BIDANG KEPERCAYAAN JAWA
Oleh :
Tomy Muhlisin Ahmad, Atika Rizky F., Faelasufa Maulida, & Nour Khabibah
Dosen Pengampu : Khasan Ubaidillah, M. Pd.
BAB I
PENDAHALUAN
A.
Latar
Belakang
Islam sebagai agama yang universal (rahmatan lil’alamin) memiliki
sifat adabtable untuk tumbuh disegala
tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam kehidupan
masyarakat suku bangsa, diakui atau tidak sulit untuk dihindari dalam kehidupan
masyarakat muslim. Namun demikian, sekalipun berhadapan dengan budaya lokal di
dunia, ke-universalan Islam tetap tidak akan batal.
Hal ini menjadi indikasi bahwa peradaban
antara satu daerah dengan daerah lainnya tidaklah menjadi kendala dalam
mewujudkan tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek
kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam dan budaya lokal itu berakibat pada
adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama
berkenaan dengan tata caranya. Proses pembudayaan lewat percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi, itu yang
dinamakan akulturasi.
Satu kebudayaan daerah yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah
kebudayaan Jawa, yang telah ada sejak zaman pra-sejarah. Kedatangan Hindu dan
budayanya di Jawa berkembanglah menjadi Hindu-Jawa. Demikian pula dengan
maksuknya Islam. Dalam dakwahnya para wali memiliki kebijakan khusus, yaitu
tidak memaksakan Islam kepada rakyat, melainkan memilih jalan perpaduan dalam hal-hal
yang hampir sama antara Hindu, Jawa Islam. Maka dalam kebudayaan Jawa
terkandung unsur-unsur asli Jawa, Hindu dan Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam kepercayaan ?
2. Bagaimana
ritual budaya Jawa yang dipengaruhi oleh kepercayaan?
3. Bagamana
pengaruh kepercayaan dalam bidang seni dan sastra?
C.
Tujuan
Masalah
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Islam dan Budaya Jawa, selain itu penyusun menharapkan dapat
menambah wawasan tentang budaya Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek
Kepercayaan
1.
Animisme
dan Dinamisme
Diperkirakan bahwa di provinsi Kalimatan
Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme.
Selain dari pada jiwa dan roh yang mendiami di tempat tertentu, kepercayaan
animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam
tubuh hewan, misalnya suku Nias mempercayai bahwa seekor tikus yang telah mati
beranak. Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau
harimau dan dipercayai akan membalas orang yang dendam menjadi musuh bebuyutan
pada masa hidupnya. Kepercayaan ini berbeda dengan konsep reinkarnasi seperti
yang terdapat pada agama Hindu dan Budha, dimana dalam reinkarnasi, jiwa tidak
pindah langsung ke tubuh hewan lain yang hidup, melainkan dilahirkan kembali
dalam bentuk lain. Pada agama Hindu dan Budha juga terdapat konsep karma yang
berbeda dengan kepercayaan animisme.
2.
Teori
Animisme dan Teori Roh dalam Al-Qur’an
Teori animisme pertama kali dikemukakan
oleh seorang antropolog Edward Bunnet Tylor (1832-1971) didalam bukunya Primative Culture, disebutkan:
“Dengan
adanya peristiwa-peristiwa seperti mimpi, sakit dan sebagainya yang dialami
oleh orang-orang primitif, maka peristiwa-peristiwa tersebut membawa mereka
kepada adanya pengertian tentang anima (roh). Dengan pengertian ini lalu mereka
membuat kategori tentang pemisahan roh dan tubuh kasar, mereka lalu berpendapat
bahwa terdapatlah roh pada setiap benda hidup dan juga benda mati.” Bila orang
meninggal, rohnya hidup terus dan dari sanalah asal kepercayaannya akan roh
oramg mati. Roh orang mati dapat mengunjungi manusia yang masih hidup didalam
mimpinya. Lama- kelamaan roh orang mati itu dipuja orang dan diangkat menjadi
dewa-dewa. Roh manusia yang telah mati menurut paham bangsa-bangsa primitif
pindah ke tubuh binatang, hidup di gunung, di pohon kayu, di batu fetish dan
sebagainya. Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja seperti batu, kotak,
gigi binatang dan sebagainya.
Para penganut animisme ini adalah
manusia yang tersesat yang belum menemukan jalan yang semestinya dilalui. Allah
SWT. bukanlah roh sebagaimana anggapan mereka, tetapi Allah SWT. adalah Tuhan
yang menciptakan semua benda-benda, tumbuh-tumbuhan, dan binatang-binatang.
Allah SWT. menciptakan dunia, manusia termasuk nenek moyang atau leluhur
mereka, dan roh itu sendiri adalah termasuk salah satu ciptaan-Nya.
Memang masalah kehidupan sehari-hari
mempunyai arti serta nilai religius. Hidup adalah keutuhan, karena itu masalah
kepercayaan dipandang tidak terlepas dari hidupnya, namun terlepas dari
hidupnya, namun terlepas sama sekali dari kebenaran agama yang sebenarnya
dikarenakan oleh tidak adanya pengertian bahwa Allah SWT. telah mengutus
Rasul-Nya yang terpilih untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk-Nya kepada seluruh
umat manusia di dunia ini.[1]
3.
Beberapa
ayat Al-Qur’an tentang Teori Roh (Animisme)
Teori animisme (roh-roh) mempunyai
banyak unsur yang bersesuaian dengan Al-Qur’an. Seperti soal kebebasan kemauan
dan terpisahnya (roh) manusia dari badan dan roh hewan dalam kehidupan ini,
bertempatnya roh manusia sesudah mati dalam alam barzakh, yaitu tempat yang
terdapat antara dunia dan akhirat, dan pertalian-pertalian roh-roh orang yang
telah meninggalkan kehidupan di dunia. Kesemuanya itu kita dapat dalam
Al-Qur’an antara lain dalam ayat-ayat berikut:
“Tuhanlah
yang mematikan (menidurkan) engkau diwaktu malam, dan Dia mengetahui apa yang
engkau perbuat pada siang hari. Kemudian Dia membangkitkan engkau pada hari itu
(kiamat), agar dijalani masa yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah
kami kembali, lalu dia memberitahukan kepada apa yang dahulu kamu kerjakan”
(QS Al-An’am 60).
“Tuhan
mematikan jiwa-jiwa ketika (tiba masa) matinya dan bagi yang belum mati yaitu
diwaktu tidurnya.” (QS. Az-Zumar:42).
“Janganlah
engkau kira bahwa mereka yang terbunuh karena jalan Allah itu mati, melainkan
karena mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapat rezeki, gembira atas apa
saja yang diberikan Tuhan kepada mereka berupa anugrah, dan optimislah (mereka
gembira) terhadap mereka yang terhadap mereka yang menyesali mereka dan berbeda
dibelakangnya.” (QS. Ali ‘Imran: 169-170).
Bagi orang yang mengartikan teori
animisme sama dengan teori kejiwaan, maka teori kejiwaan dipakai juga oleh
Al-Qur’an ketika menunjukkan kelemahan manusia untuk mencapai segala tujuannya
dan kelemahannya ketika menghadapi keputusan Dzat yang Maha Tinggi, serta
keharusan menyerah kepada-Nya sebagai tercantum dalam ayat berikut ini, yang
artinya “Adakah bagi manusia segala yang
diinginkannya? Bagi Tuhan adalah adalah yang pertamadan terakhi.” (QS. An-Najm:
24-25). Jika Animisme ini dimasukkan dalam terminologi agama dengan pengertian
objektif, yaitu agama dalam segala apa yang dipercayai, maka mempercayai segala
nyawa berarti mempercayai segala Tuhan. Jadi kalau demikan artinya, maka
animisme berarti mempunyai Tuhan banyak.[2]
4.
Kegiatan-kegiatan
Animisme
Pelaksanaan upacara dilakukan oleh
masyarakat Jawa adalah keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Mereka
meminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar tidak menggangunya.
Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu besar yang kurang halus
pembuatannya sebagai tempat pemujaan. Roh yang pernah hidup dimasa sebelumnya dianggap banyak jasa dan
pengalamannya sehingga perlu diminta berkah dan petunjuk yaitu dengan cara
menghadirkan arwah nenek moyang dibantu dengan orang sakti yang disebut Perewangan untuk memimpin upacara.
Mereka juga membuat patung nenek moyang roh nenek moyang masuk ke patung
tersebut. Untuk kelengkapannya mereka menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan
serta dengan cara memainkankan bunyi-bunyian dan tari-tarian agar roh nenek
moyang gembira dan berkenan memberi berkah kepada keluarganya. Namun upacara
tersebut kemudian berubah fungsinya menjadi kesenian rakyat.
Upacara kematian secara berurutan
diadakan sebagai berikut: Selamatan surtanah
atau geblak yang diadakan pada
saat meninggalnya seseorang. Selamatan nelung
dina, diadakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang. Mitung dina, upacara selamatan yang
diadakan pada hari ketujuh. Kemudian selamatan matang puluh dina, selamatan
mendak sepisan mendak pindo. Selamatan nyewu.
Kemudian yang terakhir selamatan uwis-uwisi.
Upacara selamatan dan pertunjukan tarian tradisional serta pertunjukan wayang
adalah sisa-sisa keagamaan orang Jawa peninggalan pada zaman animisme yang
terus dilakukan dan dianut sampai saat ini.
Kemudian peninggalan zaman animisme yang
lain adalah pemberian sesaji atau sesajen
kanggo sing mbahurekso, atau dhayang yang berdiam di pohon-pohon beringin
atau pohon yang berumur tua, di sandang atau belik tempat mata air di
kuburan-kuburan tua. Tempat-tempat tersebut dianggap keramat atau angker. Sesaji
diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan
makhluk-makhluk halus seperti lelembut, dan jin yang mbhahurekso (yang menjaga), yang mendiami tempat-tempat tersebut
agar tidak menggangu keselamatan, ketentraman, dan kebahagian keluarga yang
bersangkutan.
Penanggalan Jawa membuat kita terkesan
pada keanekaragaman waktu yang dikondifikasikan oleh sistem penanggalan
berdasarkan hari yang pada pokoknya berlandasan pada tiga pekan, masing-masing
disebut pancawara atau perasaan, sarawara dan saptawara. Nama hari-hari pancawara
dan sadwara semuanya berasal dari
Jawa yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Nama hari sadrawa adalah tungle ariang,
wurukung, paning rong, uwas dan mawulu. Yang berasal dari bahasa Arab
adalah Ahad, Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu. Sesajian kepada roh
dibuat pada hari-hari tertentu yang dianggap baik misalnya kombinasi antar hari
Selasa dan Jum’at dengan pasaran Kliwon tersebut merupakan hari yang dianggap
istimewa.[3]
5.
Pengertian
Dinamisme
Perkataan dinamisme berasal dari kata yang
terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat
juga diterjemahkan dengan daya.
Selanjutnya dinamisme ada yang
mengartikan dengan sejenis paham perasaan keagamaan yang terdapat di berbagai
bagian dunia, pada berjenis-jenis bangsa dan menunjukan banyaknya
persamaan-persamaan. Demikian Honig mengartikannya. Dr. Harun Hasution tidak
mendinisikan dinamisme secara tegas hanya menerangan bahwa bagi manusia
primitif yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali, tiap-tiap benda yang
berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius.
Dalam ensiklopedia umum dijumpai
defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitif pada zaman sebelum
kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga preanismisme, yang
mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai kekuatan (percaya
adanya kekuatan yang maha yang berbeda dimana-mana).
6.
Kegiatan
Dinamisme
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa
yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam
kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan sebelumnya keberhasilan
pertanian tergantung tergantung dari kekuatan alam matahari, hujan , angin, dan
hama. Tetapi mereka masih mempunyai kekuatan adrikodrati dibalik semua kekuatan
itu. Selanjutnya sebagai peninggalan sisa masa lalu adalah melakukan tindakan
keagamaan dengan berusaha untuk menambahkan kekutan batin agar dapat
mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad raya. Usaha ini ditempuh dengan
jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan
mengurangi tidur), mutuih, (hanya
makan makanan yang serba putih), ngasrep
(hanya makan dan minum yang serba tawar ) dan berpuasa pada hari wetonan usaha
yang paling berat adalah melaksanakan pati
geni yaitu tidak makan dan tidak minum dan tidak melihat sian apapun selam 40 hari 40 malam. Usaha untuk menambah kekuatan batin dapat
pula dilakukan dengan cara mengunakan benda-benda yang berkekuatan ghaib yang
disebut “jimat”.[4]
Ketika
Islam masuk ke Jawa dan dua hal yang perlu dicatat:
Pertama,
pada waktu itu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur.
Dalam bidang politik antara lain ditandai dengan jatuhnya Dinasti Abbasiyah
oleh serangan Mongol pada tahun 1258 M, dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar di
Andalusia Spanyol oleh tentara Aragon dan Castella pada 1492 M. Dibidang
pemikiran kalau pada masa-masa sebelumnya telah muncul ulama-ulama besar
dibidang hukum, filsafat dan sains, pada masa ini pemikiran-pemikiran tersebut
telah mengalami kemunduran. Pada masa ini semakin berkembang pendapat bahwa
pintu ijtihad telah tertutup dan kelompok-kelompok tharekat sesaat semakin
berkembang dikalangan umat Islam (Solechan,2008:6).
Kedua,
sebelum
kedatangan Islam di Jawa, Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan
Animisme dan Dinamisme telah bertukar dikalangan masyarakat Jawa, Oleh karena
itu dengan datangnya Islam terjadi pergumulan antara Islam disatu pihak, dengan
kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelum pihak lain. Akibatnya muncul 2
kelompok dalam menerima Islam. Pertama, yang menerima Islam secara total dengan
tanpa mengikat pada kepercayaan-kepercayaan lama. Kedua, adalah mereka yang
menerima ajaran Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama. Oleh
karena itu mereka mencampur adukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam
dengan kepercayaan-kepercayaan lama (Solechan, 2008:7).
Seorang sejarawan bernama Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa Islam menjadi
kedalam kategori sebagai berikut:
a. Santri,
yakin golongan masyarat Jawa yang beragama Islam dan memegang teguh syariat
Islam. Mengerjakan segala kewajiban, semacam shalat, zakat, puasa, dan meninggalkan
segala keharaman tidak memakan babi, tidak membuat sesajen, dan sebagainya.
b. Abangan,
yakni golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namun kurang memegang teguh
syariat Islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak sholat, puasa,
dan sebagainya. Maka mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen,
grebegan, dan lainnya.
c. Priyayi,
yakni golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau
bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri
maupun abangan, terlepas dari sikap dan keberagaman mereka (Mahardhika Zifana,
2008:11)
Sikap yang toleran dan akomodatif
terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, disatu sisi memang dianggap
membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan percampuradukan antara Islam
dipihak lain, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan
mana yang berasal dari tradisi. Namun aspek positifnya, ajaran-ajaran yang
disinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa
dalam menerima Islam sebagai agama yang baru. Dan sebaliknya, ajaran-ajaran
telah memudahkan pihak Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran
dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan
Islam kepada masyarakat Jawa (Solechan, 2008:10).[5]
B.
Hubungan
antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Dalam khasanah perkembangan Islam di
Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu “aliran hikmah” dan “aliran
kejawen”. Aliran hikmah berkembang di kalangan pesantren dengan ciri khas
doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber pada Al-Qur’an).
Sedangkan aliran Kejawen yang ada sekarang sebetulnya sudah tidak murni kejawen
lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi Islam. Mantranyapun kebanyakan
diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra Jawa. Oleh karena
itu disebut Ilmu Aliran Islam Kejawen. Tradisi Islam kejawen inilah yang lebih
banyak mewarnai keilmuan sifat Rohani.
1.
Aliran
Islam Kejawean
Aliran mula aliran kejawen adalah budaya
masyarakat Jawa sebelum Islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik dan
melakukan kegiatan ritual untuk mendapatkan kemampuan supranatural. Para
pengembang ajaran Islam di Pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi Jawa
tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagai senjata dakwah (Administrator,
2006:16)
Para Wali menyusun ilmu-ilmu gaib dengan
tata cara lelaku yang lebih Islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa
campuran Arab-Jawa yang intinya adalah doa kepada Allah. Mungkin alasan mengapa
tidak disusun mantra yang seluruhnya berbahas Arab adalah agar orang Jawa tidak
merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal. Bahkan Sunan Kalijaga
juga menciptakan satu kidung “Rumeksa Ing
Wengi” yang menurut saya bisa disebut sebagai ilmu gaib atau ilmu supranatural,
karena ternyata orang yang mengamalkan kidung “Rumekso ing Wengi” yang menurut saya bisa disebut sebagai ilmu
ghaib atau ilmu supranatural, karena ternyata orang yang mempunyai ilmu ini
mempunyai kidung supranatural.[6]
2.
Aspek
Kepercayaan dan Ritual
Agama didalam memainkan perannya
terhadap masyarakat mempunyai dimensi-dimensi keyakinan, praktek, pengalaman,
pengetahuan, dan konsekuensi-konsekuensi praktek keagamaan, mencakup perilaku
pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen
terhadap agamanya.
Islam masuk ke Jawa harus menghadapi
masyarakat Jawa yang penuh dengan budaya mistis, bangunan kepercayaan
Animisme-Dinamisme dan Agama Hindu-Budha yang sudah mengakar. Masyarakat Jawa
sebelum datangnya ajaran agama-agama asing diluar, telah memiliki kepercayaan
sendiri. Kepercayaan adanya kekuatan magis dan pemujaan terhadap ruh-ruh
leluhur (animis-dinamis), mengembangkan kebudayaan berburu dan meramu,
menangkap ikan, membuat perahu, lesung dan kapak berbentuk cakram sejak zaman
pra-sejarah. Mistik merupakan ajaran yang telah lama dikenal dan diyakini oleh
orang Jawa. Kedatangan bangsa India (Hindu-Budha) juga mengajarkan mistik, yang
kemudian diserap dan diolah oleh orang Jawa.
Kedatangan
bangsa India yang membawa kepercayaan dan peradaban baru membuat kebudayaan
Jawa semakin berkembang bukannya tersisih. Ajaran Hindu-Budha dari India
tersebut makin memperluas peradaban dan tradasi Jawa, tradisi Jawa yang serba
Magis-Mistis, Agama baru ini (Hindu-Budha) berkembang dengan pesat, mengakar
dalam segala lapisan kehidupan, sampai-sampai yang diyakini sebagai budaya Jawa
asli.[7]
Dalam budaya Jawa yang bersumberkan dari ajaran agama Hindu terdapat
kepercayaan tentang adanya para dewata seperti Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Meskipun
semula agama tidak jelas konsep ketuhanannya, tetapi dalam perkembangannya
agama Budha juga percaya kepada Tuhan yang disebut Sang Hyang Adi Bhuda. Dari Syang Hyang Adi Bhuda juga
memanisfestasikan diri dalam berbagai tingkatan Budha sehingga terdapat Budha
Surga. Demikian juga Budha Dunia (Manusyiri Budha) seperti Budha Gautama selaku
penganjur agama ini.
Adapun
pada Agama “primitif” sebagai “agama” orang Jawa sebelum kedatangan agama Hindu
atau Budha, inti kepercayaan adalah percaya kepada daya kekuatan gaib yang
menempati pada setiap benda (dinamisme), serta percaya kepada roh-roh ataupun
makhluk-makhluk halus yang menempati pada suatu benda ataupun berpindah-pindah
dari suatu tempat ke tempat lain, baik benda hidup maupun benda mati (animisme).
Kepercayaan-kepercayaan
dari agama Hindu Budha maupun kepercayaan Animisme-Dinamisme itulah yang dalam
proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam
Islam.
3.
Aspek Ketuhanan
Prinsip ajaran Tauhid
Islam telah berkelindan dalam berbagai unsur keyakinan Hindu Budha maupun
kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asmaul husna telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti kang Murbeng Dumadi
(al-Khaliq), Ingkang Maha Kuasa (al-qodir), Ingkang Maha Esa (al-ahad), Ingkang
Maha Suci , dan lain-lain. Nama-nama itu bercampur dengan agama Hindu-Budha
sehingga muncul sebutan Hyang Maha Agung (Allahu akbar), Hyang Widhi, Hyang
Jagad Nata (Allah Robal’alamin), atau
sang Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala). Namun dengan demikian dari berbagai
nama-nama itu, orang Jawa dalam keadaaan kehidupan sehari-hari terbiasa dengan
sebutan “Gusti Allah” , mengucapkan bismillah ketika memulai pekerjaan, Ya
Allah Gusti ketika berdoa, astaghfirullah ketika merasa kecewa.
Berkaitan dengan
sisa-sisa kepercayaan animisme, dinamisme
kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni dikarenakan tercampur
dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Arti keramat disini
bukan hanya sekedar berarti mulia, terhormat, tetapi memiliki daya magis
sebagai sesuatu yang sangat sakral bersifat ilahiyah. Dalam tradisi Jawa
terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan. Ada yang disebut azimat,
pusaka dalam bentuk; tombak, keris, ikat, kepala, cincin, batu akik, dan
lain-lain. Barang-barang peninggalan Raja Jawa yang disebut benda pusaka pada
umumnya dipandang benda keramat. Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tertentu dipandang
suci, keramat, dan bertuah. Begitu juga kuburan-kuburan ataupun petilasan-petilasan,
hari-hari tertentu, dipandang memiliki barokah atau juga membawa kesialan.
Barang-barang atau benda-benda ataupun orang-orang keramat itu dipandang
sebagai penghubung atau (wasilah) dengan Allah. Oleh karena itu, bacaan doa-doa
tertentu berubah menjadi mantera, ayat-ayat suci Al-Qur’an atau
huruf-huruf Arab menjadi rajahan yang
diyakini memiliki nilai yang sangat berarti, bukan dari makna yang terkandung
didalam ayat-ayat itu melainkan daya ghaibnya dan dipandang sebagai azimat. Kepercayaan
seperti ini terutama diperlakukan terhadap Al-Qur’an cetakan kecil yang dikenal
dengan sebutan Al-Qur’an stambul (istambul).
4.
Kepercayaan
yang Berhubungan dengan Takdir Tuhan
Dari
budaya Jawa tampaknya telah terpengaruh oleh teologi jabariyah sehingga
terdapat kecenderungan orang lebih bersikap pasrah, sumrah, nerimo ing pandum
terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Meskipun
demikian manusia juga mempunyai peluang untuk berikhtiar dengan kemampuan yang
dimiliki, setidak-tidaknya dengan berdo’a memohon pertolongan kepada-Nya. Namun
terdapat pula upaya ikhtiar yang diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber dari
kepercayaan baik, hari, bulan dan tahun yang membawa kepada nasib baik itu
perlu dicari dan ditentukan dengan cara-cara magis. Hari-hari yang jelek sering
disebut dengan hari na’as. Dan pada hari yang na’as ini orang-orang tidak
melakukan kegiatan-kegiatan seperti perayaan pesta pernikahan, melakukan
perjalanan jauh, transaksi dagang, dan lain-lain. Perhitungan-perhitungan magis
dengan melihat naptu dari hari dan pasaran menurut rumus-rumus tertentu sangat
menolong untuk menentukan hari yang baik, bulan baik, serta menghindari
hari-hari na’as. Tapi jika hari na’as itu tidak
dapat dihindari, maka perlu diusahakan upacara-upacara tertentu untuk
menetralisir akibat negatif yang ditimbulkan dari hari na’as tersbut. Dengan
demikian, upacara tertentu memiliki kegiatan ghaib yang bersifat menangkal
(kontra produktif) terhadap akibat buruk yang bakal menimpa. Biasanya
upacara-upacara yang diwujudkan dalam bentuk sesaji.[8]
Sesaji atau sesajen merupakan ramuan dari tiga macam bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan
dan kue apem, yang ditaruh didalam besek kecil atau bungkusan daun pisang. Ada
sesajen yang dibuat pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon. Sesaji ini
sangat sederhana karena terdiri dari tiga macam bunga yang dimasukkan ke dalam
gelas berisi setengah air dan bersama-sama sebuah pelita yang ditempakan diatas
meja untuk dikutug. Inipun ditunjukan
agar ruh-ruh tidak mengganggu ketentraman dan keselamatan dari para anggota
sesi rumah. Misalnya upacara sesaji
penyadranan agung, yang masih tetap diadakan tiap tahun oleh keluarga
keraton Yogyakarta bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad SAW. atau yang
disebut Grebeg Maulud.
5.
Kepercayaan
Terhadap Makhluk Jahat
Dalam agama Islam makhluk jahat
disebut Saithan, yang dalam lidah Jawa disebut setan, dan nenek moyang setan
itu sendiri Iblis. Sementara itu, pada agama Hindu jenis makhluk jahat atau
roh-roh jahat meliputi roh sebagai musuh Dewa, antara lain Warta musuh dewa
Indera roh jahat yang lebih rendah derajatnya disebut reksa, yang bisa menjelma sebagai binatang maupun manusia, dan roh
jahat pemakan daging atau jenazah disebut picasa.
Kepercayaan Jawa terhadap makhluk
jahat yang berasal dari agama Islam maupun agama Hindu tampaknya telah saling mengisi.
Nama setan, jin dan raksasa dimasukkan sebagai penyebutan berbagai jenis makhluk
halus atau roh jahat yang menggoda manusia dapat menjelma seperti bayangan
manusia maupun hewan, maka terdapatlah Setan Iblis, Demit , Memedi, Wewe, Kuntilanak,
Sundel Bolong, Thuyul, atau Setan Usus.[9]
Menurut kepercayaan masing-masing
makhluk halus tersebut dapat mendatangkan sukses, kebahagian, ketentraman,
ataupun keselamatan, tetapi bisa pula menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan,
dan bahkan kematian. Maka bila mana seseorang ingin hidup tanpa menderita dari
gangguan tersebut, ia harus berbuat sesuatu misalnya berpuasa, berpantang
melakukan perbuatan-perbuatan serta makan-makanan tertentu, berselamatan dan
bersaji. Menurut orang Jawa orang yang sudah meninggal dunia berkeliaran
disekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam (pesarean). Maka dalam hal itu
dilakukanlah upacara kepercayaan upacara selamatan dalam rangka lingkungan
hidup seseorang khususnya yang berhubungan dengan kematian serta saat
sesudahnya, adalah suatu adat kebiasaan yang amat diperhatikan dan kerap kali
dilakukan oleh hampir seluruh lapisan golongan masyarakat orang Jawa. Hal ini
mungkin karena orang Jawa sangat menghargai yang sangat menghargai orang yang
sudah meninggal dunia, terutama kalau orang itu adalah keluarganya. Sehingga
salah satu jalan yang baik untuk menolong keselamatan roh nenek moyang tersebut
alam akhirat, ialah dengan membuat berbagai upacara selamatan (sedekah) sejak
awal kematian sampai seribu harinya seperti:
a. Sedekah
surtanah atau geblek, yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang
b. Sedekah
nelung dina, yaitu upacara selamatan
kematian yang diselenggarakan pada hari ketiga saat sudah meninggalnya
seseorang
c. Sedekah
mitung dina, yaitu pada hari ketujuh
orang yang sudah meninggal
d. Sdekah
matang puluh dina, selamatan pada
keempat puluh harinya
e. Sedekan
nyatus, selamatan yang keseratus dari
orang yang meninggal
f. Sedekah
mendak pisan dan mendak pindo, masing-masing upacara kematian dilakukan sesudah satu
tahun dan dua tahunnya dari saat meninggal
g. Sedekah
nyewu, upacara peringatan orang yang
meninggal pada hari keseribu, dan lain sebagainya.
Upacara
selamatan ini adalah yang terakhir.[10]
C.
Pengaruh
keyakinan pada aspek sastra dan seni
1.
Kesenian
Tradisi Jawa
Secara sempit seni tradisi Jawa berarti
karya seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa. Beberapa contoh dari
seni tradisional Jawa antara lain tari gambyong maupun berbagai jenis wayang.
Dan secara kodrat budaya Jawa seperti halnya budaya lainnya, akan selalu
mengalami proses perubahan dan perkembangan dalam arti yang luas. Pengembangan
nilai budaya Jawa merupakan upaya secara sadar untuk terus meningkatkan
kualitasnya. Hasil upaya tersebut terletak pada etos kerja masyarakat Jawa itu
sendiri, yaitu aspek moral dan estetik budaya Jawa yang pada gilirannya tidak
luput dari proses perubahan selagi perubahan budaya Jawa masih mengarah
pada peningkatan kearah humanisme yang
berarti ada perkembangan. Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya justru akan
terjadi kemerosotan degadrasi budaya Jawa.
Kehidupan kesenian yang dinamis memerlukan
kehadiran seniman yang kreatif, karena seni yang berkualitas, adalah kritikus
seni yang berbobot dan masyarakat pendukung yang mau dan mampu mengadaptasi
seni secara semestinya. Akan tetapi dalam kehidupan modern sekarang ini, untuk
mewujudkan kehidupan seni tradisi Jawa yang dinamis kehadiran keempat unsur
tersebut belum cukup tanpa kehadiran seorang patron seni atau maecenas, yaitu pengayom seni yang giat
dan kreatif yang bersedia mencurahkan pikiran, tenaga, waktu dan ruang untuk
mengembangkan seni tradisi Jawa.
Berbeda dengan kehidupan seni tradisi
Jawa pada masa lampau yang menjadikan keraton sebagai pusat kekuasaan politik
dan kebudayaan. Dengan menempatkan Raja sebagai seorang maecenas dan dengan kekusaan politik, sumber daya manusia yang
dimilikinya, serta dukungan dari seluruh masyarakat, Raja dapat mengembangkan
seni tradisi Jawa sesuai dengan selera yang dikendakinya. Oleh karena itu, seni
tradisi Jawa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini dapat kita lihat
di Istana Mangkunegara pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, dimana pada masa
pemerintahan tersebut pekembangan seni tradisi Jawa meliputi sastra, tari,
pewayangan dan karawitan mengalami kemajuan yang pesat di Istana Mangkunegara
dibandingkan masa-masa sebelumnya bahkan sesudahnya. Semua itu dapat terwujud
karena Mangkunegara IV sangat memperhatikan dan ikut terlibat langsung dalam
pengembangan bentuk kesenian itu, baik sebagai pujangga maupun maecenas.[11]
Kepercayaan yang mempengaruhi budaya
Islam terdapat pada seni arsitektur mesjid yang terlihat pada bangunan masjid
yang masih menggunakan arsitektur bernuansa Hinduisme. Tampak seperti pada
penggunaan atap tajuk dan pemakaian mustaka pada puncak atapnya. Selain itu, masuknya
Islam ke Jawa juga berkaitan dengan kekuasaan Raja pada masa itu sehingga
menghasilkan bangunan-bangunan masjid yang cukup mewah pada zamannya dengan
kekhasan tersendiri. Perpaduan itu tampak, misalnya dari bangunan masjid yang
ada dalam lingkungan Keraton. Pertimbangan memadukan unsur-unsur lama dan
budaya baru dalam arsitektur Islam menunjukan adanya akulturasi dalam proses
perwujudannya arsitektur Islam.
2.
Wayang
sebagai Kesenian
Seni yang merupakan hasil budaya manusia
tidaklah sekedar bernilai keindahan, tapi juga bermakna simbolis. Hal ini tak
hanya berlaku pada masyarakat dengan tingkat budaya rendah, tapi juga pada
masyarakat dengan budaya yang sudah maju. Corak seni bermakna simbolis tersebut
dapat disaksikan ditengah masyarakat Indonesia yang mempunyai berbagai macam
seni daerah, antara lain seni pewayangan. Terdapat bermacam seni tradisi wayang
dalam budaya Jawa, seperti wayang beber, wayang golek, wayang krusil, wayang
kulit (purwa), dan lain sebagainya. Namun diantara kesemua itu, wayang kulitlah
yang mempunyai banyak penggemar, dan juga satu-satunya wayang yang masih eksis
sampai sekarang.
Tradisi wayang adalah salah satu
komponen kebudayaan Jawa yang paling kompleks dan canggih. Kebanyakan umat
Muslim Kejawen menganggap wayang bisa mewujudkan hakikat kebenaran filosofis
dan etika. Selain itu, wayang bisa lebih jernih mendefinisikan dibandingkan hal
apapun, apa artinya menjadi orang Jawa. Bagi mereka wayang bukanlah sekedar
kesenian yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan saja, melainkan juga
mempunyai makna sebagai simbol perilaku kehidupan manusia. Didalamnya terdapat
suri tauladan manusia karena terdapat pergumulan antara “benar atau salah” yang
diakhiri dengan pihak yang benar. Lebih jauh lagi wayang juga mengandung arti
mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayanganing urip) dan kehidupan manusia
beserta segala masalahnya.
Satu personifikasi yang sangat dekat
dengan masyarakat Jawa adalah tokoh punakawan yang terdiri atas Semar, Nala
Gareng, Petruk dan Bagong. Para tokoh yang selalu ditunggu dalam setiap
pagelaran wayang di Jawa. Meskipun sebenarnya tokoh punakawan tidak terdapat
dalam naskah wayang asli dari India, karena setiap tokoh yang sengaja dibuat
sedemikian rupa mendekati kondisi beragam masyarakat Jawa oleh para Wali dalam
penyebaran agama Islam. Wayang adalah media efektif untuk menyampaikan misi,
namun cerita wayang yang diusung dari negara asalnya berdasarkan teologi Hindu,
maka para Wali menciptakan suatu tokoh yang lebih fleksibel yang mampu
menghibur masyarakat namun tidak menyulitkan dalang karena tidak harus selalu
terikat pakem. Dalam setiap lakon, punakawan juga berfungsi sebagai pamong
“pengasuh” untuk tokoh pelindung
mengingat lemahnya manusia dan tiap manusia hendaklah selalu meminta
perlindungan kepada Allah SWT. Nama para Punakawan sendiri yang tidak dapat
ditemukan dalam naskah asli dari India. Bukanlah sebutan bahasa Jawa asli kuno
atau baru. Nama-nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang belum berubah dalam
penulisan Jawa dan terdapat makna tersendiri dalam setiap nama, yaitu:
a.
Semar
Nama
Semar berasal dari bahasa Arab yaitu Ismar, kata Ismar dalam pengucapan lidah
Jawa menjadi Semar. Dari suku kata is dalam
ucapan lidah Jawa menjadi se,
misalnya Istambul menjadi Setambul, Islam
menjadi Selam, dan lain sebagainya.
Ismar berarti paku yaitu berfungsi sebagai pengokoh yang goyah, ibarat ajaran
Islam yang didakwahkan oleh Walisongo di kerajaan Majapahit yang pada saat itu
sedang bergolak dan diakhiri dengan berdirinya karajaan Demak oleh Raden Patah.
b.
Nala Gareng
Berasal
dari pengucapan lidah Jawa kata Naala Qariin yang berarti memperoleh banyak
kawan. Menyiratkan tugas dan kewajiban konsepsional para Walisongo sebagai juru
dakwah adalah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali ke jalan
Tuhan dengan kebijakan dan harapan yang baik.
c.
Petruk
Berasal
dari pengucapan lidah Jawa kata Fat’ruk yang merupakan pangkal kalimat pendek
dari sebuah petuah tasawuf yang berbunyi fat’ruk kullu maa siwallaahi, yang
artinya “Tinggalkan semua apapun selain Allah”. Petuah tersebut kemudian
menjadi watak pribadi para Wali dan mubaligh pada saat itu.
d.
Bagong
Berasal
dari pengucapan lidah Jawa kata Baghaa yang berarti memberontak. Memberontak
terhadap kebathilan atau kemungkaran. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa
Bagong berasal dari bahasa Arab Bagho (Baqa) yang berarti kekal, kekekalan
untuk semua makhluk hidup di akhirat kelak. Tokoh punakawan satu ini memiliki
sifat kritis yang tak segan mengkritik dan menyindir segala keadaan yang
dianggap tidak benar.
Kesenian wayang selain berasal dari
kebudayaan Jawa asli, juga berperan penting sebagai media yang digunakan para
penyebar agama Islam di Jawa pada masa lalu. Karena ditangan para Wali, didalam
kesenian dimasukkan nilai-nilai moral dan etika Islam yang kemudian diajarkan
secara halus melalui kesenian tersebut. Sehingga masyarakat yang kemudian pada
masa itu tidak sadar bahwa sedang diajari, dengan kata lain tidak merasa
digurui oleh para Wali, terutama masyarakat yang berasal dari status sosial
yang tinggi. Berkat bantuan kesenian dalam menyebarkan agama Islam menjadi
lebih fleksibel dan lebih mudah dipahami, juga mampu mencangkup semua golongan
masyarakat yang pada masa Hindhu-Budha tidak tersentuh. Sehingga Islam pasa
masa itu dapat dengan mudah menarik perhatian orang yang mengakibatkan
masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa masyarakat Indonesia sudah mengenal adanya Tuhan sejak beribu-ribu tahun
yang lalu, dengan kepercayaan yang mereka pertama kali anut adalah Animisme dan
Dinamisme , Animisme adalah percaya kepada roh nenek moyang yang diwujudkan
melalui upacara sesembahan dan penyerahan sesaji, sedangkan Dinamisme adalah
percaya pada benda-benda yang dianggap keramat dan kekuatan supranatural yang
diwujudkan dengan menyerahkan sesaji dan mengamalkan amalan seperti puasa mutih, puasa 40 hari 40 malam, puasa weton, ngasrep. Yang bertujuan untuk mendapatkan jimat (benda yang diyakini
memiliki kekuatan).
Dari sinilah kemudian masyrakat
Indonesia mulai menerima kepercayaan lain seperti agama Hindu Budha, dan yang
terakhir adalah Islam yang dibawakan oleh walisongo di tanah Jawa dengan
memadukan budaya lama tanpa meninggalkan sisi keislamannya.
B.
SARAN
Kami menyadari makalah ini jauh dari
kata sempurna, tak ada gading yang tak retak dan kami juga menyadari
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. semata, untuk itu kami membuka kritik
dan saran yang membangun dan dapat mengoreksi makalah kami, diharapkan
kedepannya dapat lebih baik lagi, terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
M. Darori, Islam dan Kebudayaan Jaw,Yogyakarta:
Gema Media, 2000.
H.Shodiq,
Potret Islam Jawa.Semarang: Pustaka
Zaman, 2013.
Khalim, Samadi, Islam dan Spiritualitas Jawa.Semarang: RaSiL Media Group, 2008.
Koentajaraningrat,
dkk, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.Jakarta:
Karya Unipress, 2002.
Ramdani,
Mohammad, dkk, Makalah Interelasi Nilai
Jawa dan Islam, Semarang: Photo copy, 2014.
[1] Drs. H.
Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm.
8-9
[2] Drs. H.
Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm.
10-11
[3]Drs. H. Shodiq,
M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 12-13
[4]Drs. H. Shodiq,
M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 13-14
[5] Drs. H.
Shodiq, M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm.
43-45
[6]Drs. H. Shodiq,
M. Ag., Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 45-46
[7]
Samidi Khalim, Islam
dan Spiritualitas Jawa,( Semarang: RaSIL Media Group, 2008). Hlm. 5-6
[8] M. Darori
Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gema Media, 2000) hlm. 123-126
[9]
M. Darori Amin,
Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gema Media, 2000) hlm. 126-127
[10] Koentjaraningrat dkk, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, (Jakarta: Karya Unipress, 2002), hlm. 348
[12]
Mohammad Ramdani, dkk, Makalah Interelasi
Nilai Jawa dan Islam, (Semarang: Photo copy, 2014), hlm. 11-13