Ayo Sinau...!!!

Senin, 20 Oktober 2014

Makalah Pengantar Studi Islam: Karakter Studi Islam


KARAKTER STUDI ISLAM


Oleh :
Tomy Muhlisin Ahmad, Bevi Dimiesta, Dzikrina Istighfaroh, dan Martha
Julia. M

Dosen Pengampu :  Fihris, M. Ag.





      I.            PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Karakter adalah pisau bermata dua. Setiap karakter memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, memiliki kemungkinan yang berbeda dan berlawanan.[1] Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari waktu ke waktu sejak zaman Nabi Adam as. ke zaman Nabi Muhammad SAW. sampai masa sekarang, berkembangnya di berbagai daerah dari sistem yang paling sederhana menuju sistem pendidikan Islam yang modern. Dalam perkembangan pendidikan Islam didalam sejarahnya menunjukan perkembangan dalam subsistem yang bersifat operasional dan teknis terutama tentang metode, alat-alat dan bentuk kelembagaan adapun hal yang menjadi dasar dan tujuan pendidikan Islam tetap dapat dipertahankan sesuai dengan ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.[2]
Islam memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang bahwan pendidikan adalah hak bagi setiap orang (Education for All), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (Long Life Education). Karakteristik pendidikan Islam berpengertian sebagai ciri-ciri khusus yang membedakan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan lainnya. Identitas yang membuat sistem pendidikan tersebut dapat membangun manusia seutuhnya, seimbang antara jasmani dan rohani, siap untuk menjadi manusia unggul dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Ciri yang membuat manusia semakin dekat dengan penciptanya.[3]
Dari semua itu proses bimbingan dari pendidik yang mengarahkan anak didiknya kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan dan terbentuknya pribadi muslim yang baik. Dalam ajaran Islam, pendidikan mendapatkan posisi yang sangat penting dan tinggi karena pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral (central attention) masyarakat. Pengalaman pembangunan di negara-negara maju khususnya di dunia Barat membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, peranan pendidik sangat penting dan pendidikan hendaknya memenuhi kebutuhan masyarakat.[4]
Al-Quran diturunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran diturunkan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak, dan pergaulam manusia yang sudah sangat menyimpang jauh dari kebenaran dan tujuan hidup manusia. Dalam studi Islam banyak sekali yang membahas tentang hukum-hukum Islam dan sejarah tentang keIslaman masa lampau.
Hadist juga merupakan sumber rujukan kedua bagi umat Islam setelah menggunakan sumber rujukan berupa Al-Qur’an. Tidak sebagaimana rujukan pertama yang eksistensinya disepkati oleh seluruh umat Islam, hadist yang masih diperselisihkan sebagaimana lantaran sanad dan matannya yang tidak semuanya shahih. Keraguan terus membayangi benak umat Islam ketika membaca dan apalagi hendak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[5]

 
B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, ada empat rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimanakah karakteristik studi Islam dalam perspektif Studi Al-Quran?
2.      Bagaimanakah karakteristik studi Islam dalam perspektif Studi Hadits?
3.      Bagaimanakah karakteristik studi Islam dalam perspektif Studi Hukum Islam?
4.     Bagaimanakah karakteristik studi Islam dalam perspektif Studi Sejarah Islam?

              
   II.            PEMBAHASAN

1.        STUDI AL-QUR’AN

a.    Definisi Al-Qur’an

Secara etimologis lafadz Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab, yaitu akar kata dari qara’a yang berarti ”membaca” . Al-Qur’an adalah bentuk isim masdar  yang diartikan sebagai isim maf’ul, yaitu maqru’ yang berarti “yang dibaca”. Pendapat lain menyatakan bahwa lafadz Al-Qur’an yang berasal dari akar qara’a tersebut juga memiliki arti al-jamu’ yaitu ”mengumpulkan dan menghimpun”. Jadi lafadz qur’an dan qira’ah berarti menghimpun dan mengumpulkan sebagian huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang lainnya. Sementara itu menurut Schwally dan Weelhausen dalam kitab Dairah al-Ma’arif  menulis bahwa lafadz Al-Qur’an berasal dari bahasa Hebrew, yaitu dari kata keryani yang berarti “yang dibacakan”.[6]
Pengertian Al-Qur’an secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, bahwa definisi Al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan ahli bahasa, ahli kalam, ahli fiqh, adalah sebagai berikut. Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan suatu ibadah.[7]
Muhammad Ali al-Shabuni dalam al-Thibyan fi UlumAl-Qur’an mendenifisikan Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantaraan malaikat Jibril dangan lafal dan maknanya dari Allah SWT. yang dinukilkan secara mutawatir, membacanya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dangan surah an-Nas.
Semakin banyak sifat-sifat Al-Qur’an yang diungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi Al-Qur’an, demikian juga sebaliknya.[8]

b.         Definisi Ulumul Qur’an

Secara Etomologi Ulumul Al-Qur’an terdiri dari dua kata yaitu Ulum dan Al-Qur’an. Ulum adalah jamak dari al-‘ilm yang berarti ilmu, maka ulum berarti ilmu-ilmu. Sedangkan kata Al-Qur’an secara harfiyah berasal dari kata qara’a yang berarti membaca atau mengumpulkan. Kedua makna ini mempunyai maksud yang sama, membaca berarti juga mengumpulkan, sebab orang yang membaca bekerja mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang baca. Maka perintah membaca dalam Al-Qur’an, seperti yang terdapat diawal surat Al ‘Alaq,
bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat di alam raya atau dimana saja dengan tujuan agar pembaca melalui gagasan, bukti dan ide yang terkumpul dalam pikirannya itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala yang ada semua diatur oleh Allah SWT.[9]
Menurut Az Zarqoni Ulumul Qur’an adalah “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an mulai dari aspek turun, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir, mukjizat, nashikh dan mansukh, menolak subhat darinya, dan lain-lain.[10]
Jadi, Ulumul Qur’an secara istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang berkaitan dengan turun, bacaan, kemukjizatan, dan lain sebagainya”. Ash Shabuni mendefinisikan Ulumul Qur’an itu kepada “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari aspek turun, pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab an nuzul, al makki wa al madani, pengetahuan mengenai an nasikh dan al mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain sebagainya, segala pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an.[11]
“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. An Nahl: 89).

c.    Ruang Lingkup Kajian Al-Qur’an

Definisi diatas menggambarkan bahwa Ulumul Qur’an mencakup bahasa yang sangat luas, antara lain nuzul Al-Qur’an, asbab al nuzul atau sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, ilmu an nasikh wa al mansukh dan ilmunya fawatikh as-suwar serta masih banyak yang lainnya. Karena begitu luasnya cakupan kajian Ulumul Qur’an, maka para ulama harus mengakhiri definisi yang mereka buat dengan ungkapan “dan lain-lain”. Ungkapan ini menunjukan, kajian Ulumul Qur’an tidak hanya hal-hal yang disebutkan dalam definisi itu saja, tetapi banyak hal yang secara keseluruhan tidak mungkin disebutkan dalam definisi. Ibnu Arabi (W 554 H), seperti yang dikutip oleh Az Zarkasyi, menyebutkan Ulumul Qur’an mencakup 77.450 ilmu sesuai dengan bilangan kata-katanya.[12]
Secara garis besar Ulumul Qur’an itu dapat dikatagorikan menjadi dua macam, yaitu ilmu-ilmu yang diistinbathkan dari Al-Qur’an yang kemudian dapat digunakan sebagai pedoman oleh manusia dalam menjalani kehidupan yang fana ini. Termasuk dalam kategori ini, misalnya ilmu fiqh, ushul, tafsir, balaghah, kaidah-kaidah bahasa, aqidah, akhlak, dan sejarah. Dan yang kedua, ilmu-ilmu yang menjadi syarat atau alat untuk memahami Al-Qur’an. Yang dimaksud dengan istilah Ulumul Qur’an dalam kajian ini mencakup antara lain sebagai berikut :
1)      Ilmu nuzul Al-Qur’an atau ilmu turunnya Al-Qur’an. Kajian ini mencakup penyampaian Al-Qur’an dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW., Al makki wa al madani, ayat paling awal dan paling akhir diturunkan, ayat yang turun di malam hari (al lailiyah), yang turun di waktu siang (al mahariyah), ayat yang turun dalam perjalanan, ayat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW. berada ditempat tingalnya, ayat yang turun ketika Nabi berada dalam perjalalanan dan ayat yang berulang kali turunnya.
2)      Ilmu qiro’ah. Hal ini mencakup cara memulai bacaan, membaca wakaf, mad, idghom, dan lain sebagainya. Termasuk juga dalam kajian ini perbedaan para ulama dalam membacanya, ada bacaan yang mutawatir, ahad, masyhur, dan syazz.
3)      Kajian tentang makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, seperti lafal ‘am yang tetap dalam keumumannya, ‘am yang telah ditakhsikan manthuq, mafhum, muthlaq, mukayyad, dan lain sebagainya.
4)      Kajian tentang makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan lafal, seperti ‘ijaz, ithnab, muSAW.a, qashor, dan lain-lain.
Dengan demikian, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Ulumul Qur’an itu mencakup ilmu-ilmu bahasa Arab dan segala kajian yang berkaitan dengan ajaran Islam. Bahkan As Sayuthi berpendapat, bahwa ilmu jiwa, ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain sebagainya juga termasuk Ulumul Qur’an. Hal itu didasarkan kepada firman Allah SWT.
Dalam kitab-kitab ilmu-ilmu Al-Qur’an dikupas sejumlah masalah. Topik bahasan ilmu Al-Qur’an dalam ringkasan dapat digambarkan demikian.
Pertama, sejarah ilmu Al-Qur’an yang mencangkup:
1.      Pertumbuhan ilmu-ilmu Al-Qur’an
2.      Ilmu Al-Qur’an dimasa Rasul dan Khulafa Rasyidin
3.      Tokoh-tokoh tafsir dalam abad ke-2 hijrah
4.      Ilmu- ilmu Al-Qur’an yang tumbuh dalam abad ke-3 hijrah
5.      Ilmu- ilmu Al-Qur’an yang tumbuh dalam abad ke-4 hijrah
6.      Ilmu- ilmu Al-Qur’an yang tumbuh dalam abad ke-5 hijrah
7.      Ilmu- ilmu Al-Qur’an yang tumbuh dalam abad ke-6 dan 7 hijrah
8.      Kapankah timbul istilah ‘ulum Al-Qur’an (ilmu- ilmu Al-Qur’an)
9.      Ilmu- ilmu Al-Qur’an dalam ke-8 dan ke-9 hijrah, dan
10.  Ilmu- ilmu Al-Qur’an dalam ke-11 ta’rif ‘ulum Al-Qur’an.
Kedua, ilmu tentang latar belakang turunnya ayat (‘ilm asbab al nuzul) yang mencangkup:
1.      Hubungan sebab dengan musabbab
2.      Kisah nuzulnya ayat
3.      Kepentingan dan kedudukan ‘ilm asbab al nuzul
4.      Ta’rif (makna) asbab al nuzul
5.      Ada sejumlah sebab yang menjadi latar belakang turun, dan
6.      Hubungan surat dengan surat.
Ketiga, ilmu makki wa al madani yakni ilmu yang menerangkan makna Al-Qur’an yang turun di Mekkah dan mana yang turun di Madinah mencakup:
1.      Ciri-ciri surat Makkiyah
2.      Ciri-ciri surat Makkiyah yang aghlabiah
3.      Ciri-ciri surat Maddaniyah
4.      Ciri-ciri surat Maddaniyah yang aghlabiah
5.      Surat Makkiyah dan Maddaniyah masing-masing dibagi kepada tiga marhalah
6.      Analisis sembilan surat yang disepakati turunnya dalam marhalah Makkiyah yang pertama
7.      Uslub surat-surat Makkiyah marhalah yang pertama
8.      Keadaan surat Makkiyah marhalah yang kedua
9.      Surat Makkiyah marhalah yang ketiga
10.  Kisah aszab al Kahfi
11.  Kisah Musa
12.  Kisah Dzulkarnain, dan
13.  Ciri surat Maddaniyah dari marhalah ke marhalah.
Keempat, sekitar kalimat yang dipakai untuk pembukaan surat (fawatihu al-suwar), yang mencangkup:
1.      Keistimewaan surat Makkiyah
2.      Pendapat ulama tentang makna fawatihu al-suwar, dan
3.      Makna fawatihu al-suwar.
Kelima, ilmu cara-cara membaca Al-Qur’an (ilmu qira’at), yang mencangkup:
1.      Makna Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf
2.      Para qurra’, dan
3.      Qira’ar yang benar dan yang tidak benar.
Keenam, ilmu yang menerangkan ayat-ayat penghapus hukum dan ayat-ayat yang dihapus hukumnya (ilmu nasikh wa al-mansukh), yang mencangkup:
1.      Makna nasakh
2.      Pendapat para ulama tentang mansukh Al-Qur’an, dan
3.      Pendapat para ahli tahqiq.
Ketujuh, tentang ilmu cara-cara menulis lafadz-lafadz Al-Qur’an (ilmu rasmi Al-Qur’an) .
Kedelapan, ilmu yang menerangkan ayat-ayat mahkamah dan yang mustasyabih (ilmu muhkam wa mustasyabih ).
Kesembilan, ilmu perumpamaan yang digunakan Al-Qur’an (ilmu amthal Al-Qur’an).
Kesepuluh, ilmu tentang sumpah Al-Qur’an (ilmu aqsam Al-Qur’an).
Kesebelas, tentang kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an.
Keduabelas, ilmu jadal Al-Qur’an.
Ketigabelas, ilmu tafsir.
Keempatbelas, metode yang diperlukan mufassir, dan
Kelimabelas, ilmu tentang kemukjizatan dalam Al-Qur’an.[13]


d.        Metode/ Model Tafsir

1)        Metode/Model Tafsir Tahlili

Dapat disebut model kajian yang digunakan dalam mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam (nash) secara umum adalah model kajian tahlili. Maksudnya adalah metode kajian Al-Qur’an dengan menganalisis secara kronologis dan memaparkan sebagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam urutan mushaf ‘Ustmani. Ternyata menurut sejumlah ilmuan metode yang sebagian ilmuan menyebutkan dengan metode kajian otomistik atau metode kajian yang bersifat parsial ini memiliki beberapa kelemahan. Fazlur Rahman misalnya berpandangan, metode kajian atomistik menjadi penyebab kegagalan umum memahami keutuhan ajaran Al-Qur’an. Sebab dengan metode parsial ini nash (Al-Qur’an) dipahami kata demi kata atau ayat demi ayat yang ada dalam surah secara terpisah-pisah. Akibatnya Al-Qur’an terkesan tidak menjadi satu kesatuan yang utuh, melainkan terpisah-pisah, dan pada giliran hukum-hukum yang diambil dari Al-Qur’an pun tidak sejalan dengan nilai yang semestinya.
            Tafsir tahlili oleh al-Farmawi dikelompokkan kepada tujuh jenis tafsir, yakni:
a) Al-Tafsir bi al-Mathur (Riwayah)
b) Al-Tafsir bi al-Ray
c) Al-Tafsir al-Sufi a Al-Tafsir al-Sufi
d) Al-Tafsir fiqhi
e) Al-Tafsir al-Falsafi
f) Al-Tafsir al-Ilmi, dan
g) Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.

2)        Metode/Model Tafsir Muqaran

Maksud tafsir muqarin (perbandingan) adalah metode penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an yang berbicara satu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat dan antara ayat dengan sunnah Nabi Muhammad SAW., baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan dari objek yang dibandingkan.

3)        Metode/Model Tafsir Ijmali (Global)

Model Tafsir Ijmali (Global) adalah metode tafsir dengan cara menafsirkan secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar.

4)        Metode/Model Tafsir Maudu’i (Tematik)

Dalam sejarah, tafsir tematik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Tematik berdasarkan subyek, dan
Tematik berdasarkan subyek diantaranya adalah karya Ibn Qayyim al-Jauziyah (1292-1350 H), ulama besar dari mahzab Hambali yang berjudul al-Bayun fi Aqsam Al-Qur’an; Majaz Al-Qur’an oleh Abu ‘Ubaid; Mufradat Al-Qur’an sejumlah ulama; Asbab al-Nuzul oleh Abu al Hasan al Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya alJasas (W 370 H.) adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh Al-Qur’an.
2.      Tematik berdasar surah Al-Qur’an.
Zarkashi dengan karyanya al-Burhan, misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga Suyuti dalam karyanya al-itqan. Tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang dimasa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah diawal abad ke-20, baik tematik berdasarkasn subyek/topik maupun tematik berdasarkan surah Al-Qur’an.[14]

5)        Metode/Model Tafsir Holistik (Kulli)

Tafsir Holistik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Tafisr Hermeneutik Fazlur Rahman (1919-1988). Ada juga yang menyebut Tafsir Kontekstual. Teori ini juga yang digunakan Amina Wadud Muhsin ketika melakukan studi tentang Al-Qur’an dan wanita. Rahman sendiri tidak menyebut metodenya dengan tafsir holistik, tidak juga kontekstual, tetapi disebutnya sebagai metode atau teori hermeneutik (hermeneutical theory). Maka penyebutan Tafsir Holistik dan Tafsir Kontekstual lebih melihat pada penggunaan teori tersebut. Penyebutan Tafsir Holistik dalam tulisan ini disimpulkan dari proses dan tujuan penggunaan metode Rahman, misalnya Rahman menulis:
Ada kebutuhan yang luar biasa terhadap teori hermeneutik yang akan dapat membantu kita memahami makna Al-Qur’an sebagai satu kesatuan agar baik isi teologi maupun isi etis dan yuridisnya menjadi satu kesatuan.
Namun demikian, baik tematik maupun holistik sama-sama menekankan pada pentingnya pemahaman Al-Qur’an dengan metode silang (cross-referential), atau induktif. Metode ini kelihatan diilhami oleh konsep yang mengatakan “seluruh Al-Qur’an saling menafsirkan” (one part of the Qur’an interprets another) atau “different parts or the Qur’an explain one another” (Al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan), sebuah konsep yang sudah dikenal sejak masa sahabat.
Tujuan dari penggunaan metode holistik dengan demikian adalah untuk menemukan nilai dasar, prinsip dan etika (spirit) dari nilai partikular-partikular ayat yang dipahami secara sepotong-sepotong (juz’i).[15]

6)        Metode/Model Tafsir Kombinasi Tematik dan Holistik

Tafsir Tematik yang ditawarkan al-Kulli dan tafsir holistik Fazlur Rahman, keduanya sama-sama menawarkan dan menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an secara menyeluruh ketika membahas satu masalah. Sebagai contoh, ketika membahas konsep riba dalam Al-Qur’an, maka seluruh ayat yang berbicara riba harus masuk dalam kajian. Kedua pemikir juga menekankan pada pentingnya penafsiran kontekstual, al-Kulli menekankan pada pendekatan sastra-linguistik, meskipun dikatakan bahwa pendekatan sastra-linguistik merupakan tahap awal memahami konteks. Sementara Rahman menekankan pada pendekatan sejarah dan ilmu sosial (kontemporer).
Namun demikian Rahman menekankan pada pentingnya memahami Al-Qur’an sebagai kesatu-paduan yang berjalin berkelindan dan utuh yang menghasilkan “weltanschauung” yang pasti. Dengan cara pemahaman seperti ini diharapkan lahir Islam yang utuh dan terkait secara logis (coherence) antara satu tema dengan tema lain, dan akhirnya seluruh Al-Qur’an terjalin menjadi satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Setelah ditemukan konsep satu masalah dengan kajian tematik, masih harus diselaraskan dengan nilai-nilai yang lain dalam Al-Qur’an, baik yang bersifat teologis maupun etis. Dengan cara seperti ini lahirlah hukum yang sejalan dengan isi keseluruhan Al-Qur’an, dan Al-Qur’an menjadi satu kesatuan yang utuh, tidak ada ajaran atau nash yang bertentangan antara satu dengan yang lain; teologi, etis dan hukum.
Penggunaan metode tematik adalah untuk menemukan nilai dasar (prinsip) dari masing-masing tema atau subyek. Sementara metode holistik untuk menemukan nilai dasar (prinsip) antar subyek, yang pada gilirannya menyatukan nilai dasar antar subyek menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu. Agar antara tema/subyek dapat menjadi kesatuan yang utuh dan menyatu, dibutuhkan keserasian nilai. Karena itu, untuk mencapai tujuan kesatuan yang utuh dan menyatu, antar subyek/tema harus mempunyai nilai dasar yang selaras. Demikian juga dalam kajian ini berusaha memadukan pendekatan sastra-linguistik yang ditawarkan al-Kulli dengan pendekatan sejarah dan sosial yang ditawarkan Rahman.[16]


2.    STUDI HADITS
a.   Pengertian Hadist
Hadits secara etimologi diartikan sebagai sunah, al-khabar, dan al-atsar (Natta: 73; Suryaman, 1982:14). Hadits dipahami sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan.[17]

b.        Tujuan Mengajarkan Hadits
1)  Sunnah mengajarkan hal-hal yang bersifat masih umum dalam Al-Qur’an, menerangkan, atau membatasi pengertianny
2) Hendaklah kita mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan Rasulullah SAW. walaupun peraturan itu tidak terdapat didalam Al-Qur’an.
3) Taat kepada Allah adalah melalui taat kepada Rasulullah dan mengamalkan segala haditsnya dalam kehidupan kita.
4) Memelihara bacaan dan ucapan huruf-hurufnya.
5) Memahami hadits dengan baik agar dapat dipergunakan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup kita.
6) Mengenal berbagai segi kehidupan Nabi SAW. untuk mendorong generasi muda kita mengikuti petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah-Nya.
7)  Memperlihatkan ungkapan-ungkapan yang indah dalam hadits.

c.         Metode Mengajarkan Hadits
Cara mengajarkan hadits hampir sama dengan mengajarkan Al-Qur’an, hanya saja hadits tidak dibaca dengan dilakukan. Hadits biasanya lebih pendek dari pada ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam mengajarkan hadits guru dapat menggunakan cara mengajarkan Al-Qur’an, baik mengenai pengantar, pembahasan, memberikan contoh, menyuruh murid untuk membaca, mendiskusikan, membagi-bagi dalam satuan-satuan pikiran, menjelaskan sinonim-sinonimnya, menghubungkan hadits dengan persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari, dan mengambil kesimpulan dari maksud hadits tersebut.
Disamping itu guru juga harus memperhatikan hubungan pengajaran hadits dengan persoalan-persoalan agama yang ada hubungannya dengan hadits yang diajarkan, dan dengan ayat-ayat Al-Qur’an serta persoalan-persoalan akhlak.[18]

d.      Pengertian Ilmu Hadits dan Macam-macamnya
Ilmu hadits adalah ilmu yang berkaitan dengan hadits yang secara garis besar terbagi kedalam dua bagian yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Dari kedua macam hadits ini muncul pula cabang-cabang ilmu hadits lainnya, yaitu Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Jarh wa al-ta’dil, Ilmu Fan al-Mubhamat, Ilmu Tashif wa Tahrif, Ilmu Ilal al-Hadits, Ilmu Gharib al-Hadits, Ilmu Nasikh wa al-Mansukh, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Talfiq al-Hadits, dan Ilmu Mushthalah ahl al-Hadits.

e.        Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits tersebut sangat dekat kaitannya dengan permasalahan yang timbul dalam perjalanan hadits itu sendiri. Para ahli pada umumnya membagi masa pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh periode yaitu :
1)    Periode pertama (masa Rasulullah SAW.)
2)    Periode kedua (masa Khulafaur Rasyiddin)
3)    Periode ketiga ( masa sahabat kecil dan tabi’in besar)
4)    Periode keempat (masa pembukuan dan pengumpulan hadits)
5)    Periode kelima (masa pentashihan hadits dan menyusun kaidah-kaidahnya)
6)    Periode keenam (dari abad IV hingga tahun 656 H), dan
7)    Periode ketujuh ( tahun 656 H hingga sekarang).
Periode pertama, pada masa ini hadits masih dalam proses pertumbuhan seiring dengan diturunkannya Al-Qur’an, serta belum ditulis secara resmi, sebagaimana halnya Al-Qur’an, dengan alasan karena dikhawatirkan sulit dibedakan antara Al-Qur’an dengan Al-Hadits, juga karena para penulis pada masa itu sangat terbatas.[19]
Selanjutnya pada periode kedua, ditandai oleh upaya penyebaran hadits ke berbagai wilayah daulat Islamiyah, munculnya lafal-lafalnya yang digunakan para sahabat dalam meriwayatkan hadits, serta ketelitian para sahabat dalam menerima hadits.
Pada periode ketiga, yang ditandai oleh masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits, para sahabat mengadakan perjalanan dan rihlah ilmiah (perjalanan menurut ilmu) untuk mencari hadits, munculnya tokoh-tokoh hadits dari kalangan tabi’in, pusat-pusat hadits, dan terjadinya pemalsuan hadits sebagai akibat dari pertentangan idiologi dan politik.
Kemudian pada periode keempat, ditandai oleh mulainya pembukuan hadits, lahirnya berbagai sistem dalam pembukuan hadits, seperti jami al-shahih, musnad, dan lainnya, munculnya kitab-kitab hadits yang keadaannya masih bercampur antara yang shahih dengan yang dhaif dan maudlu’, serta semakin meluasnya pemalsuan hadits.
Selanjutnya pada periode kelima, pada periode ini dilakukan pembukuan hadits, memperluas lawatan para ulama untuk mencari hadits, serta penyusunan kaidah-kaidah pentashihan hadits, dasar-dasar pentashihan hadits, langkah-langkah yang ditempuh untuk memelihara hadits, munculnya para imam yang membukukan hadits, memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima oleh para ahli tentang kebenaran atau kedustaannya, membuat undang-undang umum tentang tingkatan hadits guna memilah dan membedakan antara yang sahih, dhaif, dan maudlu’, lahirnya para tokoh penashih hadits, seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nadsai, dan Ibn Majah.
Kemudian pada periode keenam, terdapat upaya mengumpulkan hadits-hadits shahih yang tidak terdapat dalam kitab yang keenam, kitab-kitab hadits memperbaiki susunan kitab-kitab hadits, munculnya kitab jami’, targhib dan tahrib, hukum dan athraf, kitab-kitab istikhraj dan istidrak, serta para tokoh hadits.[20]
Selanjutnya pada periode ketujuh, muncul pusat-pusat perkembangan hadits di India dan Mesir, jalan-jalan yang ditempuh dalam mengembangkan hadits, tokoh-tokoh hadits, serta kitab-kitab yang muncul pada abad ketujuh.


3.        STUDI HUKUM ISLAM

a.      Rancang-Bangun Ilmu Hukum Islam
Tradisi keilmuan Islam lebih khusus tradisi ilmu hukum Islam dianggap sebagai kekayaan dan kekuatan spiritual yang perlu dipertahankan. Tradisi merupakan sumber kekuatan mental spiritual yang ampuh untuk menahan berbagai perubahan dan pembangunan dalam segala bidang. Bentuk piramida pemikiran Islam yang meliputi fiqh, kalam dan tasawuf adalah bentuk bangunan yang “paten”, yang ghairu qabilin li al-taghhyir, ghairu qabilin li al-niqas. Generasi yang sekarang tinggal mewarisi kekayaan intelektual-spiritual generasi terdahulu. Dengan begitu tanpa terasa tradisi tersebut diterima secara dogmatis, tidak ada kreativitas yang bersifat inovatif untuk mengembangkan tradisi sesuai dengan perkembangan wilayah pengalaman manusia.
Karya-karya yang menitik-beratkan pada sisi metafisik dari rancang-bangun keutuhan pemikiran manusia, serta penekanan pada konsepsi “ide” Plato yang tidak berubah-ubah, sangat mengilhami mereka. Dalam struktur piramida khazanah keilmuan Islam klasik, terutama kajian hukum Islam tersebut tampak mencolok belum dimasukannya pendekatan baru yang muncul pada abad ke 18-19, yaitu pendekatan ilmu-ilmu sosial dan pendekatan kesejahteraan. Pendekatan filosofi memang digunakan oleh para protagonis alur pemikiran ini, namun penggunaanya lebih ditekankan pada aspek ishraq (illuminis) yakni suatu usaha yang ingin menggabungkan kemampuan akal dan kemampuan perasaan manusia dalam mencapai keutuhan pemahaman terhadap realitas.
Implikasinya, wilayah dan muatan pengalaman manusia yang berkembang sebagai akibat persentuhannya dengan dinamika ilmu pengetahuan kurang begitu diakomodir dalam keutuhan pengalaman spiritualitas keberagaman manusia. Pengalaman beragama begitu terosilir (terpencil) dan tidak menyatu dalam kehidupan yang realitas. Jika tidak cermat dalam mengapresiasi trend pemikiran yang pertama ini, maka kecenderungan pemikiran Islam khususnya hukum Islam model pertama ini memang sulit untuk dibedakan dari tradisi yang bersifat taqlidi-dogmatis. Ini dapat dilihat dari perkembangan para penganut mazhab yang enggan untuk mengkritik pendahuluannya. Padahal tradisi Amiah al-Madhahib selalu mengedepankan sikap inklusif dalam mensikapi pendapat orang lain. Imam Safi’i berkata: “Pendapatku benar tapi ada kemungkinan salah dan pendapat selain saya salah tapi ada kemungkinan benar”. 

b.      Pengembangan Kajian Hukum Islam
Melihat perkembangan pemikiran Islam seperti diatas, maka perlu dimunculkan tradisi pemikiran filosofis-kritis terhadap segala bentuk pemikiran manusia, termasuk didalamnya ada horizon pemikiran hukum Islam. Tradisi kritis-filosofis melihat khazanah intelektual Islam dan pemikiran hukum Islam pada umumnya merupakan suatu produk sejarah biasa, yang sudah barang tentu qabilun li al taghyir dan qalibun li al-niqas. Oleh karena pemikiran hukum Islam adalah juga produk sejarah yang berkembang pada zaman tertentu, maka sangat boleh jadi ia juga mewakili nuansa pemikiran yang berkembang pada saat tertentu pula.
Pemikiran hukum Islam dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Safi’i, dan Hambali) adalah bangunan pemikiran hukum Islam yang dibentuk oleh suatu zaman yang berkembang saat itu, tidak bersifat mutlak harus diikuti tanpa pertanyaan yang kritis, lantaran perbedaan zaman juga akan berakibat pada perbedaan muatan pengalaman dan penghayatan, yang pada gilirannya, akan membuat perbedaan rumusan, termasuk rumusan pemikiran hukum Islam itu sendiri. Tantangan dan keprihatinan zaman, adalah selalu berbeda, seperti halnya perbedaan antara akumulasi pengalaman manusia pada wilayah geografis tertentu diakumulasi pengalaman manusia pada wilayah geografis yang lain.
Tradisi pemikiran hukum Islam kritis ini, pada masa lalu dikembangkan oleh al-Syatibi, al-Tufi, Shah Wali Allah al-Dihlawi, kemudian diteruskan oleh Fazlur Rahman, M. Arkoun, Hassan Hanafi, al-Na’im, Shahrur, Khalid, abu Fadhl dan yang lain, termasuk Hashim Kamali. Mereka sebenarnya sepakat bahwa dalam hal menyangkut pemahaman aspek normativitas Al-Qur’an adalah ghairu qabilin li al-taghyir, ghairu qabilin li al-niqas, tetapi mereka juga menggaris bawahi peran historisitas kekhalifahan manusia di muka bumi. Aspek yang kedua ini qabilun li al-niqas wa al-taghyir. Trend pemikiran kritis ini melihat tradisi keilmuan hukum Islam sebagai suatu horizon pemikiran yang tidak taken for granted. Mereka lebih melihat tradisi keilmuan hukum Islam sebagai hasil akumulasi pengalaman sejarah kemanusiaan biasa yang selalu terikat oleh keadaan ruang dan waktu, alias ghairu ma’sum. Tradisi yang sudah ada itu dapat dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan wilayah pengalaman manusia beragama itu sendiri. Mereka sadar betul bahwa muatan pengalaman manusia beragama abad tengah dan abad modern adalah jauh berbeda, meskipun dalam aspek normativitasnya bisa jadi tidak banyak berbeda. Mereka lebih melihat aspek etika sosial dan spiritualitas keberagamaan Islam yang bersifat inklusif-terbuka bukan aspek legal-formal yang lebih menonjolkan eksklusifitas-tertutup.
Rumusan piramida tradisi keislaman yang tercermin dalam fiqh adalah hasil rumusan manusia, yang tidak luput dari campur tangan “ideologi” yang berkembang saat itu, meskipun di sana-sini dibalut dengan petikan wahyu atau sunnah Nabi. Ideologi yang hidup pada saat bangunan piramida keilmuan hukum Islam itu dibangun cukup mewarnai corak dan bentuk serta isi tradisi keilmuan hukum Islam yang dimaksud. Pendekatan filsafat ilmu, pendekatan sociology of knowledge (sosiologi ilmu pengetahuan) serta pendekatan kesejarahan seperti ini sangat mewarnai pemikiran hukum Islam kritis ini. Jika tradisi kajian hukum Islam tertentu adalah sebagai zaman yang mengitarinya, maka tradisi itu dapat juga dibahas, dikupas, dikritik dan dianalisi, sehingga tampak mana aspek normativitasnya dan mana aspek historisitasnya, mana aspek tujuan dan mana aspek alat mana dimensi universalitas (kulliyat) dan mana aspek partikularitas (juziyat) nya.

c.       Tradisi Kritis dalam Kajian Hukum Islam

Melihat sejarah perkembangan ilmu fiqh (hukum Islam), para pengamat sulit untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa sejak dari semula, pemikiran hukum Islam sudah tidak dapat dipisahkan dari dominasi kekuasaan politik. Essensi dan subtansi pemikiran ketuhanan yang termanifestasikan dalam etika sosial dan spiritualitas keberagamaan kurang mendapat porsi yang mengigit dalam tradisi keilmuan hukum Islam. Tradisi pemikiran hukum Islam yang seperti itu, yang secara sadar dikaji secara turun-menurun, berkesinambungan dikalangan pesantren, madrasah bahkan juga sampai perguruan tinggi Islam.
Literatul fiqh klasik yang mempunyai implikasi seperti itulah yang dikaji terus-menerus secara turun-temurun, berkesinambungan di lingkungan pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam. Kajian Al-Qur’an secara komprehensif, inklusif, holistik, kurang mendapat porsi yang proposional, lantaran mujtahid-mujtahidnya dan mustanbit-mustanbit sulit dimunculkan dari tradisi keilmuan fiqih yang bersifat dogmatis. Hingga sekarang, sulit ditemukan kitab atau penulisan kitab fiqih yang bersifat komprehensif, inklusif, “munsyarihul al-sadr” (lapang dada) seperti tampak dalam proses perjalanan historitas Al-Qur’an ketika menawarkan fundamental ethical values selama 23 tahun.  Kesulitan yang sama juga melekat pada pendekatan philosophy of religion di Barat. Menurut sementara pengamat, istilah philosophy of religion yang aturannya bersifat comprehensife-inklusif , justru hanya didominasi oleh teologi Kristiani saja, tanpa memperhatikan nuansa pemikiran nuansa pemikiran keagamaan yang dimiliki oleh agama dan budaya lain non-Kristiani.
Kajian agama termasuk didalamnya hukum Islam sangat erat hubungannya dengan kajian filosofis, lantaran agama juga menyangkut fundamental values dan ethical values, untuk tidak semata-mata bersifat teologis. Menurut hemat penulis, pendekatan agamis-filosofis, lantaran agama juga menyangkut fundamental values dan ethical values, untuk tidak semata-mata besifat teologis. Menurut hemat penulis, pendekatan agamis-filosfis yang mendasar dapat membantu memilah-milah dan menjernihkan kategori-kategori sosio-politik yang sudah kadung mapan dan terpatri secara kokoh, baik dalam khazanah literatur Islam yang ada maupun dalam alam pergaulan masyarakat secara nyata. Namun, pendekatan  filosofis sebagai alat bantu metodologi untuk mencari dan menemukan essensi dan subtansi persoalan justru sedapat mungkin dihindari oleh pola berfikir teologis. Hal demikian dapat dimaklumi, lantaran pendekatan legal dan formal dan lebih lebih lagi pendekatan fiqh jauh dominan dari pada pendekatan yang lain-lain. Jika ditelusuri jauh kebelakang, hal demikian tidak dapat terlepas dari akibat trauma sejarah pergumulan pemikiran al-Ghazali (1058-1111) dan Ibn Sina (980-1037) pada abad pertengahan.
Jika tradisi keilmuan madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam di Indonesia sekarang ini mampu melihat secara kritis bangunan pemikiran hukum Islam klasik, seperti halnya al-Ghazali mengembangkan tradisi kritis pada zamannya maka aturannya dunia pesantren dan dunia perguruan tinggi Islam dalam melakukan kajian hukum Islam akan melihat dengan mudah bahwa bentuk piramida kajian hukum Islam klasik tampak minus nuansa pemikiran sejarah dan minus pendekatan sosial. Padahal Al-Qur’an sendiri, sebenarnya kaya nuansa pendekatan sosial sekedar sebagai contoh: Lau kunta fadhan ghalidh al-qalbi la infadhu min haulik (Ali Imron: 159) dan pendekatan tarikhi (historis) tersebut.  Asbab al-nuzul tidak lain adalah pendekatan sosio-historis terhadap realitas keberagamaan Islam yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an kepada manusia. Namun pendekatan sejarah, sebagai pendekatan yang berdiri sendiri dalam bangunan keilmuan Islam baru dikembangkan oleh Ibn Khaldun pada abad ke-14, yakni 2 atau 3 abad sebelum dirumuskan secara lebih tajam oleh tradisi keilmuan di Barat. Di dunia pemikiran hukum Islam sendiri, nuansa pemikiran dan pendekatan historis seperti yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun kurang memperoleh penghargaan, lantaran telah terlanjur terjadi proses pengkerakan pemikiran keagamaan dogmatis yang berlapis-lapis.
Dengan metodologi ilmu-ilmu sosial, yakni pendekatan ilmu-ilmu baru yang muncul setelah abad ke-18, baik etnologi, antropologi, sosiologi, psikologi, filfasat dan lain sebagainya, keprihatinan kemanusiaan universal bergeser dari yang dulunya semata-mata mementingkan makna (meaning) atau essensi dari berbagai fenomena yang hanya terlihat lewat berbagai penampakan lahiriahnya. Dari pemikiran teologi yang dahulu hanya terfokus pada metafisik-spekulatif, kearah etik yang preskriptif.
Tradisi kajian hukum Islam kritis-analitis-filosofis-inklusif hanya dapat berkembang dalam perguruan Islam (madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi Islam), jika literatul al-kutub al-safra’ dapat bergumul dan bersentuhan langsung berdialog dengan literatul al-kutub al-baidha’ lantaran dalam buku-buku putih itu termuat hal-hal yang belum pernah terurai secara akademik dalam al-kutub al-safra’. Kajian dalam pendekatan sosial-historis akan memperkaya khazanah intelektual Islam, lantaran Al-Qur’an sangat kaya dengan berbagai nuansa pendekatan selain pendekatan normative.[21]


4.  STUDI SEJARAH ISLAM

Sejarah perkembangan studi Islam tidak dapat dipisahkan dari studi lembaga-lembaga dan kurikulum pendidikan Islam yang juga berarti mempelajari sejarah pendidikan Islam. Sebab lewat lembaga dan kurikulum inilah pada prinsipnya diketahui perkembangan studinya.
Sejarah perkembangan studi Islam diuraikan menjadi tiga wilayah besar, yakni:
a.       Di dunia Muslim
b.      Di dunia Barat, dan
c.       Di Indonesia.

1)   Perkembangan Studi Islam di Dunia Muslim
Beberapa pusat kegiatan intelektual pra Islam diluar Arabia yang berperan besar memajukan pendidikan di dunia muslim dapat digambarkan berikut. Bahwa kemajuan pengetahuan dalam Islam tidak mungkin dipisahkan dari tradisi intelektual peradaban peradaban terdahulu yang telah maju sebelum dan menjelang munculnya Islam.
Secara historis, peradaban Islam adalah pewaris yang kemudian melakukan penyempurnaan atas pengetahuan dari peradaban kuno tersebut. Berikut ini adalah beberapa kota yang merupakan pusat kegiatan intelektual sebelum dan menjelang datangnya Islam, yang berperan sebagai jembatan dalam proses penyerapan ilmu pengetahuan oleh umat Islam :
1.      Athena
2.      Aleksandria
3.      Edessa, Harran, dan Nisibis
4.      Jundi Syapur, dan
5.      India Timur.
Akhir periode Madinah sampai dengan abad 4 H, fase pertama pendidikan Islam sekolah masih di masjid-masjid, sekolah-sekolah, dan rumah-rumah. Selama abad ke 5 H, selama periode khalifah Abbasiyah, sekolah-sekolah didirikan di kota-kota dan mulai menempati gedung-gedung besar, bukan lagi masjid dan mulai bergeser dari mata kuliah yang bersifat spiritual kemata kuliah yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial.
Pengaruh al-Ghazali (1085-1111 M) disebut sebagai awal terjadi pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum, bahkan terkesan terjadi dikotomi. Dia penyebut bahwa menurut ilmu umum adalah wajib bagi setiap muslim, sementara menuntut ilmu umum adalah wajib kifayah. Meskipun perlu dicatat bahwa hasil kejayaan muslim dibidang sains dan teknologi bukanlah capaian kelembagaan melainkan bersifat individu ilmuwan muslim yang didorong semangat penyelidikan ilmiah.
Ada empat perguruan tinggi tertua didunia muslim yakni:
1.    Nizhamiyah di Baghdad
2.    Al Azhar di Kairo
3.    Cordova, dan
4.    Kairwan Amir Nizam al Muluk di Maroko.
Kemudian ada pula sejumlah universitas baru yang juga menawarkan studi Islam, diantaranya sebagai berikut :
1.    American University in Cairo di Mesir
2.    An-Najah National University di Palestine
3. Center for conservation and preservation of Islamic architecture heritage di Mesir.
2)    Perkembangan Studi Islam di Dunia Barat
Kontak Islam dengan Barat dikelompokkan menjadi 2 fase, yakni:
1.    Masa kejayaan Islam, dan
2.    Masa renaissance, dimana Barat mulai berjaya sampai sekarang.
a.  Fase Kejayaan Muslim
Kontak pertama antara dunia Barat dengan dunia muslim adalah lewat kotak perguruan tinggi. Bahwa sejumlah ilmuwan dan tokoh-tokoh Barat datang ke sejumlah perguruan tinggi, laboratory, observatorium, dan pusat-pusat studi muslim untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bentuk lain dari kontak dunia muslim dengan dunia Barat pada fase pertama  adalah penyalinan manuskrip-manuskrip kedalam bahasa latin sajak abad ke-13 M hingga bangkitnya zaman kebangunan (renaissance) di Eropa pada abad ke-14 M. Kegiatan penyalinan manuskrip ini bermula atas restu King Frederick H. yaitu Kaisar Holy Roman Empire.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiyah dari manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiyah tersebut di Barat. Apalagi sesudah aliran enpirisme yang dikumandangkan oleh Francir Bacon (1561-1626) melalui karyanya Novum Organon. Menguasai alam pikiran di Barat dan berkembangnya observasi dan eksperimen. Tetapi penyalinan karya-karya filsafat itu juga membangkitkan pro dan kontra yang sangat tajam pada masa-masa permulaan. Encyclopedia Britannica jilid II halaman 191-197 (Arabic phisophy ) mengungkapkan pengaruh penyalinan karya-karya filsafat itu dengan panjang lebar dan terperinci.

b.              Fase Runtuhnya Muslim
          Selama abad renaisanse Eropa menguasai dunia untuk mencari mata dagangan, komersial dan penyebaran agama. Ke Barat sampai ke Amerika, ke Timur melampaui Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur. Dalam abad ke-16 hampir seluruh dunia telah mereka kuasai. Ekspedisi bangsa-bangsa Eropa, terutama Spanyol, Portugal, Inggris, Belanda, Perancis dan Italia yang awalnya hanya  berlomba menguasai dan mengamalkan sumber komoditas dan monopoli, lama-kelamaan menjadi kolonialisasi melalui rekayasa kekuasaan. Ada kalanya terjadi rebutan diantara mereka sendiri. Akhirnya nasib belahan bumi ditentukan oleh penjajah.
          Kedatangan muslim fase kedua ke dunia Barat, khususnya Eropa Barat dilatar belakangi oleh 2 alasan pokok yakni :

1. Alasan politik adalah kesepakatan kedua Negara, yang satu sebagai bekas penjajah sementara yang satunya sebagai bakas jajahan.
2. Alasan ekonomi adalah untuk mencukupi tenaga buruh yang dibutuhkan negara-negara Eropa Barat.
Adapun kategori muslim yang ada di Eropa Barat ada 2 yakni :
1.  Pendatang (migran), dan
2.  Penduduk asli.
Kategori lebih jauh dari penduduk asli dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok :
1. Orang asli yang masuk Islam (corverted muslim)
2. Keturunan dari muslim asli yang sudah lama bahkan beberapa abad yang lalu tinggal di negara-negara Eropa Barat yang dulunya mereka masuk Islam akibat pengaruh kekuasaan Turki. Kategori ini hanya ditemukan di Yunani, dan
3. Muslim yang kembali menemukan agama aslinya.
Dengan proses waktu yang demikian lama, meereka menjadi keluar dari Islam, kemudian sekarang menemukan lagi agama aslinya. Makanya disebut rediscovery Islam of original roots.
Pada masa penjajahan, studi Islam di Indonesia didorong oleh adanya keinginan untuk memberikan training-training kepada para pegawai untuk kepentingan jajahan di Indonesia. Untuk tujuan ini disamping dilakukan studi dibidang bahasa dan suku, juga tentang Islam. Training-training ini dilakukan oleh the Royal Acadey di Delft. Training ini disebut “kursus hukum Islam” ( Muhamadan law).


3)Perkembangan Studi Islam di Barat
Perkembangan studi Islam di Indonesia dapat digambarkan demikian. Bahwa lembaga atau sistem pendidikan Islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan langgar, pesantren, kerajaan, dan akhirnya kelas.
Maksud pendidikan sistem langgar ialah pendidikan yang dijalankan di langgar, surau, masjid atau rumah guru. Kurikulumnya bersifat elementer, yakni mempelajari abjad huruf Arab. Sistem ini punya dua cara yaitu dengan cara sorongan dan halaqah.
Maksud pendidikan sistem pesantren yaitu seorang kyai mengajari santri dengan sarana masjid sebagai tempat pengajaran yang didukung pondok sebagai tempat tinggal santri.
Sistem pengajaran berikutnya adalah pendidikan di kerajaan Islam. Contoh kerajaannya sebagai berikut:
1.    Kerajaan Samudera Pasai
2.    Kerajaan Perlak
3.    Kerajaan Aceh Darussalam
4.    Kerajaan Demak
5.    Kerajaan Islam Mataram, dan
6.    Kerajaan Islam Banjarmasin
Kemudian mulai abad ke-19, perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, mulai lahir sekolah model Belanda, sekolah Eropa, sekolah Varnahuler. Sekolah Eropa khusus untuk ningrat Belanda, sekolah Varnahuler bagi warga Belanda. Sekolah pribumi ada yang sama dengan sekolah Belanda, seperti taman siswa. Kemudian dasawarsa kedua abad ke-20 muncul madrasah-madrasah model sekolah Belanda oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Jamaat al-Khair, dll.
Tahun 1901 orang-orang Arab yang tinggal di Jakarta mendirikan madrasah, tetapi belum berhasil. Kemudian tahun 1905 dengan Jamiah al-Khoir berhasil mendirikan medrasah dengan kurikulum mengajarkan pengetahuan umum dan agama. Kemudian Mamba’ul al-‘Ulum didirikan tahun 1906 oleh Susuhunan Pakubuwono, madrasah digabung dengan masjid. Kemudian sekolah adabiyah oleh Abdullah Ahmad di Padang, berdiri tahun 1907 dan menggunakan sistem kelas secara konsisten. Berikutnya, Zainuddin Labai al-Junusi pada tahun 1915 membuka sekolah guru diniyah dengan sistem kelas dan menggunakan kurikulum mencakup pengetahuan umum, bahasa, matematika, sejarah, dan ilmu bumi.
Kemudian pada tahun 1916 NU membuka madrasah salafiyah di Tebuireng yang dalam kurikulumnya memasukkan pelajaran baca tulis huruf latin. Pada tahun 1923 ada empat sekolah Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta dan di Jakarta berdiri sekolah HIS (Hollands Inlands School).
Pada level perguruan tinggi dapat digambarkan bahwa berdirinya perguruan tinggi Islam tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan umat Islam Indonesia untuk memiliki lembaga pendidikan tinggi Islam sejak jaman kolonial. Untuk mewujudkan keinginan tersebut pada bulan April 1945 diadakan pertemuan antara berbagai tokoh organisasi Islam, ulama dan cendikiawan. Dalam pertemuan itu dibentuklah panitia perencana sekolah tinggi Islam yang diketuai oleh Drs. Moh. Hatta dengan anggota–anggota antara lain: K.H. Mas Mansur, K.H.A. Muzakkir, K.H.R.F. Kafrawi, dll. Setelah persiapan cukup, pada tanggal 8 Juli 1945 bertepatan dengan hari Isra’ dan Mi’raj diadakan upacara pembukaan resmi Sekolah tinggi Islam ( STI) di Jakarta.
Setelah proklamasi dan Ibukota RI pindah ke Yogyakarta, STI pun juga hijrah ke kota tersebut dan namanya diganti Universitas Islam Indonesia (UII) dengan 4 fakultas yaitu: Agama, hukum, ekonomi, dan pendidikan. Fakultas agama UII kemudian dinegerikan dan menjelma menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan peraturan bersama menteri agama dan menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan No. K/I/14641 tahun 1951 (Agama) dan No. 28665/Kab. Tahun 1951 ( pendidikan ) tanggal 1-9-1951.
Tahun 1960 PTAIN dilebur dan digabungkan dengan akademi dinas ilmu agama (ADIA) milik departemen agama yang didirikan di Jakarta dengan penetapan menteri agama No.1 tahun 1957. Penggabungan institut agama Islam negeri ( IAIN) dengan peraturan presiden RI Nomor 11 tahun 1960 tentang penyelenggaraan IAIN. IAIN merupakan penggabungan antara PTAIN dengan ADIA.[22]


III.            KESIMPULAN

Studi Al-Qur’an.
Studi Al-Qur’an mencangkup empat kajian pokok, yaitu pertama, definisi Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan suatu ibadah. Kedua, definisi Ulumul Qur’an. Ulumul Qur’an secara istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang berkaitan dengan turun, bacaan, kemukjizatan, dan lain sebagainya”. Ash Shabuni mendefinisikan Ulumul Qur’an itu kepada “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari aspek turun, pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab an nuzul, al makki wa al madani, pengetahuan mengenai an nasikh dan al mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain sebagainya, segala pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Ketiga, Ruang Lingkup Kajian Al-Qur’an. Definisi di atas menggambarkan bahwa Ulumul Qur’an mencakup bahasa yang sangat luas, antara lain nuzul Al-Qur’an, asbab al nuzul atau sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, ilmu an nasikh wa al mansukh dan ilmunya fawatikh as-suwar serta masih banyak yang lainnya. Secara garis besar Ulumul Qur’an itu dapat dikatagorikan menjadi dua macam, yaitu ilmu-ilmu yang diistinbathkan dari Al-Qur’an yang kemudian dapat digunakan sebagai pedoman oleh manusia dalam menjalani kehidupan yang fana ini. Termasuk dalam kategori ini, misalnya ilmu fiqh, ushul, tafsir, balaghah, kaidah-kaidah bahasa, aqidah, akhlak, dan sejarah. Dan yang kedua, ilmu-ilmu yang menjadi syarat atau alat untuk memahami Al-Qur’an. Keempat, Metode/ Model Tafsir yang mencangkup lima metode/model tafsir yaitu Metode/Model Tafsir Tahlili, Metode/Model Tafsir Ijmali (Global), Metode/Model Tafsir Maudu’i (Tematik), Metode/Model Tafsir Holistik (Kulli), dan Metode/Model Tafsir Kombinasi Tematik dan Holistik.

Studi Hadist.
Pengertian Hadits secara etimologi diartikan sebagai sunah, al-khabar, dan al-atsar (Natta: 73; Suryaman, 1982:14). Hadits dipahami sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Studi ini mencangkup tiga bidang studi, yaitu pertama, Metode Mengajarkan Hadits, kedua, Pengertian Ilmu Hadits, Ilmu hadits adalah ilmu yang berkaitan dengan hadits yang secara garis besar terbagi kedalam dua bagian yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah dan Macam-macamnya, dan ketiga, pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits. Para ahli pada umumnya membagi masa pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi 7 periode.

Studi Hukum Islam.
Studi Hukum Islam mencangkup tiga bidang, yaitu pertama, rancang-bangun ilmu hukum Islam, kedua, pengembangan kajian hukum Islam, dan ketiga, tradisi kritis dalam kajian hukum Islam.

Studi Sejarah Islam.
Sejarah perkembangan studi Islam di uraikan menjadi tiga wilayah besar, yakni pertma, perkembangan studi Islam di dunia muslim, kedua, perkembangan studi Islam di dunia Barat, dan ketiga, perkembangan studi Islam di Indonesia yang mencangkup tiga hal yaitu fase kejayaan muslim, fase runtuhnya muslim, dan perkembangan studi Islam di Barat






DAFTAR PUSTAKA

Referensi Dari Buku:

Ahmad, M. Abdul Qadir, Metodologi Pengajaran Agama Islam,Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dinamika Berkah Utama, Jakarta.
Asmawi, Studi Hukum Islam, Teras, Yogyakarta, 2012.
Az Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid I, Dar Al Fikr, Baerut , 1988.
Insan, Madani, Yogyakarta, 2010.
Hasanah, Hasyim, Pengantar Studi Islam, ombak, Yogyakarta, 2013.
Munir, Abdullah, Pendidikan Karakter membangun karakter anak sejak dari rumah, PT Pustaka
Abdullah, Badarudin Muhammad Az Zarkasyi Bin, Al Burhan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid I, Dar Jayl, Beirut, 1988.
Yusuf, Kadar M., Studi Al-Qur’an; Mengenali Ulumul Qur’an, Amzah, Jakarta, 2009.
Nasution, Khoiruddin Pengantar Studi Islam, ACAdeMIA & TAZZAFA, Yogyakarta 2009.
Ichwan, Mohammad Nor, Belajar Al-Qur’an Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu Al-Qur’an
Melalui Pendekatan Historis- Metodologis, RaSAIL{Ranah Ilmu-ilmu Sosial Agama dan Interdisipliner}, 2005, Semarang.
Suryadilaga, Alfatih, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010.
Syukur, Fatah, Sejarah Pendidikan Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012.


Dari internet :








[1] Abdullah Munir, Pendidikan Karakter membangun karakter anak sejak dari rumah, (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani), 2010, hlm. Xii.
[2] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 2-3.
[4] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 3 dan 10.
[5] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Teras, 2010).
[6] Mohammad  Nor Ichwan Belajar Al-Qur’an Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu Al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis- Metodologis, (Semarang: RaSAIL{Ranah Ilmu-ilmu Sosial Agama dan Interdisipliner}, 2005), hlm.33.
[7]  Ibid. Hlm. 36
[8] Ibid. Hlm . 37.
[9] Kadar M. Yusuf, Studi Al qur’an; Mengenali Ulumul Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 1.
[10] Az Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al Qur’an, (Jilid I, Baerut : Dar Al Fikr, 1988), hlm. 127.
[11] Muhammad Ali Ash-Shabuni, At Tibyan Fi Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama), hlm. 6.
[12] Badarudin Muhammad Az Zarkasyi Bin Abdullah. Al Burhan Fi ‘Ulum Al Qur’an, (Jilid I, Beirut: Dar Jayl, 1988), hlm. 17
[13] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Cetakan I, Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA), hlm. 124-127.
[14] Ibid. hlm. 128-138.
[15] Ibid. hlm. 150-154.
[16] Ibid. hlm. 174-176.
[17] Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ombak, 2013), hlm. 35.
[18] M. Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam,( Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.105-110.
[19] Abuddin Natta, Studi Islam Komprehensif,( Jakarta: prenada media group, 2011), hlm. 189-196.
[20] Ibid. hlm. 196.
[21] Asmawi, Studi Hukum Islam,(Yogyakarta:Teras, 2012), hlm. 17-30.
[22] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (, Cetakan I, Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2009), hlm. 65-85.



3 komentar:

Unknown mengatakan...

keren!!!! gun!

Unknown mengatakan...

keren gun!!!

Tomy's Opinions mengatakan...

sama-sama bro! jangan lupa sering-sering kunjung bro!