
Kajian
agama termasuk didalamnya hukum Islam sangat erat hubungannya dengan kajian
filosofis, lantaran agama juga menyangkut fundamental
values dan ethical values, untuk
tidak semata-mata bersifat teologis. Menurut hemat penulis, pendekatan
agamis-filosofis, lantaran agama juga menyangkut fundamental values dan ethical
values, untuk tidak semata-mata besifat teologis. Menurut hemat penulis, pendekatan agamis-filosfis yang
mendasar dapat membantu memilah-milah dan menjernihkan kategori-kategori
sosio-politik yang sudah
kadung mapan dan terpatri secara kokoh, baik dalam khazanah literatur Islam
yang ada maupun dalam alam pergaulan masyarakat secara nyata. Namun,
pendekatan filosofis sebagai alat bantu
metodologi untuk mencari dan menemukan essensi dan subtansi persoalan justru
sedapat mungkin dihindari oleh pola berfikir teologis. Hal demikian dapat
dimaklumi, lantaran pendekatan legal dan formal dan lebih lebih lagi pendekatan
fiqh jauh dominan dari pada
pendekatan yang lain-lain. Jika ditelusuri jauh kebelakang, hal demikian tidak
dapat terlepas dari akibat trauma sejarah pergumulan pemikiran al-Ghazali
(1058-1111) dan Ibn Sina (980-1037)
pada abad pertengahan.
Jika tradisi keilmuan madrasah, pesantren dan perguruan
tinggi Islam di Indonesia sekarang ini mampu melihat secara kritis bangunan
pemikiran hukum Islam klasik, seperti halnya al-Ghazali mengembangkan tradisi
kritis pada zamannya maka aturannya dunia pesantren dan dunia perguruan tinggi Islam
dalam melakukan kajian hukum Islam akan melihat dengan mudah bahwa bentuk
piramida kajian hukum Islam klasik tampak minus nuansa pemikiran sejarah dan
minus pendekatan sosial. Padahal Al-Qur’an sendiri, sebenarnya kaya nuansa
pendekatan sosial sekedar sebagai contoh: Lau
kunta fadhan ghalidh al-qalbi la infadhu min haulik (Ali Imron: 159) dan
pendekatan tarikhi (historis) tersebut. Asbab
al-nuzul tidak lain adalah pendekatan sosio-historis terhadap realitas
keberagamaan Islam yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an kepada manusia. Namun
pendekatan sejarah, sebagai pendekatan yang berdiri sendiri dalam bangunan
keilmuan Islam baru dikembangkan oleh Ibn Khaldun pada abad ke-14, yakni 2 atau 3 abad sebelum dirumuskan secara lebih
tajam oleh tradisi keilmuan di Barat. Di dunia pemikiran hukum Islam
sendiri, nuansa pemikiran dan pendekatan historis seperti yang dikemukakan oleh
Ibn Khaldun kurang memperoleh penghargaan, lantaran telah terlanjur terjadi
proses pengkerakan pemikiran keagamaan dogmatis yang berlapis-lapis.
Dengan metodologi ilmu-ilmu sosial, yakni pendekatan
ilmu-ilmu baru yang muncul setelah abad ke-18, baik etnologi, antropologi, sosiologi,
psikologi, filfasat dan lain sebagainya, keprihatinan kemanusiaan universal
bergeser dari yang dulunya semata-mata mementingkan makna (meaning) atau
essensi dari berbagai fenomena yang hanya terlihat lewat berbagai penampakan
lahiriahnya. Dari pemikiran teologi yang dahulu hanya terfokus
pada metafisik-spekulatif, kearah etik yang preskriptif.
Tradisi
kajian hukum Islam kritis-analitis-filosofis-inklusif hanya dapat berkembang
dalam perguruan Islam (madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi Islam), jika
literatul al-kutub al-safra’ dapat bergumul dan bersentuhan langsung berdialog
dengan literatul al-kutub al-baidha’ lantaran dalam buku-buku putih itu termuat
hal-hal yang belum pernah terurai secara akademik dalam al-kutub al-safra’.
Kajian dalam pendekatan sosial-historis akan memperkaya khazanah intelektual Islam,
lantaran Al-Qur’an sangat kaya dengan berbagai nuansa pendekatan selain
pendekatan normative.[21]
4. STUDI SEJARAH ISLAM
Sejarah
perkembangan studi Islam tidak dapat dipisahkan dari studi lembaga-lembaga dan
kurikulum pendidikan Islam yang juga berarti mempelajari sejarah pendidikan Islam.
Sebab lewat lembaga dan kurikulum inilah pada prinsipnya diketahui perkembangan
studinya.
Sejarah perkembangan studi Islam diuraikan menjadi tiga wilayah
besar, yakni:
a.
Di
dunia Muslim
b.
Di
dunia Barat, dan
c.
Di
Indonesia.
1) Perkembangan Studi Islam di
Dunia Muslim
Beberapa pusat
kegiatan intelektual pra Islam diluar Arabia yang berperan besar memajukan
pendidikan di dunia muslim dapat digambarkan berikut. Bahwa kemajuan
pengetahuan dalam Islam tidak mungkin dipisahkan dari tradisi intelektual
peradaban peradaban terdahulu yang telah maju sebelum dan menjelang munculnya Islam.
Secara
historis, peradaban Islam adalah pewaris yang kemudian melakukan penyempurnaan
atas pengetahuan dari peradaban kuno tersebut. Berikut ini adalah beberapa kota
yang merupakan pusat kegiatan intelektual sebelum dan menjelang datangnya Islam,
yang berperan sebagai jembatan dalam proses penyerapan ilmu pengetahuan oleh
umat Islam :
1.
Athena
2.
Aleksandria
3.
Edessa,
Harran, dan Nisibis
4.
Jundi
Syapur, dan
5.
India
Timur.
Akhir periode Madinah sampai dengan abad 4 H, fase pertama
pendidikan Islam sekolah masih di masjid-masjid, sekolah-sekolah, dan rumah-rumah.
Selama abad ke 5 H, selama periode khalifah Abbasiyah, sekolah-sekolah
didirikan di kota-kota dan mulai menempati gedung-gedung besar, bukan lagi
masjid dan mulai bergeser dari mata kuliah yang bersifat spiritual kemata kuliah
yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial.
Pengaruh al-Ghazali (1085-1111 M) disebut sebagai awal terjadi pemisahan
ilmu agama dengan ilmu umum, bahkan terkesan terjadi dikotomi. Dia penyebut
bahwa menurut ilmu umum adalah wajib bagi setiap muslim, sementara menuntut ilmu umum adalah wajib
kifayah. Meskipun perlu dicatat bahwa hasil kejayaan muslim dibidang sains dan
teknologi bukanlah capaian kelembagaan melainkan bersifat individu ilmuwan
muslim yang didorong semangat penyelidikan ilmiah.
Ada empat
perguruan tinggi tertua
didunia muslim yakni:
1.
Nizhamiyah
di Baghdad
2.
Al Azhar
di Kairo
3.
Cordova,
dan
4.
Kairwan
Amir Nizam al Muluk di Maroko.
Kemudian ada pula sejumlah universitas baru yang juga menawarkan
studi Islam, diantaranya sebagai berikut :
1.
American
University in Cairo di Mesir
2.
An-Najah
National University di Palestine
3. Center
for conservation and preservation of Islamic architecture heritage di Mesir.
2) Perkembangan Studi Islam di
Dunia Barat
Kontak Islam dengan Barat dikelompokkan menjadi 2 fase, yakni:
1.
Masa
kejayaan Islam, dan
2.
Masa
renaissance, dimana Barat mulai berjaya sampai sekarang.
a. Fase Kejayaan Muslim
Kontak pertama antara dunia Barat dengan dunia muslim adalah lewat
kotak perguruan tinggi. Bahwa sejumlah ilmuwan dan tokoh-tokoh Barat datang ke
sejumlah perguruan tinggi, laboratory, observatorium, dan pusat-pusat studi
muslim untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bentuk lain dari kontak dunia muslim dengan
dunia Barat pada fase pertama adalah
penyalinan manuskrip-manuskrip kedalam bahasa latin sajak abad
ke-13 M hingga bangkitnya zaman kebangunan
(renaissance) di Eropa pada abad ke-14 M. Kegiatan
penyalinan manuskrip ini bermula atas restu King Frederick H. yaitu Kaisar Holy
Roman Empire.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiyah dari manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiyah tersebut di Barat. Apalagi
sesudah aliran enpirisme yang dikumandangkan oleh Francir Bacon (1561-1626)
melalui karyanya Novum Organon. Menguasai alam pikiran di Barat dan
berkembangnya observasi dan eksperimen. Tetapi penyalinan karya-karya filsafat
itu juga membangkitkan pro dan kontra yang sangat tajam pada masa-masa
permulaan. Encyclopedia Britannica jilid II halaman 191-197 (Arabic
phisophy ) mengungkapkan pengaruh penyalinan karya-karya filsafat itu dengan
panjang lebar dan terperinci.
b.
Fase Runtuhnya Muslim
Selama abad
renaisanse Eropa menguasai dunia untuk mencari mata dagangan, komersial dan
penyebaran agama. Ke Barat sampai ke Amerika, ke Timur melampaui Afrika, Asia Selatan,
Asia Tenggara dan Asia Timur. Dalam abad ke-16 hampir seluruh dunia telah mereka
kuasai. Ekspedisi bangsa-bangsa Eropa, terutama Spanyol, Portugal, Inggris, Belanda,
Perancis dan Italia yang awalnya hanya
berlomba menguasai dan mengamalkan sumber komoditas dan monopoli, lama-kelamaan
menjadi kolonialisasi melalui rekayasa kekuasaan. Ada kalanya terjadi rebutan
diantara mereka sendiri. Akhirnya nasib belahan bumi ditentukan oleh penjajah.
Kedatangan muslim
fase kedua ke dunia Barat, khususnya Eropa Barat dilatar belakangi oleh 2
alasan pokok yakni :
1. Alasan
politik adalah kesepakatan kedua Negara, yang satu sebagai bekas penjajah sementara yang satunya
sebagai bakas jajahan.
2. Alasan
ekonomi adalah untuk mencukupi tenaga buruh yang dibutuhkan negara-negara Eropa
Barat.
Adapun kategori
muslim yang ada di Eropa Barat ada 2 yakni :
1. Pendatang
(migran), dan
2. Penduduk
asli.
Kategori lebih
jauh dari penduduk asli dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok :
1. Orang
asli yang masuk Islam (corverted muslim)
2. Keturunan
dari muslim asli yang sudah lama bahkan beberapa abad yang lalu tinggal di negara-negara
Eropa Barat yang dulunya mereka masuk Islam akibat pengaruh kekuasaan Turki.
Kategori ini hanya ditemukan di Yunani, dan
3. Muslim
yang kembali menemukan agama aslinya.
Dengan proses waktu yang demikian
lama, meereka menjadi keluar dari Islam, kemudian sekarang menemukan lagi agama
aslinya. Makanya disebut rediscovery Islam of original roots.
Pada masa
penjajahan, studi Islam di Indonesia didorong oleh adanya keinginan untuk
memberikan training-training kepada para pegawai untuk kepentingan jajahan di
Indonesia. Untuk tujuan ini disamping dilakukan studi dibidang bahasa dan suku,
juga tentang Islam. Training-training ini dilakukan oleh the Royal Acadey di
Delft. Training ini disebut “kursus hukum Islam” ( Muhamadan law).
3)Perkembangan Studi Islam di Barat
Perkembangan
studi Islam di Indonesia dapat digambarkan demikian. Bahwa lembaga atau sistem
pendidikan Islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan langgar, pesantren,
kerajaan, dan akhirnya kelas.
Maksud
pendidikan sistem langgar ialah pendidikan yang dijalankan di langgar, surau,
masjid atau rumah guru. Kurikulumnya bersifat elementer, yakni mempelajari
abjad huruf Arab. Sistem ini punya dua cara yaitu dengan cara sorongan dan
halaqah.
Maksud
pendidikan sistem pesantren yaitu seorang kyai mengajari santri dengan sarana
masjid sebagai tempat pengajaran yang didukung pondok sebagai tempat tinggal
santri.
Sistem
pengajaran berikutnya adalah pendidikan di kerajaan Islam. Contoh kerajaannya
sebagai berikut:
1.
Kerajaan
Samudera Pasai
2.
Kerajaan
Perlak
3.
Kerajaan
Aceh Darussalam
4.
Kerajaan
Demak
5.
Kerajaan
Islam Mataram, dan
6.
Kerajaan
Islam Banjarmasin
Kemudian mulai
abad ke-19, perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, mulai lahir sekolah
model Belanda, sekolah Eropa, sekolah Varnahuler. Sekolah Eropa khusus untuk
ningrat Belanda, sekolah Varnahuler bagi warga Belanda. Sekolah pribumi ada
yang sama dengan sekolah Belanda, seperti taman siswa. Kemudian dasawarsa kedua
abad ke-20 muncul madrasah-madrasah model sekolah Belanda oleh organisasi Islam
seperti Muhammadiyah, NU, Jamaat al-Khair, dll.
Tahun 1901 orang-orang Arab yang tinggal di Jakarta mendirikan
madrasah, tetapi belum berhasil. Kemudian tahun 1905 dengan Jamiah al-Khoir
berhasil mendirikan medrasah dengan kurikulum mengajarkan pengetahuan umum dan agama.
Kemudian Mamba’ul al-‘Ulum didirikan tahun 1906 oleh Susuhunan Pakubuwono,
madrasah digabung dengan masjid. Kemudian sekolah adabiyah oleh Abdullah Ahmad
di Padang, berdiri tahun 1907 dan menggunakan sistem kelas secara konsisten.
Berikutnya, Zainuddin Labai al-Junusi pada tahun 1915 membuka sekolah guru
diniyah dengan sistem kelas dan menggunakan kurikulum mencakup pengetahuan umum,
bahasa, matematika, sejarah, dan ilmu bumi.
Kemudian pada tahun 1916 NU membuka madrasah
salafiyah di Tebuireng yang dalam kurikulumnya memasukkan
pelajaran baca tulis huruf latin. Pada tahun 1923 ada empat sekolah
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta dan di Jakarta berdiri sekolah HIS (Hollands
Inlands School).
Pada level perguruan tinggi dapat digambarkan
bahwa berdirinya perguruan tinggi Islam tidak dapat dilepaskan dari adanya
keinginan umat Islam Indonesia untuk memiliki lembaga pendidikan tinggi Islam
sejak jaman kolonial. Untuk mewujudkan keinginan tersebut pada bulan April 1945 diadakan pertemuan antara berbagai tokoh organisasi Islam, ulama
dan cendikiawan. Dalam pertemuan itu dibentuklah panitia perencana sekolah
tinggi Islam yang diketuai oleh Drs. Moh. Hatta dengan anggota–anggota antara
lain: K.H. Mas Mansur, K.H.A. Muzakkir, K.H.R.F. Kafrawi, dll. Setelah
persiapan cukup, pada tanggal 8 Juli 1945 bertepatan dengan hari Isra’ dan
Mi’raj diadakan upacara pembukaan resmi Sekolah tinggi Islam ( STI) di Jakarta.
Setelah proklamasi dan Ibukota RI pindah ke
Yogyakarta, STI pun juga hijrah ke kota tersebut dan namanya diganti
Universitas Islam Indonesia (UII) dengan 4 fakultas yaitu: Agama, hukum,
ekonomi, dan pendidikan. Fakultas agama UII kemudian dinegerikan dan menjelma
menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan peraturan
bersama menteri agama dan menteri pendidikan, pengajaran
dan kebudayaan No. K/I/14641 tahun 1951 (Agama) dan No. 28665/Kab. Tahun 1951 (
pendidikan ) tanggal 1-9-1951.
Tahun 1960 PTAIN dilebur dan digabungkan
dengan akademi dinas ilmu agama (ADIA) milik departemen agama yang didirikan di Jakarta dengan penetapan menteri agama No.1 tahun 1957.
Penggabungan institut agama Islam negeri ( IAIN) dengan peraturan presiden RI
Nomor 11 tahun 1960 tentang penyelenggaraan IAIN. IAIN merupakan penggabungan antara
PTAIN dengan ADIA.[22]
III.
KESIMPULAN
Studi Al-Qur’an.
Studi Al-Qur’an mencangkup empat kajian pokok,
yaitu pertama, definisi Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah firman Allah yang
berfungsi sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang
ditulis dalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya
merupakan suatu ibadah. Kedua, definisi Ulumul Qur’an. Ulumul Qur’an secara istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang
kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang berkaitan dengan turun,
bacaan, kemukjizatan, dan lain sebagainya”. Ash Shabuni mendefinisikan Ulumul
Qur’an itu kepada “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari aspek
turun, pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab
an nuzul, al makki wa al madani, pengetahuan mengenai an nasikh dan al mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain
sebagainya, segala pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Ketiga, Ruang Lingkup Kajian Al-Qur’an. Definisi di atas menggambarkan bahwa Ulumul Qur’an mencakup bahasa yang
sangat luas, antara lain nuzul Al-Qur’an,
asbab al nuzul atau sebab-sebab
turunnya Al-Qur’an, ilmu an nasikh wa al mansukh dan ilmunya fawatikh as-suwar serta masih banyak
yang lainnya. Secara garis besar Ulumul Qur’an itu dapat dikatagorikan menjadi
dua macam, yaitu ilmu-ilmu yang diistinbathkan dari Al-Qur’an yang kemudian
dapat digunakan sebagai pedoman oleh manusia dalam menjalani kehidupan yang
fana ini. Termasuk dalam kategori ini, misalnya ilmu fiqh, ushul, tafsir,
balaghah, kaidah-kaidah bahasa, aqidah, akhlak, dan sejarah. Dan yang kedua,
ilmu-ilmu yang menjadi syarat atau alat untuk
memahami Al-Qur’an. Keempat, Metode/
Model Tafsir yang mencangkup lima metode/model tafsir yaitu Metode/Model Tafsir Tahlili, Metode/Model
Tafsir Ijmali (Global), Metode/Model Tafsir Maudu’i (Tematik), Metode/Model
Tafsir Holistik (Kulli), dan Metode/Model Tafsir Kombinasi Tematik dan Holistik.
Studi Hadist.
Pengertian Hadits
secara etimologi diartikan sebagai sunah, al-khabar, dan al-atsar (Natta: 73; Suryaman,
1982:14). Hadits dipahami sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik
ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Studi ini mencangkup tiga bidang studi, yaitu pertama,
Metode Mengajarkan Hadits, kedua, Pengertian Ilmu Hadits, Ilmu
hadits adalah ilmu yang berkaitan dengan hadits yang secara garis besar terbagi
kedalam dua bagian yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah dan
Macam-macamnya, dan ketiga, pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits.
Para ahli pada umumnya membagi masa pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits
menjadi 7 periode.
Studi Hukum Islam.
Studi Hukum Islam mencangkup tiga bidang, yaitu pertama, rancang-bangun ilmu hukum Islam, kedua, pengembangan
kajian hukum Islam, dan ketiga, tradisi kritis
dalam kajian hukum Islam.
Studi Sejarah Islam.
Sejarah perkembangan studi Islam di uraikan menjadi tiga wilayah besar,
yakni pertma, perkembangan studi Islam di dunia muslim, kedua,
perkembangan studi Islam di dunia Barat, dan ketiga, perkembangan studi
Islam di Indonesia yang mencangkup tiga hal yaitu fase kejayaan muslim,
fase runtuhnya muslim, dan perkembangan studi Islam di Barat
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Dari Buku:
Ahmad, M. Abdul
Qadir, Metodologi Pengajaran Agama Islam,Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Ash-Shabuni, Muhammad
Ali, At Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an,
Dinamika Berkah Utama, Jakarta.
Asmawi,
Studi Hukum Islam, Teras, Yogyakarta,
2012.
Az
Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an,
Jilid I, Dar Al Fikr, Baerut , 1988.
Insan, Madani, Yogyakarta, 2010.
Hasanah, Hasyim,
Pengantar Studi Islam, ombak,
Yogyakarta, 2013.
Munir, Abdullah, Pendidikan Karakter
membangun karakter anak sejak dari rumah, PT Pustaka
Abdullah,
Badarudin Muhammad Az Zarkasyi Bin, Al Burhan Fi
‘Ulum Al-Qur’an, Jilid I, Dar
Jayl, Beirut, 1988.
Yusuf, Kadar M., Studi Al-Qur’an; Mengenali Ulumul Qur’an, Amzah, Jakarta, 2009.
Nasution,
Khoiruddin Pengantar Studi Islam, ACAdeMIA & TAZZAFA, Yogyakarta 2009.
Ichwan, Mohammad Nor, Belajar Al-Qur’an
Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu Al-Qur’an
Melalui Pendekatan Historis- Metodologis, RaSAIL{Ranah
Ilmu-ilmu Sosial Agama dan Interdisipliner}, 2005, Semarang.
Suryadilaga, Alfatih, Ulumul Hadis, Teras,
Yogyakarta, 2010.
Syukur, Fatah, Sejarah Pendidikan Islam,
Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012.
Dari internet :
http://oliftadrisfisikawalisongo.blogspot.com/2013/04/makalah-pengantar-studi-Islam.html, diakses pada tanggal 12 september 2014,
pukul 16:38 WIB.
[1] Abdullah Munir, Pendidikan Karakter membangun karakter
anak sejak dari rumah, (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani), 2010, hlm.
Xii.
[2] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 2-3.
[3] http://oliftadrisfisikawalisongo.blogspot.com/2013/04/makalah-pengantar-studi-Islam.html, diakses pada tanggal 12
september 2014, pukul 16:38 WIB.
[4] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 3 dan 10.
[5] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis (Yogyakarta:
Teras, 2010).
[6] Mohammad Nor
Ichwan Belajar Al-Qur’an Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu Al-Qur’an Melalui
Pendekatan Historis- Metodologis, (Semarang: RaSAIL{Ranah Ilmu-ilmu Sosial
Agama dan Interdisipliner}, 2005), hlm.33.
[7] Ibid. Hlm.
36
[8] Ibid. Hlm . 37.
[9] Kadar M. Yusuf, Studi
Al qur’an; Mengenali Ulumul Qur’an, (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 1.
[10] Az
Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al
Qur’an, (Jilid I, Baerut
: Dar Al Fikr, 1988), hlm. 127.
[11] Muhammad
Ali Ash-Shabuni, At Tibyan Fi Ulum Al
Qur’an, (Jakarta:
Dinamika Berkah Utama), hlm. 6.
[12] Badarudin
Muhammad Az Zarkasyi Bin Abdullah. Al
Burhan Fi ‘Ulum Al Qur’an, (Jilid I, Beirut:
Dar Jayl, 1988), hlm. 17
[13]
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Cetakan
I, Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA), hlm.
124-127.
[14] Ibid. hlm. 128-138.
[15] Ibid. hlm. 150-154.
[16] Ibid. hlm. 174-176.
[17] Hasyim
Hasanah, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta:
ombak, 2013), hlm. 35.
[18] M. Abdul
Qadir Ahmad, Metodologi
Pengajaran Agama Islam,( Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.105-110.
[19] Abuddin
Natta, Studi Islam Komprehensif,(
Jakarta: prenada media group, 2011), hlm.
189-196.
[20] Ibid. hlm. 196.
[21] Asmawi, Studi Hukum Islam,(Yogyakarta:Teras, 2012), hlm. 17-30.
[22]
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (,
Cetakan I, Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2009), hlm. 65-85.
3 komentar:
keren!!!! gun!
keren gun!!!
sama-sama bro! jangan lupa sering-sering kunjung bro!
Posting Komentar