SYARIAT, THARIKAT, HAKIKAT, & MA’RIFAT
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam
yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam.spiritualitas ini dapat
mengambil bentukyang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia ,
tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya .
Dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih
menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya ,dalam kaitannya dengan
pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan kehidupan akhirrat ketimbang kehidupan
dunia yang fana, sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih
menekankan aspek esoterik ketimbang eksoterok, lebih menekankan penafsiran
batini ketimbang penafsiran lahiriah. Tasawuf dalam arti sikap rohani takwa
yang selalu ingin dekat dengan Allah SWT., dihubungkan dengan arti syari’at
dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, baik
hablum minallah, hablum minannas, maupun hablum minal ‘alam, mempunyai hubungan
yang sangat erat dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Untuk
mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat dalam arti hakiki harus sepadan, simultan
dengan tujuan tasawuf, yaitu melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh
tauhid yang haqqul yaqin dan makrifatullah yang tahqiq.
Tariqat adalah pengamalan syariat,
melaksanakan beban ibadah ( dengan tekun ) dan menjauhkan ( diri ) dari ( sikap )
mempermudah ( ibadah ), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah. Dan
tareqat merupakan jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keIslaman dengan berbagai
pembagian di dalamnya, yaitu tasawuf akhlaki dan tasawuf falsafi.Tahapan
tasawuf yaitu syariat, tarekat,ma’rifat, dan hakikat. Dan di sini kita akan
membahas mengenai pengertian hakikat, syaria, tarikat, ma’rifat.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud syariat ?
2.
Apa yang dimaksud tarekat ?
3.
Apa yang dimaksud hakikat ?
4.
Apa yang dimaksud ma’rifat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SYARIAT
Hubungan
Syari’ah dan Tasawuf
Tasawuf
dalam arti sikap rohani takwa yang selalu ingin dekat dengan Allah SWT.,
dihubungkan dengan arti syari’at dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek
hidup dan kehidupan manusia, baik hablum minallah, hablum minannas, maupun
hablum minal ‘alam, mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mengisi
antara satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat
dalam arti hakiki harus sepadan, simultan dengan tujuan tasawuf, yaitu
melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yaqin dan
makrifatullah yang tahqiq.
Untuk
mencapai tujuan tasawuf dalam artian ini, maka seluruh aktifitas syari’at harus
digerakkan, dimotivasi, didasarkan dan dijiwai oleh hati nurani yang ikhlas
lillahi ta’ala untuk memperoleh ridla Allah dan kemaslahatan umat yang menjadi
tujuan syari’at. Setelah itu, memperkokoh dan mentahqiqkan tauhid makrifatullah
sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an, yang artinya:
“dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahku.”(Q.S. adz-Dzariyat:51-56) “tasawuf
adalah jiwa yang memberi power kepada syari’at, sedangkan syari’at adalah power
itu.”
Syari’at
dilaksankan oleh anggota dzahir manusia yang mengadakan dan membuka hubungan
dengan Allah SWT., sedangkan powernya melalui rohani batin yang datang langsung
dari Allah SWT. Ibarat listrik, kabel adalah syari’at-syari’at lahirnya,
sedangkan setrum adalah power melewati kabel yang bersumber dari central
dynamo. Power itu adalah wasilah dari Allah SWT. melalui Arwahul Muqaddasah
Rasulullah SAW. terus bersambung, berantai melalui ahli silsilah, sejak dari
Nabi Muhammad SAW., kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq sampai Syekh Mursyid
terakhir.
Para ahli silsilah atau Syekh Mursid itu, bukan perantara, tetapi wasilah
carrier, hamilul wasilah, pembawa wasilah. Orang sufi bukanlah manusia akhirat
saja, tetapi juga manusia dunia. Dia harus memenuhi fitrahnya. Terutama untuk
tercapainya tujuan syari’at Islam, yaitu agama, jiwa, akal,harta dan keturunan.
Imam
Malik RA, berkata: “barang siapa bersyari’at saja tanpa bertasawuf, niscaya dia
berkelakuan fasik. Dan barang siapa bertasawuf tanpa bersyari’at, niscaya dia
berkelakuan zindik. Dan barangsiapa yang melakukan kedua - duanya, maka
sesungguhnya dia adalah golongan Islam yang hakiki.”
Imam Ali ad-Daqqaq mengatakan: “perlu diketahui bahwa sesungguhnya syari’at itu adalah hakikat.
Bahwa sesungguhnya syari’at itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah
SWT. Demikian juga hakikat adalah syari’at untuk mengenal Allah. Hakikat itu
wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah.”(al-Qusyayri: 412)
Dengan
demikian, integrasi tasawuf dan syari’at menjadi syarat mutlak bagi
kesempurnaan seorang muslim. Syari’at merupakan elaborasi dari kelima pilar Islam,
sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran ihsan,
“an-ta’budallaaha ka-annaka tarah, fa-in-lam takun tarah, fa-innahu yarak.”
Implikasinya, jika dalam syari’at diwajibkan thaharah sebelum melaksanakan
ibadah, maka untuk mampu menembus penglihatan Tuhan, tasawuf mewajibkan
penyucian diri melalui pintu taubat.
Kehadiran
tasawuf mampu memicu ats-Tsaurah ar-Ruhiyyah dan menjadi spirit bagi pelakunya.
Sebaliknya, syari’at ibarat jalan yang akan dilalui oleh sufi dalam berevolusi.
Apabila terlalu banyak hambatan dan lubangannya, jangan harap akan sampai pada
terminal akhir.
B.
TAREKAT
Pengertian
Tarekat
Asal
kata “tarekat” dalam bahsa Arab ialah “thariqah” yang berarti jalan, keadaan,
aliran, atau garis pada sesuatu.Tarekat
adalah jalan yanng ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan
disebut thariq. Kata turunan ini menunjukan bahwa menurut anggapan para sufi,
pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum
Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim.
Tak
mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman
mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak
ditaati terlebih dahulu dengan seksama.
Menurut
Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang
berturut-turut disebutkan:
ا لطر يقة هي ا لعمل با الشر يعة و ا لاخذ بعزا
ئعها و ا لبعد عن ا لتسا هل
فيما لا ينبغي ا لتسا هل فيه
Artinya:
“Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah (
dengan tekun ) dan menjauhkan ( diri ) dari ( sikap ) mempermudah ( ibadah ),
yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah”
االطر يقة هي ا
جتنا ب ا لمنهيا ت ظا هرا و با طنا وا متثا ل ا لا وا مر ا لا لهية
بقد ر ا لطا قة
Artinya:
“Tariqat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan
sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan yang nyata maupun yang tidak
(
batin ).”
الطر يقة هي ا جتنا ب ا محر ما ت و ا لمكرو ها ت
و فضو ل ا لمبا حا ت
و ا دا ء ا لفرا ئض فما ا ستطا ع من ا لنوا فل
تحت ر عا ية عا ر ف من ا هل ا لنها ية
Artinya:
“Tariqat adalah meninggalkan yang haram dan makruh,
memperhatikan hal-hal mubah ( yang sifatnya mengandung ) fadilah, menunaikan
hal - hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan
(
pelaksanaan ) di bawah bimbingan seorang arif ( Syekh ) dan ( Sufi ) yang
mencita-citakaan dengan suatu tujuan.”
Hubungan
Tariqat Dengan Tasawuf
Dalam
ilmu tasawuf istilah tarikat tidak saja ditunjukan kepada aturan dan cara-cara
tertentu yang ditunjukan oleh seorang syaih tariqat (mursyid) dan bukan pula
terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syaih tariqat , tetapi
meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam, seperti halnya
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Ajaran tersebut merupakan jalan
atau cara mendekatkan diri kepada Allah.
Di
dalam tariqat yang sudah melembaga, tariqat mencakup semua aspek ajaran Islam
seperti shalat, puasa, zakat, jihad, haji, dan sebagainya, telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha
unuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian
rohani dan memperbanyak ibadah. Dan ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh
untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tariqat yang sebenarnya,
dengan demikian bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah,
sedangkan tariqat adalah cara atau jalan yang ditempuh seorang dalam usaha mendekatkan
diri kepada Allah.
Sejarah
Timbulnya Tariqat
Ditinjau
dari segi historisnya, kapan dan tariqat mana yang mula-mula timbul sebagai
suatu lembaga, sulit diketahui dengan
pasti , namun De. Kamil Musthafa Asy-syibi dalam tasisnya mengungkapkan tokoh
pertama yang memperkenalkan sistem tariqat syaih Abdul Qasiir al-Zailani ( 561
M-1166 H ) di Bagdag, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di mesir denagan tariqat
Rifa’iyyaah, dan Jalal ad-din ar-rumi (672 H-1273 M) di Parsi.
Pada
awal kemunculannya, tariqat berkembang dari dua daerah yaitu, Khusaran ( Iran )
dan Mesopotamia ( Irak ) pada periode
ini mulai timbul beberapa diantara tariqat Yasafiyah yang didirikan oleh
Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani.
(
9617 H.1220 M ) tariqat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhamad Badauddin
an-Naqsabandi al-Awisi al-Bukhari ( 1389 M ) di Turkistan, tariqat Khalwatiyah
yang didirikan oleh Umar al-Khalwati
(1397 M ).
Aliran-aliran
Tariqat Dalam Islam
1. Tariqat
Qadiriyah, yang didirikan oleh Muhy Ad-Din abd al-Qadir al-Jailani ( 471 h/1078
M
2. Tariqat
Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili ( 593- 656 H/
1196-1258 M )
3. Tariqat
Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Baharuddin an-Naqsabandi
al-Asisial-Bukhari (1389 M ) di Turkistan.
4. Tariqat
Yasafiyah dan Khawajaqawiyah, tariqat Yasafiah didirikan oleh Ahmad al-Yasafi (
562 H/1169 M ) sedangkan Khawajaqawiyah didirikan oleh Abd al-Khaliq
al-Ghuzdawani ( 617 H/1220 M )
5. Tariqat
Khalwatiyah yang didirikan oleh
al-Khalwati ( 1397 M )
6. Tariqat
Syatariyah yang didirikan oleh Abdullah bin Syatar ( 1485 ) di India
7. Tariqat
Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’i ( 1106-1182 )
8. Tariqat
Qadiriyah Wa Naqsabandiyah yang didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang
bermukim dan mengajar di Mekah pada pertengahan
abad ke-19
9. Tariqat
Summaniyah yang didirkan oleh Muhammad bin Abd al-Karim al-Madani Asy-Syafi’i
as-Samman ( 1130-1189/1718-1775 )
10. Tariqat
Tijaniah yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhamad at-Tijani ( 11501230
H/1737-1815 M ).
11. Tariqat
Chistiyah yang didirikan oleh Khwajah Mu’in Ad-Din Hasan
12. Tariqat
Mawlawiyah, yang didirikan oleh Syekh al-Kabir Gelminski
13. Tariqat
Ni’matullah yang didirikan oleh Syaih Ni’matullah
14. Tariqat Sanusiyah
yang didirikan oleh Sayyid Muhammad bin
Ali as-Sanusi.
C.
HAKIKAT
Para sufi
menyebut diri mereka ahl al haqiqah. Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka
terhadap kebenaran yang hakiki. Karena itu, mudah dipahami kalau mereka
menyebut Tuhan dengan “al-haqq,” seperti yang tercermin dalam ungkapan al
Hallaj, “ana al Haqq” (aku adalah Tuhan). Obsesi penafsiran mereka terhadap
formula “la ilaha illa Allah” yang mereka artikan “tidak ada realitas yang
sejati kecuali Allah.”
Bagi mereka
Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, keberadaan
yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidaklah hakiki, atau nisbi,
dalam arti tergantung pada kemurahan Tuhan. Dialah yang Awal dan yang Akhir,
yang Lahir dan yang Batin, penyebab dari segala yang ada dan tujuan akhir,
tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada
kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi di
dalam kegelapan tersebut. Dia jualah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia
menyembul dari persembunyiannnya yang panjang.
Al-Qur’an
menggambarkan Tuhan sebagai “al-Awwal” dan “al-Akhir”, “al Zahir”, dan “al
Batin”. Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau prinsip atau asal dari
segala yang ada. Dialah causa prima, sebab pertama dari segala yang ada/
maujudad di dunia ini. Dia yang akhir diartikan sebagai tujuan akhir atau
tempat kembali dari segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia. Dialah
pulau harapan kamana bahtera kehidupan manusia berlayar. Inilah tujuan akhir
sang sufi mengorientasikan seluruh eksitensinya.
D.
MA’RIFAT
Pengertian dan
Tanda Ma’rifat
Dari segi bahasa, Ma’rifah berasal dari
kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui
atau pengalaman.
Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di
sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya
oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.
Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu
pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ قَلْبِ بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ
الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
“Ma’rifah adalah ketepatan
hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang wajib adanya (Allah) yang
menggambarkan segala kesempurnaan.”
b.
Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy
mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ
طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah
(pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
c.
Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur
Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
اْلْمَعْرِفَةُ
يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ،
فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati,
sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang
siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf
dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan
ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun
Al-Mishri yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila
sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.
Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam
segala sikap dan prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.
Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang
berdasarkan fakta yang bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c.
Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak
buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari
sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang
mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan
ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal
mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Hakikat Ma’rifat
Ada segolongan
orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka mengemukakan
paham-pahamnya antara lain:
1.
Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari
manusia terbuka, maka mata kepalanya tertutup, dan waktu inilah yang dilihat
hanya Allah.
2.
Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang yang
arif melihat ke arah cermin maka apa yang dilihatnya hanya Allah.
3.
Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang
dilihat hanyalah Allah SWT.
4.
Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua
orang yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan
yang gilang-gemilang.
”Akan
tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifah adalh pengetahuan Sufi. Ia dapat
mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifah). Sehingga ma’rifah hanya dapat diperoleh
pada kaum Sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui hati
sanubarinya. Disamping itu juga mereka mereka didalam hatinya penuh dengan cahaya.
Untuk memperoleh “Ma’rifah” tentang Tuhan, Zunun
Al-Misrilah mengatakan:
عَرَفْتُ رَبّى وَلَوْلاَرَبّى لَماَ عَرَفْتُ
رَبّىِ
Artinya:
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan
sekitarnya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifat itu
ada tiga:
1.
Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya
wara’nya.
2.
Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat
merusak lahiriah hukum.
3.
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah
kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal
yang diharamkan oleh Allah.
Jalan Ma’rifat
Menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1.
Qalb ( اَلْقَلْبُ
) fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan.
2.
Ruh (اَلرُّحُ
) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3.
Sir ( اَلسِّرُّ
) fungsinya untuk melihat Tuhan.
Kedudukan Sir lebih halus dari Ruh dan Qalb.
Dan ruh lebih halus qalb. Qalb di samping sebagai alat untuk merasa juga
sebagai alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan aql ialah kalau ‘aql tidak
dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat mengetahui
Hakikat dari segala yang ada dan
manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan.
Posisi Sir ( اَلسِّرُّ
)bertempat di dalam Ruh. Dan ruh ( اَلرُّوْحُ
)sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari
Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu
apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada
mereka (Sufi). Dan sebaliknya mereka yang melakukannya ( orang Sufi ) yang
dilihat hanyalah Allah SWT.
Pada kedudukan diatas ia (orang Sufi) telah
berada pada tingkat “Ma’rifah”. Sifat dari Ma’rifah Tuhan bagi seorang Sufi
adalah kontinyu (terus menerus). Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan,
semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga orang
Sufi semakin dengan Tuhan. Namun untuk memperoleh ma’rifah yang penuh tentang
Tuhan mustahil, sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak
terbatas.
Disamping itu, proses sampainya qalb pada
cahaya tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli yaitu mengosongkan diri sari akhlak tercela dan perbuatan maksiat
melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan
akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan Tajalli adalah tersingkapnya hijab
(penutup) sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.
Macam-macam Ma’rifat
Secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi
kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifat
Laduniah.
1.
Ma’rifat
Ta’limiyat
Ma’rifat Ya’limiyat
merupakan istilah lain Ma’rifat yang di lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di
depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu.
ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang
berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan.
Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena
itu Ma’rifat ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang
biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
Di sisi teori yang lain
Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat orang salik Pada mulanya
salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya,
kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam
-Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat,
dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut
asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa
asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang Agung, yang sesuai
dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama.
Karena itu, adannya alam semesta menujukan adanya nama-nama Tuhan, nama-nama
Tuhan itu menujukan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada hubungannya dengan
Dzat-Nya, Ilmu-Nya, kekerasan. Keagungan-Nya dan tiada batasnya. Sifat-sifat
tersebut itu selalu berdiri sendiri dan bergantung pada Dzat-Nya sebab tidak
mungkin kalau ada sifat tetapi tidak ada yang disifati. Adapun yang disifati
dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama itu
disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya : “Serulah Allah atau Rahman. Mana saja nama Tuhan yang
kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang baik”. (Q.S. Al-Isra’:
110)
Ma’rifat ta’limiyat
secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara
mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya salik (muta’alim) memerlukan metode
untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi
murid untuk melakukan proses perjalanan ruhani (suluk) dalam tarekat sufi
secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang
secara langsung mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak
langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in
sampai ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
Adapun Arifubillah
Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk), ialah
mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari
maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan taat
lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud mendapat
ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia
Allah, arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain, sehingga
salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk
Allah semata. Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang
dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan
mengalami keyakian dekat dengan Tuhan. Firman Allah:
فَاْسلُكِى سُبُلَ َرّبِكَ ذُللاًّ
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan bagimu.
Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan
sapai kepada Tuhan”.
Kearah menempuh tujuan
itu, salik (muta’alim) menempuh bermacam-macam cara yang dapat membawa meraka
yang pada akhirnya sampai pada hadirat Allah :al-Ghazali menyebutkan cara
tersebut berupa Penyucian jiwa (tazkiyat an-nafs) artinya sesorang harus
melakukan penyucian jiwa terlebih dahulu. Perolehan Ma’rifat yang
merupakan hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus terlebih dahulu dengan
metode mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki stasiun demi stasiun menuju
Tuhan, salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir dapat dipastikan bahwa telah
memperoleh jiwa yang bersih dari segala kejahatan dan dosa, yang diakibatkan
dari akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti ini akan bercahaya dengan segala sifat
yang terpuji sehingga dapat menangkap gambar suatu informasi atau pengetahuan
yang tertera di lauh al-Mahfudh, yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya
dalam kondisi Ma’rifat.
Adapun fase-fase yang
harus ditempuh kerah mencapai hakikat, salik (muta’alim) dapat melakukan
amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase :
Fase 1. Disebut dengan
murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal ibadat yang dipardukan
dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.
Fase 2. disebut amal batin
atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari
maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal
yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu
merupakan amal qalb (hati). Setelah hati dan ruhani telah bersir dan diisi
dengan amalan batin (dzikir), maka pada fase ini salik didatangkan nur dari
Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
Fase 3. disebut murhalah
riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri. Maksud dari dari pada
mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin untuk menambah kuatnya
kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu
duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci, Imam ghazali mengumpamakan seperti kaca
cermin yang dapat menangkap sesuatu apapun yang bersifat suci, sehgingga salih
dapat menerima informasi hakiki tentang Allah.
Fase 4. disebut murhalah “fana
kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada martabat menyaksikan langsung
yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini,
sebagai puncak segala perjalanan, maka didatangkan nur yang dinamakan “nur
kehadiran”
2.
Ma’rifat Laduniyah
Ma’rifat laduniyah
yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal
kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci,
kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya. Ibnu
‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan
Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu
‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan
kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifat Laduniyah. Lebih jauh,
kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga
akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh
Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara
(wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh
ilmu pengetahuan –seperti talqin dari - sufi.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat
talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan.
Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim
yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni,
belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al
Bistami bahwa “Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mahdjub) jika
seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena seseorang
yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan
apabila ia lupa, maka bodohlah ia ”Seorang yang ‘alim (ma’rifat laduniyah)
adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang
dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan pelajaran. Orang seperti ini
pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai ‘alim ar-Rabani -orang yang
berpengetahuan ketuhanan-. Dengan demikian Ma’rifat laduniyah juga dapat
disebut Ma’rifat orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang
yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung
dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat
sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف
: 65
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang
telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifat laduniyah
tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang
dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Ilmu
ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya,
menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya. Hal ini mirip dengan
teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih murni dari pada ilmu yang
telah digelar di alam raya, namun kedunya persis sama, seperti halnya naskah
asli dengan duplikatnya atau fotokopinya. Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani,
‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat dicapai oleh para sufi dalam
keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh
para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah. Oleh karena itu, para
sufi tidak tertelan belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara
radikal terhadap kenyataan alamiyah seperti halnya ilmuwan. Para sufi
menginginkan jalan pintas untuk memperoleh sumber asli dari segala ilmu
yang tersurat di lauh mahfudz. Penghayatan Kasf dan Zauq itu berada dalam kondisi
Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang erat dengan musyahadah dan
mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran Tasawuf, yang pada garis
besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu semata-mata untuk memasuki
hadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau hadharah Rububiyah (hadirat
ketuhanan), akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat lebih signifikan karena
keberadaan musyahadah dan mukasyafah bergantung pada Ma’rifat dan dengan
Ma’rifat pula, ilmu laduni ikut menyertainya.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah
mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ
الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut
kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan
(mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke
Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah
tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati
seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian kepadamu mengenai
kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan Ibadah. Ibadah
yang dilakukan dengan anggota lahir sebagai persaksian mengenai keagungan
dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari
sifat-sifat ke-Esaan-Nya”.
Manfaat Ma’rifat
Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya
kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah).
Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja sekolahtinggi, luaspengetahuan, gelarprestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Allah.
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal
Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal
Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan
hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan
bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara,
terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laakhaufun 'alaihim walahum yah zanuun.
Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita
dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang
yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan
senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan
taatkepadaAllah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama,Hidup selalu berada di jalan yang
benar (ontherighttrack).
Kedua,memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
Ketiga, Allah akan
mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan
ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
Keempat,seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan
mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis
akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan.
Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki
harapan.
Kelima, seorang ahli
ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT
akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan
memiliki kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu ada
dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan
dituntun untuk melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang ahli
ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan
yang diambilnya selalu tepat.
Kemampuan
Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia dengan sempurna
yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian
manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian
Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai power untuk menghidupkan
seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu pengetahuan atau
untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan hal-hal
yang irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat
merealisasikan secara indrawi tanpa mempertimbangkan pernghalangnya. Dari semua
anggota tubuh manusia hanya Hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari
Allah yang maha kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua
aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang
menggerakkan.
Tokoh Ma’rifat
Dalam
litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat,
yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.
Al-Gazali
mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang
sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan
itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci
Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri
hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat, sesudah bertahun-tahun
lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri, karena dia tetap
beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi persoalannya
ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu kepada
khayalak ramai.
Sesudah
mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya
untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup pertualangan yang berjalan 10
tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal
untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap
hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak dan cinta
keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku
bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena
mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa mengingat
Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan
desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran
berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan
suasana hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala
arah yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang
kembali”.
Hatinya
sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia
pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan
datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk,
putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara pulang ke
Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Pada
499 H = 1105 M, Al-gazali pulang kembali ke Niesabur dengan hati yang penuh
bangga sebagai seorang pahlawan yang gagah yang pulang dangan kemenangan dari
suatu pertempuran terhadap kepulangannya ini, dikatakan oleh H.K. Sherwani: “Malik
Shah was Succeeded by his youngest son, mahmud, was in turn succeeded by his
eldest by brother barqijaruq, while another of Malik Shahs son, Sanjar,
gevernor of Khorrasan, made Nizamul Mulk’s son Fakru’l Mulk his shief minister,
and he, true to tradition of his illustrious melalui jalan yang aneh-aneh.
Dikatakan bahwa waktu Rabiah menghadapi maut, ia minta teman-temannya
meninggalkannya, dan ia menyilakan pada para utusan Tuhan lewat. Waktu
teman-teman itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadah,
dan ada suara yang menjawab, “Sukma, tenanglah kembalilah kepada Tuhanmu,
legakan hatimu pada-Nya, ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya”.
Diantara
doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah ada doa yang dipanjatkannya pada
waktu larut malam, diatas atap rumahnya. “Tuhanku, bintang-bintang bersinar
gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya,
tiap orang yang bercinta sedang asyik masuk dengan kesayangannya, dan di
sinilah aku sendirian bersama Engkau.”
Doa
lain : “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah
diriku di dalamnya. Bila aku menyembahmu-Mu karena harap akan surga jauhkanlah
aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau maka janganlah Kau
tutup Keindahan Abadi-Mu.
Adapun
Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak diantara Sudan
dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun 246H/865M. Menurut
Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan, yaitu
mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan takut terpalingkan
dari jalan yang benar. Dalam
sebuah hikayat, Dzunnun terkenal sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta
mustajab do’anya. Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul
ketika terjadi sebuah peristiwa yang menunjukkan karomah yang dimilikinya. Pada
saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga yang
mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun berdoa dan
memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan melalui
ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal kemudian
menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam
sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu tinggi.
Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik manusia biasa.
Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah tingkatan
yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini mengakui adanya
Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua tingkatan Teolog
atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan pertimbangan empiris
dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam penyingkapan bathin.
Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi didalam kema’rifatan,
yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan melalui sanubarinya.
Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan mengetahui ciri-cirinya
yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam
tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau rasa takut
kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari segalanya.
Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk dicintainya bahkan
masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari pada berpisah dari
sang khaliq. Dalam berbagai pandang yang disampaikan, Dzunnun ternyata banyak
membawa dampak dan inspirasi bagi ulama’ sesudahnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf
dalam arti sikap rohani takwa yang selalu ingin dekat dengan Allah SWT.,
dihubungkan dengan arti syari’at dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek
hidup dan kehidupan manusia, baik hablum minallah, hablum minannas, maupun
hablum minal ‘alam, mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mengisi
antara satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat
dalam arti hakiki harus sepadan, simultan dengan tujuan tasawuf, yaitu
melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yaqin dan
makrifatullah yang tahqiq.
Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan
beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah
(ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah. Dan tareqat merupakan
jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
Hubungan
tasawuf dengan tareqat yaitu, tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada
Allah, sedangkan tariqat adalah cara atau jalan yang ditempuh seorang dalam
usaha mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun sejarah timbulnya tareqat, Harun
Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali memenghalalkan tasawuf yang
sebelumnya yang dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia Islam, melalui
tarikat. Tariqat adalah organisasi dari pengikut-pengikut sufyn besar, yang
bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya, tariqat memakai
suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat, ini merupakan tempat
murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya.
Para
sufi menyebut diri mereka ahl al haqiqah. Penyebutan ini mencerminkan obsesi
mereka terhadap kebenaran yang hakiki. Karena itu, mudah dipahami kalau mereka
menyebut Tuhan dengan “al-haqq,” seperti yang tercermin dalam ungkapan al
Hallaj, “ana al Haqq” (aku adalah Tuhan). Obsesi penafsiran mereka terhadap
formula “la ilaha illa Allah” yang mereka artikan “tidak ada realitas yang
sejati kecuali Allah.”
Ma’rifah berasal dari
kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui
atau pengalaman. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka
istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu
maqam dalam tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. 2000, Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka
Setia
Hasan F Abdillah. 2004. Tokoh-tokoh Masyhur
Dunia Islam. Surabaya: Jawara.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama
dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Imam
al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,
Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr,t.t.
Makluf, Luis. 1986, Al-Munjid
Fi Al-Lughat Wa Al-A’lam. Bairut: Dar Al-Masyrik
Mustafa,
Ahmad. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Mustofa, A. 2007, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Mustofa, A. 2010, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Harun. 1986, Perkembangan Tasawuf Di Dunia Islam.
Jakarta: Depag RI
Renard,
John. 2006. Mencari Tuhan Menyelam ke Dalam Samudra Makrifat. Bandung:
Mizan.
Schimel, Annemarie. 1986, Dimesti Mistik Dalam Islam.
Jakarta: Pustaka Firdaus
Solihin, M. 2008, Ilmu
Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Tebba,
Sudirman. 2006. Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual. Jakarta:
Pustaka Irvan.
Tim
penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Studi al-Qur’an. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel.
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya
Agung.
Luis Makluf, Al-Munjid
fi Al-Lughat wa Al-A’lam ( Bairut: Dar Al-Masyriq, 1986 ), hal.465.
M. Solihin, Ilmu
Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008 ), hal.203.
Annemarie
Schimel, Dimensi Mistik dalam islam ( jakarta: Pustaka Firdaus, 1986 ),
hal.101.
A. Mustofa, Akhlak
Tasawuf ( Bandung: Pustaka Setia, 2007 ),hal.280.
A. Mustofa, Akhlak
Tasawufhlm.280-281.
Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi, Pengantar Ilmu Tasawuf ( Sumatra Utara,
1981/1982 ),hal.273.
M. Solihin, Ilmu
Tasawuf, hlm.207.
Harun Nasution,
Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam,hlm.24.
Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000 ), hal.167.
Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, hlm.168.
M. Solihin, Ilmu
Tasawuf,hlm.217-218.
Tim
penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi al-Qur’an, (Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 303.
Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, hlm. 254.
Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, (Jakarata:
Pustaka Irvan: 2006), hlm. 161.
Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual,hlm. 162.
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi al-Qur’an, hlm.
306-307.
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi al-Qur’an, hlm. 309.
Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, hlm. 271.
Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara,
2004), hlm. 137.
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi al-Qur’an, hlm. 310.
Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam, hlm. 137-138.