PERSYARIKATAN ULAMA
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di era globalisasi
sekarang ini, Islam sudah semakin maju seiring dengan perkembangan zaman yang
serba mudah. Islam adalah agama yang universal (rahmatal lil ‘alamin) memiliki sifat yang adabtable untuk tumbuh di segala tempat dan waktu.[1]
Perkembanagan pendidikan pada dewasa saat ini semakin melaju cepat yang
disertai dengan teknologi yang semakin canggih untuk menunjang kebutuhan
khususnya pada bidang pendidikan.
Pendidikan
sendiri pada dasarnya adalah sebuah proses transformasi pengetahuan menuju ke
arah perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan semua potensi yang ada pada diri
manusia. Tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah pendidikan adalah membentuk
insan kamil, yaitu manusia paripurna yang memiliki kecerdasan intelektual dan
spiritual yang baik.
Tujuan seperti
ini tidak akan tercapai atau terwujud tanpa adanya sistem dan proses pendidikan
yang baik.[2]
Adanya suatu
keseluruhan yang terdiri dari komponen yang masing-masing bekerja sendiri dalam
fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dan komponen yang lainnya secara terpadu
bergerak menuju kearah satu tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pendidikan
adalah “segala perbuatan yang etis, kreatif, sistematis dan intensional,
dibantu oleh metode dan teknik ilmiah, diarahkan pada pencapain tujuan
pendidikan tertentu.
Adanya kemajuan yang sangat pesat pada tahun 1911 hingga sekarang, perlu
kita telusuri bagaimana kemajuan itu bisa terjadi dan yang melatar belakangi
semuanya. Salah satu yang ingin kami paparkan di sini adalah tentang Persyarikatan Ulama bagaimana seorang
tokoh bisa melakukan pembaharuan yang sampai sekarang masih kita rasakan
manfaatnya sampai sekarang.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, ada tiga rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah persyarikatan ulama?
2. Bagaimana sistem
pendidikan pada persyarikatan ulama?
3. Bagaimana pengaruh
didirikannya persyarikatan ulama pada sistem pendidikan?
II.
PEMBAHASAN
1.
Sejarah
Persyarikatan Ulama
Persyarikatan
ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah majalengka, jawa
barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif kyai Haji Abdul Halim, lahir
pada tahun 1887 di Ciberelang Majalengka.
KHA Halim memperoleh pelajaran agama pada masa
kanak-kanan sampai umur 22 tahun di berbagai pesantren di daerah Majalengka.
Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji dab melanjutkan
pelajarannya. Selama tiga tahun berada di Mekkah, ia mengenal tulisan-tulisan
Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani, yang merupakan pokok pembicaraan bersama kawan-kawannya
yang banyak berasal dari daerah Sumatra. Di Mekkah inilah pertama kali mengenal
Kyai Haji Mas Mansur yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah. Tetapi KHA
Halim tidak merasa bahwa dia banyak dipengaruhi oleh Abduh ataupun oleh
al-Afghani. Memang sampai ia meninggal tahun 1962, tetap berpegang pada madzhab
Syafi’i.
Lembaga yang
lebih memberikan kesan baginya adalah dua lembaga pendidikan, yaitu Bab
as-Salam dekat Makkah dan yang lainnya di Jeddah. Menurut ceritanya lembaga ini
telah menghapuskan sistem halaqah dan sebagai gantinya mengorganisir
kelas-kelas serta menyusun kurikulum dengan mempergunakan bangku dan meja. Lembaga-lembaga
ini merupakan contoh baginya kelak untuk mengubah sistem pendidikan tradisional
di daerah asalnya sekembali ia ke tanah air. Pada tahun-tahun kemudian
kegiatannya pandangan rendah dari pihak familinya yang masuk golongan priyayi
terhadap keluarganya, termasuk ayahnya sendiri. Ia ingin memperlihatkan kepada
mereka bahwa seorang bukan priyayi dapat pula melayani masyarakat dengan baik.
Enam bulan
setelah kembali dari Mekkah pada tahun 1911, KHA Halim mendirikan sebuah
organisagi yang ia beri nama Hayatul Qulub, yang bergerak, baik dibidang
ekonomi maupun di bidang pendidikan. Anggota-anggotanya mulanya petani. Mereka
membayar iuran untuk masuk sepuluh sen dan iuran mingguan lima sen, untuk dana
mendirikan sebuah perusahaan tenun, organisasi ini juga bermaksud untuk
membantu anggita-anggotanya yang bergerak dibidang perdagangan dalam persaingan
dengan pedagang-pedagang cina.
Dalam bidang
pendidikan KHA Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama sekali seminggu
untuk orang-orang dewasa, yang diikuti empat puluh orang. Umumnya pelajaran
yang diberikan adalah pelajaran0pelajaran fiqih dan hadits. Ketika itu Halim
tidak semata-mata mengajar saja tapi juga bergerak di bidang perdagangan untuk
memenuhi nafkah hidupnya.
Hayatul Qulub
tidaklah berlangsung cukup lama. Persaingan dengan para pedagang Cina yang
kadang-kadang menyebabkan perkelahian( perang mulut dan juga secara fisik),
dianggap oleh pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahu 1915
organisasi tersebut dilarang setelah tiga atau empat tahun bergerak. Tetapi
kegiatan-kegiatannya terus dilanjutkan walau tidak diberi nama resmi, termasuk
kegiatan secara ekonomi. Sedangkan kegiatan pendidikan dilanjutkan oleh sebuah
organisasi baru yang disebut Majlisul Ilmi.
Pada tahun 1916
dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh seperti
penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang
bersifat modern. Demikianlah sebuah sekolah dengan mendapat sambutan yang amat
baik dari guru-guru lain di daerah tersebut. Tetapi sistem berkelas dan sistem
koedukasi yang diintrodusir oleh KHA Halim dalam lembaga lima tahunnya itu tidak
disukai. Sungguhpun demikian KHA Halim dengan bantuan yang diperolehnya dari
penghulu dan juga oleh kerena mundurnya pesantren di daerahnya, dapat mengubah
ketidaksenangan ini. Usahanya mulai disambut baik. Untuk memperbaiki mutu
sekolahnya KHA Halim berhubungan dengan Jam’iat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta.
Ia juga mewajibkan murid-muridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memehami
bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.
Organisasi
tersebut yang kemudian diganti menjadi Persyarikatan Ulama, diakui sah secara
hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S Cokroaminoto
(Pemimpin Sarikat Islam). Ia disebut juga perikatan Umat Islam yang pada tahun
1952 difusikan dengan organisasi Islam lainnya Al-Ittihayatul Islamiyah (All),
menjadi persatuan Umat Islam (PUI).
Pada tahun
1924, Persarikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya
keseluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 ke seluruh Indonesia. Dalam
kenyataannya Persyarikatan Ulama tetap merupakan sebuah organisasi daerah
Majalengka. Ia tidak semata-mata membatasi diri pada bidang pendidikan. Ia juga
membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fathimayah, bagian
wanita dari organisasi tersebut (nama yang diambil dari nama anak Nabi Muhammad
SAW) yang didirikan pada tahun 1930.
Pada tahun
1932, dalam suatu kongres Persyarikatan Ulama di Majalengka, KHA Halim
mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi
pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan
ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa
pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung dari bakat
masing-masing.
KHA Halim
rupanya telah sampai kepada pemikiran ini setelah melihat bahwa kebanyakan dari
lulusan sekolah yang didirikan oleh pemerintah menggantungkan diri kepada
lapangan yang tersedia dalam lingkungan pemerintah atau dalam bidang usaha,
tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuha hidupnya. Ia pun juga melihat bahwa lulusan
madrasah biasa ataupun pesantrenhanya menjadi guru agama atau kembali pada
lingkungan pekerjaan orang tuanya sendiri (bertani atau berdagang). Padahal ia
tidak memperoleh latihan khusus untuk itu, juga tidak di dalam madrasah ataupun
dalam lingkungan keluarganya. Oleh sebab itu KHA Halim berpendapat bahwa
seorang lulusan yang baik adalah yang berkemampuan untuk memasuki suatu bidang
kehidupan tertentu, dengan persiapan-persiapan latihan yang diperlukan.
Pendiri
Perstarikatan Ulama ini juga mengusulkan agar latihan tersebut perlu juga
menitik beratkan pada pembentukan watak. Untuk keperluan ini sebuah tempat yang
tenang di luar kota merupakan tempat yang ideal. Kota, katanya, telah diracuni
atau sering diracuni dengan kebiasaan-kebiasaan yang kurang mengindahkan moral.
Dedangkan tempat-tempat di luar kota yang sunyi dan tenang dapat merupakan
tempat yang memberikan inspirasi-inspirasi yang baik.
Kongres tadi
menerima usul KHA Halim. Suatu keluarga kaya dari Cimas menyediakan setumpuk
tanahnya, di pasir Ayu, kira-kira sepuluh kilometer dari Majalengka, untuk
keperluan pelaksanakan cita-cita tersebut. Lembaga ini, dinamakan Santri Asrama
yang dibagi 3 bagian : Tingkat Permulaan, dasar dan lanjutan. Di samping
kirikulum biasa sebagaimana terdapat pada sekolah sekolah lain dari
Persyarikatan Ulama, yaitu dalam agama dan pelajaran umum, pelajar-pelajar
dalam Santi Asrama dilatih pertanian, pekerjaan tangan (besi dan kayu), menenun
dan mengolah berbagai bahan, seperti membuat sabun. Mereka harus tinggal di
suatu asrama di bawah disiplin yang ketat terutama tentang pembagian waktu dan
tentang sikap pergaulan hidup mereka. Pada bagian kedua dari tahun 1930-an
kira-kira 60 sampai 70 anak-anak muda dilatih di Santi Asrama tersebut sebagai
pelajar-pelajar yang diasramakan, sedangkan kira-kira 200 anak-anak lain yang
berasal dari kampung-kampung sekitarnya turut pula belajar.
Sebagaimana
organisasi-organisasi lain, persyarikatan Ulama sejak mula berdiri,
menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah
dan brosur sebagai media penyebarkan cita-citanya. Di samping masalah-masalah
organisasi, petemuan-pertemuan dan tabligh serta publikasi tersebut
mengutamakan sekali aspek-aspek Islam.[3]
2.
Sistem
Pendidikan pada Persyarikatan Ulama
Perserikatan Ulama merupakan gerakan
pembaharuan dari Majalengka, Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 yang
didirikan oleh Kyai Haji Abdul Halim.
Saudraranya mempunyai hubungan
erat dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.
K.H. Abdul Halim memperoleh pelajaran
agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun di berbagai pesantren di
Majalengka. Kemudian ia pergi ke Makkah untuk pergi menunaikan ibadah haji dan
melanjutkan pelajarannya.[4]
Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen yang
masing-masing bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dan
komponen yang lainnya secara terpadu bergerak menuju kearah satu tujuan yang
telah ditetapkan. Sedangkan pendidikan adalah “segala perbuatan yang etis,
kreatif, sistematis dan intensional, dibantu oleh metode dan teknik ilmiah,
diarahkan pada pencapain tujuan pendidikan tertentu.[5]
Sistem pendidikan pada masa perserikatan
ulama yang dipimpin oleh K.H. Abdul Halim pada mulanya ada dua sistem yaitu
sistem pendidikan tradisional atau sistem halaqah dan sistem pendidikan modern.
Sistem pendidikan tradisional pada awalnya hanya terdiri dari halaqah-halaqah.[6]
Sistem halaqah sudah menjadi salah satu bagian atau ciri bagi sebuah pesantren.
Sistem halaqah di pesantren dituntut penerapannya mengingat bahwa di pondok
pesantren terdapat kurikulum nonformal kepesantrenan seperti kajian kitab-kitab
klasik dan pengajaran bahasa Arab. Suatu kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan oleh seorang ustadz atau kiai dengan cara duduk di hadapan santrinya
sambil membacakan materi kitab. Para santri yang mengikuti pembelajaran ini
duduk dalam bentuk setengah lingkaran dan bersaf-saf. Sang ustadz senantiasa
berusaha membacakan isi kitab, kata per kata atau kalimat per kalimat lalu
menerangkannya dengan bahasa Arab, Indonesia, maupun Jawa atau bahasa bahasa
tertentu lainnya.
Sistem Halaqah biasa disebut juga sistem
weton, yaitu dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling
kiai di dalam ruangan dan kiai menjelaskan materi dengan secara kuliah. Para
santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan pada kitabnya untuk
mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiai. Sistem halaqah atau weton
adalah sistem tertua di pesantren dan tentunya merupakan inti pengajaran di suatu
pesantren. Semuanya tidak lepas dari konteks historis lahirnya lembaga
pendidikan Islam klasik yang pada awalnya bermula pada pengajian di masjid,
surau dan langgar dengan mengkaji al-Qur’an, kitab-kitab tasawuf, aqidah, fiqh
dan bahasa Arab. Pesantren juga tidak bisa dipisahkan dari masjid, karena telah
menjadi bagian pokok yang menghidupkan pesantren yang memberikan nuansa religius
atau ruh bagi kelangsungan pesantren tersebut.[7]
Kemudian yang membuat K.H. Abdul Halim
terkesan yaitu pada dua lembaga pendidikan pada saat menunaikan ibadah hajinya,
yaitu Bab al-Salam dekat dengan kota Makkah dan yang lainya di Jeddah. Kemudian
K.H. Abdul Halim terinspirasi dengan kedua lembaga ini sehingga dihapuskannya
sistem halaqah atau sistem tradisionalnya dan sebagai gantinya mengorganisir
kelas-kelas serta menyusun kurikulum dengan menggunakan bangku dan meja.
Lembaga-lembaga ini merupakan contoh bagi K.H. Abdul Halim kelak untuk mengubah
sistem pendidikan tradisionalnya (halaqah)
menjadi sistem pendidikan yang lebih modern di daerah asalnya sekembali K.H.
Abdul Halim pulang ke tanag air.[8]
Sedangkan sistem pendidikan modern
adalah model pendidikan yang menggunakan kelas-kelas dengan menggunakan bangku
dan meja, sehingga meninggalkan sistem lama atau sistem tradisional
(halaqoh-halaqoh). Modern atau disebut juga progresif adalah “kata
keterangan yang dipergunakan dalam pendidikan
yang menganut Islam
klasikal, yang terpimpin dan atau diorganisasi dalam bentuk perjenjangan kelas dan
dalam jangka waktu. Dengan diadakanya perombakan
dalam prosedur-prosedur pengajaran yang lebih efektif.
Jadi yang dimaksud dengan sistem pendidikan modern adalah satu kesatuan
unsur-unsur yang merupakan keseluruhan yang organis dari pada usaha untuk
mewujudkan pendidikan bangsa untuk mencapai tujuan nasional yang berdasarkan
pada perkembangan dan kebutuhan zaman serta sesuai dengan jiwa (bakat dan
minat) serta bentuk kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah.
Modernisasi
atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk
memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi
pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau
diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang, baik berupa
hasil penemuan(invention) maupun discovery, yang digunakan untuk
mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren. Miles
mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut, Pertama, pendidikan yang merupakan
bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen sistem.
Inovasi yang sesuai dengan komponen personel misalnya adalah peningkatan mutu
guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya. Kedua, inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini misalnya
perubahan tempat duduk, perubahan pengaturan dinding ruangan perlengkapan ruang
bahasa, dan sebagainya. Ketiga, suatu
sistem pendidikan tentu memiliki perencanan penggunaan waktu. Inovasi yang
relevan dengan komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan jadwal
pelajaran yang dapat memberi kesempatan para santri untuk memilih waktu sesuai
dengan keperluannya, dan lain sebagainya.
Hal yang
paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya
mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Disisi lain, pengetahuan umum
nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan
santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat
umum. Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadap perkembangan di era
globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis. Sebagai
upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan pesantren. Lahirnya
santri yang beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu
di bidang agama saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang
pengetahuan umum.
Enam bulan setelah kembali dari Makkah pada tahun 1911, K.H.
Abdul Halim mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Hayatul Qulub,
bergerak dibidang ekonomi dan pendidikan serta membantu anggota-anggotanya yang
bergerak dibidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang-pedagang dari
China. Anggota-anggotanya mulanya hanya terdiri dari enam puluh orang, umumnya
terdiri dari para pedagang dan petani.[9]
Dalam bidang pendidikan K.H. Abdul Halim mulanya
menyelenggarakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang-orang dewasa.
Diikuti oleh empat puluh orang. Pada umumnya pelajaran-pelajaran yang K.H.
Abdul Halim berikan adalah pelajaran mengenai fiqh dan hadits. Ketika itu K.H.
Abdul Halim tidak hanya bergerak dibidang pendidikan saja tetapi juga bergerak
dibidang perdagangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hayatul Qulub tidaklah berlangsung lama. Persaingan
dengan para pedagang China yang terkadang membuat pertikaian adu mulut maupun
adu fisik sehingga dianggap oleh pemerintah sebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915
organisasi tersebut dilarang oleh pemerintah setelah tiga atau empat bergerak.
Tetapi kegiatan-kegiatannya tetap berjalan walaupun tidak diberi nama resmi
oleh pemerintah, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan kegiatan pendidikan
dilanjutkan dengan sebuah organisasi baru yang disebut Majlisul Ilmi.
Pada tahun 1916, tokoh-tokoh masyarakat dirasa perlu
mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat modern, dan didirikanlah
sebuah sekolah dengan nama Jam’iyat I’anat al-Muata’aalimin dengan mendapat
sambutan yang amat baik dari guru-guru lain di daerah tersebut. Tetapi sistem
berkelas dan koedukasi yang diintrodusir oleh K.H. Abdul Halim dalam lembaga
limat tahunnya itu kurang disukai. Kemudian K.H. Abdul Halim mendapat bantuan
yang diperoleh penghulu dan juga karena mundurnya pesantren di daerahnya,
sehingga dapat mengubah ketidaksenangan ini dan usahanya mulai disambut dengan
baik. Untuk memperbaiki mutu sekolahnya K.H. Abdul Halim mengadakan hubungan
dengan Jami’at Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. K.H. Abdul Halim mewajibkan
kepada murid-muridnya pada tingkatan yang lebih tinggi untuk memahami bahasa
Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.
K.H. Abdul Halim tidak semata-mata membatasi diri
pada bidang pendidikan. K.H. Abdul Halim juga membuka sebuah rumah anak yatim
yang diselenggarakan oleh Fathimiyah yang didirikan pada tahun 1930.
Perhatian dibidang ekonomi menceminkan dalam
kurikulum dari lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perserikatan Ulama yang bernama Santi Asrama. Lembaga ini didirikan
pada tahun 1932 disamping madrasah- madrasah biasa yang telah didirikan di
banyak tempat di daerah tersebut.
Pada tahun 1932, dalam suatu kongres Perserikatan
Ulama di Majalengka, K.H. Abdul Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan
yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan
kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan-pekerjaan tangan, perdagangan dan
pertanian yang bergantung pada bakat masing-masing.
3. Pengaruh didirikannya Persyarikatan
Ulama pada Sistem Pendidikan
Dengan didirikanya “Persyerikatan Ulama” di Indonesia, telah memberikan dampak yang besar bagi dunia pendidikan khususnya. Dengan pengalaman yang telah dimiliki K.H. Abdul Halim dalam mencari wawasan ilmu, maka tidak heran bila daya pikir beliau dalam mengembangkan sistem di Indonesia begitu besar.
Memulai merintis perubahan pembaharuan sistem pendidikan, dengan mendirikan banyak organisasi yang mana pada saat itu juga harus melawan keadaan atas koloni. Dengan pembaharuannya yang beliau terapkan dalam organisasi seperti, penghapusan sistem halaqoh, pengelompokan belajar (kelas), tidak hanya mendapat ilmu agama namun juga ilmu pengetahuan
umum, pengajaran keterampilan ini sangat berdampak pagi perkembangan pedidikan itu sendiri.
Kalau kita amati sekarang ini, banyak sekali organisasi pendidikan yang meniru metode-metode yang digunakan KH.Abdul Halim pada waktu itu. Madrasah-madrasah saat ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam kurikulumnya, tapi juga ilmu sosial, ilmu hitung dan ilmu bahasa juga didapatkan.
Kemudian mengenai pengajaran keterampilan bagi para santri waktu itu, juga sangat bermanfaat bagi santri setelah lulus karena tidak bingung akan dunia pekerjaan. Ini akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Sekarang ini banyak sekolah yang mengadakan program Full Day School dimana didalamnya terdapat materi keterampilan khusus.[10]
III.
KESIMPULAN
Persyarikatan Ulama merupakan
gerakan pembaharuan yang didirikan oleh KH. Abdul Halim pada tahun 1887 di Cibelerang, Majalengka, Jawa
Barat. Pada tahun 1911 KH. Abdul
Halim mendirikan Hayatul Qulub
yang bergerak di bidang pendidikan & di bidang ekonomi. Akhirnya setelah
empat tahun bergerak pada tahun 1915 organisasi Hayatul Qulub, ditutup oleh
Pemerintah akibat perkelahian dengan pedagang dari China.
Pada tahun 1916 KH. Abdul Halim mendirikan Majlisul ‘Ilmi yang berhubungan baik dengan
Jam’iat Khair & Al-Irsyad di Jakarta. Kemudian pada akhirnya tahun 1917 dibantu oleh H.O.S. Cokroaminoto
menjadi Persyarikatan Ulama.
Sistem
Pendidikan Persyarikatan Ulama ada dua tahap, yaitu Pertama,sistem alaqah atau sistem pendidikan tradisional, sistem
halaqah biasa disebut juga sistem weton, yaitu dimana para santri mengikuti
pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai di dalam ruangan dan kiai menjelaskan
materi dengan secara kuliah. Kedua,
sistem pendidikan modern yaitu model
pendidikan yang menggunakan kelas-kelas dengan menggunakan bangku dan meja yang terpimpin dan atau diorganisasi dalam bentuk perjenjangan kelas dandalam
jangka waktu.
Pengaruh didirikannya Persyarikatan Ulama pada
Sistem Pendidikan menambah wawasan ilmu
seperti ilmu agama, sosial,
hitung dan ilmu bahasa serta pengajaran keterampilan. Adanya perubahan pembaharuan sistem pendidikan tradisional ke modern, perlawanan terhadap koloni, kemudahan di dunia pekerjaan sehingga mengurangi jumlah pengangguran, dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Kajian Pustaka:
Zuhairini,
dkk., 1986, Sejarah
Pendidikan Islam. Cetakan
II, Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasaranadan Sarana Perguruan
Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam 1986.
Deliar Noer, 1982, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Muhlisin Ahmad, Tomy, dkk, 2014, Makalah Bidang Kepercayaan Jawa, Semarang.
Sa’adah, Zumrotus, dkk, 2014, Makalah Sejarah Pendidikan Islam dan Masa Kejayaannya, Semarang.
Dari Internet:
pendidikan.html.
http://wahidah01.blogspot.com/2009/04/halaqah-suatu-sistem-pembelajaran.html.
Untuk PPT dapat diupload di >>>>> https://docs.google.com/presentation/d/17SdgmuFCedovx1aeU4Qbo4SN2uaCH3ED67b8ZxXue5s/edit#slide=id.p18
Untuk PPT dapat diupload di >>>>> https://docs.google.com/presentation/d/17SdgmuFCedovx1aeU4Qbo4SN2uaCH3ED67b8ZxXue5s/edit#slide=id.p18
[1] Tomy Muhlisin Ahmad, dkk, Makalah Bidang Kepercayaan Jawa (Semarang,
2014), hlm. 1.
[2] Zumrotus Sa’adah, dkk, Makalah Sejarah Pendidikan Islam dan Masa Kejayaannya (Semarang, 2014), hlm. 2.
[3] Zuhairini, dkk., Sejarah
Pendidikan Islam (cetakan II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam 1986, 1986), hlm. 161-166.
[4] Zuhairini, dkk., Sejarah
Pendidikan Islam, hlm. 167.
[5] http://duniainformatikaindonesia.blogspot.com/2013/03/landasan-yuridis-sistem-pendidikan.html, diakses tanggal 21November 2014, pukul 19:56.
[6] Zuhairini, dkk., Sejarah
Pendidikan Islam, hlm. 167.
[7]
http://wahidah01.blogspot.com/2009/04/halaqah-suatu-sistem-pembelajaran.html, diakses tanggal 17 November 2014, pukul 12:22.
[8] Zuhairini, dkk., Sejarah
Pendidikan Islam, hlm. 167.
[9] Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar