Oleh: Tomy Muhlisin Ahmad
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bangsa yang maju dan beradap adalah bangsa yang tidak
terlepas dari beradaban (civilization)
dan memakaikan agama (religion)
sebagai baju bangganya, HAR. Gibb (1859-1940) mengatakan, Islam is a complete civilization (Islam adalah sebuah peradaban
yang sempurna). Meskipun demikian,
kenyataannya masyarakat masih banyak yang belum mengerti betul apa itu
peradaban dan Islam sebagai agama yang sempurna belum masuk di hati bangsa ini.
Ro aitu al-Muslimah duna al-Islam, wa ro aitu
al-Islama duna al-Muslimah, yaitu nilai-nilai Islam dapat ditemukan di tengah-tengah non-Muslim, dan
sebaliknya nilai-nilai non-Muslim banyak ditemukan pada masyarakat Islam.
Mengapa? Karena masyarakat Muslim sekarang sudah banyak melakukan
penyimpangan-penyimpangan yang membuat Islam sendiri runtuh dari nilai
tauhidnya.
Dalam perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin lama
dikuasai oleh non-Muslim, alangkah baiknya, sebagai negara yang menghormati
peradaban dan sejarah. Khususnya Muslim ditekankan mengetahuai sejarah-sejarah
nenek moyang yang sudah mendahuluinya sebagai bahan renungan dan pembelajaran.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, ada empat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah berdirinya sejarah Bani Umayyah?
2. Siapa sajakah khalifah-khalifah Bani Umayyah?
3. Bagaimana masa kemajuan Bani Umayyah?
4. Bagaimana masa kemunduran Bani Umayyah?
II. PEMBAHASAN
A. SEJARAH BERDIRINYA SEJARAH BANI UMAYYAH
Nama Dinasti
Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah
salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan
pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan
dan kedudukan.
Dinasti Umayyah
didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyyah sebagai pendiri
daulah Bani Abbasiyyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibukota
kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus.
Muawiyyah
dipandang sebagai pembangun Dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya
dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam
perang saudara di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah
juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam,
karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih
oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy
heredity).
Diatas
segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang
menakjubkan, sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang pribadiyang sempurna dan
pemimpin besar yang berbakat. Didalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang
penguasa Politikus, dan Administrator.
Muawiyyah
tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya
dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah
seorang pemimpin pasukan di bawah komando Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang
berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Romawi
yang telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyyah
menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina yang
berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh
Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince
of the sea) yang memimpin armada besar dalam penyerbuan ke kota
Konstantinopel walaupun belum berhasil.
Muawiyyah
berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan
diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali. Melainkan sejak semula
gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan
pembangunan politiknya di masa
depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari masyarakat Suriah dan dari
keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyyah
mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam
melawan peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok
bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah berada sepenuhnya di belakang Muawiyyah
dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik
moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal makmur
dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang
berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Muawiyyah.
Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah
sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan
penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash,
Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyyah merupakan
empat politikus yang sangat menggunakan di kalangan Muslim Arab. Akses mereka
sangat kuat dalam perpolitikan Muawiyyah.
Amr bin Ash
sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena kecakapannya sebagai
mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan.
Setelah menjadi Muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Mekkah, nabi
segera memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat.
Tokoh besar ini terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan
menjabat gubernur pertama diwilayah itu. Sejak wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr
bin Ash mendukung Muawiyyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam
peristiwa tahkim. Sayang
hanya dua tahun ia mendampingi Muawiyyah. Orang kedua adalah Mughirah bin
Syu’bah, seorang politukus independen. Karena keterampilan politiknya yang
besar, Muawiyyah mengangkatnya manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah
bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu
atau dua tahun semasa pemerintah Umar. Keberhasilan
Mughirah yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan mampu
meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Sedangkan
orang yang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang
netral, ditetapkan oleh Mu’awiyah untuk memangku jabatan gubernur di Bashrah
dengan tugas khusus si Persia selatan. Sikap politiknya yang tegas, adil, dan
bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyyah kokoh di wilayah provinsi
paling timur itu dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.
Ketiga,
Muawiyyah memiliki
kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”,
sifat yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang manusia
hilm seperti Muawiyyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil
keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari
sifat mulai tersebut dalam diri Muawiyyah setidak-tidaknya tampak dalam
keputusannya yang berani memaklumkan
jabatan khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika Muawiyyah naik ke
kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi
dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat.
Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah
Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri
Khalifah Utsman dan perang saudara sesama Muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan
menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin intergrasi kekuasaan di masa-masa
yang akan datang, Muawiyyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai,
dengan pembantaian putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal
dunia.
Ketika Yazid
bin Muawiyyah naik takhta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah kemudian mengirim surat kepada
Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali
bin Abi Thalib dan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum
Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) melakukan konsolidasi
(penggabungan) kekuatan kembali dan menghasut Husain melakukan perlawanan.
Husain dibaiat sebagai khalifah di Madinah. Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah
mengirim pasukan untuk kembali memaksanya setia pada pemerintahan Dinasti
Umayyah, sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang yang kemudian dikenal
sebagai Pertempuran Karbala.[1]
B. KHALIFAH-KHALIFAH BANI UMAYYAH
Para sejarawan umumnya sependapat bahwa
khalifah terbesar dari daulah Umayyah ialah Muawiyyah, Abdul Malik dan Umar bin
Abdul aziz.
Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah
hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Adapun
urutan khalifah umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyyah
I bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679M)
Muawiyyah
bin Abi sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Bani Umayyah dialah tokoh
pembangunan yang besar. Muawiyyah mendapat kursi kekuasaan setelah Hasan bin
Ali bin Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 4 H, karena Hasan menyadari
kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyyah
sehingga tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah,
tahun persatuan. Muawiyyah dibaiat oleh umat Islam di kufah. Diantara jasa-jasa
Muawiyyah ialah mengadakan dinas pos dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu
siap di tiap pos. Ia juga berjasa mendirikan kantor cap (percetakan mata uang),
dan lain-lain. Muawiyyah
wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya Yazid.
2. Yazid
I bin Muawiyyah (60-64H/679-683M)
Yazid
tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya,
antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat
Husein sepeninggal Muawiyyah. Terjadi perang di karbala yang menyebabkan
terbunuhnya Husain. Yazid menghadapi para pemberontak di Mekkah dan Madinah
dengan keras. Dinding ka’bah runtuh dikarenakan terkena lemparan manjaniq,
peristiwa tersebut merupakan aib besar terhadap masanya. Yazid wafat pada tahun
64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Muawiyyah II
3. Muawiyyah
II bin Yazid (64 H/683M)
Ia
hanya memerintahkan kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai
khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena
tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat besar
tersebut. Dengan wafatnya, maka habislah keturunan Muawiyyah dalam
melenggangkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan.
4. Marwan
I bin Hakam (64-65 H/683-684M)
Ia
adalah gubernur Madinah di masa Muawiyyah dan penasihat Yazid di Damaskus di
masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah itu. Ia di angkat menjadi
khalifah karena dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena
pengalamannya. Ia dapat menghadapi kesulitan satu demi satu dan dapat
mengalahkan kabilah Ad-Dahak bin Qais, kemudian menduduki mesir. Marwan
menundukan palestina, hijaz, dan irak. Namun ia cepat pergi hanya
memerintah 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya Abdul Malik
dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalannya secara berurutan.
5. Khalifah
Abdul Malik (65-86H/684-705M)
Dia
adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah yang
disebut-sebut sebagai ‘pendiri kedua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal
sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqh. Ia telah
berhasil mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan
keluarga Umayyah dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa
sebelumnya. Mulai dari gerakan sparatis Abdullah bin Zubair di Hijaz,
pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai kepada aksi teror yang dilakuakn
oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah kufah, dan pemberontakan yang di
pimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak.
Ia
juga menundukan tentara Romawi yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi
pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
Administrasi di wilayah Umayyah, ia juga memerintahkan untuk mencetak uang
secara teratur, membangun beberapa gedung, dan masjid serta slauran-saluran
air, memajukan perdagangan, memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan
keuangan dan menyempurnakan tulisan huruf Al-Qur’an dengan titik pada
huruf-huruf tertentu.
Khalifah
abdul Malik memerintah selam 21 tahun dan wafat 86 H dan di ganti oleh putranya
Al-Walid
6. Al
Walid I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M)
Memerintah
10 tahun lamanya. Pada masa pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran merintah
ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin
Ziyad ketika afrika utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena
kekayaan melimpah maka ia sempurnakan pembanguna gedung-gedung, pabrik-pabrik,
dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para khalifah yang berlalu
lalang di jalan tersebut. Ia membangun masjid Al-Amawi yang terkenal hingga
masa kini di Damaskus. Di samping
itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir
miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, dan sakit kusta. Khalifah
Walid bin Absul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya, Sulaiman.
7. Sulaiman
bin Abdul Malik (96-99H/714-117M)
Dia tidak sebijak
kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta sebagaimana yang diperlihatkan ketika
ia menginginkan harta rampasan perang (ghanimah) dari Spanyol yang dibawa oleh
Musa bin Nushair.
Khalifah
Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para
pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang
berjasa di masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf
dan Muhammad bin Qasim yang menundukan India. Ia meninggal pada tahun 99 H dan
menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
8. Umar
bin Abdul Aziz. (99-101H/717-719M)
Adapun
khalifah yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya
sangat singkat, nama Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah
periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh
berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan
personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang
sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Khalifah
yang adil ini adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat
Kairo, atau Madinah menurut sumber lain. Rupanya keadilannya
menurun dari Khalifah Umar bin Khatab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya.
Ia menghabiskan waktunya di Madinah untuk mendalami ilmu Agama Islam, khususnya
ilmu hadis dan ketika ia menjadi khalifah ia memerintahkan kaum Muslimin untuk
menuliskan hadis, dan inilah perintah resmi pertama dari penguasa Islam. Umar
adalah orang yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang
panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru orang
pada masanya.
Ia
dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, khalifah Umayyah yang sekaligus
sebagi pamannya.
Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, salah seorang sepupunya.
Tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal
pengalamannya sebagai
pejabat, kaya akan ilmu dan harta, serta sebagi bangsawan Arab yang mulia, ia
diangkat sebagai Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah Umar bin
Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana,
bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya memerintah kurang
lebih dua tahun.
Khalifah
yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaj, Syiria, Mesir, Yaman
dan Bahrain yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah
menduduki jabatan barunya Khalifah Umar bin Abdul Azizi mengembalikan tanah-tanah
yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta
menjual barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke baitul
mal. Di samping itu ia mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah serta
Khawarij, menghentikan peperangan serta caci maki terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib dalam khutbah Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat berikut :
“Sesungguhnya
Allah memerintahkan untuk mengerjakan keadilan dan bijaksana, serta memberi
kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, munkar dan aniaya. (QS An-Nahl :
90)
Khalifah
yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada di masa
kekhalifahannya seperti menaikan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran
dengan memberi santunan kepada fakir miskin, dan memperbarui dinas pos. Ia juga
menyamakan kedudukan orang-orang non-Arab sebagai warga negara kelas dua,
dengan orang-orang Arab. Ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran
jizyah bagi orang Islam baru.
Khalifah
Umar meninggal tahun 101 H dan di ganti Oleh Yazid II bin Abdul Malik.
9. Yazid
II bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)
Pada
masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudariyah dan
Yamaniyah. Pemerintahan yang singkat itu mempercepat proses kemunduran Bani Umayyah. Kemudian
diganti oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
10. Hisyam
bin Abdul Malik (105-125H/723-745M)
Meskipun
tidak secemerlang tiga khalifah yang masyur sebagimana tersebut di atas. Ia
memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 Tahun. Ia dapat dikategorikan
sebagai khalifah Umayyah yang terbaik karena kebersihan pribadinya, pemurah,
gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan tergolong teliti terutama soal
keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil. Pada masa pemerintahannya
terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah serta bersekutu dengan kaum Abbasiyyah.
Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin
Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut terhadap semua kelompok. Dalam diri
keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang
melemahkan posisi Umayyah.
Masih
ada empat khalifah lagi yang setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu
tujuh tahun, yakni :
11. Al-Walid
II bin Yazid (125-126H/742-743M)
12. Yazid
III bin Al-Walid (126H/743M)
13. Ibrahim
bin Al-Walid (126-127H/743-744M)
14. Marwan
bin Muhammad (127-132H/744-750M)
Dia
adalah penguasa terakhir yang terkenal dengan julukan marwan al-himar (manusia keledai). Karena kebesarannya yang luar
biasa dan kesanggupannya menahan perasaan. Sebenarnya ia adalah penguasa yang
besar tapi sayang,
ia muncul ketika daulat Bani Umayyah sedang merosot.
Dia wafat pada
tahun 132 H/750 M
terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyyah.
C. MASA KEMAJUAN BANI UMAYYAH
Masa
pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era agresif, dimana perhatihan
tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman
kedua Khulafa’ Arrasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak
bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam,
yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab,
Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India,
dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan
yang termasuk Soviet dan Rusia.
Menurut Prof.
Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup front tiga penting,
yaitu sebagai berikut:
Pertama,
front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibukota
Konstantinopel, dan peneyrangan ke pulau-pulau di laut tengah.
Kedua,
front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam Arfika, pasukan Muslim juga
menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga,
front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini
dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang
sungai Jihun (Amudarya). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Syin,
wilayah India bagian Barat.
Saat-saat yang
paling mengesankan dalam ekspansi ini ialah terjadi pada paruh pertama dari
seluruh masa Kekhalifahan Bani Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang oleh Muawiyyah
bin Sofyan dan tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik. Diluar
masa-masa tersebut, usaha-usaha penaklukan mengalami degradasi atau hanya
mencapai kemenangan-kemenangan yang sangat tipis.
Pada masa
pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan besar dalam perluasan wilayah,
meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa
paling mencolok ialah keberaniannya
mengepung kota Konstantinopel
melalui suatu ekspedisi yang di pusatkan
di kota pelabuhan Dardanela, setelah
terlebih dahulu menduduki pulau pulau di Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta,
Cyprus, Sicilia dan
sebuah pulau yang bernama Award, tidak jauh dari ibukota RomawiTimur itu. Di
belahan timur, Muawiyyah berhasil menaklukkan Khurasan sampai ke sungai Oxus
dan Afghanistan.
Ekspansi ke
Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurkan oleh Khalifah Abdul
Malik. Dibawah komando gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum Muslimin
menyeberangi sungai Amudaria dan mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm, Fargana,
Samarkhand, pasukan Islam juga melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan
Punjab sampai ke Multan, Islam menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di
bumu India.
Kumudian tiba
masa kekuasaan Al Walid I yang disebut-sebut sebagai masa kemenangan yang luas.
Pengepungan yang gagal atas kota Knstantinopel di zaman Muawiyyah, dihidupkan
kembali denagn memberikan pukulan-pukulan yang cukup kuat. Walaupun cita-cita
untuk menundukkan ibukota Romawi tetap saja belum berhasil, tetapi tindakan itu
sedikit banyak berhasil menggeser kapal batas pertahanan Islam lebih jauh ke
depan, dengan menguasai basis-basis militer kerajaan Romawi di Mar’asy dan
‘Amuriah.
Prestasi
yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I
ialah di front Afrika Utara sekitarnya. Setelah segenap tanah Afrika bagian
Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad menyebrangi
selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu ibukotanya, Cordova segera dapat di
rebut, menyusul kemudian kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan Toledo.
Gubernur Musa bin Nushair kemudian menyempurnakan penaklukan atas Tanah Eropa
ini dengan menyisir kaki Pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis.
Berikut
kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah
berdasarkan bidangnya masing-masing:
1.
Bidang
Kemiliteran
Kemajuan masa
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang paling menomjol adalah di bidang
kemiliteran. Selama peperangan dengan militer Romawi pasukan Arab mengambil tekhnik
kemiliteran mereka dan memadukannya dengan sistem pertahanan yang telah di
miliki sebelumnya. Pasukan Islam mendirikan tenda-tenda yang terdiri dari 2-4
pintu dengan perlindungan benteng dan parit. Kuffah dan Basroh
merupakan basis militer untuk wilayah timur, formasi
kekuatan pasukan Muslim terbagi dua
barisan. Barisan depan dan barisan belakang. Seluruhnya terdiri lima lapisan,
yakni satu lapisan pusat, dua lapisan pasukan sayap, lapisan penyerbu , dan
lapisan prtahanan. Kekuatan pasukan-pasukan
Dinasti Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam tugas-tugas
ekspansi. Kemajuan kekuatan militer pada masa ini juga di tandai dengan
terbentuknya angkatan laut Islam oleh Muawiyyah. Ia mengarahkan para pakar
kelautan untuk merancang pembuatan galangan perkapalan di pantai Syiria.
2.
Sistem
Sosial
Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab Muslim. Mawalli, non
Muslim, dan kelompokm Arab-Muslim menduduki kelas sosial tertinggi di sebabkan
karena mereka sebagai kelompok pendatang yang berkuasa, juga di karenakan sistem
aristokrasi. Namun pada prinsipnya mereka semua mendapat perlindungan hak-hak
secara penuh sehingga mereka dapat hidup dengan tenang dan damai. Perbedaan
yang menonjol adalah dalam hal beban kewajiban pajak. Hampir di katakan tidak
ada perselisihan antaragama. Yang muncul perselisihan antarsuku. Contohnya
kelompok Mudariyah dengan kelompok Arab Himyariyah.
3.
Kemajuan
Arsitektur
Penguasa Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur,
mereka mencurahkan perhatiaanya demi kemajuan bidang ini hasilnya adalah
ssejumlah bangunan megah, Masjid
Baitul Maqdis di Yerussalem, yangn terkenal dengan kubah batunya (qubah al-sakhra) didirikan pada masa
Abdul Malik pada tahun 691 M. Ia adalah masjid pertama yang di tutup kubah di
atasnya. Dan juga masjid al Aqsa yang tidak
kalah tinggi arsiteknya sebuah masjid terindah yang terdapat di Damaskus yang
didirikan oleh Walid bin Abdul Aziz. Ia juga merehap masjid Madinah antara
beberapa monument peninggalan Umayyah yang terkenal adalah istana Qusayr
Amrah. Istana ini terbuat dari batu kapur yang berwarna kuning kemerah-merahan.
4.
Bidang
Politik
Dalam bidang politik, Bani Muawiyyah menyusun tata pemerintahan
yang sama sekali baru. Guna untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan
administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat majelis
penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa orang
‘ Al Kuttab “ (sekretaris) untuk membantu dalam pelaksanaan tugas , yang
meliputi:
a.
Kartib
ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan
surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b.
Kattib
al Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan pemasukan dan
penerimaan negara.
c.
Katib
al Jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan
dengan ketentaraan.
d.
Katib
as-Syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban.
e.
Katib
al Qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui
badan-badan
peradilan dan hakim setempat.
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran
awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai
negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang
berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M). Perubahan yang
dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi
dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial
politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.
1.
Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat
kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam
dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya
eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat
Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering
mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a. Sistem Penggantian kepala Negara bersifat
Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk
pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat. dari
kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun
menurun (monarch/ heridetis).
b. Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi
dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam segala hal
hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar
terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam memperlakukan orang Islam
sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus
kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan
kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih
personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat
keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non-Arab
setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab.
Dengan demikian masyarakat Muslim pada
masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
Dikalangan kaum
Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama Asy-Syu’ubiyyah
yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin yang sebetulnya
mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka serta banyak
kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan Alawiyah, bahkan
juga memihak kaum Khawarij.
c. Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama
lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani Umayyah ini memerintah, banyak terjadi
kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini, seperti:
1) Pemisahan Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara
kekuasaan agama (spiritual power) di tunjuklah qadhi/ hakim dan
kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa Mu’awiyah
bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para
Ulama.
2) Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab
terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani Umayyah menjadi 10 Provinsi Wilayah
kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:
a) Syiria dan
Palestina;
b) Kuffah dan
Irak;
c) Basrah, Persia,
Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan
Yamamah;
d) Arenia;
e) Hijaz;
f) Karman dan
India;
g) Egypt (Mesir);
h) Ifriqiyah
(Afrika Utara);
i) Yaman dan Arab
selatan, dan
j) Andalusia.
3) Bidang Administrasi Pemerintahan. Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk semacam
Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang
sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy
Syurtah dan katib al Qadi.[2]
Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al
Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai
penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul
Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok
(dewan) yaitu :
a) Dewan Rasail (istilah sekarang disebut
sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk mengurus surat-surat negara
yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Ada
dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang
menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi
yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya
kemudian menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa Arab
menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.
b) Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus
masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-Kharraj diangkat oleh khalifah dan
bertanggung jawab langsung kepada khalifah.
c) Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen
negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah
pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos
khusus urusan pemerintah.
d) Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap
peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register,
kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju.
4) Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat
yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa Dinasti ini untuk
mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,yaitu membangun bangsa Arab yang
besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain
mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang
lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk
daerah Islam dan bahkan adat-istiadat serta
sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab. Pada masa Bani Umayyah (sejak
Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah Arabisasi artinya
usaha-usaha pengaraban oleh Bani
Umayyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayyah
antara lain dalam pengangkatan kepala-kepala wilayah dari bangsa Arab untuk
ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Di samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku
berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.
5) Kebijakan
politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan.
Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian
didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di
sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di
sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan
pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan
laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan
dan kapal perang mereka.
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai
penaduduk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin
Nashir, ekspansi ke barat dan mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat
dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko,
kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di
daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol
untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan Muslim
menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian menjadi ibukota
Spanyol Islam (al Andalus).
Setelah
menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan
ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di
sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan
Perancis, namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir
yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke
Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[3]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur
Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat
menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha
ekspansinya ke Cina diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya
dengan saling tukar-menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak
materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan
pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[4]
Muhammad bin
Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia
menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian
tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan
sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.
2.
Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam
secara luas itu, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah
penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah. Kepada pemilik tanah diwajibkan
oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya
berlaku kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk
yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun
demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia
beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti
ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara. Kebijakan Dinasti di bidang
ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut,
lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar
perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas
laut ke arah negeri-negeri belahan untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Keadaan demikian membuat kota
Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan
dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam
yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan
perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis
industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang
dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz
bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar
produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik
kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi
tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
3.
Dinamika Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada
masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab
merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang
membangun Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif
pada motivasi orang-orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini
juga berpengaruh pada perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan
cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan
pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat
terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem sukses khalifah dari pemilihan
terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.
4.
Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat
banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani
dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia
mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di
seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang
bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya
tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota
pusat kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah. Antiokia, Harran, dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh
imuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster
Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran
tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan
perhatian kepada bimarstan, yaitu
rumah sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran
yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para
ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia
bersahabat dengan ibn Abjar, seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian
menjadi dokter pribadinya.[5]
Pengaruh lain dan ilmuwan Kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan
secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran
kepada sistem tulisan menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku.
Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non-Arab dan telaahnya pun
sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi ilmu pengetahuan bidang
agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat. Ilmuwan itu antara
lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair,
Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Muslim (ahli
Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).
5.
Tali Ikatan
Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari
pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan abad ke delapan, salah satu hasilnya
ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu dalam suatu kesatuan
sosial politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu merupakan
suatu kawasan ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan
pasaran bersama. Wilayah inti meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia,
Imperium Bizantium di Suria dan Mesir serta daerah-daerah Barbar di
Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan salah satu jaringan
penting dari rute utama perdagangan
Internasional yang terbentang antara China dan Spanyol, dan antara
Afrika Hitam dengan Asia Tengah.
6.
Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa ini
Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal
sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa
al-Rasydun yang menguasai keduanya. Pada masa ini
khalifah diangkat secara turun-temurun dari
keluarga Umayyah.
7.
Sistem Fiskal
Sumber uang masuk pada Dinasti Bani Umayyah,
pada umumnya seperti di zaman permulaan Islam. Walaupun demikian ada beberapa
tambahan seperti al-Dharaaib yaitu kewajiban yang harus dibayar oleh warga
negara dan terdapat pajak-pajak istimewa. Adapun saluran uang keluarnya sama
seperti permulaan Islam, seperti gaji para pegawai dan tentara, serta biaya
tata usaha negara, pembangunan pertanian termasuk irigasi dan penggalian
terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang hukuman dan tawanan perang,
perlengkapan perang, serta hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para Ulama.
Pada masa Umayyah dicetak mata uang Muslimin secara teratur
dan pembayaran dengan mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah
dicetak mata uang kaum Muslimin namun belum begitu teratur seperti pada
khalifah Abdul Malik bin Marwan.
8. Interregnum
(Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin Abdul Aziz
Interregnum ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yang mana pada perintahan yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya,
menjadi kepada masa yang damai, lemah, lembut dan makmur. Dengan
kebijaksanaannya ini banyak orang yang masuk Islam, dan mengadakan dialog
dengan orang Syi’ah dan Khawarij sehingga mereka puas dan tidak mengganggu
lagi. Namun, kedamaian dan
kemakmuran ini dimanfaatkan oleh Bani Hasyim untuk membentuk gerakan bawah
tanah. Gerakan ini terdiri dari orang-orang Syi’ah dan keluarga Abbas. Gerakan
inilah yang berhasil menumbangkan Bani Umayyah nantinya.
9.
Sistem Peradilan
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama,
qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum
terpengaruh dengan politik.
10. Pembangunan
Peradaban, Intelektual, bahasa dan sastera Arab
Masa Bani Umayyah
ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani
Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu Naqliyah mulai
berkembang. Perkembangan yang saling menonjol
adalah ilmu tafsir dan ilmu hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul
juga ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) sehingga Sibawaihi menyusun al-kitab untuk
memperlajari tata bahasa Arab.
Khalifah Mu’awiyah memerinthkan karya-karya
bangsa Yunani yang mengandung berbagai macam Ilmu. Dengan demikian umat Islam
pada masa ini mulai mengenal ilmu kedokteran, ilmu Kalam, seni bangunan
(architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan seni bangunan yang terkenal
sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of the Rock) yang didirikan
di Yerussalem pada 91 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik.
11. Sistem Militer
Pada masa Dinasti Bani Umayyah orang masuk
tentara kebanyakan dengan dipaksa atau setengah dipaksa. Untuk menjalankan
kewajiban ini dikeluarkan semacam undang-undang wajib militer yang dinamakan Nidhamut
Tajnidil Ijbary.
Politik ketentaraan dari Bani Umayyah, yaitu
politik Arab, di mana anggota
tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu
mereka terpaksa meminta bantuan kepada bangsa Barbari untuk menjadi tentara
karena wilayah mereka yang luas meliputi Afrika Utara, Andalusia, dan
lain-lain.
a.
Perluasan ke Asia Kecil
Dengan armada laut yang terdiri dari 1700
kapal, lengkap dengan perbekalan dan persenjataannya. Lalu Mu’awiyah menyerang
pulau-pulau dilaut tengah sehingga berhasil menduduki pulau Rhodes tahun 53 H
dan pulau Kreta tahun 54 H. Kemudian diserang kota Konstatinopel. Pulau-pulau
ini dekat Cyprus yang telah ditaklukkan pada zaman Usman. Penyerangan ini
dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayyah. Kemudian mengepung kota Konstatinopel di
bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyah dan didampingi oleh pahlawan Islam yang
berani seperti Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber, Abdullah ibnu Umar dan
Ibnu Abbas. Pengepungan ini selama 7 tahun (54-61 H). Abu Ayyub al-Anshar gugur
pada peperangan ini. Penyerangan pertama ini gagal karena ada pengkhianatan
Loen Mar’asy.
b.
Perluasan ke Timur
Ke arah Timur dapat menaklukkan daerah Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan dari Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian diteruskan
pada zaman Abd. Malik di bawah pimpinan Al- Hajjaj ibn
Yusuf. Kemudian dapat menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Fergnana,
dan Samarkand. Selanjutnya pasukan Muslim juga samapi ke India serta dapat
menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).
c.
Perluasan ke Afrika Utara
Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah menetap di
Barqah setelah wilayah itu dikuasai. Oleh karena kemahiran dan keberaniannya,
ia mengalahkan armada Bizantium di daerah pantai, barbar dipedalaman, serta Tripoli
dan Fazzan.
Kekuatan Maritim Islam menjadi lebih berkembang
pada masa Umayyah timur. Pada masa Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq bin Ziyad
dapat menyeberangkan ajaran Islam ke Spanyol. Pada tahun 95 H/ 713 M dapat membebaskan rakyat Spanyol
dan Eropa dari penindasan bangsa Visigoth (Gothik) Barat yang telah berkuasa
selama 300 tahun.[6]
12. Pemberontakan:
al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair
Ketika Yazid ibn Mu’awiyah
naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka Madinah tidak mau menyatkan setia
kepadanya. Yazid kemudian mendirim surat kepada Gubernur Madinah
meminta untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara
ini semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Pada tahun 680 M, Husein pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan
Syi’ah di Irak. Umat Islam di daerah ini mengakui
khaifahnya adalah Husein. Sehingga terjadi pertempuran dan tentara Husein kalah sedangkan Husein mati terbunuh.
Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di
Karbela.
Gerakan Syi’ah
semakin keras, gigih dan tersebar luas. Pemberontakan yang paling terkenal
diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M.
Walaupun dibantu oleh kalangan kaum Mawali di
Persia, Armenia dan lain-lain, Mukhtar
terbunuh oleh pasukan oposisi lainnya yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.
Abdullah ibn
Zubair baru secara terbuka menyatakan khalifah setelah Husein bin Ali terbunuh.
Tentara Yazid kemudian mengepung Mekkah dan akhirnya terjadi pertempuran, pada
pertempuran ini Abdullah bin Zubair dikabarkan wafat, maka tentara Yazid
kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah
ini baru dapat dihancurkan pada masa khalifah Abdul Malik pada tahun 693 M.
Adapun prestasi Dinasti
Umayyah
1.
Bidang
Fisik
Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah
telah didirikan pos-pos yang pada pemerintahan sebelumnya tidak ditemukan.
Lebih lengkapnya, dapat dikatakan bahwa beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam
pembangunan fisik adalah sebagai berikut:
a. Membangun
pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya,
b. Membangun jalan
raya,
c. Mencetak mata
uang,
d.
Membangun
panti asuhan,
e. Membangun
gedung pemerintahan,
f. Memblingun masjid,
g. Membangun rumah
sakit, dan
h. Membangun
sekolah studi kedokteran.[7]
2.
Perluasan
Wilayah Kekuasaan.
Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah
menjalankan ekspansi sebagai berikut:
a. Menguasai Tunis
pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi',
b. Menguasai
Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur,
c. Menguasai
Bizantium,
d. Menguasai
Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani,
e. Di sebelah
Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan
Maroko,
f. Selanjutnya, Dinasti
Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni
Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova,
g. Penaklukkan
yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica,
h. Menaklukkan
Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand,
dan
i. Menaklukkan
India, hingga ke Brahmanabat.[8]
D. MASA KEMUNDURAN BANI UMAYYAH
Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani
Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan
internal dan semakin kuatnya tekanan dri pihak luar.
Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor
yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran, yaitu
sebagai berikut:
1.
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru
bagi tradisi Arab yang lebuh menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak
jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya
persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2.
Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari
berbagai konflik politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa
Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus terjadi gerakan oposisi, baik
secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti
di masa pertengahan kekuasaan Dinasti Umayyah. Penumpasan terhadap
gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.
Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia
Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman
sebelum Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Dinasti
Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping
itu, sebagian besar golongan Timur lainnya merasa tidak puas karena status
Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab
yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
4.
Lemahnya pemerintah daulah Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup
mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul
beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu,
sebagian besar golongan awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap
perkembangan agama sangat kurang.
5.
Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya
kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan
kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Dinasti Umayyah.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk
menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah,
disusul dengan berdirinya kekuasaan orang-orang Bani Abbasiyyah yang
mengejar-ngejar dan membunuh setiap orang dari Dinasti Umayyah yang
dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya
Umar bin Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifan sesudahnya
dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti
Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyyah pada masa khalifah Marwan
bin Muhammad (Marwan II) pada tahun 127 H/744 M.[9]
III.
KESIMPULAN
Masa kekhalifahan Bani Umayyah yang hanya
berumur 89 tahun yaitun di mulai pada masa Muawiyyah bin Abu Sofyan ini banyak
mengalami kemajuan perkembangan yang cukup pesat.
Pada masa Muawiyyah bi Abu Sofyan perluasan wilayah yang
terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib di
lanjutkan kembali.
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran di
lanjutkan di zama Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Al Walid adalah
masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani
Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyyah bin
Abu Sofyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan
kuda yang yang lengkap dengan peralatanya di sepanjang dalam. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjatan dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan
khusus seorang hakim atau qodhi mulai berkembang menjadi profesi tersendiri.
Qodhi adalah seorang spesialis di bidangnya.
IV.
PENUTUP
Demikian makalh ini kami susun. Penulis
menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dan kontruktif
sangat di harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga makalh
ini dapat di jadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman,
Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Hasymy, A., Sejarah Kebudayaan Islam,Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Hitti, Philip K., Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan
O.D.P Sihombing,
Bandung: Sumur Bandung, tth
Suryanegara,Ahmad Mansur , Api Sejarah, Bandung: Salamadani,
2012.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah,
2010.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau
Dari Beragai Aspeknya, Jakarta: UI
Press, 1978.
Osman, A.Latif, Ringkasan Sejarah,Jakarta: Widjaya, 1951.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada
Media, 2010.
Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa,
Bandung : Pustaka Setia ,
2013.
Souyb, Jousouf, Sejarah Umayyah,Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
[1] Sulasman dan
Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Pustaka Setia: Bandung,
2013), hlm. 127.
[2] A. Hasymy, Sejarah
Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975) hlm.151.
[3]
Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing
(Bandung Sumur Bandung.tth) hlm.85
[4] Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1978),
jilid 1, hlm.61.
[5] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenada Media, 2010), h.40
[6] Ahmad Mansur
Suryanegara, Api Sejarah, (cet ke-5, Bandung: Salamadani, 2012), hlm.
64-65
[7] Jousouf Souyb,
Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.236
[8]A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah
(Jakarta: Widjaya, 1951), h.99
[9] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 118-136.