LAPORAN PENELITIAN
NYEWU
SEBAGAI MEDIA
SILATURAHIM DAN SEDEKAH DI
DESA PERBOTO
Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
I. Sistematika
Penelitian
A. Judul
Nyewu sebagai media
silaturahim dan sedekah di
desa Perboto
B. Latar Belakang
Banyak
sekali tradisi di Indonesia khususnya di pulau Jawa yang masih sampai saat ini
terus dilestarikan, namun tidak sedikit budaya anak muda sekarang lebih
meninggalkan tradisi-tradisi yang telah dibuat nenek moyangnya. Mereka lebih
menyukai budaya-budaya Barat yang tanpa adanya nilai-nilai luhur dan kesopanan
sesuai jati diri bangsa.
Tradisi-tradisi memanglah tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa yang sejak nenek moyang
menciptakannya sampai turun temurun tetap dilakukan dan dilestarikan oleh
masyarakat Jawa. Adanya suatu keunikan yang terdapat di pulau Jawa karena diberbagai
daerah memiliki tradisi-tradisi atau ritual-ritual yang berbeda-beda dengan
ciri khas masing-masing daerah.
Semua itu tidak terlepas dari peran para Walisongo yang
telah mengakulturasikan antara budaya Jawa dengan Islam yang sebelumnya telah
masuk agama Hindu-Budha di daerah Jawa. Para Walisongo tidak begitu saja menghilangkan
budaya Jawa yang telah ada sejak berabad-abad lamanya dalam dakwahnya, para Walisongo
dalam menyebarkan agama Islam lebih memilih melalui pendekan cultural atau tradisi-tradisi yang sudah
ada. Sehingga masyarakat Jawa melihat kedatangan Islam tidak terlihat kaku dan
membuat para Walisongo mudah mengambil hati masyarakat Jawa.
Para Walisongo dalam mengakulturasi budaya Jawa tidaklah
dalam bidang kepercayaan saja dalam mengislamkan, tetapi dalam tradisi-tradisi
dan upacara-upacara yang sebelumnya telah ada ditaburi dengan adanya keihsanan
dan keislaman, adanya ritual selamatan untuk orang yang telah meninggal
dunia, seperti
geblag atau
selamatan setelah penguburan, nelung dina
atau selamatan setelah tiga hari kematian, mitung
dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian, matangpuluh dina atau selamatan setelah empat puluh hari kematian, nyatus dina atau selamatan setelah seratus
hari kematian, mendhak sepisan atau
selamatan setelah satu tahun kematian, mendhak
pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian dan nyewu atau selamatan sete1ah seribu hari kematian.
Dalam
pembahasan ini lebih mengerucut pada tradisi selamatan nyewu yang akan dibahas lebih lanjut. Bagaimana pandangan terhadap
tradisi nyewu pada masa modernisasi
saat ini, ritual-ritual apa saja yang ada dalam kegiatan nyewu, pesan dan makna apa saja yang tersirat dalam tradisi nyewu untuk orang lebih tahu dan
memaknai tradisi-tradisi tersebut agar tidak mudah diremehkan atau bahkan
ditinggalkan sehingga bisa tetap dilestarikan sejalan dengan perkembangan jaman
modernisasi saat ini.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa itu tradisi nyewu ?
2. Ritual-ritual apa saja saat pelaksanaan nyewu ?
3. Apa makna tersirat tradisi nyewu dalam kehidupan yang berhubungan
dengan Islam?
D. Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penulisan untuk membuat laporan hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui apa dan bagaimana tradisi nyewu
di masyarakat.
2. Mengetahui bagaimana ritual-ritual apa saja dalam
pelaksanaan nyewu
di masyrakat.
3. Mengetahui makna yang tersirat dalam nyewu
bukan hanya sekedar tradisi belaka tetapi sudah masuk dalam ajaran Nabi
Muhammad SAW.
E. Manfaat Penelitian
Laporan penulisan hasil penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara
teoritis, diharapkan laporan penulisan hasil penelitian ini dapat memberikan
kontribusi teori bagi penulisan laporan hasil penelitian yang lain yang sejenis
dengan tema atau judul laporan hasil penelitian ini.
Secara praktis, laporan penulisan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai berikut:
1. Sebagai sumber acuan yang akan melakukan penulisan
maupun non-penulisan penelitian yang berkaitan dengan tradisi nyewu.
2. Menjadi suatu bahan masukan dalam menganalisis tradisi
nyewu.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian untuk mendapatkan
dan dan informasi yang dibutuhkan, penulis dapat menggunakan metode dan
kepustakaan. Adapun teknik-teknik yang digunakan pada penelitian ini sebagai
berikut:
1. Teknik Pengamatan Langsung
Teknik ini penulis
meneliti ke lapangan untuk mengetahui secara langsung mengamati bagaimana
berjalannya tradisi nyewu itu
dilaksanakan.
2. Teknik Wawancara
Teknik ini penulis
meneliti dengan jalan tanya jawab dengan seorang narasumber yang sekaligus tuan
rumah yang sedang mempunyai hajat untuk mendapat data yang lebih valid dan
diperoleh gambaran yang lebih mengenai tradisi nyewu.
3. Studi Pustaka
Teknik pengumpulan data
ini yaitu dengan cara mencari buku-buku atau tulisan-tulisan yang berhubungan
dengan karya tulis ilmiah mengenai masalah nyewu.
II.
Alasan
Pemilihan
A. Judul
Dalam
tradisi budaya Jawa, selametan nyewu atau peringatan seribu hari
adalah prosesi ritual paling penting dalam rangkaian upacara peringatan
meninggalnya seseorang. Upacara peringatan seribu hari ini merupakan upacara
penutup (pungkasan), memperingati
meninggalnya seseorang untuk terakhir kalinya (selametan nguwis-uwisi).
Penulis
memilih judul “Nyewu sebagai Media
Silaturahim dan Sedekah di
desa Perboto” ada beberapa alasan karena berkaitan problematika
perbedaan-perbedaan yang terjadi di masyarakat, pentingnya tradisi nyewu untuk dilestarikan pada
masyarakat, adanya suatu makna-makna yang tersirat belum terungkap dan perlu
dijabarkan.
Ada kurangnya pengetahuan tentang tradisi nyewu sehingga membuat penulis bergerak
untuk meneliti seluk beluk tradisi nyewu
yang banyak masyarakat Jawa modernisasi saat ini tidak tahu asal muasal
lahirnya suatu tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat Jawa. Sehingga
mereka hanya melaksanakan tradisi tersebut tetapi tidak mengetahui hal-hal yang
tersembunyi, suatu hal yang tersirat pada tradisi nyewu tersebut, sehingga
akhirnya masyarakat Jawa khususnya kurang dapat memaknai tradisi nyewu dan akhirnya makin berkembangnya
zaman, tradisi tersebut mulai ditinggalkan dan hilang karena kurangnya
pemaknaan tradisi nyewu yang telah
lama dikembangkan oleh nenek moyang kita.
B. Lokasi
Penulis
memilih lokasi tepatnya di RT
13/ RW 004, Ds. Perboto, Kec. Kalikajar, Wonosobo karena memiliki beberapa
alasan, tempat tersebut sedang ada pelaksanaan tradisi ritual nyewu dan mudah sekali bertemu mbahnya desa tersebut. Di daerah
Wonosobo khususnya di desa Perboto sangat menghormati dan menjaga
tradisi-tradisi maupun kebudayaan yang sejak dulu sudah dikembangkan bersama
munculnya Islam.
III.
Deskripsi
Temuan
1. Tradisi
Nyewu
Kata
nyewu berasal dari bahasa Jawa yang
artinya seribu, nyewu dina berarti seribu hari, tradisi nyewu atau selametan nyewu atau peringatan seribu hari dalam budaya Jawa
adalah prosesi ritual dalam upacara peringatan meninggalnya seseorang yang
merupakan upacara penutup (pungkasan)
untuk melepas dan mengikhlaskan arwah orang yang sudah meninggal kepada Sang
Khaliq. Sehingga sangat penting dilakukan, memperingati meninggalnya seseorang
untuk terakhir kalinya (selametan nguwis-uwisi).
Awal mulanya
tradisi tersebut dilakukan oleh umat agama Hindu-Budha. Disebutkan
bahwa kepercayaan yang ada pada sebagian umat Islam, orang yang meninggal jika
tidak diadakan selamatan maka rohnya akan gentayangan adalah jelas-jelas
berasal dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu ada keyakinan yang dikenal
dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan).
Lima keyakinan itu meliputi percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh Leluhur, Karma Pala, Samskara (menitis/reinkarnasi), dan
Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati
karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia.
Upacara sebagai
bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang sudah meninggalkan dunia. Setelah itu datang
para Walisongo yang mendakwahkan agama Islam, semula ritual itu dilakukan oleh
umat agama Hindu-Budha hanya mengadakan upacara dengan cara berkumpul
bersenang-senang melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat sehingga oleh para Walisongo
diubah menjadi sebuah kegiatan yang bermanfaat dan mengislamkan dengan cara
mendo’akan orang yang sudah meninggal yang semula berupa mantra-mantra dan do’a-do’a ala agama Hindu-Budha diganti dengan bacaan dari Al-Qur’an, dzikir-dzikir dan do’a-do’a versi Islam pelaksanaan zikrullah sebagai jalan untuk mensucikan dan mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta. Mantra-mantrra diawali dengan bismillah dan
berakhir dengan (ucapan) la ilaha illa
Allah, dan do’a. Pembacaan Al-Qur’an, dzikir, dan do’a-do’a tersebut
dinamakan tahlilan, dan tahlilan sudah ada sejak zaman para sahabat Nabi SAW
dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Sehingga dengan tradisi
pembacaan mantra-mantra yang sudah ada di Jawa oleh para Walisongo diubah dan diislamkan tetapi pada prinsip
pelaksanaannya sama hanya saja mantra-mantranya diganti dengan kalimat-kalimat
taiyibah dan diisi dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali
serta juga keluarganya yang telah meninggal. Ucapan sesajen diganti dengan
istilah Arab; sedekah atau selamatan dan sesaji yang melengkapinya disebut berkat
(dari kata barakah).
Peringatan
meninggalnya seseorang yang sudah memasuki hari keseribu, terhitung setelah
orang tersebut meninggal hingga seribu hari pascameninggal. Menentukan waktu
selamatan hari dan pasaran nyewu dina digunakan rumus nemsarma yaitu
hari keenam dan pasaran kelima. Cara menghitung dengan menentukan hari setelah
waktu kematian setelah menjelang tiga tahun atau setelah kurang lebih dua tahun
sepuluh bulan segera dicari hari yang cocok.
2. Ritual-ritual
pelaksanaan Nyewu
Dalam
acara tradisi nyewu biasanya ada
beberapa acara ritual-ritual yang diadakan oleh keluarga almarhum, adapun
acara-acaranya sebagai berikut:
a.
Penyembelihan kambing
Diawali
dengan penyembelihan satu ekor kambing, sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang
pencipta sudah diberi rizki yang begitu banyak, sebagai wujud sedekah kepada
orang-orang yang membutuhkan. Jika keluarga almarhum tidak mampu untuk
menyembelihkan satu ekor kambing, biasanya diganti dengan ayam. Semampunya dan
tidak memberatkan. Jika sekalipun ayam tidak mampu, berarti mengadakan walimah
seadanya dan semampunya.
b.
Ngijing
(membangun batu nisan) dan ziarah
Acara
selanjutnya yaitu ngijing atau
membangun batu nisan sekaligus ziarah kubur yang diakhiri dengan do’a.
Pamasangan batu nisan sebagai tanda bahwa makam tersebut tidak tertukar dengan
yang lainnya dan agar dengan mudah diziarahi. Ziarah sebagai wujud ingat kepada
Sang Khaliq bahwa kitapun semuanya akan mengalami kematian, mengalami dan
merasakan sakitnya dicabutnya roh, dan kembali ke tempat asalnya yaitu tanah.
Adanya
fungsi untuk mengingat keteladanan dan keberadaan pendahulunya baik dari segi
baik dan buruknya untuk dijadikan sebagai bahan renungan dan pembelajaran yang
sudah terjadi. Karena ilmu budi pekerti berkembang berawal keteladanan nenek
moyang.
c. Tahlilan
Malam
harinya setelah shalat isya’ sekitar jam 19:30-an tahlilan akan segera dimulai,
keluarga almarhum mengundang orang-orang disekitarnya untuk mengikuti tahlilan
dan yasinan. Setelah yasinan dan tahlilan selesai diakhiri dengan do’a dan
setelah itu makan-makan bersama, kemudian para tamu undangan diberi berkat
satu-satu untuk dibawa pulang. Biasanya berkat berisi nasi, mie bihun, telur,
daging ayam, daging kambing, kentang, dan lain sebagainya seperti sesajen.
Adapun terkadang ada yang berupa bahan makanan mentah, seperti beras, telur mentah,
mie instan, gula, teh, dan
lain sebagainya.
d. Istighasah dan makan bersama
Hari
kedua setelah shalat isya’ dilakukan istighasah bersama keluarga almarhum,
keluarga almarhum juga mengundang orang-orang sekitar terutama sesepuh-sesepuh
desa untuk menghadiri.
Istighasah
bertujuan untuk mengingat kembali guna mengintropeksi diri sendiri dan lebih
mensucikan diri, kemudian ditutup dengan mendo’akan almarhum. Kemudian
istighasah diakhiri dengan makan-makan bersama.
3. Makna
tersirat tradisi Nyewu dalam
kehidupan yang berhubungan dengan Islam
Dibalik
kebiasaan-kebiasaan yang sudah berkembang di masyarakat khususnya di Jawa dan
sudah menjadi tradisi-tradisi yang diuri-uri
secara turun temurun, tapi semakin berkembangnya zaman tradisi-tradisi tersebut
mulai luntur dan mulai ditinggalkan di sebagian daerah karena kurangnya
pemahaman dan pengetahuan apa manfaat dan rahasia dibalik semua tradisi
tersebut yang selama ini dipertahankan oleh nenek moyang kita.
Sebenarnya
budaya nyewu adalah kolaborasi antara
budaya Jawa tradisional dengan Islam yang dibawa oleh para Walisongo yang pada
awal mulanya berasal dari budaya agama Hindu-Budha seperti adanya peringatan geblag, nelung dina, mitung dina, matangpuluh,
nyatus dan sebagainya termasuk tradisi nyewu.
Dalam Islam sebenarnya sudah menjadi warisan para sahabat dan tabi’in bahwa terdapat
beberapa keyakinan bahwa budaya seperti mitung
dina, dan matangpuluh merupakan
anjuran dari Nabi Muhammad SAW. Adanya atsar yang menyatakan bahwa
orang mukmin yang sudah meninggal akan mengalami fitnah kubur selama tujuh
hari, sementara orang munafik mengalami selama empat puluh hari.
Sebagaimana diutarakan Imam Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawinya;
“Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang
telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka
mereka(sahabat Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti
dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi nyewu berfungsi untuk mengingat keteladanan dan keberadaan
pendahulunya baik itu yang bersifat buruk maupun baik untuk bisa dijadikan
sebagai suatu pembelajaran. Ilmu budi pekerti berkembang berawal keteladanan
nenek moyang yang sudah lebih dulu meninggalkan dan memberikan pengalaman. Terjalinnya hubungan yang harmonis dan saling memaafkan antara warga masyarakat yang masih hidup dengan
almarhum yang sudah meninggal
karena pernah adanya suatu hubungan yang tidak baik di masa hidupnya. Menjadikan
suatu nilai sedekah. Ahli waris mengundang para tetangga untuk datang ke
rumah ahli waris untuk mengadakan tahlilan, istighasahan, mengirimkan do’a
bersama-sama, makan-makan bersama, serta kemudian para tetangga yang diundang
diberi berkat, buah tangan untuk
menambah semakain eratnya persaudaraan yang mengakibatkan saling eratnya
silaturahim antar tetangga, pada hakekatnya kalau orang Jawa diberi makanan
hatinya mudah nrimo (menerima) dan
luluh. Sehingga acara nyewu sangat tepat
dilakukan sebagai bentuk permintaan maaf dari almarhum kepada tetangga-tetangga
sekitar.
Tradisi nyewu yang dilakukan di saat kematian menurut masyarakat Jawa
merupakan suatu bentuk kebajikan, kebaikan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam agama Islam sudah dijelaskan bahwa sedekah merupakan sebaik-baiknya
pintu kebajikan. Kebaikan itu berupa adanya nilai sedekah dan silaturahim
antara keluarga almarhum dengan para tetangga untuk saling mempererat tali
persaudaraan sesama muslim. Diharapkan pahala dari padanya akan sampai kepada
almarhum. Selamatan nyewu yang biasa
dilakukan oleh mereka yang melakukannya berasal dari harta almarhum sendiri.
Sajian dalam pelaksanaan selamatan nyewu
di Jawa tidak mengharuskan berupa makanan, tetapi bisa juga berupa lainnya. Hal
yang demikian itu tergantung pada kadar kemampuan dari pihak keluarga masing-masing
yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan
jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu
sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS.
Al Baqarah: 271).
“Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena
mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”(QS.
An Nisaa’: 114).
“Hai orang-orang beriman,
apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu
mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang
demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh
(yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”(QS. Al Mujaadilah: 12).
“Apakah kamu takut akan
(menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan
dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al
Mujaadilah: 13)
Nyewu yang merupakan inti dari
pelaksanaan tradisi ritual kematian seseorang. Tradisi ini mengajarkan kepada
kita bahwa bersedekah jangan menunggu saat kita sedang waktu lapang dimana
seseorang sedang dalam keadaan senang, bahagia, gembira, kelebihan rizki. Tapi,
tradisi nyewu mengajarkan kita untuk
bersedekah saat kita dalam kondisi sempit, terkena bencana atau musibah, sedang
keadaan sedih, dalam keadaan kekurangan. Karena Nabi Muhammad SAW mengajarkan
demikian.
Terdapat
nilai ukhuwah islamiyah dalam tradisi selamatan nyewu pada masyarakat Jawa. Adanya perkumpulan pada saat peringatan
trdisi nyewu. Dalam masyarakat Jawa,
selamatan nyewu yang memberikan
kesempatan berkumpulnya sekelompok orang berdo’a bersama, makan bersama secara
sederhana, serta bertahlil bersama pada kehidupan masyarakat menurut kebiasaan
yang selama ini berjalan dilaksanakan pada malam hari merupakan suatu sikap
sosial yang mempunyai makna turut berduka cita terhadap keluarga almarhum atas
musibah yang menimpanya, yaitu meninggalnya salah seorang anggota keluarganya. Karena
begitu pentingnya acara nyewu dalam
tradisi di masyarakat Jawa membuat semua keluarga almarhum yang dahulunya
berpisah-pisah karena faktor status hubungan, faktor lokasi karena sudah
mempunyai keluarga masing-masing sehingga tidak ada waktu untuk saling
berkumpul bersama, dengan adanya tradisi nyewu
semua keluarga dapat berkumpul kembali dan saling mempererat tali persaudaraan
yang putus. Mengikat kembali tali silaturrahmi serta memupuk ikatan
persaudaraan antara mereka. Sebagaimana firman Allah SWT:
“dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (mengadakan hubungan
silaturahim dan tali persaudaraan), dan mereka takut kepada Tuhannya dan
takut kepada hisab yang buruk.”(QS. Al Ra’d: 1)
Membangun kembali nilai tolong-menolong,
dalam hal tolong-menolong pada peristiwa kematian dalam masyarakat Jawa
khususnya di pedesaan masih menjunjung tinggi sifat sosial masih adanya budaya
tolong-menolong, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan amat rela, tanpa
perhitungan akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang
mendapat musibah itu berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal dalam jiwa
makhluk manusia yang masih berkembang di Jawa khususnya di desa Perboto. Dasar
dari tolong-menolong merupakan perasaan saling butuh membutuhkan. Nilai
tolong-menolong dalam tradisi selamatan nyewu
pada masyarakat Jawa di desa Perboto terlihat dalam pelaksanaan atau
penyelenggaraannya. Para tetangga dan kerabat dekat almarhum membantu dalam
persiapan pelaksanaan dan pelaksanaan tradisi nyewu. Dalam tolong-menolong terdapat hubungan saling
ketergantungan sebagai akibat dari adanya proses pertukaran yang saling
memberikan balasan atas jasa yang diberikan orang lain kepada dirinya.
Tolong-menolong dalam selamatan nyewu terjadi
secara spontan dan rela, tetapi juga ada yang didasarkan oleh perasaan saling dan
sudah menjadi tradisi pada masyarakat Jawa. Kegiatan tolong-menolong ini
diartikan sebagai suatu kegiatan kerja yang melibatkan tenaga kerja dengan
tujuan membantu dan mereka tidak menerima imbalan berupa upah, hanya saja
biasanya sesudah itu orang-orang yang ikut membantu diberi wedhangan dan makan bersama. Seperti yang diajarkan oleh beliau
Nabi Muhammad SAW, sebagaimana firman Allah SWT:
“... Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.”(QS. Al Maaidah: 2)
"Kenapa kamu tidak tolong-menolong
?"(QS. Ash-Syaaffaat: 25).
Kemudian memupuk nilai solidaritas yang tinggi pada tradisi nyewu, suatu ciri khas masyarakat di
desa Perboto dalam menghadapi keluarga yang berduka cita. Dalam konteks
sosiologis, ritual selamatan nyewu sebagai
alat memperkuat solidaritas sosial, maksudnya alat untuk memperkuat
keseimbangan masyarakat yakni menciptakan situasi rukun, silaturohim, toleransi
di kalangan partisipan, serta juga tolong-menolong bergantian untuk memberikan
berkah do’a yang akan ditujukan pada keluarga yang sudah meninggal. Pihak
keluarga yang berduka mengundang tetangga dan sanak familinya untuk menghadiri
acara selamatan nyewu itu yang akan
diselenggarakan di rumah duka. Dalam selamatan nyewu saat kegiatan tahlilan ini dapat dipakai untuk mengukuhkan
nilai-nilai dan keyakinan yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu
selamatan nyewu merupakan salah satu
upacara keagamaan yang sangat diperhatikan dalam rangka mendo’akan arwah yang
telah mendahului mereka serta melestarikan tradisi yang turun-temurun ini.
IV.
Kesimpulan
Nyewu merupakan
ritual peringatan seribu hari meninggalnya seseorang sebagai ritual penutup
untuk melepas dan mengikhlaskan arwah orang yang sudah meninggal kepada Sang
Pencipta dan akan kembali kepadaNya.
Adapun
kegiatan-kegiatan nyewu yang ada di
desa Perboto seperti adanya penyembelihan kambing sebagai bentuk berkorban,
jika tidak mampu bisa diganti dengan penyembelihan beberapa ayam jago, dan
semua dikembalikan pada kemampuan masing-masing keluarga almarhum, kemudian
dilanjudkan dengan ngijing dan ziarah
kubuh, tahlilan ditutup dengan mendo’akan almarhum kemudian makan bersama, dan
pada malam kedua istighasahan ditutup dengan do’a diakhiri dengan makan
bersama.
Awal mula lahirnya tradisi nyewu berasal dari agama Hindu-Budha yang berkembang pada
masyarakat Jawa. Kemudian setelah kedatangan para Walisongo menyebarkan agama
Islam di daerah Jawa, para Walisongo tidak serta merta menghilangkan tradisi
yang sudah ada. Mereka dalam menyebarkan agama Islam lebih memilih pendekatan cultural, melalui tradisi setempat dikolaborasikan
dengan prinsip-prinsip Islam. Sehingga masyarakat Jawa dengan kedatangan Islam
mudah diterima dan dirasa tidak kaku.
Pada prinsipnya tradisi nyewu pada proses kegiatan ritualnya mempunyai makna sebagaimana
anjuran dari Nabi Muhammad SAW. Adapun makna tradisi nyewu ajaran dari Islam mengandung nilai-nilai yang sangat baik
dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam kehidupan sosial, seperti adanya
nilai-nilai sedekah, nilai kasih sayang, nilai silaturahim, nilai ukhuwah
islamiyah, nilai gotong-royong, nilai tolong menolong, nilai keharmonisan, nilai
persaudaraan, nilai solidaritas sosial, nilai kerukunan dalam hidup
bermasyarakat, nilai keikhlasan, sebagai
rasa syukur kepada Sang Pencipta, sebagai bahan renungan atau intropeksi diri
dan keteladanan serta pembelajaran yang masih hidup, membangun kembali nilai
keislaman sebagai wujud kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW dan kepada Allah
SWT.
Sebagai bentuk kekayaan tradisi di Indonesia
khususnya di Jawa yang selama ini masih diuri-uri
dan dilestarikan sehingga generasi muda masih bisa menikmati dan merasakan
kekayaan tradisi Jawa yang begitu banyak nilai-nilai kebaikan dan kebajikan
dalam kehidupan bermasyarakat.
V.
Saran
Nyewu merupakan tradisi nenek moyang yang sudah ratusan tahun dilestarikan
dan diuri-uri oleh satu generasi ke
generasi selanjutnya. Sebagai bangsa yang baik adalah mereka yang tetap
menghormati dan melestarikan budaya nenek moyang sebagai bentuk jati diri
bangsa yang beribawa. Sebagai anak bangsa yang baik, kita memiliki tanggung
jawab yang besar yang harus dipanggul untuk melestarikan sebagai bentuk
pembelajaran dan penelitian dalam keilmuan sosial.
Alangkah baiknya sesepuh,
yaitu sebagai orang yang dituakan atau orang yang lebih tua mengenalkan
budaya-budaya dan tradisi-tradisi kepada anak-anak bangsa generasi penerusnya
yang berkembang di lingkungan sendiri sedini mungkin, khususnya pada masyarakat
Jawa, agar mereka mengenal dan kemudian mencintai budaya sendiri yang jauh
lebih baik dari pada dengan budaya Barat yang bukan sesuai dengan jati diri
bangsa. Dikarenakan anak muda sekarang kurangnya antusias dengan budaya-budaya
maupun tradisi-tradisi karena dianggap kuno.
Dalam tradisi nyewu
penulis menyarankan sesuai dengan pengamatan di lapangan bahwa sebaiknya dalam
tradisi nyewu dalam menyiapkan
makanan bagi keluarga almarhum yang mampu mengadakan tradisi tersebut, dalam
menghidangkan makanan tidak boleh terlalu berlebihan, karena hal tersebut dapat
mengakibatkan kemubadziran makanan dan tenaga, karena makanan banyak yang
bersisa dan akhirnya dibuang begitu saja ataupun dikasihkan ke ternak. Tetapi
alangkah baiknya dalam menghidangkan atau menyiapkan makanan dalam tradisi nyewu secukupnya untuk orang yang akan
diundangnya. Lebih baik uang yang dibelanjakan untuk membeli makanan yang
berlebihan digunakan untuk diberikan kepada orang yang tergolong miskin dan
orang yang sudah sangat tua yang tidak mampu bekerja lagi dan uang tersebut
diatasnamakan almarhum. Jauh lebih baik dari pada dalam keadaan berduka malah
berwalimah yang berlebihan yang bertujuan bersenang-senang dan menghilangkan
makna sesungguhnya sebagai seorang yang bersyukur kepada Allah SWT.
Sebagai orang yang lebih tua, ajak dan rangkul anak
muda serta kenalkan dan ajarkan pada mereka tradisi-tradisi yang mengandung
nilai filosofi yang baik dan penuh dengan nilai kebajikan yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW sehingga dalam bermasyarakat terpancar nilai-nilai keislaman
yang tidak terlepas dari dakwah para Walisongo. Para Walisongo adalah mereka
yang dekat dengan Sang Pencipta yaitu Allah SWT dan keilmuan mereka tidak
diragukan lagi, apa yang diajarkan olehnya semua mengandung ajaran-ajaran Islam
dan sesuai dengan tuntunan Baginda Rasulullah SAW, mereka yang berfikiran awam
jangan memberikan penilaian bahwa tradisi-tradisi yang sudah berkembang di
masyarakat sebagai sesuatu yang bid’ah yang harus ditinggalkan ataupun batil.
Mengembalikan kepercayaan bagi kaum awam dan
memberikan kepercayaan bahwa mengikuti dan melanjutkan tradisi adat istiadat
tidaklah bertentangan dengan ajaran atau prinsip-prinsip keislaman bahwa
sebelumnya tradisi nyewu adalah
adopsi dari agama Hindu-Budha yang kolaborasikan atau diakulturasikan dengan
kaidah-kaidah Islam oleh para Walisongo sebagaimana ajaran dan anjuran Nabi
Muhammad SAW. Dalam tradisi nyewu
disini bukan suatu bentuk niyahah
yaitu meratapi orang yang sudah meninggal yang dilarang agama karena dalam
tradisi nyewu bukan hanya saja
berkumpul dan mengadakan jamuan makanan setelah orang dikuburkan. Tetapi lebih
pada apa makna yang ada dibalik itu, makna yang tersirat dibalik tradisi nyewu yang sesuai dengan para Walisongo.