MEMBANGUN KARAKTER SEJAK DINI UNTUK MENDASARI
ANAK CERDAS SECARA SPIRITUAL, EMOSIONAL DAN INTELENGENSY YANG BERBASIS KEARIFAN
LOKAL DI DESA PERBOTO
Oleh:
Tomy Muhlisin Ahmad
Dosen Pengampu : Agus Setiyono, M. Ag, M. Pd.
BAB I. PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pentingnya pendidikan karakter pada usia dini yang diberikan oleh orang
tua yang berbasis pada kearifan lokal dapat menumbuhkembangkan anak menjadi
cerdas secara intelektual, spiritual, dan emosial yang lebih insan dan berkarakter.
Golden age yaitu sebuah masa keemasan usia seorang anak dimana periode masa
keemasan ini hanya datang satu kali saja seumur hidup yang tidak dapat diulang
lagi. Karena pentingnya usia emas ini pemberian pengalaman dan didikan karakter
pada seorang anak dari orang tua maupun guru di sekolah sangatlah penting karena dapat membekas yang sangat kuat dan tahan lama dalam pribadi anak. Dan
pada tingkat perkembangan selanjutnya karakter anak berkembang kearah yang
lebih baik dan semakin kuat.
Menurut Vigotskyl, aktivitas mental yang
tinggi pada anak dapat terbentuk melalai interaksi dengan orang lain.
Pembelajaran yang berkarakter akan menjadi pengalaman yang bermakna bagi anak
jika ia dapat melakukan sesuatu (baik itu merubah atau mengikuti) atas lingkungannya.
Karakter itu sama dengan akhlak dalam pandangan Islam, dan sebagai penanda
bahwa seorang itu layak atau tidak layak disebut manusia, dan pendidikan
karakter itu adalah tugas semua orang. Seperti yang dilakukan di Desa Perboto
khususnya orang tua sangatlah berperan besar dalam mendidik seorang anak,
membimbing anaknya sesuai keinginannya tetapi dengan dibimbing secara ketat
yang berbasis kearifan lokal yang islami yaitu berbudi pekerti, dan berakhlak
mulia. Dengan demikian pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), dan pikiran (intelect)
yang merupakan wahana utama untuk menumbuhkembangkan karakter yang baik, maka
dapat dikatakan bahwa keberhasilan pendidikan karakter sangat ditentukan oleh para
orang tua, lingkungan dan guru.[1]
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu karakter dan pendidikan karakter?
2. Seberapa penting membangun karakter pada usia dini untuk menjadi seorang
yang berkarakter?
3. Bagaimana membangun dan menumbuhkan karakter yang bernuansa Islami di Desa
Perboto?
BAB II. PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang , bepikir, bersikap dan bertindak.
Menurut Prof Suyanto Ph.D karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Pendidikan karakter merupakan segala upaya
yang dilakukan oleh pendidik untuk mengajarkan kebiasaan cara berfikir dan
berperilaku yang membantu anak untuk hidup dan bekerja bersama sebagai
keluarga, masyarakat dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang
dapat dipertanggung-jawabkan, karakter juga dapat diistilahkan dengan tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
orang lain. Sedangkan kata berkarakter diterjemahkan sebagai mempunyai tabiat,
mempunyai kepribadian, sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi
secara progesif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan.
Menurut Mulyasa, bahwa pendidikan karakter
adalah upaya membantu perkembangan jiwa anak-anak, baik batin maupun lahir,
dari sifat kodratnya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan lebih baik.
Karakter diartikan sebagai nilai-nilai yang unik (tahu nilai kebaikan, mau
berbuat kebaikan, dan nyata berkehidupan baik) yang terpatri dalam diri dan
terejewantahkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Karakter secara koheren
memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan olah karsa, serta olah
raga seseorang yang merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang
mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi
kesulitan dan tantangan hidup.
Barnawi dan Arifin mendefinisikan pendidikan
karakter sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga
mereka dapat memberikan konstribusi yang positif kepada lingkungan. Sehingga
dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan
moral, serta pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan anak didik
untuk memberikan keputusan baik maupun buruk, memelihara apa yang baik,
mewujudkan, dan menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati.
Pendidikan karakter menurut Koesoema yang
pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman Foerster (1869-1966), yaitu
pendidikan yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan
pribadi. Gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual,
bergerak dari formasi personal yang lebih didominasi pendekatan psikologis-sosial
menuju cita-cita humanisme yang mengandung dimensi kultural dan religius. Hal
tersebut selaras dengan pandangan Langgulung yang mengutamakan aspek etis
spiritual, bahwa pendidikan mencangkup dua kepentingan utama, yaitu
pengembangan potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini
berkaitan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa itu
masing-masing. Pandangan hidup yang merupakan jati diri berisi nilai-nilai yang
dinggap sebagai sesuatu secara ideal.
Menurut Cronbach menjelaskan karakter dalam
perspektif psikologi bahwa karakter sebagai satu aspek dan kepribadian
terbentuk oleh kebiasaan (habits) dan gagasan atau ide yang keduanya
tidak dapat dipisahkan, adapun tiga unsur yang terkait dengan pembentukan
karakter, yaitu keyakinan (beliefs), perasaan (feelings), dan
tindakan (actions). Unsur-unsur tersebut saling ada keterkaitan satu
dengan yang lainnya. Jadi untuk mengubah karakter seseorang harus melakukan
penataan ulang terhadap unsur-unsur kepribadian tersebut. Bentuk dan nilai
kehidupan yang terbaik adalah kebijaksanaan dalam menentukan pilihan-pilihan
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang dihadapkan pada pilihan perbuatan
yang baik bagi sesama, maka karakter orang baik adalah orang yang berupaya melakukan
perbuatan yang baik bagi orang lain dan juga bagi dirinya. Sebaliknya, perilaku
karakter yang buruk adalah perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang tetapi pelaku tersebut tidak peduli akibat yang
ditimbulkan oleh tindakannya terhadap orang lain.\
Lickona mengemukakan bahwa karakter terbagi
dalam tiga aspek yang saling berhubungan, yakni moral knowing, moral
feeling, dan moral behavior. Oleh karena itu karakter seseorang yang
dipandang baik harus memenuhi tiga keinginan aspek, yakni mengetahui hal yang
baik (knowing the good), ada keinginan terhadap hal yang baik (desiring
the good), dan melakukan hal yang baik (doing the good). Sehingga
hal tersebut akan menjadi kebiasaan berfikir (habits of the mind),
kebiasaan merasa (habits of heart), dan kebiasaan bertindak (habits
of action). Pandangan ini didasarkan pada filosuf Yunani, Aristoteles, yang
menyatakan bahwa sebuah karakter dikatakan baik, jika keseluruhan performance
seseorang yang baik moral knowing, moral feeling, dan moral action.[3]
2. PENTINGNYA MEMBANGUN KARAKTER PADA USIA DINI
UNTUK MENJADI SEORANG YANG BERKARAKTER
Pendidikan karakter pada
anak usia dini, dewasa ini sangat diperlukan dikarenakan pada saat ini Bangsa
Indonesia sedang mengalami krisis karakter dalam diri anak bangsa, khususnya di
Desa Perboto. Berbagai permasalahan yang melanda di Desa tersebut belakangan
ini dikarenakan anak-anak remaja sekarang ini nilai moralnya kurang
mencerminkan sebagai anak bangsa, karena jauhnya pendidikan karakter sejak usia
dini oleh orang tua. Sehingga pendidikan karakter menjadi sangatlah penting belakangan
ini.
Pendidikan karakter dinilai
sangat penting untuk dimulai pada anak usia dini karena pendidikan karakter
adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan
perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur terutama
didasarkan pada agama yang baik oleh orang tuanya. Sebab falsafah
menanam sekarang menuai hari esok adalah sebuah proses yang harus dilakukan
dalam rangka membentuk karakter anak. Pada usia kanak-kanak atau yang biasa
disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age) terbukti sangat
menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya diusia tersebut.
Sudah sepatutnya
pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan
pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Setelah keluarga, di dunia pendidikan
karakter ini sudah harus menjadi ajaran wajib sejak sekolah dasar. Di Desa Perboto sendiri adanya pendidikan karakter berupa kegiatan mengaji
yang dilakukan setiap habis maghrib di setiap harinya, yang para pesertanya
adalah anak-anak kecil sampai dewasa sehingga dapat menanamkan dasar agama yang
baik pada anak-anak di Desa Perboto. Tidak hanya kegiatan mengaji saja, di
lingkungan Desa Perboto juga dikembangkan suatu nilai budaya kepada anak-anak
untuk ikut mengembangkan dan melestarikan warisan-warisan nenek moyang seperti Imblik
yaitu sejenis kebudayaan kuda lumping, anak-anak maupun dewasa dilatih setiap
seminggu sekali pada malam minggu. Selain itu ada juga Lenggeran, Pentulan
dll.
3. MEMBANGUN DAN MENUMBUHKAN KARAKTER YANG BERNUANSA ISLAMI
Albert Einstein, seorang ilmuan terbesar abad ke-20 menyatakan, “Relegion
without science is lame and science without relegion is blind”,
agama tanpa ilmu adalah pincang dan ilmu tanpa agama adalah buta. Kalimat ini
menunjukkan bahwa, betapa pentingnya ilmu dan agama yang saling berhubungan. Untuk membangun
dan menumbuhkan karakter yang bernuansa Islami di Desa Perboto, hal yang utama
adalah keluarga yakni peran yang paling penting pengaruhnya terhadap karakter
seseorang anak. Tetapi kebanyakan orang zaman sekarang sesuai kenyataan adalah
sebaliknya, banyak orang tua tidak memenuhi peran mereka yang utama dalam
pembentukan karakter.[4]
Membangun dan menumbuhkan karakter yang bernuansa
Islami yang berbasis pada kebudayaan lokal terutama peran orang tua yang
mengajarkan tata krama terhadap anak-anaknya, pendidikan ini lebih mengakar
kuat pada anak jika pendidikan tata krama yang dilakukan oleh orang tuanya
sejak dini. Tata krama lebih penting daripada undang-undang.[5]
Basis pendidikan karakter yang dilaksanakan
dalam proses pendidikan menurut Khan (2012: 2) ada empat, yaitu: a). Pendidikan
karakter berbasis nilai religius yang bersumber dari wahyu Tuhan, b).
Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, c). Pendidikan karakter berbasis
lingkunagn, d). Pendidikan karakter berbasis potensi diri. Berdasarkan empat
basis pendidikan karakter tersebut, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai agama
yang bersumber dari wahyu Tuhan sebagai dasar ajaran agama menjadi basis yang
sangat penting, sebagaimana pentingnya kedudukan sila pertama dari Pancasila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dijadikan panutan sila-sila lainnya (BP7, Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila, 1992).
Secara umum nilai-nilai karakter pada dasarnya
bersumber dari budaya dan agama. Budaya diartikan sebagai hasil cipta, rasa,
dan karsa manusia yang bersumber dari akal budi, bahasa dan raga manusia
(Alisjahbana, 1975: 6-9). Nilai-nilai kebudayaan Indonesia asli dikuasai oleh nilai
agama yang diikuti oleh nilai solidaritas dan niali kesenian, sedangkan nilai
kuasa, nilai ekonomi dan nilai ilmiah dipandang lemah (Alisjahbana, 1975:
18-19).
Dalam konteks nilai agama yang dijadikan
karakter utama umat Islam adalah moralitas, bahwa kemajuan dan ketinggian
budaya masyarakat amat ditentukan oleh ketinggian akhlaknya yang tidak dapat
dilepaskan dari pemahaman, pengkhayatan, dan pengalaman.
Menurut Sijn karakter dasar adalah pemenuhan
kewajiban, keadilan, persamaan, kasih sayang, kebebasan, suka menolong, ikhlas,
jujur, menepati janji, bertanggung jawab, semangat dalam kebaikan, dan
sebagainya. Adapun inti dari karakter tersebut adalah selaku berlaku baik,
meninggalkan perbuatan buruk, mengajak berbuat baik dan mencegah berbuat buruk,
serta membatu orang lain dalam melakuakan perbuatan baik tersebut. Bimbingan
kepada anak untuk mengarahkan potensi diri yang dimilikinya kearah yang baik,
sehingga kebiasaaan-kebiasaan baik tersebut melekat pada dirinya yang harus
dilaksanakan terus-menerus semenjak anak masih kecil oleh guru maupun orang tua
di rumah. Pada dasarnya anak itu memiliki potensi diri yang baik oleh karena
itu berusaha untuk menumbuhkembangkan potensi diri anak tersebut dan
menghindarkan pengaruh perbuatan buruk agar menjadi manusia yang berkarakter
sempurna.[6]
BAB III. PENUTUP
Pentingnya pendidikan karakter pada usia dini yang diberikan oleh orang tua yang berbasis pada kearifan lokal dapat menumbuhkembangkan anak menjadi cerdas secara intelektual, spiritual, dan emosial yang lebih insan dan berkarakter.
Pendidikan karakter
dinilai sangat penting untuk dimulai pada anak usia dini karena pendidikan
karakter adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai,
sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur
terutama didasarkan pada agama yang baik oleh orang tuanya. Pada usia
kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas
(golden age) terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan
potensinya diusia tersebut.
Membangun dan menumbuhkan karakter yang bernuansa Islami yang berbasis pada
kebudayaan lokal terutama peran orang tua yang mengajarkan tata krama terhadap
anak-anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Darmuin, 2013,
Konsep Dasar Pendidikan Karakter Taman Kana-kanak, Semarang: Pustaka
Zaman.
Lickona, Thomas,
Pendidikan Karakter, Bantul: Kreasi Wacana, 2012.
http://sdnegerimoro.blogspot.com/2013/11/pentingnya-pendidikan-karakter-pada.html, diakses pada tanggal 10
Oktober 2014, pukul 20:12 WIB.
[1] Darmuin, Konsep Dasar Pendidikan Karakter Taman
Kana-kanak, Semarang: Pustaka Zaman, hlm. 7.
[2] http://sdnegerimoro.blogspot.com/2013/11/pentingnya-pendidikan-karakter-pada.html, diakses pada tanggal 10
Oktober 2014, pukul 20:12 WIB
[3] Darmuin, Konsep Dasar Pendidikan Karakter Taman
Kana-kanak, Semarang: Pustaka Zaman, hlm. 66-71
[4] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter, Bantul:
Kreasi Wacana, hlm. 77.
[5] Ibid. hlm. 203
[6] Darmuin, Konsep Dasar Pendidikan Karakter Taman
Kana-kanak, Semarang: Pustaka Zaman, hlm. 81-85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar