ISTILAH-ISTILAH DALAM SHALAT
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
1.
Pengertian
Shalat
Shalat
menurut bahasa artinya do’a, atau do’a untuk kebaikan. Dikatakan “shalla shalatan”; ibadah khusus yang sudah
dijelaskan batasan waktu dan tata caranya dalam syariat Islam.[1]
Sedangkan menurut
syariat, shalat adalah sejumlah ucapan dan perbuatan khusus, diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam. Dinamakan shalat menurut pengertian syariat
karena ia mengandung do’a.
2.
Dalil
Persyariatannya
Shalat
hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Adapun dalil dari
Al-Qur’an antara lain:
Firman Allah SWT:
”Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Firman Allah SWT:
“Maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah.
Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik
Penolong.”
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya
shalat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman yang telah ditentukan
waktunya”(QS. An-Nisa’: 3).
3.
Hukum
Shalat
Shalat hukumnya fardhu ‘ain
atas orang mukhllaf (akil, baligh). Anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun
harus sudah diperintahkan shalat, dan dipukul ringan jika tidak mengerjakan
ketika mereka berumur sepuluh tahun, dengan tangan tidak dengan kayu sesuai
sabda Rasulullah SAW:
“Perintahkan anak-anak kalian
mengerjakan shalat ketika berumur sepuluh tahun, dan pukullah mereka ketika
mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka. (HR.
Ahmad, Abu dawud, Hakim).
Shalat yang diwajibkan ada lima waktu, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Thalhah bib Abaidillah ra., ia berkata: “ Seseorang datang
dari penduduk Najd menemui Rasulullah, rambutnya kusut, kami mendengar ia
bergumam, tetapi kami tidak dapat mendengar sampai ia mendekat kepada
Rasulullah dan bertanya tentang Islam. Lalu Rasulullah menjawab, “ Shalat lima
waktu sehari semalam.” Ia bertanya,
“Apakahb ada lagi selain itu?” Nabi menjawab, “Tidak, kecuali hanya
sunnah.”(HR. Bukhari dan Muslim).[2]
4.
Hukum
Orang yang Meninggalkan Shalat
Kaum muslimin sepakat bahwa shalat wajib atas setiap muslim
yang baligh, berakal, dan bersih. Artinya tidak haid atau nifas, tidak gila
atau pingsan. Ia adalah ibadah jasmani yang tidak bisa digantikan, tidak boleh
shalat seseorang menggantikan shalat orang lain sebagaimana ia tidak boleh
menggantikan puasa orang lain
Kaum muslimin sepakat bahwa siapa yang mengingkari kewajiban
shalat ia adalah kafir, murtad karena kewajiban ini sudah ditetapkan dengan
nash yang pasti dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ seperti yang sudah dijelaskan
barang siapa yang meninggalkannya karena malas dan melalaikannya maka ia
addalah fasiq dan berdosa, kecuali jika ia baru saja masuk Islam atau tidak
bergaul dengan kaum muslimin dalam tempo yang sangat lama sehingga tidak sampai
kepadanya wajibnya shalat.[3]
5.
Syarat
Sah Shalat
Syarat secara bahasa berarti tanda. Dan
menurut syara’ adalah sesuatu yang dengan ketiadaannya mengakibatkan ketiadaan
sesuatu yang lain, dan dengan ketiadaannya tidak harus mengakibatkan ada atau
tidaknya sesuatu yang lain tersebbut.
Syarat
bshalat adalah sesuatu yang jika mampu dilaksanakan tergantung kepadanya
keabsahan shalat.
Pertama,
masuk waktu shalat
Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah
ditentukan. Penentuan waktu adalah pembatasan terhadap waktu.
Waktu-waktu shalat
adalah sebagai berikut:
a. Shalat
Dzuhur, waktunya dimulai sejak tergelincirnya matahari.
b. Shalat
Ashar, waktunya dimulai sejak berakhirnya waktu dzuhur.
c. Shalat
Maghrib, waktunya dimulai sejak terbenamnya matahari.
d. Shalat
Isya’, waktunya dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib.
e. Shalat
Subuh, waktunya dimulai sejak terbitnya fajar yang kedua dan berlanjut sampai
terbit matahari.
Kedua,
Menutup Aurat
Bagian tubuh yang harus ditutup, yang dianggap buruk dan
memalukan kalau menampakkannya.
Ketiga,
Menghindari Najis
Maka ketika shalat, tubuh, pakaian dan tempat harus benar-benar
bersih dari najis. Najis adalah kotoran tertentu yang menyebabkan shalat
menjadi tidak sah. Diantaranya adalah bangkai, darah, minuman keras, kencing,
dan kotoran makhluk hidup.
Keempat,
Menghadap Kiblat
Menhadap kiblat yaitu Ka’bah Musyarrafah, dinamakan kiblat
karena manusia berkiblat kepadanya dan karena orang yang melaksanakan shalat
menghadap kepadanya.
Kelima,
Niat
Niat termasuk rukun shalat, niat secara bahasa berarti tujuan.
Dan menurut syara’ niat adalah tekad untuk melaksanakan ibadah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Tempat niat adalah hati. Dan niat diisyaratkan
untuk senantiasa berlanjut dalam shalat.
6.
Rukun-rukun
Shalat
Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan, baik sengaja
maupun lupa, maka shalatnya tidak sah.
7.
Kewajiban-kewajiban
Shalat
Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan secara sengaja,
namun shalatnya tidak batal tapi harus melakukan sujud sahwi sebagai gantinya.
8.
Sunnah-sunnah
Shalat
Hal-hal yang jika sebagian darinya ditinggalkan, baik sengaja
maupun lupa, maka shalatnya sah. Tapi mengurangi kesempurnaan shalat.
9.
Waktu
yang didalamnya Dilarang untuk Shalat
Pertama,
sejak terbinya fajar yang
kedua(fajar shadiq) hingga terbitnya matahari.
Kedua,
sejak terbinya matahari hingga naik
setinggi tombak dalam pandangan mata.
Ketiga,
ketika matahari tepat
ditengah-tengah diatas langit hingga tergelincir.
Kelima,
ketika matahari hampir tenggelam
hingga tenggelam.
10.
Kewajiban
dan Keutamaan Shalat Berjamaah
a. Salah
satu syiar yang agung dalam Islam.
b. Fardhu
bagi laki-laki baik ia sedang di rumah atau di perjalanan, baik dalam kondisi
aman atau ketakutan.
c. Ditetapkan
bagi seorang muslim sejak awal periode Islam.
11.
Orang
yang tidak Sah menjadi Imam
a. Orang
fasiq
b. Orang
yang tidak mampu ruku’, sujud, atau duduk untuk menjadi imam
c. Orang
terus menerus hadas
d. Orang
yang ummi[4]
12.
Hukum
Tentang Shalat bagi Wanita
Sebagaimana halnya laki-laki, ketentuan dan syarat-syarat shalat
juga berlaku bagi wanita, anatara lain persyaratan baligh, berakal, suci dari
hadas, masuk waktu, menutup aurat, bersih tubuh, pakaian, dan tempat, menghadap
kiblat dan menentukan niat.
a)
Hukum
Shalat bagi Wanita Haid dan Nifas
Wanita yang tengah haid dan nifas dilarang shalat, dan tidak
dikenai kewajiban mengqadha’ shalat yang ditinggalkannya berdasarkan ijma’
ulama. Gugurnya qadha’ shalat bagi wanita haid dan nifas merupakan azimah
karena ia dituntut untuk tidak mengerjakan shalat dan ketika ia tidak
mengerjakannya, itu artinya ia melaksanakan perintah dan tidak perlu ada
qadha’.
b)
Hukum
Shalat Berjamaah bagi Wanita
Khusus bagi wanita, jumhur ulama dari ulama
Hanafiyah, ulama Syafi’iyah, ulama Malikiyah, ulama Hanabilah, Zaidiyah, dan
Zhahiriyah mengatakan pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah tidak
wajib bagi wanita dengan dalil firman Allah SWT:
“Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah” (QS. An-Nur: 36-37).
Abu Dawud meriwayatkan
hadits dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda:
“Shalatnya seorang wanita di rumahnya
lebih utama dari pada di kamarnya, dan shalatnya di kamar pribadinya lebih
utama dari shalat di rumahnya”[5]
c)
Posisi
Wanita dalam Shalat
Bagi wanita ia harus merapatkan tubuhnya ketika ruku’ dan sujud,
dan duduk dengan kaki lurus atau keduanya diletakkan ke sebelah kanan. Karena
wanita adalah aurat maka harus lebih dirapatkan agar lebih tertutup, sebab jika
tidak, kawatir terlihat sesuatu dari auratnya ketika merenggangkan tangan dan
duduk iftirasy
Sedangakan bagi laki-laki, diriwayatkan dari Abdullah bun Malik
bin Suhailah ra. bahwa Nabi SAW jika shalat merenggangkan antara kedua
tangannya sehingga terlihat putih ketiaknya. (HR. Bukhari). Hadits ini
menunjukan anjuran merenggangkan kedua tangan dari kedua sisi ketika sujud dan
inilah yang dinamakan takhwiyah yang
disunnahkan bagi laki-laki.
Abu Dawud juga melansir hadits dalam Al-Marasil dari Zaid bin Habib bahwa Nabi SAW melewati dua orang
wanita yang sedang shalat, lalu beliau bersabda, “Jika kamu sujud, maka gabungkanlah sebagian daging ke bumikarena wanita
tidak sama dengan laki-laki”(HR. Al-Baihaqi).[6]
d)
Menegur
Wanita ketika Shalat
Bolehnya bertasbih bagi laki-laki dan bertepuk tangan bagi
wanita jika ada sesuatu yang terlupa. Yang dimaksud bertepuk tangan disini
adalah (tashfiq) yaitu memukul bagian
dalam telapak tangan kanan ke bagian telapak tangan kiri, bukan seperti tepuk
tangan biasa untuk bersenang-senang atau hiburan. Jika ia melakukan hal ini
maka ia shalatnya menjadi batal. Bertepuk hanya berlaku khusus bagi wanita
karena suara wanita merupakan aurat, sehingga mereka tidak dibolehkan adzan,
iqamat, dan membaca ayat dengan suara yang keras.[7]
e)
Hukum Menggendong Anak ketika Shalat
Allah yang Maha Bijak memberi keringanan pada wanita untuk
menggendong anaknya yang masih kecil ketika sedang shalat. Caranya, ia
meletakkan jika ia ingin sujud dan menggendongnya kembali ketika ingin berdiri
jika memang diperlukan.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Rasulullah SAW melaksanakan
shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah SAW. “Ketika sujud, beliau meletakkannya dan jika
berdiri beliau menggendongnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
An-Nasa’i, dan Ahmad).
Perbuatan seperti ini
dimaafkan dan tidak ada perbedaan shalat fardhu dan nafilah, sendirian, makmum, atau imam.[8]
Kitab Adz-Dzakhirah bahwa dalam menggendong
anak dalam shlat fardhu, sujud dan ruku’ tidak sepatutnya dilakukan, namun jika
tidak menyibukkan shalatnya maka tidak mengapa.ia mengatakan bahwa jika ia
mengikat si anak di punggung sehingga tidak jatuh ketika sujud dan ruku’, tanpa
meletakkan saat sujud dan ruku’ maupun mengangkatnya ketika berdiri maka hal
ini boleh, dan ia tidak termasuk yang membatalkan shalat.
f)
Hukum
Wanita menjadi Imam Shalat
Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita tidak dibolehkan menjadi
imam shalat bagi kaum laki-laki, namun diperbolehkan ia mengimani bagi kaum
wanita.
Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad, dalam satu riwayat
membolehkan. Sedangkan Imam Malik melarangnya.[9]
Ulama Hanafiyah berpendapat, “Wanita tidak boleh mengimami kaum
laki-laki sama sekali dan shalatnya dianggap tidak sah dan tidak boleh diikuti,
namun ia boleh menjadi iman bagi wanita lain karena kedudukan mereka sama. Akan
tetapi, shalat wanita shalat sendiri lebih utama karena jamaah mereka
dihapuskan.”
[1] Lajnah
min Kubbar Al-‘Ulama, Al-Mu’jam Al-Wajiz,
(Cairo: Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 369.
[2] Nashb
Ar-Rayah, Jilid I, hlm. 109.
[3] Ad-Durr
Al-Mukhtar, Jilid I, hlm. 326.
[4] Attadhib
[5] Al-Qurthubi,
Ahkam Al-Qur’an, jilid II, (Cairo:
Dar Asy-Sya’ab, t.t.), hlm. 4671.
[6]
Al-Mughni, Jilid I, hlm. 599.
[7] Nail
Al-Authar, jilid 2, hlm. 365.
[8] Nail
Al-Authar, jilid 2, hlm. 136.
[9] Ibnu
Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, Jilid I,
hlm. 145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar