Ayo Sinau...!!!

Rabu, 10 Desember 2014

Makalah Persyarikatan Ulama


PERSYARIKATAN ULAMA


Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad






     I.          PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Di era globalisasi sekarang ini, Islam sudah semakin maju seiring dengan perkembangan zaman yang serba mudah. Islam adalah agama yang universal (rahmatal lil ‘alamin) memiliki sifat yang adabtable untuk tumbuh di segala tempat dan waktu.[1] Perkembanagan pendidikan pada dewasa saat ini semakin melaju cepat yang disertai dengan teknologi yang semakin canggih untuk menunjang kebutuhan khususnya pada bidang pendidikan.
Pendidikan sendiri pada dasarnya adalah sebuah proses transformasi pengetahuan menuju ke arah perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan semua potensi yang ada pada diri manusia. Tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah pendidikan adalah membentuk insan kamil, yaitu manusia paripurna yang memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual yang baik.
Tujuan seperti ini tidak akan tercapai atau terwujud tanpa adanya sistem dan proses pendidikan yang baik.[2] Adanya suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen yang masing-masing bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dan komponen yang lainnya secara terpadu bergerak menuju kearah satu tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pendidikan adalah “segala perbuatan yang etis, kreatif, sistematis dan intensional, dibantu oleh metode dan teknik ilmiah, diarahkan pada pencapain tujuan pendidikan tertentu.
Adanya kemajuan yang sangat pesat pada tahun 1911 hingga sekarang, perlu kita telusuri bagaimana kemajuan itu bisa terjadi dan yang melatar belakangi semuanya. Salah satu yang ingin kami paparkan di sini adalah tentang Persyarikatan Ulama bagaimana seorang tokoh bisa melakukan pembaharuan yang sampai sekarang masih kita rasakan manfaatnya sampai sekarang.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada tiga rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah persyarikatan ulama?
2.      Bagaimana sistem pendidikan pada persyarikatan ulama?
3.      Bagaimana pengaruh didirikannya persyarikatan ulama pada sistem pendidikan?

  II.          PEMBAHASAN

1.      Sejarah Persyarikatan Ulama
Persyarikatan ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah majalengka, jawa barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif kyai Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Ciberelang Majalengka.
KHA  Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanan sampai umur 22 tahun di berbagai pesantren di daerah Majalengka. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji dab melanjutkan pelajarannya. Selama tiga tahun berada di Mekkah, ia mengenal tulisan-tulisan Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani, yang merupakan pokok pembicaraan bersama kawan-kawannya yang banyak berasal dari daerah Sumatra. Di Mekkah inilah pertama kali mengenal Kyai Haji Mas Mansur yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah. Tetapi KHA Halim tidak merasa bahwa dia banyak dipengaruhi oleh Abduh ataupun oleh al-Afghani. Memang sampai ia meninggal tahun 1962, tetap berpegang pada madzhab Syafi’i.
Lembaga yang lebih memberikan kesan baginya adalah dua lembaga pendidikan, yaitu Bab as-Salam dekat Makkah dan yang lainnya di Jeddah. Menurut ceritanya lembaga ini telah menghapuskan sistem halaqah dan sebagai gantinya mengorganisir kelas-kelas serta menyusun kurikulum dengan mempergunakan bangku dan meja. Lembaga-lembaga ini merupakan contoh baginya kelak untuk mengubah sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya sekembali ia ke tanah air. Pada tahun-tahun kemudian kegiatannya pandangan rendah dari pihak familinya yang masuk golongan priyayi terhadap keluarganya, termasuk ayahnya sendiri. Ia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa seorang bukan priyayi dapat pula melayani masyarakat dengan baik.
Enam bulan setelah kembali dari Mekkah pada tahun 1911, KHA Halim mendirikan sebuah organisagi yang ia beri nama Hayatul Qulub, yang bergerak, baik dibidang ekonomi maupun di bidang pendidikan. Anggota-anggotanya mulanya petani. Mereka membayar iuran untuk masuk sepuluh sen dan iuran mingguan lima sen, untuk dana mendirikan sebuah perusahaan tenun, organisasi ini juga bermaksud untuk membantu anggita-anggotanya yang bergerak dibidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang-pedagang cina.
Dalam bidang pendidikan KHA Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang-orang dewasa, yang diikuti empat puluh orang. Umumnya pelajaran yang diberikan adalah pelajaran0pelajaran fiqih dan hadits. Ketika itu Halim tidak semata-mata mengajar saja tapi juga bergerak di bidang perdagangan untuk memenuhi nafkah hidupnya.
Hayatul Qulub tidaklah berlangsung cukup lama. Persaingan dengan para pedagang Cina yang kadang-kadang menyebabkan perkelahian( perang mulut dan juga secara fisik), dianggap oleh pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahu 1915 organisasi tersebut dilarang setelah tiga atau empat tahun bergerak. Tetapi kegiatan-kegiatannya terus dilanjutkan walau tidak diberi nama resmi, termasuk kegiatan secara ekonomi. Sedangkan kegiatan pendidikan dilanjutkan oleh sebuah organisasi baru yang disebut Majlisul Ilmi.
Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat modern. Demikianlah sebuah sekolah dengan mendapat sambutan yang amat baik dari guru-guru lain di daerah tersebut. Tetapi sistem berkelas dan sistem koedukasi yang diintrodusir oleh KHA Halim dalam lembaga lima tahunnya itu tidak disukai. Sungguhpun demikian KHA Halim dengan bantuan yang diperolehnya dari penghulu dan juga oleh kerena mundurnya pesantren di daerahnya, dapat mengubah ketidaksenangan ini. Usahanya mulai disambut baik. Untuk memperbaiki mutu sekolahnya KHA Halim berhubungan dengan Jam’iat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajibkan murid-muridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memehami bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.
Organisasi tersebut yang kemudian diganti menjadi Persyarikatan Ulama, diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S Cokroaminoto (Pemimpin Sarikat Islam). Ia disebut juga perikatan Umat Islam yang pada tahun 1952 difusikan dengan organisasi Islam lainnya Al-Ittihayatul Islamiyah (All), menjadi persatuan Umat Islam (PUI).
Pada tahun 1924, Persarikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya keseluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 ke seluruh Indonesia. Dalam kenyataannya Persyarikatan Ulama tetap merupakan sebuah organisasi daerah Majalengka. Ia tidak semata-mata membatasi diri pada bidang pendidikan. Ia juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fathimayah, bagian wanita dari organisasi tersebut (nama yang diambil dari nama anak Nabi Muhammad SAW) yang didirikan pada tahun 1930.
Pada tahun 1932, dalam suatu kongres Persyarikatan Ulama di Majalengka, KHA Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung dari bakat masing-masing.
KHA Halim rupanya telah sampai kepada pemikiran ini setelah melihat bahwa kebanyakan dari lulusan sekolah yang didirikan oleh pemerintah menggantungkan diri kepada lapangan yang tersedia dalam lingkungan pemerintah atau dalam bidang usaha, tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuha  hidupnya. Ia pun juga melihat bahwa lulusan madrasah biasa ataupun pesantrenhanya menjadi guru agama atau kembali pada lingkungan pekerjaan orang tuanya sendiri (bertani atau berdagang). Padahal ia tidak memperoleh latihan khusus untuk itu, juga tidak di dalam madrasah ataupun dalam lingkungan keluarganya. Oleh sebab itu KHA Halim berpendapat bahwa seorang lulusan yang baik adalah yang berkemampuan untuk memasuki suatu bidang kehidupan tertentu, dengan persiapan-persiapan latihan yang diperlukan.
Pendiri Perstarikatan Ulama ini juga mengusulkan agar latihan tersebut perlu juga menitik beratkan pada pembentukan watak. Untuk keperluan ini sebuah tempat yang tenang di luar kota merupakan tempat yang ideal. Kota, katanya, telah diracuni atau sering diracuni dengan kebiasaan-kebiasaan yang kurang mengindahkan moral. Dedangkan tempat-tempat di luar kota yang sunyi dan tenang dapat merupakan tempat yang memberikan inspirasi-inspirasi yang baik.
Kongres tadi menerima usul KHA Halim. Suatu keluarga kaya dari Cimas menyediakan setumpuk tanahnya, di pasir Ayu, kira-kira sepuluh kilometer dari Majalengka, untuk keperluan pelaksanakan cita-cita tersebut. Lembaga ini, dinamakan Santri Asrama yang dibagi 3 bagian : Tingkat Permulaan, dasar dan lanjutan. Di samping kirikulum biasa sebagaimana terdapat pada sekolah sekolah lain dari Persyarikatan Ulama, yaitu dalam agama dan pelajaran umum, pelajar-pelajar dalam Santi Asrama dilatih pertanian, pekerjaan tangan (besi dan kayu), menenun dan mengolah berbagai bahan, seperti membuat sabun. Mereka harus tinggal di suatu asrama di bawah disiplin yang ketat terutama tentang pembagian waktu dan tentang sikap pergaulan hidup mereka. Pada bagian kedua dari tahun 1930-an kira-kira 60 sampai 70 anak-anak muda dilatih di Santi Asrama tersebut sebagai pelajar-pelajar yang diasramakan, sedangkan kira-kira 200 anak-anak lain yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya turut pula belajar.
Sebagaimana organisasi-organisasi lain, persyarikatan Ulama sejak mula berdiri, menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai media penyebarkan cita-citanya. Di samping masalah-masalah organisasi, petemuan-pertemuan dan tabligh serta publikasi tersebut mengutamakan sekali aspek-aspek Islam.[3]

2.      Sistem Pendidikan pada Persyarikatan Ulama
Perserikatan Ulama merupakan gerakan pembaharuan dari Majalengka, Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 yang didirikan oleh Kyai Haji Abdul Halim.  Saudraranya  mempunyai hubungan erat dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.
K.H. Abdul Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun di berbagai pesantren di Majalengka. Kemudian ia pergi ke Makkah untuk pergi menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya.[4]
Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen yang masing-masing bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dan komponen yang lainnya secara terpadu bergerak menuju kearah satu tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pendidikan adalah “segala perbuatan yang etis, kreatif, sistematis dan intensional, dibantu oleh metode dan teknik ilmiah, diarahkan pada pencapain tujuan pendidikan tertentu.[5]
Sistem pendidikan pada masa perserikatan ulama yang dipimpin oleh K.H. Abdul Halim pada mulanya ada dua sistem yaitu sistem pendidikan tradisional atau sistem halaqah dan sistem pendidikan modern. Sistem pendidikan tradisional pada awalnya hanya terdiri dari halaqah-halaqah.[6] Sistem halaqah sudah menjadi salah satu bagian atau ciri bagi sebuah pesantren. Sistem halaqah di pesantren dituntut penerapannya mengingat bahwa di pondok pesantren terdapat kurikulum nonformal kepesantrenan seperti kajian kitab-kitab klasik dan pengajaran bahasa Arab. Suatu kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang ustadz atau kiai dengan cara duduk di hadapan santrinya sambil membacakan materi kitab. Para santri yang mengikuti pembelajaran ini duduk dalam bentuk setengah lingkaran dan bersaf-saf. Sang ustadz senantiasa berusaha membacakan isi kitab, kata per kata atau kalimat per kalimat lalu menerangkannya dengan bahasa Arab, Indonesia, maupun Jawa atau bahasa bahasa tertentu lainnya.
Sistem Halaqah biasa disebut juga sistem weton, yaitu dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai di dalam ruangan dan kiai menjelaskan materi dengan secara kuliah. Para santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiai. Sistem halaqah atau weton adalah sistem tertua di pesantren dan tentunya merupakan inti pengajaran di suatu pesantren. Semuanya tidak lepas dari konteks historis lahirnya lembaga pendidikan Islam klasik yang pada awalnya bermula pada pengajian di masjid, surau dan langgar dengan mengkaji al-Qur’an, kitab-kitab tasawuf, aqidah, fiqh dan bahasa Arab. Pesantren juga tidak bisa dipisahkan dari masjid, karena telah menjadi bagian pokok yang menghidupkan pesantren yang memberikan nuansa religius atau ruh bagi kelangsungan pesantren tersebut.[7]
Kemudian yang membuat K.H. Abdul Halim terkesan yaitu pada dua lembaga pendidikan pada saat menunaikan ibadah hajinya, yaitu Bab al-Salam dekat dengan kota Makkah dan yang lainya di Jeddah. Kemudian K.H. Abdul Halim terinspirasi dengan kedua lembaga ini sehingga dihapuskannya sistem halaqah atau sistem tradisionalnya dan sebagai gantinya mengorganisir kelas-kelas serta menyusun kurikulum dengan menggunakan bangku dan meja. Lembaga-lembaga ini merupakan contoh bagi K.H. Abdul Halim kelak untuk mengubah sistem pendidikan tradisionalnya (halaqah) menjadi sistem pendidikan yang lebih modern di daerah asalnya sekembali K.H. Abdul Halim pulang ke tanag air.[8]
Sedangkan sistem pendidikan modern adalah model pendidikan yang menggunakan kelas-kelas dengan menggunakan bangku dan meja, sehingga meninggalkan sistem lama atau sistem tradisional (halaqoh-halaqoh). Modern atau disebut juga progresif adalah “kata keterangan yang dipergunakan dalam pendidikan  yang menganut Islam klasikal, yang terpimpin dan atau diorganisasi dalam bentuk perjenjangan kelas dan dalam jangka  waktu. Dengan diadakanya perombakan dalam prosedur-prosedur pengajaran yang lebih efektif.
Jadi yang dimaksud dengan sistem pendidikan modern adalah satu kesatuan unsur-unsur yang merupakan keseluruhan yang organis dari pada usaha untuk mewujudkan pendidikan bangsa untuk mencapai tujuan nasional yang berdasarkan pada perkembangan dan kebutuhan zaman serta sesuai dengan jiwa (bakat dan minat) serta bentuk kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah.
Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang, baik berupa hasil penemuan(invention) maupun discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren. Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut, Pertama, pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personel misalnya adalah peningkatan mutu guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya. Kedua, inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini misalnya perubahan tempat duduk, perubahan pengaturan dinding ruangan perlengkapan ruang bahasa, dan sebagainya. Ketiga, suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanan penggunaan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan jadwal pelajaran yang dapat memberi kesempatan para santri untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan lain sebagainya.
Hal yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadap perkembangan di era globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis. Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan pesantren. Lahirnya santri yang beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu di bidang agama saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang pengetahuan umum.
Enam bulan setelah kembali dari Makkah pada tahun 1911, K.H. Abdul Halim mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Hayatul Qulub, bergerak dibidang ekonomi dan pendidikan serta membantu anggota-anggotanya yang bergerak dibidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang-pedagang dari China. Anggota-anggotanya mulanya hanya terdiri dari enam puluh orang, umumnya terdiri dari para pedagang dan petani.[9]
Dalam bidang pendidikan K.H. Abdul Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang-orang dewasa. Diikuti oleh empat puluh orang. Pada umumnya pelajaran-pelajaran yang K.H. Abdul Halim berikan adalah pelajaran mengenai fiqh dan hadits. Ketika itu K.H. Abdul Halim tidak hanya bergerak dibidang pendidikan saja tetapi juga bergerak dibidang perdagangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hayatul Qulub tidaklah berlangsung lama. Persaingan dengan para pedagang China yang terkadang membuat pertikaian adu mulut maupun adu fisik sehingga dianggap oleh pemerintah sebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915 organisasi tersebut dilarang oleh pemerintah setelah tiga atau empat bergerak. Tetapi kegiatan-kegiatannya tetap berjalan walaupun tidak diberi nama resmi oleh pemerintah, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan kegiatan pendidikan dilanjutkan dengan sebuah organisasi baru yang disebut Majlisul Ilmi.
Pada tahun 1916, tokoh-tokoh masyarakat dirasa perlu mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat modern, dan didirikanlah sebuah sekolah dengan nama Jam’iyat I’anat al-Muata’aalimin dengan mendapat sambutan yang amat baik dari guru-guru lain di daerah tersebut. Tetapi sistem berkelas dan koedukasi yang diintrodusir oleh K.H. Abdul Halim dalam lembaga limat tahunnya itu kurang disukai. Kemudian K.H. Abdul Halim mendapat bantuan yang diperoleh penghulu dan juga karena mundurnya pesantren di daerahnya, sehingga dapat mengubah ketidaksenangan ini dan usahanya mulai disambut dengan baik. Untuk memperbaiki mutu sekolahnya K.H. Abdul Halim mengadakan hubungan dengan Jami’at Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. K.H. Abdul Halim mewajibkan kepada murid-muridnya pada tingkatan yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.
K.H. Abdul Halim tidak semata-mata membatasi diri pada bidang pendidikan. K.H. Abdul Halim juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fathimiyah yang didirikan pada tahun 1930.
Perhatian dibidang ekonomi menceminkan dalam kurikulum dari lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perserikatan Ulama yang bernama Santi Asrama. Lembaga ini didirikan pada tahun 1932 disamping madrasah- madrasah biasa yang telah didirikan di banyak tempat di daerah tersebut.
Pada tahun 1932, dalam suatu kongres Perserikatan Ulama di Majalengka, K.H. Abdul Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan-pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian yang bergantung pada bakat masing-masing.


3.      Pengaruh didirikannya Persyarikatan Ulama pada Sistem Pendidikan

Dengan didirikanya “Persyerikatan Ulama” di Indonesia, telah memberikan dampak yang besar bagi dunia pendidikan khususnya. Dengan pengalaman yang telah dimiliki K.H. Abdul Halim dalam mencari wawasan ilmu, maka tidak heran bila daya pikir beliau dalam mengembangkan sistem di Indonesia begitu besar.
Memulai merintis perubahan pembaharuan sistem pendidikan, dengan mendirikan banyak organisasi yang mana pada saat itu juga harus melawan keadaan atas koloni. Dengan pembaharuannya yang beliau terapkan dalam organisasi seperti, penghapusan sistem halaqoh, pengelompokan belajar (kelas), tidak hanya mendapat ilmu agama namun juga ilmu pengetahuan umum, pengajaran keterampilan ini sangat berdampak pagi perkembangan pedidikan itu sendiri.
Kalau kita amati sekarang ini, banyak sekali organisasi pendidikan yang meniru metode-metode yang digunakan KH.Abdul Halim pada waktu itu. Madrasah-madrasah saat ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam kurikulumnya, tapi juga ilmu sosial, ilmu hitung dan ilmu bahasa juga didapatkan.
Kemudian mengenai pengajaran keterampilan bagi para santri waktu itu, juga sangat bermanfaat bagi santri setelah lulus karena tidak bingung akan dunia pekerjaan. Ini akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Sekarang ini banyak sekolah yang mengadakan program Full Day School dimana didalamnya terdapat materi keterampilan khusus.[10]

 III.            KESIMPULAN

Persyarikatan Ulama merupakan gerakan pembaharuan yang didirikan oleh KH. Abdul Halim pada tahun 1887 di Cibelerang, Majalengka, Jawa Barat. Pada tahun 1911 KH. Abdul Halim mendirikan Hayatul Qulub yang bergerak di bidang pendidikan & di bidang ekonomi. Akhirnya setelah empat tahun bergerak pada tahun 1915 organisasi Hayatul Qulub, ditutup oleh Pemerintah akibat perkelahian dengan pedagang dari China.
Pada tahun 1916 KH. Abdul Halim mendirikan Majlisul ‘Ilmi yang berhubungan baik dengan Jam’iat Khair & Al-Irsyad di Jakarta. Kemudian pada akhirnya tahun 1917 dibantu oleh H.O.S. Cokroaminoto menjadi Persyarikatan Ulama.
Sistem Pendidikan Persyarikatan Ulama ada dua tahap, yaitu Pertama,sistem alaqah atau sistem pendidikan tradisional, sistem halaqah biasa disebut juga sistem weton, yaitu dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai di dalam ruangan dan kiai menjelaskan materi dengan secara kuliah. Kedua, sistem pendidikan modern yaitu model pendidikan yang menggunakan kelas-kelas dengan menggunakan bangku dan meja yang terpimpin dan atau diorganisasi dalam bentuk perjenjangan kelas dandalam jangka  waktu.
Pengaruh didirikannya Persyarikatan Ulama pada Sistem Pendidikan menambah wawasan ilmu seperti ilmu agama, sosial, hitung dan ilmu bahasa serta pengajaran keterampilan. Adanya perubahan pembaharuan sistem pendidikan tradisional ke modern, perlawanan terhadap koloni, kemudahan di dunia pekerjaan sehingga mengurangi jumlah pengangguran, dsb.

 
DAFTAR PUSTAKA
Kajian Pustaka:

Zuhairini, dkk., 1986, Sejarah Pendidikan Islam. Cetakan II, Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasaranadan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1986.
Deliar Noer, 1982, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Muhlisin Ahmad, Tomy, dkk, 2014, Makalah Bidang Kepercayaan Jawa, Semarang.
Sa’adah, Zumrotus, dkk, 2014, Makalah Sejarah Pendidikan Islam dan Masa Kejayaannya, Semarang.
Dari Internet:
pendidikan.html.
http://wahidah01.blogspot.com/2009/04/halaqah-suatu-sistem-pembelajaran.html.

Untuk PPT dapat diupload di >>>>> https://docs.google.com/presentation/d/17SdgmuFCedovx1aeU4Qbo4SN2uaCH3ED67b8ZxXue5s/edit#slide=id.p18



[1] Tomy Muhlisin Ahmad, dkk, Makalah Bidang Kepercayaan Jawa (Semarang, 2014), hlm. 1.
[2] Zumrotus Sa’adah, dkk, Makalah Sejarah Pendidikan Islam dan Masa Kejayaannya (Semarang, 2014), hlm. 2.
[3] Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam (cetakan II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1986, 1986), hlm. 161-166.
[4] Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 167.
[5] http://duniainformatikaindonesia.blogspot.com/2013/03/landasan-yuridis-sistem-pendidikan.html, diakses tanggal 21November 2014, pukul 19:56.
[6] Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 167.
[8] Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 167.
[9] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 81.
[10] Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 168.


Tidak ada komentar: