Ayo Sinau...!!!

Kamis, 27 November 2014

Artikel Istilah-istilah dalam Shalat

ISTILAH-ISTILAH DALAM SHALAT

Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad



1.    Pengertian Shalat

Shalat menurut bahasa artinya do’a, atau do’a untuk kebaikan. Dikatakan “shalla shalatan”; ibadah khusus yang sudah dijelaskan batasan waktu dan tata caranya dalam syariat Islam.[1]
Sedangkan menurut syariat, shalat adalah sejumlah ucapan dan perbuatan khusus, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dinamakan shalat menurut pengertian syariat karena ia mengandung do’a.

2.    Dalil Persyariatannya

Shalat hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Adapun dalil dari Al-Qur’an antara lain:
Firman Allah SWT:
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Firman Allah SWT:
“Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.”
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman yang telah ditentukan waktunya”(QS. An-Nisa’: 3).

3.    Hukum Shalat
Shalat hukumnya fardhu ‘ain atas orang mukhllaf (akil, baligh). Anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun harus sudah diperintahkan shalat, dan dipukul ringan jika tidak mengerjakan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dengan tangan tidak dengan kayu sesuai sabda Rasulullah SAW:
“Perintahkan anak-anak kalian mengerjakan shalat ketika berumur sepuluh tahun, dan pukullah mereka ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka. (HR. Ahmad, Abu dawud, Hakim).
       Shalat yang diwajibkan ada lima waktu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thalhah bib Abaidillah ra., ia berkata: “ Seseorang datang dari penduduk Najd menemui Rasulullah, rambutnya kusut, kami mendengar ia bergumam, tetapi kami tidak dapat mendengar sampai ia mendekat kepada Rasulullah dan bertanya tentang Islam. Lalu Rasulullah menjawab, “ Shalat lima waktu sehari semalam.”  Ia bertanya, “Apakahb ada lagi selain itu?” Nabi menjawab, “Tidak, kecuali hanya sunnah.”(HR. Bukhari dan Muslim).[2]
4.    Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
       Kaum muslimin sepakat bahwa shalat wajib atas setiap muslim yang baligh, berakal, dan bersih. Artinya tidak haid atau nifas, tidak gila atau pingsan. Ia adalah ibadah jasmani yang tidak bisa digantikan, tidak boleh shalat seseorang menggantikan shalat orang lain sebagaimana ia tidak boleh menggantikan puasa orang lain
       Kaum muslimin sepakat bahwa siapa yang mengingkari kewajiban shalat ia adalah kafir, murtad karena kewajiban ini sudah ditetapkan dengan nash yang pasti dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ seperti yang sudah dijelaskan barang siapa yang meninggalkannya karena malas dan melalaikannya maka ia addalah fasiq dan berdosa, kecuali jika ia baru saja masuk Islam atau tidak bergaul dengan kaum muslimin dalam tempo yang sangat lama sehingga tidak sampai kepadanya wajibnya shalat.[3]
5.    Syarat Sah Shalat
       Syarat secara bahasa berarti tanda. Dan menurut syara’ adalah sesuatu yang dengan ketiadaannya mengakibatkan ketiadaan sesuatu yang lain, dan dengan ketiadaannya tidak harus mengakibatkan ada atau tidaknya sesuatu yang lain tersebbut.
Syarat bshalat adalah sesuatu yang jika mampu dilaksanakan tergantung kepadanya keabsahan shalat.
Pertama, masuk waktu shalat
     Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Penentuan waktu adalah pembatasan terhadap waktu.
Waktu-waktu shalat adalah sebagai berikut:
a.     Shalat Dzuhur, waktunya dimulai sejak tergelincirnya matahari.
b.    Shalat Ashar, waktunya dimulai sejak berakhirnya waktu dzuhur.
c.     Shalat Maghrib, waktunya dimulai sejak terbenamnya matahari.
d.    Shalat Isya’, waktunya dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib.
e.     Shalat Subuh, waktunya dimulai sejak terbitnya fajar yang kedua dan berlanjut sampai terbit matahari.
Kedua, Menutup Aurat
     Bagian tubuh yang harus ditutup, yang dianggap buruk dan memalukan kalau menampakkannya.
Ketiga, Menghindari Najis
     Maka ketika shalat, tubuh, pakaian dan tempat harus benar-benar bersih dari najis. Najis adalah kotoran tertentu yang menyebabkan shalat menjadi tidak sah. Diantaranya adalah bangkai, darah, minuman keras, kencing, dan kotoran makhluk hidup.
Keempat, Menghadap Kiblat
     Menhadap kiblat yaitu Ka’bah Musyarrafah, dinamakan kiblat karena manusia berkiblat kepadanya dan karena orang yang melaksanakan shalat menghadap kepadanya.
Kelima, Niat
     Niat termasuk rukun shalat, niat secara bahasa berarti tujuan. Dan menurut syara’ niat adalah tekad untuk melaksanakan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tempat niat adalah hati. Dan niat diisyaratkan untuk senantiasa berlanjut dalam shalat.
6.    Rukun-rukun Shalat
     Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, maka shalatnya tidak sah.
7.    Kewajiban-kewajiban Shalat
     Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan secara sengaja, namun shalatnya tidak batal tapi harus melakukan sujud sahwi sebagai gantinya.
8.    Sunnah-sunnah Shalat
     Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, maka shalatnya sah. Tapi mengurangi kesempurnaan shalat.
9.    Waktu yang didalamnya Dilarang untuk Shalat
Pertama, sejak terbinya fajar yang kedua(fajar shadiq) hingga terbitnya matahari.
Kedua, sejak terbinya matahari hingga naik setinggi tombak dalam pandangan mata.
Ketiga, ketika matahari tepat ditengah-tengah diatas langit hingga tergelincir.
Kelima, ketika matahari hampir tenggelam hingga tenggelam.
10.              Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjamaah
a.     Salah satu syiar yang agung dalam Islam.
b.    Fardhu bagi laki-laki baik ia sedang di rumah atau di perjalanan, baik dalam kondisi aman atau ketakutan.
c.     Ditetapkan bagi seorang muslim sejak awal periode Islam.
11.              Orang yang tidak Sah menjadi Imam
a.     Orang fasiq
b.    Orang yang tidak mampu ruku’, sujud, atau duduk untuk menjadi imam
c.     Orang terus menerus hadas
d.    Orang yang ummi[4]
12.              Hukum Tentang Shalat bagi Wanita
     Sebagaimana halnya laki-laki, ketentuan dan syarat-syarat shalat juga berlaku bagi wanita, anatara lain persyaratan baligh, berakal, suci dari hadas, masuk waktu, menutup aurat, bersih tubuh, pakaian, dan tempat, menghadap kiblat dan menentukan niat.
 a)    Hukum Shalat bagi Wanita Haid dan Nifas
     Wanita yang tengah haid dan nifas dilarang shalat, dan tidak dikenai kewajiban mengqadha’ shalat yang ditinggalkannya berdasarkan ijma’ ulama. Gugurnya qadha’ shalat bagi wanita haid dan nifas merupakan azimah karena ia dituntut untuk tidak mengerjakan shalat dan ketika ia tidak mengerjakannya, itu artinya ia melaksanakan perintah dan tidak perlu ada qadha’.
 b)   Hukum Shalat Berjamaah bagi Wanita
   Khusus bagi wanita, jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah, ulama Malikiyah, ulama Hanabilah, Zaidiyah, dan Zhahiriyah mengatakan pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah tidak wajib bagi wanita dengan dalil firman Allah SWT:
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah” (QS. An-Nur: 36-37).
Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda:
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama dari pada di kamarnya, dan shalatnya di kamar pribadinya lebih utama dari shalat di rumahnya[5]
c)    Posisi Wanita dalam Shalat
     Bagi wanita ia harus merapatkan tubuhnya ketika ruku’ dan sujud, dan duduk dengan kaki lurus atau keduanya diletakkan ke sebelah kanan. Karena wanita adalah aurat maka harus lebih dirapatkan agar lebih tertutup, sebab jika tidak, kawatir terlihat sesuatu dari auratnya ketika merenggangkan tangan dan duduk iftirasy
     Sedangakan bagi laki-laki, diriwayatkan dari Abdullah bun Malik bin Suhailah ra. bahwa Nabi SAW jika shalat merenggangkan antara kedua tangannya sehingga terlihat putih ketiaknya. (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukan anjuran merenggangkan kedua tangan dari kedua sisi ketika sujud dan inilah yang dinamakan takhwiyah yang disunnahkan bagi laki-laki.
     Abu Dawud juga melansir hadits dalam Al-Marasil dari Zaid bin Habib bahwa Nabi SAW melewati dua orang wanita yang sedang shalat, lalu beliau bersabda, “Jika kamu sujud, maka gabungkanlah sebagian daging ke bumikarena wanita tidak sama dengan laki-laki”(HR. Al-Baihaqi).[6]
d)   Menegur Wanita ketika Shalat
     Bolehnya bertasbih bagi laki-laki dan bertepuk tangan bagi wanita jika ada sesuatu yang terlupa. Yang dimaksud bertepuk tangan disini adalah (tashfiq) yaitu memukul bagian dalam telapak tangan kanan ke bagian telapak tangan kiri, bukan seperti tepuk tangan biasa untuk bersenang-senang atau hiburan. Jika ia melakukan hal ini maka ia shalatnya menjadi batal. Bertepuk hanya berlaku khusus bagi wanita karena suara wanita merupakan aurat, sehingga mereka tidak dibolehkan adzan, iqamat, dan membaca ayat dengan suara yang keras.[7]
e)     Hukum Menggendong Anak ketika Shalat
     Allah yang Maha Bijak memberi keringanan pada wanita untuk menggendong anaknya yang masih kecil ketika sedang shalat. Caranya, ia meletakkan jika ia ingin sujud dan menggendongnya kembali ketika ingin berdiri jika memang diperlukan.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah SAW. “Ketika sujud, beliau meletakkannya dan jika berdiri beliau menggendongnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad).
Perbuatan seperti ini dimaafkan dan tidak ada perbedaan shalat fardhu dan nafilah, sendirian, makmum, atau imam.[8]
Kitab Adz-Dzakhirah bahwa dalam menggendong anak dalam shlat fardhu, sujud dan ruku’ tidak sepatutnya dilakukan, namun jika tidak menyibukkan shalatnya maka tidak mengapa.ia mengatakan bahwa jika ia mengikat si anak di punggung sehingga tidak jatuh ketika sujud dan ruku’, tanpa meletakkan saat sujud dan ruku’ maupun mengangkatnya ketika berdiri maka hal ini boleh, dan ia tidak termasuk yang membatalkan shalat.
f)     Hukum Wanita menjadi Imam Shalat
     Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita tidak dibolehkan menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki, namun diperbolehkan ia mengimani bagi kaum wanita.
     Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad, dalam satu riwayat membolehkan. Sedangkan Imam Malik melarangnya.[9]
     Ulama Hanafiyah berpendapat, “Wanita tidak boleh mengimami kaum laki-laki sama sekali dan shalatnya dianggap tidak sah dan tidak boleh diikuti, namun ia boleh menjadi iman bagi wanita lain karena kedudukan mereka sama. Akan tetapi, shalat wanita shalat sendiri lebih utama karena jamaah mereka dihapuskan.”



[1] Lajnah min Kubbar Al-‘Ulama, Al-Mu’jam Al-Wajiz, (Cairo: Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 369.
[2] Nashb Ar-Rayah, Jilid I, hlm. 109.
[3] Ad-Durr Al-Mukhtar, Jilid I, hlm. 326.
[4] Attadhib
[5] Al-Qurthubi, Ahkam Al-Qur’an, jilid II, (Cairo: Dar Asy-Sya’ab, t.t.), hlm. 4671.
[6] Al-Mughni, Jilid I, hlm. 599.
[7] Nail Al-Authar, jilid 2, hlm. 365.
[8] Nail Al-Authar, jilid 2, hlm. 136.
[9] Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, Jilid I, hlm. 145.

Tidak ada komentar: